PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

10.31.2012

MENYIMAK ESAI ARIF FITRA KURNIAWAN


KAMERA GHAIB DI SAJAK-SAJAK A GANJAR SUDIBYO

Seandainya kita katakan, sebuah sajak adalah bentuk mimesis dari apa yang dihadapinya di luar sebuah wujud penciptaan, tentu ia kita perkenankan mengambil, menyerobot, dan mendaur ulang semua itu sebagai sebuah representasi kejadian-kejadian yang pernah dialami.  Dan bagi pembaca,  menikmati sebuah sajak  tak lain memberikan pelajaran pada –ketubuhan- kita, untuk  menerima, setelah upaya mempertanyakan  serta mempernyatakan terkadang mesti gagal, kita diminta menabahkan diri ketika  tidak mendapatkan apapun  yang kita inginkan.  ... terbang/mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat/--the only possible non-stop flight.//tidak mendapat. Penggalan dari Chairil Anwar  itu kiranya yang akan mewakili kita ketika berhadapan dengan sebuah teks sastra. Kita seperti diminta untuk menerima sesuatu yang  transenden dalam pemahaman yang temporal.

Adalah camera obscura, bahasa Latin untuk "ruang gelap", mekanisme awal untuk memproyeksikan tampilan, menangkap gambar maupun bayangan. Yang muncul pada abad 16, dan kita mencatat nama Girolamo Cardano, sebelum pada akhirnya pada tahun 1829 Joseph Nicepore dan Louis Daguerre—dua orang perancis,  membuat kamera Daguerreotype, cikal bakal kamera yang digunakan banyak orang sekarang.  Jadi di wilayah inilah  penciptaan sajak-sajak Ganjar saya curigai; dia berupaya memotret (baca: mengabadikan) peristiwa-peristiwa yang melintas dan berlalu lalang melalui mata dan telinganya, melalui media elektronik headphone-nya,  komputernya, pemutar musik telepon genggamnya.


...pasanglah headphone, lalu nikmatkanlah dirimu rapat-rapat,
nikmatkanlah. sebuah kaset tak habis-habisnya untuk diputar;
sembari kita tahu, ini minggu yang sibuk:
--aku yang menerjemahkan bibirmu
--kamu yang mengisyaratkan bibirku.

dalam sajak “Nota Perjanjian”



Betapa memang, kita tiap hari, bahkan tiap sepersekian menit, telinga kita, mata kita, nalar kita  diserang oleh sesuatu yang masif dan bertubi-tubi. Lagu-lagu, suara pengamen, teriakan demonstrasi, orasi-orasi politik, tayangan iklan dari televisi, radio, arus informasi  internet yang  sesak berjubelan memaksakan diri mereka untuk kita dengar kita baca. Sebuah arus kebudayaan membawa kecanggihan yang membuat  telinga-mata-nalar- kita niscaya akan  “berdarah” sebelum sempat menangkapnya utuh lantaran semuanya melintas sedemikan cepat setelah seenaknya mengiris keberadaan  kita.

...jurang-jurang itu 
adalah doa-doa kita dulu yang terlampau tinggi. memohon
tuhan untuk melarang manusia mendirikan gedung-gedung
bertingkat, perumahan-perumahan mewah, dan menciptakan
internet...

dalam sajak  “Glosoli”


ini barangkali yang, mengulang kembali apa yang telah dikatakan Terrence Francis  Eagleton,  pada prinsipnya, estetika adalah discourse of the body, wacana tubuh, yang dalam konteks  ini menjadi antonim bagi penciptaan wacana konseptual. Wacana tubuh berurusan dengan segala sesuatu  yang bersifat inderawi (sensuous), konkret, bersifat nisbi, terbatas,  kesementaraan.

...
kami sedang ada di atas, melukis kalian, kata mereka
.....

maka berkatalah seorang di antara yang lain:
dunia ini akan lekas penuh angin
dan kata-kata akan lekas kembali dibutuhkan
untuk membikin kalian abadi 

dari sajak “Hoppipolla”

dan Ganjar memotret yang menghantui inderawinya, agar dalam keniscayaan,  yang berkelebat dengan sangat cepat bisa diabadikan, kita diajak untuk membekukan ingatan demi kita yang merasa labil akibat kehilangan. Kita diingatkan pada penggalan sajak Goenawan Mohamad: ... separuh ilusi//sesuatu yang kelak retak// dan kita membikinnya abadi// .


...ah, kita selalu saja risau pada ingatan. apapun itu.
tak ada doraemon di sini. tapi di masa lalu, diam-diam
kita seringkali adalah nobita dan terkadang sinchan;
waktu telah diuji, kita berulang-ulang ingin saja
pun khusyuk membayangkan: dunia ini
mudah sekali berubah, bukan?

aku ingin sekali punya sayap, kitaku
sebelum ingatan menamakan dirinya hantu.

 dalam Sajak  Glosoli



Peristiwa, kejadian yang membahagiakan dan bahkan tragedi berkemungkinan melintasi kita saling sengkarut dan bergantian. Selalu ada yang berubah sebab kita terus menerus tak bisa dengan mudah  keluar dari lajur perwaktuan. kita akan sangat sulit sekali lepas dari elemen-elemen waktu—masa lalu-masa sekarang-dan masa depan.  Sementara  kita memerlukan media sebagai representasi dari yang bergerak cepat itu.  Maka di wilayah kegelisahan ini Ganjar mencoba mengabadikan itu semua. Sebab tiap orang sejatinya merasa cemas, dan berusaha mengabadikan apapun yang pernah dan sedang dimiliki, betapa kecemasan itu menjadi  pilihan-pilihan yang ditawarkan oleh sajak Ganjar,


Gelang

terima kasih, dik. katamu. yang putus telah kembali;
kamu telah susah payah mencari di toko ini-itu
sampai ke toko mainan anak-anak.

bagaimana tidak...kita memang selalu
dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan:
mencari untuk melengkapi atas apa
yang kita rindukan, atau
menerima diri kita yang sebenarnya
telah tuntas

mengenakan atau melepas

2012 


Mencatat  proses kreatif sajak-sajak Ganjar adalah menimbang lagi bagaimana secara   terbuka Afrizal Malna dalam tulisan panjangnya di akhir kumpulan sajak Kalung Dari teman,  ia  juga  merasa pernah dihantui oleh bayangan sajak Amir Hamzah-Chairil anwar-Rendra kemudian merasa bersamaan juga  dikerubungi oleh teks-teks  Goenawan Mohamad- Sapardi Djoko Damono- Sutardji Calzoum Bachri  dalam proses kreatif penciptaan sajak-sajaknya, Bukankah seperti  yang ditulis di sajak Ganjar, Kesepian sebenarnya tidak pernah ada. Kita adalah tubuh yang mengalami aktivitas tarik menarik dengan apa yang ada di sekitar kita. Sajak Ganjar juga barangkali mau tidak mau terkontaminasi dengan teks-teks yang pernah ada dan berkeliaran di sekujur perangkat inderawinya. Tidak ada sebuah teks  yang lahir sendirian. Namun bergeser  dari itu, sajak-sajak yang selama ini diciptakan  Ganjar, terutama  beberapa sajak yang terlihat di sini, begitu terasa  kerapianya, bagaimanaenjambment  menciptakan ayunan yang dialektis, konstruksi suasana yang hampir menyergap di sana-sini, simbolik-simbolik dan personasifikasi yang timbul-tenggelam-merayap-merandai dalam lingkaran romantisme melankolis. kita jadi melulu merasa menjadi kekasih atau seseorang yang memliki kekasih dan didorong untuk berterima kasih kepada jarak, kepada kepenatan  lantaran dari sanalah kita bisa membahagiakan kerinduan. Dari proses rajut kepengrajinan sajak penyair ini yang membekas adalah bagaimana kegigihan dalam mempertahankan upaya-upaya eksplorasi-intelektualitas, memanfaatkan benturan maupun sergapan sesuatu yang asing dan membawa unsur ensklopedis. Seperti membiarkan pintu sajaknya terbuka begitu saja agar bahkan sesuatu yang barangkali kita anggap asing, baik itu berupa bahasa, film, lagu, gaya hidup dari nun jauh yang bahkan awalnya tidak kita kenal masuk, masuk begitu saja. Itu barangkali yang menjadikan sajak-sajak Ganjar kaya penafsiran, kaya pengucapan.  Seperti di beberapa sajak yang saya tangkap di sini, ada GlosoliHoppipolla, dan Olsen, yang  pada akhirnya, sajak  tersebut  saya tangkap sebagai  potret tertulis yang mekar dari lagu-lagu milik Sigur Ros, sebuah ambient-post rock  band dari  Reykjavik, kota di negara Iceland. Barangkali kita memang tidak perlu mencari sumber deviasi antara  sajak-sajak Ganjar dengan lagu-lagu tersebut. Seseorang bisa saja dan boleh menulis sajak dari  medium televisi, memperhatikan selokan di depan rumahnya, menjerat lukisan dari sebuah pameran, mengintip orang-orang yang berjalan dari jendela kamar, menciptakan sajak dari kemacetan, perjalanan dari kota satu ke kota lain.Mengais sajak dari kutipan-kutipan bijak orang-orang, dari buku-buku atau dari apapun.

Saya rasa keberhasilan sajak Ganjar adalah, ketika pembaca justru tidak memerlukan kondisi korelasi dengan lagu-lagu  milik Sigur Ros....., keadaan  a-historis yang menciptakan interpretasi diskursif  terhadap sajak-sajaknya, justru menjadi serangkaian pemaknaan yang merdeka di hadapan pembaca. Ya, sekali lagi, kitalah pembaca itu,

... terbang/mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat/--the only possible non-stop flight.//tidak mendapat.

________________________________________________________________

Semarang, 1 november 2012.
Arif Fitra Kurniawan. Bergiat serius di Komunitas Lacikata-Semarang



Sementara, sajak-sajak yang dibahas oleh penyair muda yang esais--Arif Fitra Kurniawan dapat disimak di sini: https://www.facebook.com/notes/a-ganjar-sudibyo/sajak-sajak-ini-sengaja-saya-bagikan-khusus-bagi-kawan-sekalian/272501569519099

CORETAN KANVAS: THE EGO AND LETTERS




2012

CORETAN KANVAS: PERCEPTION CYCLE




2012

MONOCRHOME



setelah kita berada dalam buku-buku, lalu apa
yang sebenarnya ia percayai?

sudahlah, mari kita lupakan kemungkinan-kemungkinan
itu. dalam benak, kita telah menjadi tabu oleh segala
perasaan. ini bukan soal bagaimana kepastian atau
bagaimana kemungkinan. sesuatu yang lain menghendaki
kita untuk berada di antara warna yang belum pernah
dinamai. sedangkan ia itu semacam angin dingin
tengah malam.

sekarang, mari perhatikan saja, bukankah
kita tidak pernah membikin garis tepi
untuk setiap kenangan


2012 

PERTANYAAN DAN JAWABAN



kamu bertanya-tanya, kenapa istrimu suka keluar rumah
malam-malam, akhir-akhir ini pula

aku menjawab, sudahlah, ia pasti kembali;
kamu meragukannya.

kamu bertanya-tanya, kenapa anak-anak sampai
tak tidur larut malam begini

aku menjawab, sudahlah, mereka pasti tahu waktu.
anak-anak zaman sekarang cepat dewasa, tambahku;
tetap saja kamu meragukannya.

singkirkanlah semua itu, aku
ingin pergi lewat sebuah pintu
berdua saja. hanya aku dan keraguan;
sebentar kok, katamu

lalu aku?

tunggu saja di situ, sampai aku menjadi kepastian
dari semua jawabanmu. anak-anak dan istriku
barangkali telah mengenal risau lebih dari
semua jawabanmu

kawanku, lihatlah di luar,
ada yang tak bisa dipersalahkan atas semua ini


2012

10.26.2012

(PARAUNYA) DERING REPETISI DAN INTERPERSONALITAS DALAM BAHASA


DERING
Oleh: Fitriyani

--November 2011
Pukul 00.00. Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Bukan namamu. Saya kembali berbaring.
Pukul 05.30. Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Entah sejak kapan saya tak menganggap penting oranglain.
Pukul 05.51. Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Saya berdoa kau sehat dan baik-baik saja.
Pukul 11.15. Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Saya menarik napas. Panjang.
Pukul 11.22. Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Saya benci karena mereka sok perhatian.
Pukul 18.58. Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Tuhan, berapa jam lagi saya harus menunggu?
Pukul 21.05.  Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Dada saya mulai berdenyut. Nyeri.
Pukul 12.00.  Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Saya baru ingat, saya meninggalkan banyak sekali pekerjaan.
Pukul 17.55.  Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Positif thingking, positif thingking...
Pukul 20.10.  Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Kenapa saya tak punya nyali menghubungimu terlebih dahulu? Atau handphonemu hilang?
Pukul 22.11.  Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Saya teramat takut ada oranglain bersamamu, saya cemburu...
Pukul 01.01.  Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Tuhan, apakah Kau melambatkan waktu?
Pukul 04.00.  Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Den? Ah, saya pikir itu kau...
Saya kembali tidur. Dan entah, rasanya tak ingin bangun.

--Desember 2011
Pukul 06.10.  Handphone saya berdering.  Kali ini dengan dering lain, bergetar lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Dada saya berdebar, tangan gemetar. Mungkinkah itu  telepon darimu? Saya raih handphone, dan buru-buru menekan salah satu tombol...
“Halo?”
“Renata?”
“Ya?”
“Ah, kamu, sulit sekali dihubungi. SMS saya masuk?”
“Maaf, ini siapa, ya?”
Orang diseberang sepertinya bingung, suara perempuan. Apakah saya mengenalnya? Rasanya tidak. Nomornya disembunyikan.
“Renata?”
“Ya?”
“Kamu kok aneh. Ini Mbak Rita. Bukannya kamu sendiri yang meminta saya untuk menghubungi nomor ini?”
“Oh, masak?”
“Gimana sih, Ren? Ini pesanan buku sudah datang. Kapan kamu mau ambil?”
Saya terhenyak, mengingat, hal-hal yang sebentar-sebentar hilang dari kepala saya. Beberapa hari ini memang tidak banyak yang saya lakukan. Hanya di dalam kos-kosan. Nonton televisi, tidur, menatap handphone, menjauhi handphone,  jarang makan, dan malas mengingat apapun.
“Ren?”
“Ya, Mbak?”
“Jangan bilang kamu lupa dengan saya. Ya sudah, nanti hubungi saya lagi jika sudah ingat.”
Telepon dimatikan. Agak kasar. Tentu saya kaget, namun masih bengong. Buku? Rasanya saya perlu minum banyak vitamin. Sebab sulit mengingat apapun selain kau.
Pukul 07.05. Ah, Handphone saya berdering lagi.  Dering yang sama, bergetar cukup lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Dada saya berdebar, tangan gemetar. Mungkinkah itu  telepon darimu? Saya raih handphone, dan malas menerimanya...
“Halo?”
“Kamu di mana?”
“Kenapa memangnya?”
“Dicari Pak Handri.”
“Ah, kenapa dia mencariku?”
“Ren, kamu sakit??”
Suara di seberang hilang, telepon ditutup. Ia Tantri, kawan kerja saya di sekolah swasta di kota kecil ini. Ia kerap memberi perhatian pada saya. Tak hanya itu, ia pun sering menjadi kambing hitam atas kekacauan yang saya perbuat. Dimarahi Waka Kurikulum, ditegur Kepala Sekolah, dan lainnya. Seperti saat ini.
Pukul 09.20. Handphone saya berdering lagi. Ah, dering yang sama, bergetar lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  telepon darimu? Saya raih handphone, dan gugup menekan tombol...
“Halo?”
“Ren? Ya Tuhan, kemarin-kemarin kamu pingsan? Berulangkali ibu telepon, yang ada hanya talilut talilut. Tidak tau ibu kuatir?”
Saya menghela napas.
“Oh, ya? Masak sih, Bu? Tidak ada telepon ibu.”
“Mengigau kamu. ”
“Nyatanya memang tidak ada.”
“Kamu benar-benar membuat ibu kuatir. ”
“Tidak perlu kuatir, Bu. Saya sehat.”
“Apa? Seperti ini sehat? Barangkali psikismu perlu dirawat.”
“Untuk apa, Bu? Saya kan sehat. Sudah ya, Bu. Pokoknya ibu percaya saya sehat. Mau mengajar dulu. Muah.”
“Hei, Ren..!!”
Telepon saya tutup.  Ibu memang sering telepon. Tapi apa benar kemarin juga telepon? Saya lupa. Yang pasti saya memang tak mau menerima telepon beberapa minggu terakhir ini. Oh ya, hmm, saya harus berbohong pagi begini, saya kan bolos mengajar.
Pukul 10.30. Handphone saya berdering lagi. Ah, dering yang sama, bergetar agak lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Dada saya berdebar, tangan gemetar. Saya tahu itu bukan telepon darimu. Maka saya beranjak. Membiarkannya terus berdering.

--Januari 2012
Di halte. Handphone gadis itu berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Ia memencet tombol dan mengetik huruf berulang-ulang, tersenyum, mengetik huruf lagi, dan tersenyum lagi. Dada saya berdebar, sedikit gemetar, dan nanar.
Di dalam bus. Handphone lelaki tua itu berdering.  Bergetar agak lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Ia memencet tombol, mendekatkan ke telinga, lalu cemberut. Makin cemberut. Dada saya berdebar, sedikit gemetar.
Di tepian jalan. Handphone anak SMP itu berdering.  Bergetar agak lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Ia memencet tombol, mendekatkan ke telinga, lalu tersenyum, tertawa, tersenyum lagi, tertawa lagi. Dada saya berdebar, gemetar, nanar.
Di pintu gerbang. Handphone satpam itu berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Ia memencet tombol dan mengetik huruf berulang-ulang, tersenyum, lalu murung. Dada saya berdebar, sedikit gemetar.
Di depan kelas. Handphone  cleaning service itu berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Ia memencet tombol dan mengetik huruf berulang-ulang, cemberut, murung. Dada saya berdebar, sedikit gemetar, dan nanar.
Di kantor. Handphone seorang guru berdering.  Bergetar agak lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Ia memencet tombol, mendekatkan ke telinga, lalu tersenyum, tertawa, tersenyum lagi, tertawa lagi. Dada saya berdebar, lalu gemetar, sangat gemetar.

--Februari 2012
From     : w_tantri@yahoo.com
Subject : Renata??
Ren, sulit sekali dihubungi? Handphonemu kenapa? Kamu pikir aku tidak kuatir? Segera SMS atau telepon balik jika handphonemu sudah sehat.

From     : gerimisluna@yahoo.com
Subject : Les..
Renata.. Ya, ampun.. kamu kemana saja? Adikku keteteran ni, kapan mulai ngelesi lagi? HPmu kenapa sih? Ganti nomor? bales

From     : lenindasurya@yahoo.co.id
Subject : dicari ibu!
Renata........ ibu marah-marah. Mbakmu ini selalu jadi korban. Nomormu kenapa? Aktifkan dong Hpnya... senang sekali membuat orang repot.

From     : handry_hutomo@yahoo.com
Subject : Soal Mid Semester
Selamat siang, maaf Bu Renata, mohon soal untuk mid semester segera dikumpulkan. Minggu depan sudah harus cetak. Ibu sakit? Sejak kemarin saya cari di sekolah tidak ada, nomornya saya hubungi juga tidak bisa. Mohon perhatiannya ya, Bu. Terimaksih. Salam

Subject : mana tulisannya??
Ren, saya setres menghubungimu, kalau ganti nomor ngasih tau dong. Mana tulisannya? Segera kirim. Hampir deadline. Awas kalau alasan lagi. Mas Jakfar

From     : w_tantri@yahoo.com
Subject : REEENNNNN..............
Bu guru ini bingungin amat sih. Heeiii, kemana kamu, Non? Fb ga pernah update, tweeter ga pernah update, nomor mati, email gak dibales. Masih idup kan? Inget, kerjaan di sekolah numpuk. Hpmu kenapa??? Bales donggg....

From     : langitbiru88@gmail.com
Subject : soal kemaren..
Mbak Renata, maaf baru menghubungi. Soalnya kemarin sibuk sekali. Ini handphone sudah terjual. Uang sudah saya kirim ke rekening Mbak. Lain kali kalau mau beli atau jual lagi bilang aja. Makasih. Rendi

***
“Mana Renata?”
“Tidak tahu.”
Boja, 2012

*Tulisan ini digunakan untuk Ngopi Komunitas Lacikata.


(PARAUNYA) DERING REPETISI DAN INTERPERSONALITAS DALAM BAHASA
- Sebuah catatan singkat dalam pembacaan cerpen “Dering” di acara Ngopi komunitas LACIKATA -

Oleh: Ganz

(Kepada Herman Pratikto
20 Desember 1952

Saudara Pratikto,
Mengenai cerita pendek Saudara, “Rosita”, yang saya paksa baca sampai habis atas permintaan Saudara, saya cuma punya satu perkataan: jelek.
Meskipun begitu saya akan coba juga menunjukkan di mana letak kejelekannya......

- Surat-Surat 1943 – 1983, H.B. Jassin -)

 Dimensi repetisi psikologis pembaca
Pembacaan cerpen naratif yang berkisah tentang ‘kronologis’ keberadaan seseorang ini tiba-tiba menyeret saya untuk masuk kembali ke dalam sebuah tema repetisi. Kehadiran yang konon menjadi sebuah kebutuhan adalah cakupan makna yang semestinya punya nilai bagi keutuhan cerpen ini. Kemudi selanjutnya, resepsi pembaca seolah diarahkan menuju sesuatu yang bias. Barangkali, pengarang ingin memberi kesempatan selebar-lebarnya kepada pembaca untuk berpikir berulang-ulang, memastikan bahwa cerpen ini membawa pada suatu makna yang dipercayai adalah perantara menuju maksud pengarang. Ya. Pada awalnya, ‘pembaca awam’ sepertinya akan diajak merasakan kegaduhan di benak mereka untuk mengerti pada sisi teks. Kegaduhan yang dimaksud adalah lingkaran-lingkaran repetisi. Skema inilah yang mengantarkan bahasa komunikasi antara teks dan naluri pembaca.  

Di satu sisi, apa yang diuraikan oleh Prof. Groys Keraf dalam bukunya “Komposisi” sepertinya tidak dapat dinafikan untuk dipertautkan pada ruang pembacaan cerpen “Dering”. Bilamana dipandang secara stilistika yang utuh, cerpen ini tidak dapat dipisahkan dari bahasa pengulangan. Gorys Keraf mengemukakan bahwa repetisi adalah pengulangan sebuah kata yang dianggap penting. Dalam konteks ini, penggunaan repetisi pada cerpen “Dering”, tentu memerlukan kehati-hatian terutama dalam penempatannya. Apa yang  telah disajikan oleh pengarang sejak awal, tampak berberondong pola-pola pengulangan bahasa. Keadaan ini memformat pembaca untuk berpikir ulang. Lagi dan lagi. Artinya bahwa apa yang sedang dibuat pengarang, bisa dikatakan semacam labirin, bukan pola repetisi visual seperti gaya tarian gangnam. Sementara itu, Halliday dan Hasan, memperlebar teknis gaya repetisi dalam tulisan. Jenis gaya repetisi yang dimiliki oleh cerpen ini adalah gaya kohesivitas. Kekohesifan yang dimaksud oleh Halliday dan Hasan  merupakan keterikatan antarunsur dalam struktur wacana yang ditandai melalui pola-pola pengulangan. Pengulangan inilah yang dinamakan dengan repetisi. Di antaranya, terdapat kohesi leksikal dan kohesi gramatikal.

“Pukul 00.00. Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Bukan namamu. Saya kembali berbaring.

Pukul 05.30. Handphone saya berdering.  Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu  pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Entah sejak kapan saya tak menganggap penting orang lain.”

Kedua paragraf tersebut merupakan paragraf yang berkohesi, begitu pula dengan paragraf-paragraf selanjutnya. Sejumlah 13 paragraf sejak dari awal ingin merepresentasikan sesuatu yang berbau kronologis. Adapun terdapat gaya pengungkapan tambahan di setiap paragraf. Hal ini tetntunya yang memberikan pengaruh pada daya repetisi yang diperoleh pembaca. Dalam gaya penulisan lain tentunya hal ini bertujuan untuk memberi daya letup teks dan daya tarik bagi pembaca. Maka sah-sah saja apabila gaya pengungkapan tersebut dilakukan oleh pengarang untuk mengkonstruksi cerpen ini. Hanya saja, bentuk-bentuk eksperimentasi yang ingin diolah mesti ditimbang kembali, mengingat bahwa seringkali repetisi bisa menimbulkan titik kebosanan, bilamana pada muaranya tidak dibubuhkan sesuatu yang memuat daya letup bagi pembaca. Di sinilah pengarang belajar memainkan sentuhan yang pas untuk dimensi psikologis pembaca.

Antara subjek, objek, dan kohesivitas
Dalam suatu wacana sastra, Maman S. Mahayana pernah mengungkapkan bahwa sebuah cipta sastra adalah hasil perenungan yang intens dari subjek pengarang yang pasti berbeda dengan subjek pengarang lain. Oleh karena itu, satu peristiwa atau masalah yang sama akan ditanggapi dan menghasilkan pandangan yang berbeda jika diungkapkan oleh dua pengarang atau lebih. Dalam penyajian cerpen ini, pengarang seperti tidak memperhatikan alur, media dalam meletakkan peristiwa, dan bagaimana mencari titik klimaks-antiklimaks. Subjek yang bernama Renata menjadi semacam teror bagi pembaca. Namun, di wacana yang lain, objek menjadi samar. Sesuatu yang bersifat gradasi terjadi pada setiap selang pergantian waktu (bulan dalam cerpen tersebut). Sebagai sub-chapter, itu cukup meyakinkan alur pembahasaan. Tapi, gradasi peristiwa agaknya berseberangan (mungkin juga bertolak agak jauh) sehingga kohesivitas dalam keutuhan cerpen ini menjadi pecah. Kehadiran tokoh-tokoh, seperti tokoh-tokoh dalam sub-chapter bulan januari maupun tokoh-tokoh yang berada dalam subject email tampak menghanyutkan subjek utama; yang adalah saya, yang adalah Renata. Ada upaya pembungkaman subjek di tengah hingga akhir cerita. Distorsi semacam ini merupakan distorsi yang agaknya (lagi-lagi) kurang matang, karena selain adanya gradasi yang jauh dan mencolok (lihat saja pergantian dari media handphone menjadi media email), pengarang sepertinya telah masuk dalam keterjebakan estetika amanah yang akan dibawanya. Hal itu terlalu khusyuk sehingga meninggalkan resepsi pembaca akan apa yang sedang ditawarkan dalam cerita ini. Demikianlah, keterpaduan antarsub-chapter mesti diperhatikan kembali, mengingat gradasi, mengingat subjek-objek, mengingat pembaca. Tanpa perlu mengurangi cerita yang telah dituliskan, pengarang malah bisa mengembangkan lagi dengan cara meninggalkan gaya penceritaan yang minim akan sudut pandang. Pada akhirnya, kohesivitas akan terjaga.

Interpersonalitas dan akhir dari repetisi
Disclosure menjadi istilah yang lekat dengan interpersonalitas. Bagaimanapun tentang istilah, bahasa tetap akan terus dierami. Seperti kata Umar Kayam tentang gaya bertutur. Kembali pada persoalan interpersonalitas yang muncul mencolok dalam cerpen ini, saya mengamati bahwa keseriusan pengarang menampilkan percakapan Renata dengan subjek lain kurang diimbangi dengan pengembangan tampilan dialog. Dialog-dialog yang ter-eksplore di sini barangkali terlalu singkat atau cepat untuk diakhiri dengan jalan menutup telpon. Keadaan ini bisa menggagalkan konflik yang sedang terbangun dalam diri pembaca. Tak pelak, seakan-akan ada sesuatu yang putus di jalan, lantas menganggu itikad baik pembaca. Berkaitan dengan interpersonalitas, seorang ahli komunikasi (Luft) pernah mengemukakan bahwa orang memiliki atribut yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri dan orang lain (orang terdekat), dan tidak diketahui oleh siapa pun. Sejauh pengarang berlari dalam alur, dapat juga pembaca terengah-engah mengejar. Eksperimentasi yang sedang dibangun pengarang seakan hanya memberi ruang sempit dan kode-kode yang monoton. Maka, di sisi interpersonalitas, komunikasi subjek dengan teks yang menciptakan subjek harus benar-benar mengenal akumulasi percakapan serta pemantik emosi. Dengan harapan, agar menutup kemungkinan penggunaan batasan-batasan kronologis yang berlebihan dan tidak memperoleh tempat.

Repetisi yang memberi warna pink di tengah ruang hitam cerpen ini rupanya perlu ditelaah kembali untuk dikembangkan. Akhirnya, pengarang tidak harus meyakini bahwa cerita pendek ini sampai di sini. Adakalanya, ia mesti masuk-menjabarkan letak celah-celah bahasa pengulangan ke dalam kertas coretan hingga tahu di mana mereka berada dan dihadirkan, penguasaan ruang setidaknya dipertimbangkan tanpa membeberkan bahasa perulangan tentang bayangan persoalan dirinya. Masuklah pada dering, pada parau.



Hari Cium Sedunia,
2012