PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

12.08.2013

BURUNG YANG MATI DI TANGAN PENYAIR


mata kebebasan sekarang diperuntukkan apatah;
orang-orang menghimpun diri untuk saling tahbis
mereka seringkali lupa, ada langit yang jarang
disentuh bahkan dibaca sebagai kitab suci kedua

sementara itu, mata seorang penyair menyibukkan
ke mana pandangan-pandangan dijatuhkan,
dengan cara apa merupakannya;
suatu ketika seekor makhluk yang mempunyai sayap
di bawah pandangannya. lalu ia mengambilnya
sebagai kematian ia candai kebebasan
sarat orang-orang buta


2013


12.03.2013

YA RAMA, HUJAN MEMBERI NYAWA DI PINGGIR KOTA



kamu tulis aduh yang jauh itu
pandangan yang tak lagi sempat mempertanyakan
hujan ini adalah bagian dari aduh itu

saudaraku, kota jiwa kita sekarang begitu tegang
sebab bulan tiba seperti mata kamu yang tak ingin
segera meninggalkan genang jalan-jalan lengang
dan rumah-rumah yang kusut

masuklah; udara sebentar lagi rampung
untuk menyamarkan jarak di pinggir kota


2013

11.22.2013

BERUNTUN MEMPERTANYAKAN KAMI



syahdan, ada yang beruntun mempertanyakan kami:
bagaimana kalian menemukan warna hijau, selain
daripada kamus daun-daun atau rerumputan?

bagaimana kalian menemukan warna kelabu,
selain daripada mendung di sarang hujan?

bagaimana kalian menemukan warna biru,
selain daripada kitab lautan dan batas langit?

bagaimana kalian....?

ada yang beruntun mempertanyakan kami
untuk mempercayai bahasa mereka
bilamana segalanya mutlak berasal
dari yang tampak

percayalah
sebab kami tak pernah percaya semata
pada rupa-rupa kulitnya, tuan jaksa!




2013

MATA KESUNYIAN YANG DIBERKATI



ada perasaan handarbeni yang mirip cabang-cabang
pohon di depan rumah kami: tua, kokoh, dan berbuah

tua:
perasaan itu ditanam sejak kami dinamai
sejak itu unsur usia yang sebenarnya tidak bisa kami bebaskan
bisa kami lalui lewat lekuk-lekuk kambium, garis-garis
yang menjadi batas antara abad dan abadi

kokoh:
karena perasaan itu berlapis adanya, bukan topeng
melainkan memang benar-benar jujur. ini kami.
murni milik kamu yang tersembunyi dan paling dasar ;
sebab kami kamu berdiri

berbuah:
kami bisa merasakannya. ia bukan datang dari lidah
yang kepanasan atau kedinginan. kami bisa merasakannya
dan bentuknya yang angslup menyerupai jiwa kami telah
semakin besar serupa pandangan keji orang-orang suci

nah, pahamkah dirimu dengan mata kesunyian kami
yang diberkati oleh orang-orang yang melupakan sejumlah
waktu sebagai luka sejarah dan air ludahnya sendiri?




2013

10.31.2013

SUNGAI EFRAT MEMBASAHI PANDANGANNYA



seperti dingin yang diperoleh
dari batu-batu musim hujan
seperti para pertapa yang hanyut
oleh gemercik gelombang sungai;
pada tangan ia menggenggam
pandangannya yang bertubi aku
sebelum menetes tenang di pagi hari

di tanah itu,
ada yang memanggil rumi
lalu mengunci pintu
ada yang memanggil gibran
lalu membuka jendela
tapi kebanyakan orang
memanggil cahaya
lalu mendirikan rumah
di tanah berpasir

ia kah sejarah yang mencuri
dan menyembunyikan cara
merawat generasi
yang membenci darah
dan mencintai muka air
di pinggiran sungai?

oleh nabi-nabi palsu
dunia tak lebih gawat
dari sebalik ayat-ayat
dari nyala matanya
yang sedikit basah


2013

10.07.2013

PUISI-PUISI YANG DIMUAT DI KORAN MERAPI


Puisi-puisi ini dimuat di Koran MERAPI pada tanggal 6 Oktober 2013:


Huis
: peringatan kekasih

1. segalanya berjalan baik, kata seorang filsuf perancis
malam itu ada yang tak tumpas di braga. sebuah pameran
buku menumpukkan diskon-diskon yang selalu sama, dan
waktu di jam tangan bergerak pontang-panting seperti
dikejar oleh stand-stand pameran yang hampir tutup.
tapi segalanya berjalan baik, memang. kau berhasil
membaca mataku di halaman kesekian dengan judul
yang mulai lelah untuk bertamasya. aku baik-baik
saja, kataku

2. kau membeli gantungan kunci seruling, aku
menggantang tas yang berisi gantungan lainnya:
seplastik tumpahan kenangan yang ternyata kau
sembunyikan di bawah parfum cokelatmu. di toko
yang penuh batik-batik lama, kau berkelindan
memilih daster ukuran berapa, warna apa,
meski tak jadi. lain kali, katamu. lalu uang-uang
receh itu bergemerincing di lantai beserta
gandengan tangan yang tak mau dilepas

3. sepiring mie goreng bandung, sepiring nasi
goreng. kita duduk menghadap cafe dan toko
suvenir, lantas bertukar sendok bersama sebentuk
keasingan lagu-lagu pengamen jalanan yang mesra
di dalamnya

4. ah, aku melupakan pandora!
kau diam saja seolah kecupan itu
memperbisukan cincin pertunangan
: amin, katamu

2012


Bethesda
: sabat

ke mana gelombang itu bergoncang kembali, manisku
di sana segala pesakitan bersiap untuk menjatuhkan
diri, dari basahlah seluruh kegelisahan berpulang
menuju gelincir air yang sangat panjang—itu, mata
kita yang mulai takabur. gelombang itu takkan
kembali sampai hari setelah sabat datang, katamu,
tapi sabat ini begitu khusyuk menenangkan kolam
tanpa banyak arus-riak, sabat ini seperti menuntaskan
enam hari berjaga.

ke mana gelombang itu kembali bergoncang, manisku
tubuhku terlalu liat dan terlanjur sialan untuk menggantikan
hari-hari ketika air bersegera mengalir di rendah ketinggian
sampai dingin jantung ini berdetak pelan sekali. air itu, manisku:
kakiku yang lama memeram sampar sesabar antrean ini
sesabar pandanganku padamu

2012 


Eroica, 50 Menit
: episode beethoven

ia kenang namanya dalam partitur-partitur
di adagio sekian, di angka nada sekian;
bonaparte, bonaparte,
ia catat nama itu berkali-kali pada sejumlah
gesekan, berkali ia menumpahkan kisah
khianat yang tak habis dipertunjukkan
di panggung-panggung opera atau tak
habis diperdengarkan dari bab tentang
bukit zaitun pada halaman-halaman injil,
pada oratorio-oratorio yang ia rangkum
menjadi sebuah orkestra tahun 1803;
di paris, ia ciptakan ingatan
selama 50 menit, dan 50 menit selanjutnya
dan selanjutnya, dan selanjutnya, sebab ia
percaya ingatan itu adalah sebuah simfoni
yang tak tertuntaskan sekalipun panggung-
panggung berhasil ia taklukan;
bonaparte, bonaparte,
lantas ia menjagal namanya, menggantinya
dengan judul baru
: eroica

2012


Interlude Kemudian

barangkali masih ada harga pada kesia-siaan
perjalanan kecil yang bersalin keluar dari mata pucat kita
bergantian membikin degup kita menyadari melupakan
apa yang ada di hadapan. sebab segalanya masai membiru
seperti wajahmu: menjemput langit yang kau namai
kekasih kepulangan—kita di antara seluruh kemudian
mesti berpegang tangan, mengekalkan penantian
di kesemulaan jalan yang tak terasa turun untuk pernah
mengalah dari dingin bahu kita

2011-2012

9.30.2013

MENERUSKAN MIMPI YANG CEMAS TADI MALAM


“gusti ampunilah mereka
mereka belum sampai menampung 
mahaluas pengetahuan;
dan ampunilah kami
sebab kami sering membusung dada
ketika kami memandang di luar kami”

pada pandangan yang diciptakan oleh jarak,
mereka tak henti-hentinya menjelma bahasa
menjadi perkara yang ngeri:
“selamatkanlah jiwa-jiwa
selamatkanlah jiwa-jiwa”

seorang yang bungkuk datang dalam bayang
matahari menyembunyikan tubuh mereka
awan-awan bergerak berbalik jauh dari jangkauan
langit-langit yang membuat pandangan mengenal
warna: mana biru rencana mana putih mimpi;

seorang yang bungkuk datang dalam bayang
“selamatkanlah jiwa-jiwa
selamatkanlah jiwa-jiwa”

ia tua tapi meruwat kami
supaya tetap muda dan mesra,
demikian mereka yang tidak juga bangun
atas pengetahuan yang perlahan dihancurkan
dilebur dalam angin dingin hingga tak kelihatan
lalu diatas-namakannya keyakinan
supaya tidak bisa diperdebatkan
supaya hanya bisa dipandang, kata mereka

seorang yang bungkuk datang dalam bayang
membaca jarak dengan bahasanya:
ini pikulan yang nikmat sayang
barangkali demikian mereka didhawuhi gusti
barangkali demikian kita dirawuhi gusti


2013



9.17.2013

KOTA LENGANG YANG DIPADATI BAHASA



ia menghela nafas, berjalan jauh dari
langit yang tampak lebih dalam dari pandangannya
ia menghela nafas, berjalan jauh sebelum matahari
merapikan kaca-kaca jendela dengan pantulannya

di sini orang-orang seberang datang memperkarakan bahasa
entah terjalin oleh apa bahasa itu sehingga kota ini
kerap kali memulangkan dengung seperti sisa bunyi
akhir konser musik;

menjelang subuh
ia gantung kaki-kakinya yang sedingin tiang-tiang listrik
sebelum pergi kepada asal di mana sesuatu pun
tak dapat mengacuhkannya

sebab gelap ini atau terang itu:
tak mutlak membuat segala yang lahir menjadi tahir

adalah bahasa yang menyihir peradaban
memerciki langkah-langkah kecil dan asing
menutupi kota ini yang teramat janggal
teramat lengang

milik kami bukan hantu, bukan?
tanya mereka kepadanya


2013

9.06.2013

SESEORANG SEPERTI CHAPLIN DI PUSAT KOTA


1. 
berapa anak kemungkinan lagi yang mesti kita telusuri,
kita eja serupa bahasa-bahasa baru dan asing
bila hidup adalah perputaran lahir, tua, sakit, dan mati;
ada yang diam-diam bekerja di kaki-kaki kita,
yang diam-diam menggerakkan mata kita
yang sering kabur memandang warna lampu lalu lintas
dini hari. pada jam-jam kemudian, langkah-langkah
kita lepas sebab orang-orang mulai memanjangkan lengan
ada yang tengadah, ada yang nunduk;
kota jadi khusyuk sekali seperti warna kuning pelabuhan
di kejauhan

tapi di luar itu, seseorang hanya ingin memandang
(seseorang seperti chaplin)
semua sebagai kartun-kartun lucu. sebab ia hanya
rindu: kenapa orang-orang tak bosan merawat
tingkah yang kaku

2.
jazirah ini tak punya batas sejarah,
kota yang mesra terhadap kita
kita yang nakal terhadap kota
kita dan kota sama-sama punya urusan,
hanya rasa-rasanya ada yang keterlaluan
membikin aturan palsu
menaubatkan pelanggaran
sebagai teguran palsu

tapi di luar itu, seseorang ingin sekali bilang
(seseorang seperti chaplin)
bahwa taman kepedihan dan percintaan
adalah bagian dari tata kota yang lucu

lalu kita berjanji tidak akan
menebalkan bulu mata dan alis saja
namun juga bibir untuk terus tertawa
memandang ruang-ruang berputar
mengejek dirinya sendiri


2013

8.20.2013

CACCINI



dari lekuk nadi yang kami percayai
adalah ikhwal untuk menujumu
maka setelah kalvari, bukit mana
lagi yang mesti kami kembalikan
atas dosa masa lampau, puan?

adab tubuh kami berulang menghadapmu
tapi jalan di dunia terlalu luas untuk kami capai
biji mata kami masih biru karena langit pagi hari
meski berabad langkah kami tak setua nyala matahari

kepada puasa yang kami yakini
adalah ikhwal: senjata untuk melapangkan dada kami
untuk menghancurkan keinginan serupa debu
sebab padamu hanya kehendak dan rencana

alangkah langit musim hujan mencucuri kami
dengan air yang telah engkau perciki
dengan kelebat jubahmu, di nazaret itu;
semoga. semoga saja musim melalui kami
lebih daripada emas milik tiga raja

di tanah suci,
izinkanlah kami menghormati penderitaan kami
sendiri. mendirikan tugu batu-batu bagi darah
yang membeku atas pertumpahan kami sendiri
demi dicucukkannya pada putih bibirmu

puan, di sini, langitmu adalah perantaraan bagi silih
saudara-saudara kami yang memilih saling tikam



2013


8.14.2013

MELAWAT SUNYI DI KATEDRAL



~1.
ia ingat, malam adalah waktu yang baik untuk memulai
dan mengolah hal-hal yang belum rampung

ia masih menulis sajak-sajak, menyaksikan dunia,
menamai sunyi kota, memandang kepala orang-orang
yang terbakar cahaya bulan dan terhisap cahaya listrik

ia masih saja sibuk merayakan yang lewat
: tuhan berasal dari mana, tuhan terhafal dari mana;
manusia tah, makhluk yang terlampau gampang menyerah
pada doa?

lalu pada suatu pandangan
selalu ada yang bicara untuk menempatkan
keragu-raguan yang sangat tenang
sedang memendar di antara kelengangan dan kebisingan
dadanya

~2.
sunyi menyayat seperti belati
meminta darah dari mimpi*

ini kali sunyinya, angin yang jatuh dari atap katedral
menelusup jauh ketika jari-jarinya ingin menyentuh
kata-kata sejak waktu terulang jadi bangunan atas
perasaannya

ini kali pertemuannya. pandangannya menguning:
ada yang tiba-tiba leleh menyalakan rindu
sebab ia yakin berkali-kali,
relung kesunyian seperti ini tetap tak akan patah
meski ditukar dengan ketinggian lonceng, relief, salib
atau patung-patung;

sebab ia percaya, jalan-jalan di luar
menyimpan pusaran hasrat dirinya
membuat sunyi dan mimpi seterjal kalvari



2013
*) Potongan sajak yang berjudul Rindu karya Subagio Sastrowardoyo.

8.06.2013

MANGGARAI



menatap kedua arah rel itu; tubuhku:
menunggu kereta datang hampir tengah malam.
tubuhmu: perjalanan kini, sunyi yang ingin dikosongkan
dari waktu yang terus menerus menghisap pandangan


2013

7.31.2013

PUISI-PUISI YANG DIMUAT DI MAJALAH (TEENLIT) STORY

Puisi-puisi yang relatif lama ini ternyata dimuat di Majalah Story edisi Juli 2013. Berikut mereka ini:



MENUNAIKAN SENJA
untuk s.

untuk setiap senja
yang kita tintakan dalam sebuah amplop:
izinkanlah aku tiupkan angin kencang untukmu
supaya awanawan lekas bergerak menujumu
meneduhimu lewat gerimisgerimis rindu
lalu menjelma sayapsayap sunyi baru
dan nyanyiannyanyian musim
bagi sepasang burung dara
yang hinggap bersarang
pada bulubulu mata kita.

- dengan demikian, senja telah tunai
kepadamu-


2010





CANGKIR KOPI: ENGKAU PENA FISIKA DI JEMARI PUISIMU

semalam, cangkir kopi yang bermalam di suhu matamu itu
berbicara tentang zat dan energi di halaman kepala yang
engkau letakkan massamassa mengikat sampai ubunubunmu
dan garisgaris sambung yang engkau cipta selalu berarah menujuku:
aku yang engkau jadikan satuan watt melebihi lampu meja belajarmu.

penamu begitu elastis dan pegas ke atas proyeksiproyeksi
yang engkau tarik dalamdalam dari muka wajahku hingga
sepi yang meluncur cepat berkelok dengan kecepatan tak
terumuskan oleh teori kinetik sekalipun.

semalam, aku menghitung diamdiam seberapa sublim
cangkir kopi yang aku temu di jemari puisimu oleh fisika
yang ternyata menjadi penampang peta bagi penamu. 

- semalam, ada persamaan sudut lahir di kepala kita -


2010





PAGI MENUJU SEBERANG JENDELA
buat sheila q.

1.
bagaimana aku bisa menyampaikan gerimis
di kedua mata mungilku kepada abjadabjad puisi
sedang lampu belajar masih saja membacakan nyalanya
pada kertas dan pena di meja belajar itu

bagaimana aku bisa berbicara tentang seberang jendela
di bibir-puisi yang baru saja mengatakan bahwa
gerimis adalah tekateki yang kurancang semalam

- pun engkau tahu meja belajar itu melihatmu
perlahan muncul di uapan cangkir kopi –

2.
lewat tanya yang telah aku tuliskan,
lewat alis yang kupertebal semalam
aku mencium baumu dari uapan itu
: kopi yang terasa manis untuk lidah-gerimis

3.
tulisan bahwa aku berdiam di antara halaman tumpukan buku
adalah isyarat lama yang kutujukan pada rerintik
yang jatuh menebalkan pagi melebihi jumlah halaman itu
aku adalah alismu

dan kita, kita telah lupa akan waktu yang tak berhenti
menebalkan kulitnya supaya kita tahu bagaimana
mengajarkan pagi menuju seberang jendela
yang dipenuhi anak-anak gerimis.


2010

7.20.2013

HARIPUISI INDOPOS, SABTU, 20 JULI 2013


Sebuah kolom HariPuisi di Surat Kabar INDOPOS pada hari itu memuat empat puisi saya. Kolom di surat kabar ini diredakturi oleh Presiden Penyair Indonesia. Berikut ini puisi-puisi yang dimuat:



KOLASE KENANGAN ( II )

sepanjang jembatan dengan pembatas berwarna oranye
di bawahnya rumah-rumah kayu yang menjerit
setiap kemarau tiba. di hadapan kabel-kabel tebal
pemanggul sepanjang jalanan ini,
langit memburat kuning-merah. setiap kali senja
adalah nyala waktu anak-anak; mereka yang bertaruh
kepak burung-burung dara, menyelamatkan satu
pasangan demi pasangan lainnya.

lanskap itu telah memindai masa depan
memutuskan yang lalu. kamu, risalah yang kini
dan yang sembunyi pada jarak. aku bentangkan
penantian yang lena seperti penjual kepiting
sendirian di trotoar.

sepanjang jembatan dengan kita yang mesra
lalu anak-anak pulang. jalanan lengang
barangkali aku tak perlu merapal
sebagai aspal dan segala yang berlalu


2013




KOLASE KENANGAN ( III )

langit yang kita cintai adalah bentangan jalan raya
bagi burung-burung. mereka itu yang membuat cerita
jarak sejauh apapun mesti dirangkul sebab kepak sayap;
kepak sayap yang membuat perjalanan dan pemberhentian
benar-benar menyatu.

langit yang kita cintai, biru apa adanya; awan-awan
adalah kisah penderitaan yang dimuntahkan seekor burung
yang tertinggal sendirian di antara burung-burung lain.
langit yang kita cintai tetaplah biru apa adanya
maka bersama waktu yang hablur, kita merayakannya
hingga tak ada lagi tebaran-tebaran cemas atas derita.

langit yang kita cintai, biru yang kita jamu;
orang-orang justru mengira itu adalah pandangan
yang minus dan tak sampai


2013





KOLASE KENANGAN ( V )

katamu, mendung adalah catatan keterangan tempat;
kita yang selalu bermawas-mawas: gumpalan kelabu itu
akan berhanti ataukah berlalu. katamu, jika hujan tiba
akan ada rezeki yang berjalan dari kejauhan.

sebuah pemandangan tentang kita, cuaca
tentang bagaimana orang-orang memesrakan diri
dengan kehangatan yang dirindukan pulang
masuk lewat daun-daun pintu basah


2013



KOLASE KENANGAN ( VI )

aku menemukan kalian di pasar karimata kartini
: ketakutan, kegetiran, keterasingan
yang menyatu, yang tak terbaca
dari sangkar-sangkar beserta sesak segala burung

“mereka ingin terbang, mereka ingin terbang
hinggap di langit, mengembangbiakkan
kebahagiaan di pohon-pohon”
kata seseorang

ini bukan tentang liputan-liputan kesedihan
orang-orang itu tak pernah sekalipun selesai
pada kecemasan yang menetap di dadanya,
orang-orang itu tak peduli berapa banyak
yang mesti diungsikan dari langit maupun
pepohonan

aku menemukan kalian di pasar karimata kartini
:ketakutan, kegetiran, keterasingan
yang disangkar dan tak pernah ada yang ingin
melepaskan, sebab orang-orang itu selalu
memelihara kecemasan di dalam sangkar
bersama kalian


2013



sumber: http://epaper.indopos.co.id/Main.php?MagID=4&MagNo=921&data=1



7.15.2013

MARGONDA 19.30



lalu aku sadar, ini kota sudah jadi yang lain
barangkali juga kamu. kita ingin sekali bepergian
tapi entah, jalan-jalan yang kamu ingat justru
mengarahkan pada tempat-tempat di mana
terasa udara kota ini masih seperti baru saja
ditebar garam. ini kota di mana malam
selalu saja risau. aku asing lagi, apartemen
yang memuat para pendatang, mereka
membawa make up di tas dan kantong-kantong
pakaian. di dompetnya uang berbau parfum-parfum,
soft drink, makanan instan, dan celana pendek.
aku linglung saja

lalu aku sadar, ini bukan sebentar mimpi
aku di lantai 8 bersama kamu dan kesunyian
bagi lorong-lorong dan kesepian bagi pintu-pintu
dan ketenangan bagi nyala lampu-lampu.

jendela ini sekiranya bahagia ketika kita
memandang kolam renang
dikelilingi cahaya-cahaya lampu
lalu membikin kita seperti ingin menjatuhkan
diri dari lantai 8

lalu aku sadar, tadi kamu memesankan
aku ayam bakar di warung mak ani
dan kita akan makan malam di sini saja
minum es krim, menyalakan tivi
menunggu jemuran
sampai kedinginan karena ac
malam ini, tanpa paksa aku ikut saja
sebab aku ingin belajar pasrah
dari seisi gedung ini


2013

7.13.2013

MOON RIVER* MALAM INI


~ kamu bertanya, kenapa setiap pagi,
waktu muncul seperti jarum-jarum
yang pernah digunakan ibu kita. jarum-jarum tajam
mengkilat dan menjahit kenangan di mata kita;
kita yang kanak-kanak
dan merasa ingin selalu berhati kanak-kanak
supaya bisa menyelinapkan kelindan peristiwa
masuk ke dalam lubang
jarum-jarum itu

tapi waktu, sedemikian maha segalanya
ia yang mengizinkan kita tumbuh
akan ingatan-ingatan yang redup dan nyala
pada hamparan halaman-halaman
baik yang kita benci
baik yang kita cinta

~ kamu bertanya, kenapa setiap malam
dada ini terus menerus ingin paham
bagaimana ukuran cinta itu, seraya
merapal jarak yang mengulur dan mengatur
pelajaran-pelajaran tentang peram rindu

tapi waktu, sedemikian maha segalanya
ia yang mengizinkan kita tumbuh
membikin kamu dan aku
seperti tanaman-tanaman perdu
yang bertunas di hari keindahan
di mana kecemasan menjelma
air yang menyuburkan kita
menciptakan kata-kata mesra,
sebab oleh cinta
kita bertindak

~ tapi waktu, sedemikian maha segalanya
ialah ibu;
ia yang mengizinkan kita tumbuh
bersama jarak yang bernyala
menerangi lorong-lorong diri:
kecamuk pada dada yang hampir rusak
dengan pelukan seperti detak jam
di tangan kita,

betapa luas aku mengenang kamu
kita yang sedang beranjak dewasa
atau bahkan lebih dari itu


2013


*adalah salah satu lagu yang diciptakan Henry Mancini, ada dua penyanyi wanita yang saya favoritkan ketika mempopulerkan lagu ini: audrey hepburn dan katie melua

7.08.2013

DEPOK SQUARE


kamu meminta aku beli apa, semalam kita sepakat
mempercayai bahwa uang pangkal mabuk
aku sangsi, kita yang asing mengasingkan
dari diskon-diskon dan makanan-makanan jepang
maka aku menatap pasangan-pasangan
yang menyebut diri sebagai orang-orang yang pulang kerja

"kita bisa makan enak di sini. makanan impor, tentunya"

kamu berkhayal, kita ini sepasang kekasih
seperti yang akan berangkat kerja

aku bilang, jangan banyak-banyak mencintai
dengan cara-cara demikian;
cahaya-cahaya di gedung-gedung mal bisa saja
membuat cinta kita demam, sebab hidup
semata hanya kerja


2013

J825


sebelum pukul 5 sore kolam renang sudah penuh
matahari menghisap kami ke dalam udara yang diciptakan ac
di dalam kamar, jam berdetak berputar seperti pandangan
kami mengitari apartemen. udara membikin dada kami
ingin dipenuhi air, kepala yang lebih baik menjadi kolam renang
daripada jadi penumpang bus metromini

sebelum pukul 5 sore, ada seseorang yang ingin dibangunkan
jemuran belum juga kering, tapi waktu terus memompa kami

bukankah kita bisa berhenti di hari senin?
katamu

tidak, kita bukan kolam renang
bukan pula bus metromini;
kita ini sebuah kamar yang dihimpit
cemas yang mengapung di hari-hari
di rindu-rindu selanjutnya


2013

6.25.2013

MENGGENGGAM JIWAMU


tuanku, demikiankah yang benar-benar kumiliki
seorang wanita dan aku yang mesti tabah mencintai jarak;
atau tidak ada yang bisa kumiliki selain dirimu,
dan malam-malam ketika engkau benar-benar
menjadi satu-satunya yang harus dirindukan
pertama kali dan seterusnya

dengan jarak dan waktu, ketabahan adalah jantung
dari segala percintaan, maka ajarilah dada ini;
bagaimana detak menemukan detik semestinya

laki-laki yang kian hibuk dengan perasaan
kini mulai biasa meluaskan kegelisahan
kepada siapa pun. barangkali wanita itu
sering ditimpa oleh perasaan-perasaan
yang dijatuhkan. lalu waktu
adalah ia yang memutuskan
laki-laki mana yang akan benar-benar
menutupi apa yang ada di dalam dada
wanita itu

o, kecemasan, terbuat dari apakah engkau
bahkan aku tak mampu menggenggam jiwamu

berbahagialah aku
berbahagialah jiwa-jiwa


2013


6.21.2013

KYRIE ELEISON

--tuhan naik diiringi harga bbm

malam ini jalanan ramai sekali. dihadapanku kepala orang-orang
berkelabu, doa-doa yang terapung. kecemasan yang memanjang;
seorang tukang becak
sedang mengamati perjamuan di depan spbu tempat ia berjaga

malam ini, ia mulai berdoa:
gusti kasihanilah kami
kami yang dimiskinkan oleh dunia
kami yang terpaksa merayakan
keringat dan airmata kami sendiri;
kami yang kini mencium masa depan kami
dengan getir bibir

gusti kasihanilah kami
tentang bagaimana kami mengartikan dosa
yang tak lebih dari siksa dunia.
dunia yang mengajari kami sedemikian rupa
cara yang benar makan buah terlarang
tanpa merasa telanjang

gusti kasihanilah kami
doa-doa kami yang mengantre
mengajak kecemasan menari
seperti para penonton konser dangdut

gusti kasihanilah kami
sebab perjalanan ini
adalah kehendakmu
di dunia seperti di surga


2013

6.18.2013

SEPUTAR LAUNCHING DAN DISKUSI BUKU SAYA



Berikut dokumentasi yang dipublikasikan oleh salah satu koran lokal Jawa Tengah:

Bedah Puisi Ganjar Dipadati Puluhan Penikmat Sastra


BERSAMA LANGIT, KITA ADALAH AWAN-AWAN GELISAH



bersama langit, kita adalah awan-awan gelisah
biru yang tampak ingin bercanda di pagi itu:
“matahari sudah teramat tua
tapi tak lelah memendarkan sinarnya
dan berangkat dari timur. matahari
sudah teramat tua...”

aku tak ingin bercanda, katamu
sebuah peta yang telah kita percayai
sebagai jalan keluar bagi pokok keasingan
hampir saja kita genggam

setinggi-tingginya langit, kita tetaplah awan-awan gelisah
sebab di sini, kita mesti masyuk
mengizinkan nabi-nabi baru datang
ke dalam pikiran yang kosong
lalu mengisi peta dengan nama-nama mereka
dengan sesal dan bebal

bersama langit, ditinggikanlah awan-awan gelisah
dijatuhkanlah peta-peta dan bahasa yang buta

matahari sudah teramat tua
matahari sudah teramat
tua



2013

6.14.2013

UPACARA UNTUK TUBUH



maka kalian tak berhenti untuk mengusap
: kenangan itu... kita yang dihimpit olehnya
berkali-kali datang, lalu terciptalah
dinding-dinding bercat tua
lalu aku yang dingin, ruang dengan sebuah pemandangan
"aku yang sesak tak ingin merasakan lagi banyak kehilangan"

kematian di sekeliling kita
kematian di sekeliling kita

aku upacarakan tubuh itu, pikiran yang kosong
beserta jiwa yang tak bisa kugenggam
ingatan-ingatan kalian sebagai altarnya
doa ini panjang sekali rasanya:
"berangkatlah melampaui segala yang sesak"


2013

5.29.2013

ESAI DARI KANG PUTU



Mengonfrontasikan 
“Sajak Sebatang Lisong” dan Puisi Ganjar 

Catatan Gunawan Budi Susanto 


Izinkan saya memuat secara utuh sajak Rendra, “Sajak Sebatang Lisong”, yang ditulis 19 Agustus 1977. Lantaran, inilah sajak yang disebut Ganjar Sudibyo sebagai sesuatu “yang benar” – dan bahwa “berkesenian tidaklah pantas bilamana terlepas dari kehidupan” (Pada Suatu Mata, Kita Menulis Cahaya, halaman 76 – selanjutnya hanya merujuk halaman), terutama pada bait terakhir:Inilah sajakku./Pamplet masa darurat./Apakah artinya kesenian,/bila terpisah dari derita lingkungan./Apakah artinya berpikir,/Bila terpisah dari masalah kehidupan.

Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong,
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka.

Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papan tulis-papan tulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
……………………………..

Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya:
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun

Dan di langit:
para teknokrat berkata:

bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun,
mesti di-up-grade,
disesuaikan dengan teknologi yang diimport.

Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala.
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidak-adilan terjadi di sampingnya,
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon.
Berjuta-juta harapan ibu dan bapa
menjadi gebalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah samodra.
…………………………………………….
Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan,
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku.
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
Bila terpisah dari masalah kehidupan.

***

Nah, bukan kebetulan, saya pun menyukai sajak Rendra ini. Ada suatu masa lantaran begitu suka, sajak ini saya jadikan “roh” dalam pamflet politik yang saya tulis dan saya jadikan bahan provokasi di kalangan kawan-kawan mahasiswa paruh kedua 1980-an. Saya pun meniru-niru bikin sajak pamflet ala Rendra. Namun, tentu saja, saya gagal.
Ya, mana ada epigon berhasil? Kalaupun berhasil, ya berhasil sebagai peniru. Tak kurang, tak lebih. Saya sadari, saya tak secerdas Rendra dalam “menganyam” kata -- dengan segala aspek dan potensi bahasa. Maka, kemudian, saya menyebut sajak-sajak saya sebagai sajak polaroid. Dan ibarat kamera polaroid, sekali jepret jadi gambar – yang dari segi apa pun kalah ciamik dari kamera lain, baik analog maupun digital – maka sajak saya pun: sekali jepret (keadaan), jadilah sajak. Sampai sekarang.
Contohnya, ya, macam sajak di bawah ini, yang saya tulis beberapa hari lalu yang saya unggah sebagai status di facebook (19 Mei 2013: 18.22).

ucapan syukur politikus 

aku mencintai negeri ini. aku mencintai bangsa ini. negeri ini negeri yang indah. bangsa ini bangsa yang ramah. negeri ini negeri berlimpah. bangsa ini bangsa pemurah.

kauberikan apa saja yang kumau kausorongkan apa saja yang kupinta kudapatkan apa saja yang kudamba kuperoleh apa saja yang kutoleh

sungguh, aku suka negeri ini sungguh, aku suka bangsa ini segala apa kauberikan segala apa kudapatkan

i love full, indonesia! padamu aku bersumpah padamu aku berjanji : bakal korupsi sampai mati.Banal bukan? Wajar. Dan, kebanalan itu pun nyaris terjadi secara wajar pula, berkelindan dengan profesi yang saya lakoni: jurnalis. Ya, sebagai jurnalis saya dituntut tahu hampir semua perkara – meski sejumput demi sejumput, tanpa kedalaman. Pengetahuan sekilas-lintas itu, ketika saya organisasikan, lalu menjadi bekal pengayaan analisis terhadap sesuatu persoalan, tak terhindarkan tetap pula: menghasilkan (simpulan yang menjadi) banal. Dangkal. Sekilas-lintas.
Implikasi lanjutan: saya cenderung menghindari membaca karya (terutama sastra, terlebih lagi puisi) yang kompleks, canggih, sophisticated. Puisi paling “canggih” yang masih mungkin saya nikmati, ya antara lain seperti sajak karya Sapardi Djoko Damono ini.

Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Nah, biasanya buku (bacaan) yang memuat pemikiran yang kompleks, canggih,sophisticated macam itu, apalagi yang disertai kecanggihan akrobatik berbahasa, segera saya taruh dan simpan. Kecuali, jika ada pekerjaan atau komitmen yang mengharuskan saya membuka dan membacanya, misalnya, sebagai bahan kajian. 
Terpaksa? Ya! Termasuk, terus terang, ketika saya harus membaca 46 sajak Ganjar Sudibyo dalam antologi Pada Suatu Mata, Kita Menulis Cahaya (Semarang: PM-Publisher, Februari 2013) ini. Bagi saya, sajak-sajak Ganjar ini terlalu kompleks, terlalu canggih, terlalu sophistaced. Saya kesulitan memahami apa, siapa, kapan, di mana, kenapa, bagaimana di sebalik “selimut-kabut kata-kata” dalam sajak-sajaknya. Saya merasa cuma bisa menebak-nebak satu-dua sajak: apa sesungguhnya yang dia sorongkan. Itu, misalnya, dalam sajak “Gambar-gambar yang Menyala” (halaman 15-16), “Hana” (17), “Marba” (37). Selebihnya, menjadi penghuni wilayah yang tak saya pahami – namun bisa saya nikmati. Bukankah pemahaman dan penikmatan bisa saja tak nyambung? Itu pula yang saya rasakan ketika, misalnya, menikmati musik klasik atau jazz dan lukisan dan tarian yang – orang bilang – neka-neka: abstrakisme, pointilisme, dadaisme, kubisme, absurdisme, surealisme, posmodernisme, katrokisme, boyakisme.
Begitulah, ternyata kecenderungan “intelektual”, selera artistik-estetik, dan rutinitas (disiplin) kerja profesional telah menggerus (kalaupun dianggap atau menganggap diri punya) kemampuan saya membaca dan menafsir puisi.

***

Nah, kini, izinkan saya berbagi pengalaman setelah membaca dan menikmati sajak-sajak Ganjar.
Tampak benar bagi saya, Ganjar amat piawai berbahasa. Kata-kata tumpah ruah, mengalir, melesat, berloncatan, berjumpalitan, berzigzag kian-kemari. Kalimat-kalimat melejing, plas! Ke mana suka, ke dada siapa. Dan, dengarlah puisi-puisi itu bermusik – sesungguh benar bermusik. Ya, setiap rentetan kata, kalimat, bait memperdengarkan musik(alitas) yang mendenyar. Elok!
Ambil saja sembarang puisi. Satu saja. Nah, ini misalnya (36). Dan dengarlah….

Maleakhi

(“inilah tubuh
yang dimestikan
bagi kalian”)

saudara-saudari, ia mencintai kalian dari kejauhan
dari seluruh gelap dan dingin yang mengemasnya
pelan-pelan sampai pagi. di sana, ia menunjuk kita
pada pandangan bulan yang tak enyah dari para wanita
: jarak bagi para lelaki.

di sana, tak ada perkara tentang siapa datang terlebih dulu di
antara terang. itu, kita yang bersabar. itu, saudara-saudari,
ruang dengan kursi semenjana: tempat kita meletakkan bahu,
seketika ia, membacakan mantera lewat bahasa yang pertama
kali muncul seperti sepasang pengantin yang baru saja
bercinta untuk memperoleh keselamatan.

saudara-saudari, ia benar-benar mengucapkan kalian: kepada
pengertian kepada kesaksian,
ayat-ayat dan sumpah yang maha

2012

Mengasyikkan bukan? Musik itu, sampean dengar pula bukan? Mendenyar! Begitulah sajak-sajak Ganjar. Mendenyar, menggelenyar!
Terlihat benar betapa dia tak sembarang mengambil sebuah kata lalu menjejerkan dengan kata-kata lain, membentuk kalimat, membangun pengertian: entah apa. Sadar tak sadar, sengaja tak sengaja – yang muncul atau tercipta lewat ketekunan dan kesaksamaan memilih dan memilah kata – kalimat-kalimat yang membuncah mencerminkan keluwescerdasan berbahasa. Bahasa (Indonesia) di tangan Ganjar menjadi sedemikian kaya, menjadi sedemikian indah, menjadi sedemikian seksi. Beda, jauh beda, dari pidato kampanye para calon gubernur dan wakil gubernur (serta tim sukses masing-masing) yang barusan sampean pilih atau tidak sampean pilih. Beda dari kuliah para  dosen di kelas yang acap (atau lebih banyak) membosankan. Beda dari sambutan siapa pun di mana pun kapan pun dalam acara apa pun. Beda dari khotbah yang lebih mendekatkan kita ke neraka ketimbang ke surga. Beda dari nasihat yang selalu menggurui. Beda dari jawaban apa pun yang keluar dari mesin penjawab apa pun….
Bahasa Ganjar sungguh jenial. Dan, plastis. Kata-kata Ganjar, bahasa Ganjar, adalah “penghujan yang bungsu dan nakal/adalah kemarau yang sulung dan seksi” (38). Dan saya yakin, bahasa dalam puisi-puisi Ganjar hanya akan muncul dari seseorang yang bertekun membaca (apa saja), sabar bermenung, saksama menyimak, dan teliti (saat) menulis.
Bukan dari orang macam saya, yang cenderung menyukai kamera polaroid. Nah, tepat di titik inilah, saya angkat tangan: saya tak tahu apa sebenarnya yang dimaui, apa yang dimaksudkan, apa yang niatkan Ganjar lewat puisi-puisinya. Bagi saya, puisi-puisi Ganjar adalah puisi yang sulit, yang kompleks, yang canggih. Saya megap-megap ketika memaksa diri menyelam dalam, terpusing-pusing dalam pusaran di bawah permukaan – yang tampak tenang, tampak biasa-biasa saja, tetapi sesungguhnya menyimpan kedalaman yang menghanyutkan dan bisa mematikan.
Saya merasakan keasyikan sekaligus kenikmatan (dengaran) ketika membacanya, tetapi menjadi kosong, menjadi bengong, ketika sampean tanya: apa yang barusan saya baca. Sampai di sini, apa yang mesti konfrontasikan (sebagaimana saya sebut dalam judul)? Namun, sungguh, sebelum berlanjut sebaiknya saya mendengar dulu pandangan sampean sekalian.
Salam!



Gebyog, 26 Mei 2013
--------------------------------------
Prasaran dalam peluncuran dan bedah buku antologi puisi Ganjar Sudibyo, Pada Suatu Mata, Kita Menulis Cahaya (Semarang: PM-Publisher, 2013) di pendapa TBRS, Semarang, Minggu, 26 Mei 2013.
Gunawan Budi Susanto, tinggal di Gebyog, Gunungpati, penulis kumpulan cerpenNyanyian Penggali Kubur (Yogyakarta: Gigih Pustaka Mandiri, 2011.)

5.17.2013

MENGAJAK PIKIRAN BEPERGIAN




“aku sedang belajar mengeja
kehendak-kehendak yang berlalu
lewat lubang-lubang dada sebelum
aku buatkan pintu satu per satu 
untuk mereka”

menjangkau mereka dan kamu, semakin waktu
semakin menyempit. langkah-langkahku
pun mampat. aku jadi linglung. kamu ini
bagaimana bisa muncul seperti sebuah
tas punggung berisi banyak buku; pundakku
ini rela-rela saja memanggul segala hal,
tapi aku bisa tersesat bilamana segala hal itu
bergerak ke atas: menggelapi pikiran, lalu
membangun kota-kota  dan memadamkan
lampu-lampu lalu lintas di tubuhku.

kamu selalu bertanya, sebenarnya
kapan kita pernah
menang atas diri ini dan itu?

tanyamu selalu saja muncul dan berpokok
pada bayangan-bayangan yang melintas
sebelum menggumpalkan ingatan;
pikiran, pikiran, di mana kita mesti letakkan
pintu-pintu...aku ingin mengajakmu pergi
membawa tas punggung tanpa isi,
menghapus kota-kota, menanam lampu-lampu
lalu lintas, menebarkan jalan-jalan satu arah,
membikin lubang-lubang jadi pemandangan
sebuah gunung yang ditimpa oleh cahaya perak

kita mesti jauh
kita mesti akrab


2013

5.14.2013

SUNYI SAYAP BURUNG-BURUNG



mereka bentangkan jarak antara langit dan tanah,
bunyian yang sembunyi-sembunyi di dalam paruh
adalah panggilan-panggilan yang serta merta
mendaratkan kemungkinan-kemungkinan
sebagai ruas-ruas kehanyutan dalam air
musim kemarau; awan-awan menjadi
terang sekali untuk dilalui, di luar,
kota-kota menasibkan pepohonan
sekehendaknya. maka mereka
tak henti-hentinya mencengkram
udara yang tampak asing
dari sekian perlintasan

demikianlah sayap mereka bergerak
merindukan angin turun selain sunyi
yang berjatuhan serupa bulu-bulu mereka


2013

5.10.2013

MEMUNGUT DAUN SAPARDI



ia berjalan pelan menuju sebuah taman;
taman yang penuh bunga-bunga dan daun-daun
jatuh. di kursi yang hanya ia, setiap senja
ingin saja ia simpan pada selaput embun
untuk esok pagi. senja adalah perihal pemandangan
yang ramai dikunjungi anak-anak. sebab orang-orang
cemas selalu merindukan ini

ia tak ingin terjebak pada imaji:
jalanan lengang di luar atau
ingatan kenang di kepala.
maka ia duduk saja mendengarkan
apa yang berlalu, berlewatan
di hadapannya. mata yang kosong itu
sebenarnya telah hibuk melepas
sepanjang pemandangan yang suaranya
seperti deru ombak malam hari

ia mencoba melepas tubuhnya
sebab terlalu pengap ia kenakan
hingga ia mencari-cari celah
tubuh inikah atau jiwa inikah
yang harus tanggal seperti daun-daun tua;
dalam kolam ia mencoba bercakap pada
bayangannya

siapa yang membungkus rona senja
menjadikan kita kerdil, asing di rumah sendiri
....dalam dada, kita mengenal tepukan-tepukan
suara-suara yang malu untuk diketahui siapa

“tuanku, sayangilah riuh ini
sayangilah daun-daun,
mereka sedang berdetak di atas tanah.
menunggu angin menariknya 
percaya saja,
kelak segala yang asing akan hanyut
dengan sendirinya”
begitu katamu

ia berjalan pelan meninggalkan taman
keluar dari rumahnya, memeluk anaknya
menyepikan tahun-tahun yang linang

(daun-daun diam begitu saja)

seorang penyair datang dari kejauhan
menyulap daun-daun jatuh beserta air kolam;
ia tetap saja memeluk anaknya
menyepikan tahun-tahun yang linang
mengecup kesunyian
yang tumbuh menjelma daun


2013

4.28.2013

(ESAI) YANG HENDAK BERBICARA TENTANG PUISI (ESAI)






(ESAI) YANG HENDAK BERBICARA TENTANG PUISI (ESAI)
Oleh Ganjar Sudibyo*

-------------------
-- BAGIAN I --
-------------------
Definisi dan redefinisi
Di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung
Dalam perkembangannya, perjalanan kesusastraan di Indonesia telah sampai kini pada realitas-realitas yang ingin dicapai oleh rumusan sebagian sastrawan. Tampak pada tahun 2012 rupanya ada pergerakan terkait dengan perkembangan genre penulisan karya sastra: puisi. Maret 2012, tercatat Sapardi Djoko Damono, Sutardji CH, beserta Ignas Kleden memberikan ulasan penting pada sebuah buku kumpulan puisi karya Denny JA[1] (seorang yang berlatar belakang sebagai ilmuwan sosial). Buku kumpulan puisi tersebut bukanlah buku kumpulan biasa. Pada sampul depan buku tersebut ditonjolkan pula semacam stempel “Genre Baru Sastra Indonesia”. Selang beberapa bulan setelahnya, Ahmad Gaus menerbitkan buku kumpulan puisi esai berjudul “Kutunggu Kamu di Cisadane” dengan menghadirkan Jamal D. Rahman sebagai penulis kata pengantar. Pertengahan 2012, di sebuah situs beralamatkan puisi-esai.com[2] mengumumkan bahwasanya diadakan lomba menulis puisi esai. Beberapa waktu kemudian, pengumuman tersebut disiarkan melalui Jurnal Sajak edisi 3 pada tahun 2012.
Lebih lanjut, bericara tentang puisi esai, maka tidak bisa terlepaskan dengan bagimana artikulasi pemaknaannya. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) menerangkan bahwa esai merupakan karangan yang berisi analisis atau tafsiran, biasanya dipandang pribadi atau terbatas. Sedangkan puisi sendiri diartikan sebagai karangan terikat yang dapat berbentuk sajak, pantun, dan syair. Bilamana kedua arti ini dikolaborasikan maka didapatkan, puisi esai merupakan karangan terikat yang berisi analisis atau tafsiran pandangan pribadi atau terbatas yang dapat berbentuk sajak, pantun, dan syair. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa definisi baik tentang esai maupun puisi kini mengalami ameliorasi. Artinya, KBBI edisi terbaru pun tidak bisa mengikat pada definisi yang telah disebutkan. Dengan demikian pemberian rumusan pengertian puisi esai di luar konteks KBBI, dan dapat dicatat bahwa hadirnya puisi esai dapat dikatakan sebagai genre terbaru dalam ranah perpuisian di Indonesia. Sebagaimana penggagasnya (Denny JA) memberikan alasan tertullis dalam artikelnya “Puisi Esai, Apa dan Mengapa?”, meskipun memunculkan pro kontra tentang legitimasi, genre baru, diakui maupun tidak, puisi esai tetaplah lahir sebagai rupa karya sastra. Toh, Denny JA tidak lantas hibuk memperkarakannya.
Denny telah merumuskan kriteria puisi esai yang digagasnya, yakni: Pertama, puisi esai mengeksplor sisi batin, psikologi dan sisi human interest pelaku. Kedua, puisi esai dituangkan dalam larik dan bahasa yang diikhtiarkan puitik dan mudah dipahami. Ketiga, puisi esai tak hanya memotret pengalaman batin individu tapi juga konteks fakta sosialnya. Kehadiran catatan kaki dalam karangan menjadi sentral. Keempat, diupayakan puisi esai tidak hanya lahir dari imajinasi penyair tapi hasil riset minimal realitas sosial. Kelima, puisi esai berbabak dan panjang. Pada dasarnya puisi esai itu adalah drama atau cerpen yang dipuisikan. Melalui kelima kriteria tersebut, maka pertanyaan selanjutnya akan dikaitkan dengan kriteria kelima. Diksi drama dan cerpen yang dimasukkan oleh Denny JA mengandung ambiguitas mengenai ketidakkonsistenan terhadap diksi esai dan puisi. Selanjutnya yang muncul sekarang, apakah di tangan seorang ilmuwan sosial, pakem definisi esai, puisi, cerpen, maupun drama bisa diubah-ubah sesuai dengan kepentingannya? Jika demikian, apakah pakar bahasa tidak malu lema dalam Bahasa Indonesia disepelekan? Atau memang sebagian sastrawan di Indonesia sudah merasa bahwa tidak perlu lagi definisi secara generik mengenai istilah-istilah tersebut? Kondisi semacam ini menandakan sebuah ketegangan seperti yang pernah dikemukakan oleh Jamal D Rahman dalam kumpulan puisi esai “Dari Singkawang ke Sampit”[3]. Demikian sampai di sini, tanda tanya untuk duduk perkara ini.

Fenomena puisi mutakhir: Avant Garde?
"Protes sosial tidak diekspresikan melalui demo di jalan, atau menduduki gedung parlemen.  Protes itu dieskpresikan melalui puisi esai dari sebuah acara peluncuran buku dan pidato kebudayaan," kata Jamal D. Rahman[4]. Apa yang dikatakan oleh Jamal tentang kehadiran puisi esai rupanya mengisyaratkan semacam pertaruhan legitimasi pada karya sastra bergenre baru, terlepas dari siratan makna kondisi perpolitikan, psikologis dan sosial di Indonesia pasca orde baru. Terkait dengan ketegangan legitimasi tersebut, bilmana berpijak pada esensi genre baru, maka tidak dapat dipisahkan dari sastra kontemporer dan avant garde.  The Merriam-Webster Dictionary, menuliskan tentang kontemporer sebagai marked by characteristic of the present period yang artinya sebagai “penunjuk pada dimensi waktu yaitu masa kini atau dengan lain perkataan karya-karya mutakhir yang dipublikasikan”. Sedang avant garde merupakan penunjuk pada unsur pembaharuan pada segi teknik maupun ide dari suatu karya seni. Karakteristik sastra kontemporer atau avant garde ini bertumpu kepada seni yang telah mentradisi. Karakteristik avant garde ini diciptakan oleh para seniman tidak dengan ‘’eksperimen’,’ tidak dengan coba-coba, tidak pula dengan lempar dadu. Para seniman pencipta karya sastra kontemporer ini bekerja melalui proses penciptaan yang panjang. Melalui pencarian yang panjang dan bertanggung jawab.
Alih-alih, yang digagas oleh Denny JA menurut pandangan beberapa kalangan memang tidak bisa disalah-persepsikan di satu pihak tentang bagaimana meyakini gaya yang dipakai dalam puisi esai. Bentuk dan karakter serta kriteria puisi esai pun sudah ditetapkan secara sepihak oleh penggagas. Apresiasi mulai dijunjung oleh para pendukung gagasan untuk membawa geliat genre puisi esai. Secara teknis, seperti yang telah dijelaskan di awal, puisi esai lekat dengan bab-bab panjang dan catatan kaki. Puisi yang lekat dengan catatan kaki bukanlah hal yang baru. Simak saja puisi-puisi Zeffry Alkatiri[5], juga puisi-puisi lain yang sebelumnya sudah memakai catatan kaki dan bab-bab. Artinya bahwa genre ini masih dipertanyakan sebagai bentuk pergerakan avant garde. Memang secara nama, barangkali adalah hal yang baru. Namun orisinalitas dalam bentuk adalah pertanyaan yang mendasar untuk perkara ini.   
Suminto A. Sayuti (2002, h.3) menyatakan bahwa sebagai hasil kebudayaan, puisi memang selalu berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat yang menghasilkan kebudayaan itu.  karenanya, setiap batasan yang ada seharusnya selalu diperhitungkan sifatnya yang realtif, dan juga harus diperhitungkan konteks manakah yang dijadikan pijakan batasan itu. yang jelas, puisi, apa pun corak dan ragamnya, meniscayakan adanya hal-hal yang hakiki dan universal. Suminto menerangkan kemudian, bahwa berbagai upaya-upaya pembatasan dan pemerian karakteristiknya pun tidak boleh mengabaikan aspek-aspeknya yang hakiki dan universal itu, misalnya dari aspek bahasanya yang selalu memperhitungkan nilai bunyi dan aspek puitiknya. Menyangkut persoalan puisi esai, maka menyangkut pula persoalan perluasan maupun penyempitan makna bagi puisi itu sendiri. Hal ini sudah dibicarakan secara ringkas di awal. Oleh karena itu, pergerakan inovasi untuk memasyarakatkan puisi di satu sisi memang perlu diapresiasi sebagai gagasan yang harus diusung. Namun di lain sisi, para sastrawan yang terkait perlu melihat kembali berkenaan dengan  aspek hakiki dan universal itu.

Kritik atas kritik sebagai masa depan puisi
- “Berapa banyak....laki-laki dan perempuan macam apa yang membaca puisi?” [Octavio Paz, 1991] -
Percobaan-percobaan yang dilakukan oleh kalangan sastrawan yang dipandang mumpuni dalam bidang perpuisian atau persajakan bilamana disimak hingga kini, telah menghasilkan beragam jenis atau tipe puisi. Dari beragam jenis tersebut, sedikit yang bisa menonjol dan diterima oleh sebagian besar publik. Puisi esai telah menarik simpati berbagai kalangan karena salah satunya faktor promosi ke ruang publik yang lebih.  Leon Agusta dalam sebuah artikel yang ditulisnya[6] mengatakan demikian perihal eksplorasi yang digunakan dalam teknik puisi esai:

“Tak ada yang baru di bawah langit. Begitu sering kita dengar banyak orang mengatakan. Namun, selalu ada cara pandang yang baru tentang apa atau bagaimana adanya sesuatu di bawah langit. Selalu pula ada cara pendekatan baru terhadap sesuatu yang sudah berlalu—terhadap sesuatu—misalnya karya dari masa silam. Dari segala sesuatu yang ada sebagian elemen sudah dieksplorasi, tetapi ini tidak berarti bahwa tidak mungkin ada elemen lain yang dapat dieksplorasi.
Setiap generasi baru dalam seni selalu melihat atau menyiasati apa yang sudah dilakukan oleh seniman generasi sebelumnya dengan cara pandang yang berbeda. Perbedaan konteks dan pengalaman akan melahirkan berbagai pertanyaan baru dengan fokus pada elemen-elemen tertentu. Semuanya ini mendorong mereka untuk melahirkan sesuatu yang baru di luar paradigma dan wacana lama. Hasilnya, adakalanya melahirkan paradigma baru yang pada gilirannya akan menghasilkan karya yang baru pula.”

Masa depan puisi tentu tidaklah tergantung pada bagaimana menciptakan dan menamai cara bereksplorasi. Puisi yang sebenarnya memiliki kepentingan yang luhur pada awalnya, memang sudah barang tentu dapat beralih pada kepentingan yang lain sesuai dengan iklim zaman. Bilamana Denny JA berniat memasyarakatkan puisi (dalam hal ini puisi esai) dengan kekuatan persuasifnya[7], maka dapat dikatakan bahwa ada sisi positif di mana ia mengerti dan tahu keadaan puisi di ranah ruang publik. Selain itu, barangkali ia belum paham benar  cara masyarakat kini dalam mengapresiasi puisi-puisi yang berlahiran. Gagasan yang ditindaklanjuti oleh Denny JA tidak bisa dipandang miring begitu saja, pun tidak bisa dipandang benar sepenuhnya. Adakalanya dalam sejarah perjalanan proses kreatif polemik antarpegiat sastra dibutuhkan. Proses ini merupakan proses penempaan di mana sebuah gagasan akan terus diasah oleh zaman yang melingkupinya. Dengan demikian, apresiasi semacam ini diharapkan orientasinya akan membuahkan kualitas bukan semata kuantitas.
Kreativitas merupakan salah satu energi penting perihal proses kreatif, dan itu dimiliki oleh Denny JA. Kondisi kesusastraan indonesia kini yang ‘dangkal-dangkal dalam’ memang di satu sisi perlu diisi oleh orang-orang semacam Denny JA. Tentang kepentingan yang lain, yang ingin diletakkan oleh penggagas puisi esai tersebut adalah persinggungan di mana setiap gagasan pasti memiliki kepentingan. Pada akhirnya, yang menilai gagasan Denny JA layak untuk dipertahankan adalah publik sendiri. Para kritikus hadir sebagai orang kedua yang memberikan (menawarkan) konstruk-konstruk atas karya-karya yang lahir. Proses kreatif tetap berjalan, begitu pula dengan kritik yang sebenarnya tidak bermaksud untuk melemahkan. Dan puisi esai sedang tidak berada di garis paling depan sendirian.

-------------------
-- BAGIAN II –
-------------------
Memandang pola-pola tiga puisi esai secara ringkas
Pada bagian ini ditujukan lebih pada pengulasan puisi esai yang ditulis oleh Rahmad Agus Supartono, Jenar Ariwibowo, dan Arif Fitra Kurniawan. Ketiga puisi esai tersebut masing-masing diterbitkan dalam buku kumpulan esai ”Dari Rangin ke Telepon” dan “Dari Singkawang ke Sampit”. Bagian ini akan mengulas puisi-puisi mereka secara ringkas saja.
Puisi esai RAS (Rahmad Agus Supartono atau kerap disebut dengan Guspar) yang berjudul “Dia, Sangkarib dan Sekarung Kapas” memiliki catatan kaki yang relatif sedikit. Hanya dua istilah yang diberikan keterangan catatan kaki. Sepintas, puisi yang ditulis oleh RAS bernada religiusitas, sebab banyak diksi-diksinya yang terkait dengan tema tersebut. Seperti diksi: shalat, istighfar, surau, zakat, dan nama tokoh Umar bin Khatab. Gaya penulisan RAS juga tampak seperti cerpen yang dibalut puitisasi (hanya saja bedanya, morfologi tulisan tersebut berlarik-larik seperti halnya puisi). Puisi yang ingin menonjolkan teka-teki Sangkarib dan Sekarung kapas ini mempunyai sisi lebih ketika mengulas tema kancah politik yang diaruskan melalui pengantar religiusitas. Pada bait yang dibernomor 16 (yang diduga kuat memikiki relevansi repetitif dengan bait nomor 9), ada unsur yang mengisyaratkan demikian:

“Dia mulai mengerti makna kalimat perintah Sangkarib.
Dia mulai mengerti bahwa keburukan yang keluar
dari kebijakan politiknya tak akan pernah mampu
dikontrol pergerakannya.
Seperti kapas yang akan ditiupnya.”  
( Dari Rangin ke Telepon, h.106)

Selain itu, dapat disimak ketika RAS membuka dan menutup puisinya. Membaca puisi esai RAS, pembaca tidak terlalu dibebankan dengan persoalan pemahaman diksi, hanya saja persoalan teka-teki yang sedang dibangun oleh penulisnya.  Sisi puitis terasa agak diminimalkan dan RAS menulis dengan hati-hati sekali, seperti bentuk-bentuk metafora. Berkaitan relevansi puisi esai dengan catatan kaki, yang dapat diajukan di sini adalah seberapa penting catatan kaki itu dibubuhkan. Dalam puisi esai RAS terdapat kata-kata yang sebenarnya perlu untuk dijelaskan seperti para caddy, ormas primordial. Berbeda dengan tema yang dibawakan oleh RAS dalam puisi esainya, JA (Jenar Aribowo) mengangkat tema “melawan lupa”. Tema yang terkait dengan runtuhnya rezim orde baru dan korban-korbannya. JA mencoba mendiskripsikan kondisi negeri, kelumpuhan hukum, dan terutama kemiskinan melalui kisah interaksi Suti dengan nasib di negerinya, bapaknya, ibunya, Pini,  bahkan dengan dirinya.  Berikut merupakan sebuah nukilan pada bagian epilog puisi esai JA yang mana menelusupkan sebuah pesan inter-subjektivitas dari penulisnya:

“jika tak ada yang benar-benar tulus
mengulurkan tangan padamu
maka selamanya engkau tetap akan jadi seperti itu
sebab negeri ini adalah negeri yang tidak pernah
mau tahu
negeri yang tidak pernah bangun
negeri yang sengaja ditidurkan, sayang”
( Dari Singkawang ke Sampit, h.135)

Secara umum, puisi esai yang dibangun oleh JA memiliki pretensi kreatif dalam memasukkan pola-pola repetitif. Hal ini didasarkan karena adanya kecenderungan menaruh pengulangan kata pada sebagian besar larik yang ditulis oleh JA. Simak saja: pada bagian nomor 4, nomor 6, nomor 10, nomor 13, nomor 14, dan 15. Kreativitas yang dilakukan oleh JA dalam mengeksplorasi majas, metafora, dan repetisi kiranya dapat dipertimbangkan kembali mengingat bahwa ada yang janggal seperti nukilan berikut ini:
“.....
kau menikahlah dengan orang yang kaya raya
supaya tak lahir lagi orang-orang bernasib seperti
kamu berikutnya”
 (Dari Singkawang ke Sampit, h.128)

Raisa adalah sebuah nama. Entah peristiwa, entah korban, entah benar-benar orang. Begitu (AFK) Arif Fitra Kurniawan menerjemahkan sebuah pandangan dirinya tentang nama Raisa ke dalam puisi esai. AFK yang seringkali membawa lipatan-lipatan konotatif ke dalam larik-lariknya seperti demikian:
“beberapa kali pertemuan kita senantiasa
akan seperti ini; bergantian kau ataupun aku
akan diam lama seperti sebuah celengan.
membiarkan yang lain menjadi orang
paling tidak bisa menghentikan diri
: boros menghamburkan cerita-cerita suram.”
(Dari Singkawang ke Sampit, h.93)

Pembawaan puisi esai oleh AFK memiliki kecenderungan estetik untuk mengemas kata-kata ke dalam lipatan-lipatan konotatif yang berlapis. Hanya saja, kehadiran catatan kaki dalam puisinya menjadi tidak sedemikian penting sebenarnya. Catatan kaki menjadi semacam informasi yang jauh dari isi atau teks puisi esai. Dalam puisi esai AFK berjudul “Bukan Lagi Rahasia Kita, Raisa” catatan kaki tampak menonjol dengan panjang-lebar sumber informasi. Seperti tentang prostitusi. Pertanyaannya apakah dalam kaitannya dengan bait atau lirik yang menuliskan tentang prositusi, istilah prostitusi perlu diberikan keterangan berlebih? Tentu tidak mengherankan memang bilamana keterangan diletakkan pada diksi atau istilah asing. Simak saja sebait berikut ini:
“waktu jakarta sudah menunjukkan pukul 3 pagi
di taman kota yang lembab dan gelap sebab
lampu-lampunya banyak yang raib dicuri,
di kota yang semakin sempit sebab ditumbuhi
subur prostitusi ini aku masih menabahkan diri
untuk tidak dihancurkan dingin dan sepi”
(Dari Singkawang ke Sampit, h.91)

Perbendaharaan kata “prostitusi” yang digulirkan dalam bait puisi esai AFK seolah-olah menjadi kata yang harus digaris-bawahi ketika pembaca ingin mengenal lebih dalam puisi esainya. Selain membaca puisi esai, seolah-olah pula catatan kaki dalam puisi esai AFK menjadi antara amat penting diperhatikan dan tidak. Melihat kabar yang demikian, maka mesti kembali pada pengertian dan tujuan dari catatan kaki. Menurut pedoman penulisan ilmiah catatan kaki merupakan daftar keterangan khusus yang ditulis di bagian bawah setiap lembaran atau akhir bab karangan ilmiah. Catatan kaki biasa digunakan untuk memberikan keterangan dan komentar, menjelaskan sumber kutipan atau sebagai pedoman penyusunan daftar bacaan atau bibliografi. Tujuan Catatan Kaki, antara lain:
  • Catatan kaki dicantumkan untuk memenuhi kode etik yang berlaku
  • Dapat juga sebagai penghargaan terhadap orang lain yang mungkin berjasa dalam penulisan tersebut
  • Dipergunakan untuk menunjuk kepada sumber dan pernyataan yang dipergunakan dalam teks.


Pada kemudian, dalam puisi: fiksi dan riset
Mulanya, penggagas puisi esai bermaksud untuk menggabungkan antara dunia fiksi (yang lekat dengan puisi) dan riset (yang lekat dengan hal-hal ilmiah dan akademis). Setelah membaca beberapa buku puisi esai, cita-cita itu kiranya masih jauh dari realita. Salah satu penyebab utamanya adalah standar teknis yang kurang diperhatikan. Puisi esai menjadi bukan riset, melainkan ide yang didukung oleh puitisasi dan catatan kaki.
Eksperimentasi puisi pada dasarnya adalah baik dan perlu. Charles Baudelaire (seperti yang dikutip oleh Leon Agusta dalam esainya di horison pada edisi bulan November 2012) menciptakan prosa yang cukup lincah agar dapat menimbulkan kenikmatan lirikal dalam jiwa, getaran renungan dan sentuhan hati nurani. Sampai sekarang bentuk/ genre sastra ini, yang bisa disebut semacam cangkokan dari puisi dan prosa, menimbulkan berbagai debat/ polemik di kalangan satrawan dan kritikus. Keadaan yang sama juga dialami puisi esai versi Denny JA. Tapi, sesekali ada pikiran busuk yang mampir dalam situasi kesusastraan di Indonesia. Dalam keadaan seperti ini: uang dan kekuasaan barangkali akan dapat membuat genre puisi yang baru?

Semarang,  2013



Beberapa Acuan Pustaka Buku:
Susastra, Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya vol. 4 nomor 2 tahun 2008. Jakarta: obor
Asep sambojda, Asep. (2011). Asep Sambodja Menulis. Bandung: Ultimus.
Situmorang, Saut. (2009). Politik Sastra. Yogyakarta]: SIC.
Paz, Octavio. (1991). The Other Voice. Depok: Komodo books.
Sayuti, Suminto A. (2002). Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
Damono, Sapardi D. (1999). Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Kedung D.R., K. Achmad, Y. Sapto H., R. Agus S., & Wendoko. (2013). Dari Rangin ke Telepon. Depok: JurnalSajak.
Arief S., Arif F.K., Catur Adi W., Hanna F., & Jenar Aribowo. (2013). Dari Singkawang ke Sampit. Depok: JurnalSajak.
Peri Sandi H, Beni Setia, & Saifur Rohman. (2013). Mata Luka Sengkon Karta. Depok: JurnalSajak.
Nur Faini, Onik S.M., S. Sahasika, Syifa A., S. P. Elu, & Y. Rosida. (2013). Mawar Airmata. Depok: JurnalSajak.




* Tulisan ini digunakan untuk kepentingan NgoPi LACIKATA edisi khusus puisi esai yang juga menghadirkan jawara-jawara (yang berdomisili di Semarang) sayembara puisi esai oleh JurnalSajak pada tahun 2013.





[1] Buku kumpulan puisi esainya yang diterbitkan pada waktu itu berjudul “Atas Nama Cinta”.
[2] Situs ini merupakan sebuah situs yang dikelola oleh pihak Denny JA sejak peluncuran buku kumpulan puisi esainya dan dikhususkan untuk menyebar-luaskan geliat puisi esai.
[3] Buku kumpulan puisi esai ini berisi 5 pemenang terpilih Lomba Puisi Esai yang diselenggarakan atas nama Jurnal Sajak.
[4] Pernyataan tersebut dilontarkan ketika wartawan ANTARA News mewawancarai Jamal D Rahman di waktu peluncuran buku-buku kumpulan puisi esai pada Bulan Februari 2013.
[5] Buku puisi pertamanya yang pernah meraih KLA: “Dari Batavia sampai Jakarta 1619-1999”
[6] Artikel ini tertera di situs beralamatkan http://oase.kompas.com/read/2013/01/14/06305616/Mempersoalkan.Legitimasi.Puisi-Esai, selain juga sudah pernah dipublikasikan dalam majalah sastra HORISON pada Bulan November 2012.
[7] Kekuatan persuasif yang dimaksud di sini adalah bentuk-bentuk promosi puisi esai yang dilakukan ke ruang publik. Seperti pembawaan puisi ke wujud film, musik, lukisan, lomba.