PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

8.15.2014

PUISI JACK KEROAUC*





REFRAIN KE-24



San Francisco yang teramat pedih
Waktu, aku yang tak dapat paham
Kabut, yang menyelubungi bukit-bukit 
Membikin kaki telanjang begitu dingin
Menjejali kamar-kamar hitam dengan hari siang 
   Siang yang hitam di putih jendela-jendela
   Dan kemuraman pada luka piano:
Bayangan-bayangan di era jazz
   Tertebar oleh; tangga para gadis
   Ember putih
para pelukis
   Komedi-komedi lucu 3 Stooge
      Dan yang berambut keriting menuju pahlawan
      Bibir moofle mengulum segalanya
      Dan terkagum mengapa
      Susu & krim dari surga
        Adalah tulisan dalam lembaran emas
        Pada sebuah buku--mata yang dewasa
        Demi dunia
           Supaya semakin baik memandang--



*diterjemahkan secara bebas oleh saya untuk keperluan Ngopi Lacikata#16;
sumber: "Book of Blues", Penguin Books (1995)

8.13.2014

CATATAN KECIL FOKUS SASTRA 2014



SEKELUMIT KOMUNITAS DAN YANG TAK SELESAI*

Oleh: Ganjar Sudibyo



Dari kisah ke kisah, dari peristiwa ke peristiwa, dari lalu ke lalu, mengapa?

Maka dikisahkanlah peristiwa hari pertama:

Pada hari jumat pagi menjelang siang, saya dan Baqi (seorang kawan baru sekomunitas Lacikata) diturunkan bus yang mengangkut kami dari Semarang. Bening-bening mata kami, di Cileunyi kami naik angkot menuju Cicaheum sebelum bergerak ke UPI. Sekitar pk 10.00 lebih sekian waktu kami sampai di depan UPI. Kami dijemput Abdul Aziz, entah siapa nama panggilannya yang tiba-tiba menanyakan nama Adin. Kami dihantar menuju kantin kampus karena kawan-kawan dari Jawa Timur sedang sarapan di sana. Setelah sebentar bersalaman dan mengenalkan diri, kami bersama-sama menuju ruang PKM ASAS UPI. Waktu siang hari sampai sore hari kami habiskan untuk saling berbagi kabar dengan kawan satu ke kawan lainnya.

Siang itu setelah mandi jumat’an saya intens mengobrol dengan Denny. Ada keasyikan tersendiri ketika mengobrol dengan kawan saya itu. Kawan yang pertama kali berkenalan di dunia maya, sekarang tampak “siapa dan bagaimana dia” ketika berinteraksi tatap muka. Ia bercerita bagaimana perjuangan dirinya dalam mendandani dunia sastra dan teater di Malang. Adanya proyek kesenian kampung yang sedang ia banggakan merupakan inti dalam pembicaraan waktu itu depan minimarket dan seorang polantas yang duduk di seberang kami. Sepanjang perjalanan menuju ke ruang ASAS UPI kami tetap mengobrol seputar bagaimana cara mengembangkan kesenian dalam masyarakat. Rujukan mengenai revitalisasi sastra pedalaman adalah hal yang tepat untuknya. Namun saya menekankan bahwa tidak bisa kita berjuang sendiri dalam membentuk komunitas atau kelompok kesenian. Butuh orang lain yang tentunya seidiologi dan sekemauan agar kita tak sekadar membangun sarang laba-laba.

Sore hari, kami bergerak menuju YPK (Yayasan Pusat Kebudayaan) yang lokasinya di dekat Braga. Dengan menumpang dua angkot kami melaju ke tempat tujuan sebagai persinggahan beristirahat sekaligus tempat acara fokus sastra 2014 diadakan. Sekitar setengah jam lebih kami sampai. Terdiri dari 3 bangunan gedung utama. Gedungnya pun tidak terlalu luas. Di sebuah ruang semacam ruang untuk latihan kesenian kami meletakkan barang-barang yang kami bawa. Para perempuan tentunya singgah di ruang yang berbeda. Beberapa waktu kemudian kami duduk minum es jeruk di warung YPK. Saya, Baqi, Deska, Chandra, Denny, Umam, Irham. Kami berbincang dari persoalan 33 tokoh sastra hingga pada kesadaran komunal. Beberapa penyair kemudian datang menyanjangi kami di meja yang berbeda seperti Ratna Ayu, Romli Burhani, dan entah siapa yang belum saya kenal.

Malam cepat saja masuk, di luar, Braga semakin kelap kelip. Kami menunggu acara penyambutan oleh panitia. Saya belum makan, dan memang tidak ada jatah makan yang diberikan panitia saat ini. Sekitar pukul 8 malam kami berkumpul di ruang utama untuk diskusi. Saya belum sempat makan karena keasyikan ngobrol berbagi pandangan tentang kehidupan bersastra di luar sana. Zulfa seorang MC dari ASAS UPI memberikan perkenalan yang cukup menarik disertai dengan gaya bercanda seperti seorang stand up komedian. Malam itu masing-masing komunitas memperkenalkan diri. Saya bersama Deska dan Baqi bersama-sama mengenalkan diri bergabung dengan kawan-kawan dari Jawa Timur. Setelah perkenalan itu, saya dan Umam membeli beberapa roti penahan lapar untuk kawan-kawan yang belum makan. Sepanjang acara saya menggerundel bersama teman saya dari Sumenep itu. Tentang acara yang tidak dipersiapkan dengan matang. Di penghujung acara, ketika kawan-kawan dari ASAS UPI memperkenalkan diri, saya kemudian berdiri menginterupsi acara. Saya meminta penjelasan dari panitia mengenai latar belakang serta tujuan diadakannya fokus sastra yang mana sekarang mengambil peserta berdasarkan komunitas. Lalu diikuti oleh Umam dan selanjutnya seseorang yang baru tiba dari Tuban berbicara dengan lantang tentang ketidakseriusan panitia dalam mengelola acara. Akhirnya acara selesai juga, menghasilkan wajah-wajah yang tampak tertegun serius sambil tertawa kecil-kecilan.

 Perkenalan komunitas Lacikata bersama dengan komunitas dari Jawa Timur

Setelah acara saya berpapasan dengan kawan-kawan Kandangpadati dari Padang. Ada Heru Joni, Ramoun Apta, Fariq Alfaruqi, dan seorang pemain sastra yang masih belia: Andesta. Saya mencoba mengajak mereka untuk ngopi bersama di Braga bersama kawan-kawan lainnya. Kami tidak tahu ternyata ada aturan jam malam di Bandung saat ini. Tapi kami hanya berjalan saya menyusuri jalan-jalan di Braga berbelok tanpa tahu nama jalan. Setelah lama tidak mendapati angkringan, akhirnya kami kembali ke tempat persinggahan kami.  

Tengah malam, Chandra mengajak saya ke tempat diadakannya bahasan materi untuk esok hari. Beberapa bir berkadar alkohol yang tak seberapa menjadi jamuan utama, kami bercengkrama dengan kawa-kawan penyair muda dari Padang. Bahasan yang agaknya penting di sini adalah mengenai kegiatan komunitas di masing-masing daerah. Mereka menceritakan bagaimana proses kreatif dalam berkomunitas. Bahwasanya obrolan tentang sastra dan puisi kerap kali diadakan di kedai kopi. Karya yang dianggap pantas akan dibahas, sedangkan yang tidak akan dibuang. Mereka percaya bahwa proses selama berkomunitas harus memberikan hasil, dan hasil yang nyata diharapkan adalah pemuatan tulisan ke dalam media cetak. Ya tak asing lagi memang, bahwa penyair muda semacam Heru, Ramoun, dan Fariq adalah sosok yang tak tabu ditemui di koran-koran nasional. Demikianlah mereka menganggap bahwa keberadaan komunitas di satu sisi penting, di satu sisi tidak menjadi hal yang mutlak bagi proses kreatif perorangan. Tema-tema perbincangan akhirnya mengendap pada pukul lima pagi.

Maka dikisahkanlah peristiwa hari kedua:

Pagi hari sekitar pukul delapan, pembukaan secara resmi rangkaian acara Fokus Sastra 2014 dilakukan. Adegan teatrikal dari pantia membuka rangkaian acara tersebut. Willy (yang saat itu berambut gondrong seperti Rendra) merapal ayat quran, sirine dibunyikan, Ma’aruf (selaku ketua panitia acara) datang membawa gunting untuk memotong rambut Willy sebagai perlambang. Sayang, tidak semua rambutnya dipotong, panjang rambutnya masih tampak sama saja.
  
Di bagian belakang kursi para peserta terdapat beberapa kawan yang ikut andil dalam acara ini. Mereka adalah penjual buku. Tentu acara semacam ini tidak akan disia-siakan. Para penggelar lapak (yang juga adalah penulis) menjual berbagai jenis buku dengan harga yang lumayan. Buku yang sedang dipromosikan waktu itu adalah buku puisi terbaru milik Ahda Imran.  

 Penggelar lapak buku aseli bandung
Disksusi pertama dimulai. Diskusi ini dibawakan oleh Langgeng dan Ahda Imran. Langgeng membawakan pengaruh teori kekuasan Foucoult terhadap penyebaran ilmu dan konsep tentang sastra di Indonesia, sedangkan Ahda menjabarkan tentang sastra dan konsepsi keindonesiaan dalam negara orde baru. Diskusi berlangsung agak dingin, para seperti seolah baru saja bangun dan menghirup nafas pagi pertama.

Langgeng (tengah) dan Ahda (kanan)

Beberapa saat kemudian, syekh muda (penulis front pembela syiah…hehe) dari Banten masuk ke ruangan dan duduk bersila di belakang menemui anak-anak asuhnya. Saya ikut ke belakang, karena baru pertama mendapati wajahnya yang ternyata ke-timur tengahan. Kami berfoto bersama dan bertukar buku. Selain itu kami bertukar kisah. Sulaiman Djaya namanya, seorang pegiat komunitas Kubah Budaya Banten. Ia mengisahkan bahwa komunitas mereka yang mengontrak sebuah rumah merupakan komunitas yang dipenuhi oleh para mahasiswa. Tentu mereka yang mau belajar menulis bersama. Aktivitas yang kerap dilakukan adalah melakukan camping menulis, mengadakan diskusi buku di perpustakaan daerah setempat. Mereka merasa bahwa dengan melakukan kegiatan yang tidak melulu eksklusif (mencoba outgroup) akan menjadikan nama mereka strategis untuk diminati lebih banyak orang.  Di sela perbincangan, sejenak ia melakukan pembacaan doa yang terasa sangat khidmat dan nikmat dari ayat suci quran. Aduhai... Lalu usailah diskusi pertama. 

 Saya dan Syekh Sulaiman (kanan)

Diskusi kedua dimulai dengan pembicara Heru Joni (dari Padang) dan seorang dari kubah budaya (Ahmad S.Rumi). Mereka berdua membahas bagaimana Posmodernisme (P besar) mempengaruhi arah dan gaya kesusastraan. Perbedaan pandangan terjadi ketika Heru menguraikan pada akhirnya posmodernisme akan menjadikan sastra seperti mie goreng rasa rendang dan sebagainya dan sebagainya. Ahmad berpandangan bahwa kita tidak sepenuhnya menyalahkan Posmodernisme, karena di atas itu ada kapitalisme. Dalam kapitalisme, sastra diarahkan menjadi sastra yang bermuara pada pasar. Diskusi tersebut tampaknya tidak memberikan solusi apapun untuk permasalahan sastra yang sedang terjadi. Bagi saya, itu hanyalah pengantar atau latar belakang dalam kerangka ilmiah, harus ada analisis lebih lanjut dan buah pikir tentang cara-cara bagaimana untuk menanggulanginya. Waktu pun habis untuk mengorek berbagai macam pengantar. 

 Heru (tengah) dan Ahmad (kanan)

Pada siang kesorean, acara dilanjutkan dengan membahas buku antologi puisi dan cerpen Fokus Sastra 2014. Pembahas adalah Edwar Maulana -- puisi dan Fina Sato (yang digantikan oleh Faisal Syahreza karena berhalangan hadir) -- cerpen. Jujur saja, nampaknya dan nampaknya lagi, buku yang dicetak memiliki berbagai kekurangan, begitu pula dengan redaksional bagaimana pemilihan puisi dan cerpen. Semestinya para kurator mesti memiliki kesadaran dalam mempertanggungjawabkan hal semacam ini, sayangnya esai pengantar yang muncul di buku ini hanya semacam deskripsi atas pembacaan karya para pengirim. Inilah yang menjadi bahan pertanyaan yang saya ajukan sewaktu acara ini berlangsung.

Senja hari untuk diskusi komunitas. Zulkifli berlaku sebagai moderator acara meminta perwakilan komunitas menceritakan tentang kegiatan dan seluk beluk komunitas. Saya mewakili komunitas Lacikata. Setiap komunitas menceritakan tentang kiprah masing-masing komunitas yang mana dalam acara tersebut dihadiri oleh sekitar 12 komunitas sastra.  Yang menarik di sini adalah adanya keberagaman dalam berkomunitas, dari yang berlatar belakang pesantren, kampus, hingga umum. Dengan demikian muncul harapan akan adanya kreativitas dalam kegiatan berkomunitas.

Pengenalan antarkomunitas

Malam setelah diskusi komunitas selesai, maka berlangsunglah acara pentas untuk merayakan buku ‘Dari Kaboa Hingga Karto Lamus, dan Fragmen Perjamuan’. Perayaan bergulir dengan meriah karena mendatangkan kelompok musik dari Bandung. Selain itu, juga diisi dengan pembacaan puisi yang atraktif dari berbagai macam penyair. Lacikata mengirimkan seorang penyair muda untuk membacakan sajaknya.


Abdullah Mubaqi membacakan sajaknya secara perdana


Atraksi menggemaskan dari salah seorang peserta: Khoer Jurzani namanya

Acara perayaan buku antologi Fokus Sastra 2014 berlangsung sebentar. Malam minggu di Braga sedang meriah dengan acara festival kuliner. Kami memutuskan untuk makan malam di pameran kuliner bersama Baqi, Sartika (penyair muda medan), Denny. Dan gudeg jogja.

Romyan (penyair msb itu yang juga potograper) dan Arinda malam-malam datang ke tempat kami rehat. Ia membuatkan teh untu saya. Selang beberapa waktu kemudian tiba-tiba perut saya jadi sakit. Lalu, apakah tehnya bermasalah? Romyan mengobati saya dengan memperlihatkan hasil jepretannya. Dan karena Romyan telah 'menyakiti' saya, sebagai tuan rumah yang baik, ia harus bertanggungjawab dengan mengajak saya ke luar karena di tempat ini semakin membosankan (hanya melihat tubuh-tubuh terkapar). Maka, kami berangkat ke luar gedung. Braga sangat sepi dan 'mencekam' saat itu, berbeda dengan Braga di tahun-tahun lalu. Ya, ya, Jam malam selalu saja membuat suasana 'mencekam'. Di tengah perjalanan, kami menemukan beberapa penyair muda yang ternyata sedang nongkrong di depan minimarket. Nah pertemuan semaam ini yang barangkali bagian inti dari Fokus Sastra 2014.

Diskusi kecil di minimarket perlintasan braga


Maka dikisahkanlah peristiwa hari ketiga:

Pagi hari Semi (penyair garis keras) datang. Seolah ia berharap datang dan mendapati semua penyair muda masih tertidur. Kenyataannya tidak. Kami sedang sarapan. Hari ini adalah hari di mana rangkaian acara Fokus Sastra 2014 akan berakhir. Kami bersiap untuk menuju ke Museum Sri Baduga. Dengan angkot, kami menuju ke sana.

Pose bersama Semi (berjaket hijau)

Museum Sri Baduga merupakan museum yang menyimpan aneka ragam artefak dan alat-alat (baik seni maupun kerja sehari-hari) yang digunakan masyarakat sunda pada abad-abad itu. Yang menarik adalah arca patung budha yang paras dan aksesorisnya berbeda dengan patung budha di Magelang. Setelah mengelilingi museum, kami kembali ke auditorium. Di sinilah acara diakhiri dengan sesi sharing selama mengikuti kegiatan Fokus Sastra 2014. Masing-masing perwakilan komunitas mengutarakan pendapatnya tentang acara ini. Saya bersama wakil dari Jawa Timur sepakat bahwa perlu mengutarakan rekomendasi sebagai langkah konkrit menanggapi permasalahan sastra yang muncul akhir-akhir ini. Rekomendasi atau resolusi ini terkait dengan tema-tema yang ditawarkan oleh panitia sepanjang acara ini berlangsung. Terlepas dari ketidaksiapan panitia acara, ada tiga hal penting yang saya utarakan, yaitu kesadaran komunal, semangat indie, dan riset. Ketiga hal ini penting karena menjadi dasar atau pondasi dalam dinamika bersastra. Saya rasa menumbuhkan tiga hal pokok ini perlu diperjuangkan oleh para sastrawan muda yang notabene masih belajar di kampus-kampus.

Foto bersama di Auditorium Museum Sri Baduga

Siang menjelang sore, setelah kami berfoto bersama, kawan-kawan dari Jawa Timur dan KIAS Semarang pulang terlebih dahulu. Mereka seolah masih ingin mengutarakan sesuatu yang belum bisa disampaikan lewat bahasa. Hujan deras saat itu. Buku yang saya bawa dari Semarang akhirnya habis.
Kami (saya dan Baqi) memutuskan main ke kos Semi. Silaturahmi ke kawan-kawan Bandung lainya. Setelah makan di warung milik saudaranya rendra. Kami menuju ke kosnya yang konon sangat pas jika digunakan untuk menulis karena lingkungannya tidak terlalu ramai. Di sana kami bertemu dengan sastrawan muda semacam Rendy, Andika, dan Kadek surya. Kami bertukar cerita tentang kondisi di Semarang, dan tentang kegiatan-kegiatan selama Fokus Sastra berlangsung, ya karena Andika dan Kadek tidak ikut datang ke acara tersebut (di saat yang sama Rendy memilih asyik main PES). Setelah bergosip sastra sana-sini, malam hari, saya dan Baqi pamit pulang. Uang yang tersisa pas buat naik travel.

Kamar Semi yang ditempati bertahun-tahun lamanya


Maka pada hari-hari selanjutnya ia ingin sekali mengistirahatkan rangkaian peristiwa sebelum mengamalkan yang belum diamalkan.



Bandung - Semarang, 2014
*catatan yang salah satunya digunakan untuk membayar rokok af kurniawan
**beberapa foto diambil dari kamera romyan