PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

10.30.2015

4 PUISI DI SUARA NTB



















Suara NTB, tertanggal 31 Oktober 2015, Hari Sabtu menayangkan 4 puisi saya di lembar Jendela Sastra. Berikut 4 puisi (tanpa lintas tanggal penulisan) tersebut:

AFORISME PERTEMUAN SINGKAT
:kate

ia peristiwa teramat singkat yang dekat, aku berada
tepat di belakangnya berusaha memegang lekuk pinggangnya
tapi ia lari tergesa menuju sebuah ruang yang sebenarnya
tak asing bagiku. ia menghilang di tengah keramaian
antrean orang-orang. (katanya, ini sebuah rekam ulang
dari sepanjang kenyataan yang berputar cepat dan pendek)

sehabis perempuan molek itu, yang kukira kekasihku,
aku mendengar seolah ada lirih suara malaikat
menurunkan nasihat dalam ayat dalam mimpi
subuh tadi: berkunjunglah ke kubur
yang kelak purna merestuimu, layaknya matahari
bapak dan ibumu

lalu aku terpaksa melepas jerih isak; hidup sepanjang kini
hanya untuk mencintai tanah kehilangan,
merelakan langit kepergian?

aku lari sebelum diketuk-ketuk oleh mata kesadaran
pemilik dada yang mahalapang
kate, kekasih narsisiusku,
ke mana saja dirimu yang malang?



BAKAL CINTA HABIL

petang terbiasa menunggu sesuatu yang tumpah
kering disesap oleh cahaya-cahaya kedua; lalu
di mana pisau mata sunyi yang pernah membikin
bulu mata merahku berembun sedemikian rupa?

tangan-tangan perih kini semakin tak menyesal
sebelum berkali-kali bersalaman, sadar
kerna pada petang mereka gampang sembunyi
bahkan jelma jadi bayang bayangan susut
dihisap kelip neon jalanan

yang petang kutemukan di lain mataku, nubuat berahi
yang dirampas demi menggenapi nas:
kulepas cintaku, sepisah jiwa yang akan tampak agung
bilamana dipercikki oleh pendar sengsara dari langit

petang terbiasa tak tuntas kerna cintaku
berlalu lalang jadi orang-orang
memanggil-manggil:
nabi, nabi,
kenapa kita mesti sembunyi mengasah dosa sendiri?




MENYANGSIKAN YANG TAK PASTI

“but uncertainty is more beautiful still”
(wislawa szymborska)

siapa tahu angin ke mana, itu sebabnya
aku mulai tak merindukan apa-apa
selain mencari pecahan mimpi yang sirna;
pandangan kini yang condong ke utara
telah menyediakan maksud:
masa depan, kau tak perlu takut
ada sejumlah lentera yang dibikin gadis kecil
pendongeng korek api, ia bisa menyalakan
peta masa depanmu hingga kau tak merasa
terlalu sunyi di dalam pikiranmu sendiri.

masa telah menyebabkanku beriman pada angin
pada dongeng-dongeng yang gelap
sebab runtutan bencana tak tentu seperti rencana,
mereka telah sedemikian rupa membuatku
murtad terhadap diriku sendiri




MATA KESUNYIAN YANG DIBERKATI

ada perasaan handarbeni yang mirip cabang-cabang
pohon di depan rumah kami: tua, kokoh, dan berbuah

tua:
perasaan itu ditanam sejak kami dinamai
sejak itu unsur usia yang sebenarnya tidak bisa kami bebaskan
bisa kami lalui lewat lekuk-lekuk kambium, garis-garis
yang menjadi batas antara abad dan abadi 

kokoh:
karena perasaan itu berlapis adanya, bukan topeng
melainkan memang benar-benar jujur. ini kami.
murni milik kamu yang tersembunyi dan paling dasar ;
sebab kami kamu berdiri

berbuah:
kami bisa merasakannya. ia bukan datang dari lidah
yang kepanasan atau kedinginan. kami bisa merasakannya
dan bentuknya yang angslup menyerupai jiwa kami telah
semakin besar serupa pandangan keji orang-orang suci

nah, pahamkah dirimu dengan mata kesunyian kami
yang diberkati oleh orang-orang yang melupakan sejumlah
waktu sebagai luka sejarah dan air ludahnya sendiri?





10.27.2015

DUA SAJAK


AESOP BANGUN KETIKA BAMBU RUNCING PATAH SERIBU

malam telah lalu dengan sebagian kisah yang dibungkam
pepatah maju tak gentar membela yang lapar, menjadi
slogan-slogan iklan: bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya
dikuasai oleh negara. aesop mendengar beberapa
kali tembakan lalu disusul teriakan perempuan, tangis seorang
anak, tawa pria-pria yang tak kentara.

pagi hari datang dengan sekabar berita:
seorang tokoh adat, penolak mesin-mesin raksasa
yang membabat hutan lindung untuk kesejahteraan
perusahaan donald bebek, dikabarkan hilang nyawa



AESOP TIDUR KETIKA AKSI JADI SUARA JANGKRIK

tan malaka menjadi bacaan pokok sebelum larut malam,
kabar para pemuda yang ditangkap karena membakar ban bekas
menyebabkan macet lalu lintas, sebuah komunitas diskusi budaya
yang dibubarkan warga masyarakatnya sendiri. kesenian yang
dianggap melacurkan agama. petisi-petisi change.org
yang cuma ditandatangani orang-orang kiri; semua itu
membuat aesop jadi kian menampung kantuk

lalu ia memeluk guling, memejamkan mata
dan berdoa pendek, mendengarkan krik krik jangkrik
menyalakan dialektika kenangan;
nusantaraku...



2015

SENI BERKABUNG "DI BAWAH PAYUNG HITAM"

Puisi saya berikut merupakan puisi terpilih dewan juri dalam sayembara seni berkabung dengan tema "Di Bawah Payung Hitam":


AESOP BERMIMPI TENTANG NUSANTARA

1.
aesop seorang pertapa muda bermimpi tentang nusantara
ia melayang-layang di atas 17.000 pulau, melihat hijau, biru,
kuning, merah, ungu. lalu warna-warna lain yang belum pernah
ia temui sebelumnya. warna-warna itu menutupi sebagian
hamparan di pulau-pulau kecil.

ia merasa hidup di 25 abad ke depan dari kehidupannya. ia hendak
mengerti lebih jelas warna-warna itu. maka ia bersegera turun
dari awan-awan; mendaratkan diri di sebuah pulau.
tapi, ah... ia tidak bisa memandang apa-apa. nafasnya
tersengal-sengal dan batuk-batuk. ia mesti pergi selekasnya
ini kabut bukan sembarang kabut. ini kabut tumbuh-tumbuhan
ladang kering yang terbakar, yang merambat sampai ladang sawit
sampai ke hutan tropis.

aesop bergerak ke selatan. di ujung pulau, yang pemandangannya
bikin setiap orang memunculkan rasa trenyuh. risik bambu-bambu
ricik arus sungai. surga ini surga, katanya. lantas, ia berjalan ke arah
sungai. ia melihat beberapa pemuda bersenapan sedang bergembira
meneteng hasil buruannya: seekor anak rusa dan beruang langka;
aesop segera berpaling, sebab ia tak tahan dengan cara mereka
berselfie bersama hasil buruan.

aesop tak percaya lagi dengan orang-orang di pulau itu. tak percaya
dengan takhayul-takhayul yang sudah dilupakan oleh anak cucu
bangsa itu. orang-orang hanya menyalakan mitos, seperti halnya
undang-undang. aesop menyeberang ke pulau lain

 2.
sebuah dataran yang pengap oleh asap kendaraan. gedung-gedung
bertingkat, hotel-hotel, mall-mall. ini di mana? aesop penasaran,
ia membawa jam waktu, tapi ia tak ingin kembali. ia batuk-batuk lagi,
ditambah hidungnya mulai mampet.

hujan deras mengguyur wilayah itu.

aesop berteduh di sebuah halte. ia melihat seorang anak kecil
sedang berhitung uang dengan kawan sejawatnya. koran-koran
lawas setumpuk di belakangnya.

hujan deras mengguyur wilayah itu.

si anak penjual koran lawas itu tampak menggigil. aesop teringat
gadis penjual korek api. ya andai saja ia di sini.

hujan deras mengguyur wilayah itu.

aesop memandang sungai di seberang mengalir deras. ia mulai
khawatir, sebentar lagi air berwarna cokelat itu pasti meluap
bersama sampah dan limbah. dan benar; banjir melanda
wilayah itu. aesop memutuskan untuk berperahu

3.
perjalanan aesop masih panjang, di sebuah negara dengan
penduduk 200 juta jiwa lebih dengan lapangan kerja dan jaminan
kesejahteraan yang minim. di sudut-sudut tertentu ia hanya menonton
petisi-petisi yang berguguran; sebuah lingkaran setan
yang memiliki tembok tebal. di mana para pejabat dan rakyat
sama-sama saling korupsi. di mana para petani penolak
tambang adalah benalu yang mesti dipotong.

perjalanan panjang aesop yang melelahkan. ia sampai-sampai
tiada sanggup melihat segalanya yang terjadi dan berlalu.
mereka bilang, ini nusantara kami. aesop memalingkan wajah
memandang langit.

tidak lama, aesop terbangun di sebuah wilayah sebuah tempat
sekelompok suku yang sebentar lagi punah karena kepergian
para pemudanya. aesop hanya bisa diam
sebagaimana bahasa-bahasa nenek moyang yang telah
ditinggal generasinya. sebagaimana halnya mitos

hujan deras sekali mengguyur wilayah itu

lalu hanya kegelapan dan suara burung hantu menutup
adegan-adegan yang belum bisa ia cerna di perut mimpi


2015

10.19.2015

BAHKAN SAJAK PUN TAK MAMPU MENGARTIKULASI KEPEDIHAN



di antara orang-orang yang lelap, sebentar menjadi orang-orangan sawah
dalam lengan lelah aku tetap berjaga bersama suara kelelawar dan burung malam,
tetapi betapa kepedihan itu tak terjemahkan di mimpi orang-orang
tersebab mereka terlanjur buta dan tabu pada merah. merah yang darah,
merah yang kehilangan arah, merah orde-orde serapah. ini perlambang
aku mesti kembali pada jalan paling sunyi itu. merah sejarah

bapak dan kakekku hilang lima puluh tahun lampau. tak ada jejak
yang bisa kulacak. lubang-lubang kubur yang bertambah rekah
oleh para tawanan. aku berujar pada ingatanku, cinta akan dikau 
menghanguskan aku. itu cerita lama, kata mata pelajaran sekolah.
entahlah. lalu ke mana "yang benar" itu, yang telah dicuri dan dikunci
bersama para mayat. kegelapan telah menutupi mata kepala
semua orang, memindahkan bahasa burung-burung,
ke dalam ular-ular, tikus-tikus, dan wereng lainnya

mereka menulis sejarah, mencatatnya di diktat-diktat. tapi tidak tentang
bapak dan kakekku. aku bahkan sungguh tak bisa menuliskan kepedihan ini
ke dalam sajak biar musnah segala gelisah. bau kehilangan yang tetap pekat,
ruang-ruang gelap yang rekat. orang-orang bersenjata yang sekali lagi melarang
segala usaha untuk melempar buku-buku sejarah suatu bangsa ke jurang
kecamuk lubang buaya

kepedihan suatu zaman menetes tanpa sajak, sebab penyairnya
adalah luka-luka bisu kehilangan itu sendiri


2015



10.16.2015

REALISME PROCEEDING DALAM PERSONOLOGI TRAUMATIS SEJARAH ‘65






(catatan pendek untuk buku kumpulan cerpen “Penjagal itu Telah Mati”)



Saya menemui dia atas rekomendasi Badrun, yang bertahun-tahun bersama beberapa kawan muda NU, mendampingi mereka, para eks tahanan politik (tapol) 65. Ya, anak-anak muda itu dengan segala keterbatasan, dan bukan tanpa cemoohan dan risiko berhadapan dengan aparat keamanan dan aparat pemerintahan yang masih bercuriga terhadap segala yang berbau 65, melakukan gerakan nguwongke uwong, memanusiakan manusia. Mereka menyapa, bertandang, dan mendengarkan kisah atau keluhan para eks tapol, yang sebagian pernah diasingkan ke Pulau Buru itu. Lalu, jika mungkin, mengembalikan rasa percaya diri mereka sebagai manusia, sama seperti manusia lain. (Penjagal itu Telah Mati, hal.8-9)

Sudah relatif lama saya tidak membaca cerpen. Terakhir, belakangan ketika saya “dipaksa” menjadi juri lomba cerpen di Undip. Jauh sebelum itu, membaca buku kumpulan cerpen karya Kang Putu (Gunawan Budi Susanto) butuh waktu yang panjang setelah saya membelinya ketika bertemu dengan beliau di acara seni. Panjang dalam arti bahwa butuh tenaga untuk meresapi, mencerna,dan kemudian menafsir.

Pandangan pertama saya tertuju pada cerpen berjudul “Penjagal itu Telah Mati” (hal. 5-12) yang dijadikan judul dalam buku ini. Saya penasaran, dengan subjek yang diberi predikat sebagai penjagal. Memang seberapa penting dengan “penjagal” sehingga mesti dikabarkan mati? Sekilas saya membaca, saya paham tentang apa yang ingin disampaikan pada cerpen ini. Tema-tema yang diangkat dalam cerpen ini sama sekali rapi, tidak banyak keluar dari rancang-bangun si cerpenisnya. Masih tentang korban sejarah yang menjadikan bangsa ini membawa aib besar. Cerpen berjudul “Penjagal itu Telah Mati” jelas-jelas ingin menunjukkan tentang aib tersebut. Aib sebagai seorang penjagal. Aib yang memang benar ada di suatu bangsa. Demikian, saya berpandangan bahwa cerpen bertemakan seperti ini (yang mengangkat hal-hal tabu) selalu mempunyai daya pikat tersendiri.    

Dalam pandangan psikologi holistik, Henry Alexander Murray (seorang praktisi psikologi klinis yang memiliki minat terhadap kesusastraan) menawarkan tentang bentuk personologi manusia tidak terlepas dari faktor-faktor lingkungan dan daya representasi lingkungan. Masa lampau atau sejarah individu benar-benar sama pentingnya seperti keadaan individu beserta lingkungannya di masa kini. Hal ini tidak terlalu jauh dengan pandangan psikoanalisis. Murray memiliki konsepsi bahwa satuan dasar dalam ranah psikologi, yaitu proceeding merupakan cerminan tingkah laku yang tidak mungkin terlepas dari dimensi waktu. Proceeding berkaitan dengan interaksi antara subjek dan objek, atau antara subjek dan subjek dalam jangka waktu cukup lama sehingga mencakup unsur-unsur penting dalam sekuens tingkah laku tertentu.

Saya mengasosiasikan bahwa cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku “Penjagal itu Telah Mati” merupakan sekuens yang dimaksud Murray. Sekuens yang berisi serial-serial atau jadwal-jadwal yang merupakan sarana untuk mereduksi konflik di antara kebutuhan-kebutuhan dan objek-objek. Tentu semua ini bermuara pada teknik-teknik dalam menyampaikan cerita serta alur-alur yang telah dirancang.

Adapun pembentukan para tokoh dalam kumpulan cerpen ini tidak lepas dengan diri si penulis, yang kemudian direpresentasikan sebagai diri yang sedang berbicara kepada pembaca. Superego dalam pandangan Murray, adalah hasil dari penanaman kebudayaan. Superego sebagai subsistem dalam diri manusia bertindak dalam internalisasi dan pengatur tingkah laku. Rangkaian ini bercermin pada yang pernah dilakukan oleh pelaku-pelaku yang berada di luar individu. Dalam konteks buku ini, para pelaku adalah tokoh-tokoh seperti Mei Hwa, Om Bandrio, Mbah Reso, Moetiah, Lestari, si kakek, nenek, ibu, bapak, mertua, si “saya” atau si “aku” dalam cerpen-cerpen tersebut. 

Tokoh-tokoh rekaan yang coba diperkenalkan oleh si penulis, selain membawa luapan superego, erat kaitannya dengan ego-ideal. Ego-ideal ini merupakan citra yang diangan-angankan atau diambisikan oleh individu sebagai seorang pejuang. Dengan demikian, tokoh-tokoh yang diliputi oleh peristiwa-peristiwa di dalamnya merupakan pergerakan yang tidak bisa dipisahkan dari stigma masyarakat. Adanya internalisasi budaya yang sedang diciptakan lewat konflik-konflik dan tradisi berkisah membuat tokoh-tokoh itu menjadi semakin hidup, bahkan penamaan tokoh yang tidak jauh dari ruang lingkup kolega menjadi bukti bahwa cerpen-cerpen yang hendak ditunjukkan kepada pembaca merupakan bentukan dari agresi. Agresi menurut Murray bukan sebuah mekanisme pembelaan diri, tetapi sebuah kebutuhan. Selain itu, konsep cerita yang mengambil tema sejarah ’65 ini hendak menggali peristiwa-peristiwa traumatis yang barangkali sebagian masyarakat pun tidak ingin peduli. Artinya bahwa ada kebutuhan lain yang kemudian saya asosiasikan dengan istilah kebutuhan menurut Murray yaitu “counteraction”. Bahwa peristiwa-peristiwa traumatis itu dimunculkan dengan dasar bahwa ada yang salah dengan masa lalu, dan sepertinya kesalahan itu menciptakan ruang-ruang bagi si penulis. Ruang yang tidak lagi gelap.

Suara Merdeka, 17 Februari 2013 pernah memuat cerpen “Penjagal itu Telah Mati” yang ditulis pada awal tahun 2013. (Rentang tahun pada buku kumpulan cerpen ini memuat rentang tahun penulisan 2011-2015.) Saya sebenarnya belum membaca buku kumpulan cerpen Kang Putu sebelumnya: “Nyanyian Penggali Kubur”, namun terlepas dari riwayat pembacaan tersebut, saya hendak menduga bahwa kumpulan cerpen kali ini dipenuhi dengan penggunaan bahasa yang bisa dikatakan berkobar-kobar dan tak banyak metafora, yang mana tokoh-tokoh dimaksud untuk menyuarakan masa lalu. Masa di mana terdapat peristiwa yang masih menjadi “hal yang masih layak dijauhi” di kalangan sebagian besar masyarakat Indonesia.

Pada awal paragraf, pembaca akan langsung dalam hanyutan kalimat-kalimat ketegangan yang dingin:

“Dia mati. Kematian yang wajar. Kata orang, lantaran sakit menahun. Namun kabar kematian itu baru saya dengar setelah sekian lama. Kabar kematian yang diam-diam saya syukuri” (hal.6)

Kata “mati” seolah membuat resepsi pembaca diantar ke salah satu ruang, memasuki pintu, kemudian pintu itu menutup sendiri. Tapi ruang itu tidak gelap. Ruang itu terang yang dipenuhi oleh percakapan-percakapan. Kata “mati” yang kemudian diimbuhkan pada kata “syukuri” menjadikan nuansa dingin bagi keteganganan pertama terhadap pembacaan. Tidak banyak metafora dalam cerpen ini, bahkan mungkin tidak ada. Alih-alih, cerpen ini mengandung konflik yang bermuatan daftar tekanan. Secara singkat, Murray mendaftar tekanan-tekanan yang dialami oleh manusia. Tekanan yang tidak hanya bermakna negatif. Yang terjadi dalam cerpen “Penjagal itu Telah Mati” adalah upaya untuk mengarahkan pembaca menuju borok sejarah ’65 melalui repetisi kata “mati” dan “syukur”. Berikut potongan pada akhir cerpen tersebut: “Dia mati. Dan saya bersyukur. Kini, saya berharap bisa lebih tenteram momong cucu. Itulah keinginan saya, Gus. Cuma itu.” (hal.11)

Kompleks klaustral yang didefinisikan oleh Murray berkenaan dengan sisa-sisa pengalaman selama berada dalam kandungan individu. Analis seperti Freud dan Rank pernah membahasnya, tapi Murray mencoba untuk menyatukan ide mereka. Pertama, kompleks itu berkisar tentang keinginan untuk mengembalikan kondisi-kondisi serupa. Kedua, kompleks yang berkisar tentang kecemasan karena ketidakberdayaan. Ketiga, kompleks yang dengan penuh kecemasan ditunjukkan untuk melawan keterpenjaraan. Cerpen “Penjagal itu Telah Mati”, mengindikasikan pendaman kompleks di antara tokoh dan peristiwa. Dan, pokok kompleks klaustral tersebut ada di sini: “Lalu, jika mungkin, mengembalikan rasa percaya diri mereka sebagai manusia, sama seperti manusia lain. (hal.9)

Realisme (menurut seorang akademisi) berusaha menggambarkan hidup dengan sejujur-jujurnya tanpa prasangka dan tanpa usaha memperindahnya. Realisme selalu memasukkan moral, dengan demikian sastra bagi realisme adalah sarana untuk mengkritik dan menyampaikan pesan moral. Realisme menginginkan representasi dari realitas (menggambarkan realitas/kenyataan dalam kehidupan sehari-hari). Oleh sebab itu, realisme membahas kehidupan yang sedang berlangsung dan tingkah laku manusia temporal (yang berpikir, bertindak, dan berperilaku dalam dunia sekarang ini). George Lukacs, merupakan salah satu kritikus sastra Hungaria yang memegang teguh teori Marxis. Lukacs memandang estetika sastra dalam butir-butir prinsip sebagai berikut: (1) Tugas kesenian (termasuk sastra) adalah menampilkan kenyataan sebagai totalitas. (2) Karya sastra menyajikan yang khas dan yang universal. (3) Karya sastra memiliki kekuatan membongkar kesadaran palsu dalam pola pikir sehari-hari masyarakat. (4) Seorang sastrawan mempunyai tanggung jawab dan karenanya harus terlibat dalam masalah yang sedang dihadapi masyarakatnya; seorang sastrawan, kata Lukacs, hendaknya adalah seorang realis, dan seorang realis hendaknya seorang sosialis, dan sebagai seorang sosialis, sastrawan harus tahu dan terlibat dalam masalah sosial masyarakatnya. (5) Dalam setiap karya sastra, kepedulian sosial menjadi ukuran standar keindahan dan satu-satunya ukuran kebenaran.    

Realisme menjadi semacam panggung utama dalam buku kumpulan cerpen tersebut, yang sebenarnya adalah timpalan dari pokok-pokok kompleks setelah melalui gunung-gunung es. Pembaca mungkin saja suntuk dengan sajian tema-tema yang melulu sama. Tapi di sinilah ada upaya penulis untuk membuat unik dalam mengolah tema per judul cerpen. Ujian pembacaan belumlah selesai. Cerpen-cerpen ini masih banyak mengandung hal-hal yang belum “dimengerti” masyarakat secara umum. Dimengerti dalam tanda kutip sebab seperti yang ditulis Wijaya Herlambang dalam risetnya bahwa masyarakat banyak yang terkecoh dengan normalisasi (justifikasi) kekerasan melalui karya sastra yang mana telah beredar di banyak media cetak waktu itu (orde baru). Di sini, dalam konteks ini, proceeding ekternal bisa memunculkan polemik klasik. Murray menganggap proceeding eksternal memiliki dua aspek, pengalaman subjektif dan aspek tingkah laku subjektif. Kedua aspek tersebut terpantul melalui cerpen-cerpen yang kental dengan peristiwa-peristiwa traumatis sejarah ’65. Lebih lagi, trauma tersebut tak kunjung sembuh, meski ada celah-celah rekonsiliasi yang mulai tumbuh. Lewat fungsi sastra, misalnya seperti yang pernah diungkapkan Sapardi.

Kemanusiaan adalah tema besar yang merangsang penulis berjiwa besar manapun pasti hendak menggarapnya. Kemanusiaan yang dibawakan dalam cerpen-cerpen Kang Putu bernilai empiris. Sangat empiris. Pribadi penulis pasti turut menyumbangkan percakapan-percakapan tersebut, sebab keduanya tidak bisa dipisahkan seperti yang diutarakan Andries Teeuw. Mengulas kumpulan cerpen ini bakal tidak ada habisnya, sebab kekuatan situasi yang semakin karut marut ditambah distorsi-distorsi historis yang masih mengental. Pertanyaan tentang kemanusiaan yang ditawarkan oleh cerpen-cerpen Kang Putu adalah semacam lampiran proceeding dari percik renungan Murray dan Kluckhohn (1953):

“Setiap proceeding akan meninggalkan bekas – suatu fakta baru, benih untuk sebuah ide, penilaian kembali tentang sesuatu, persatuan yang lebih mesra dengan seseorang, sedikit perbaikan pemahaman, pembaharuan harapan, alasan lain untuk bersedih...”

Dan akhirnya saya mesti mengucapkan salam kepada tokoh rekaan satu ini: Selamat malam, Moetiah...


Semarang, 2015
*Ditulis oleh seorang mantan akademisi: Ganjar Sudibyo.

10.11.2015

LOTUS PASAR TIBAN



mereka lantangkan tawaran-tawaran menarik
dengan bahasa para pendatang segala umur 
di lengang jalanan kota minggu pagi. di sesak
pedagang sepanjang jalan minggu pagi

datang, belilah, harga-harga sedang miring:
gorengan, soto, sate, piranti bengkel, odong-odong,
tanaman hias hidroponik, pakaian sekolah, pakaian kerja, 
pakaian dalam, dan banyak lagi macamnya

keramaian menyalakan rupiah
keramaian menyembunyikan wajah
keramaian mengheningkan konsumerisme


2015

10.10.2015

DI PEKARANGAN RUMAH JOGLO


kutemukan kamu yang sedang minum jus alpukat
siang itu, di antara pohon-pohon mangga dan kelapa;
tapi aku sedang tak mengerti, kenapa kamu
begitu jauh dari istiadat pandanganku.

sepulang dari pulau seberang, wajahku
yang kian tirus, terus menerus ingin mengejamu;
peristiwa-peristiwa sengkarut itu telah menunjukkan
padaku segala rindu tak dapat ditipu siapapun. maka
setelah menemukanmu di perhentian kini, kuhembus
sisa cemas perjalanan--hablur ke udara

dan betapa cemas itu tak dapat kulepaskan
dari bayang-bayang yang setiap waktu bisa saja
menculik sesuatu yang telah lama kita simpan
selain obat luka kenangan

kutemukan kamu sedang duduk merenda kain perca
angin berbaur pasir dalam perlintasan getir
membuatku menerka, apa kamu lupa
atau barangkali aku yang tak percaya
rumah tua ini terpasang kerucut-kerucut
bangunan yang tak lagi sama
sebab kamu telah sedemikian berbeda
lirih dari kita yang sebenar-benar cinta



2015

10.07.2015

BAYANGAN MERAH DI TEPI SUNGAI WHITMAN


Seseorang menyuarakan nada-nada yang katanya bisa membikin pikirannya adem--ayem di alam batinnya. Tersebab ia sedang gusar sehabis mengusir babi-babi hutan dan burung-burung pemakan bangkai di bekas ladang bapaknya. Keberadaan mereka mengganggu sekali, binatang-binatang jorok, katanya dalam batin. Ini siang terik yang membuka pori-pori kulit menderaskan keringat. Ia menuju tepi sungai, (seperti cerita-cerita yang membuat pembaca rindu untuk kembali berteduh meski hanya sementara) lalu rebah di tepian. Seekor elang melintas dengan nada panggilannya yang khas. Aliran air jadi kian deras. Tapi ia mencoba tetap tenang.

Eva sangat suka yang alam-alam, yang masih murni, yang masih seperti sedia kala. Suara-suaranya, warna langitnya, udara, angin, pohonan dan tumbuh-tumbuhan lain, hewan-hewan yang bersembunyi, batu-batu di jernih sungai. Waktu itu tidak ada orang yang lalu lalang, berladang, atau mengantar ternaknya mencari rumput. Ia tampak habis dikejar sesuatu, maka seperti biasa, ia mencari tempat yang bisa digunakan untuk merebahkan tubuh dan beban yang semakin berat.

Setelah ia merasa agak tenang, ia mengucap beberapa baris di sajak Whitman: "Song of Myself". "I celebrate myself/ and sing myself/ and what assume you shall assume...."  Ia lantas memandang di seberang sungai. Ada sebuah pohon yang sangat rimbun berdiri sendirian, dan ia memandang permukaan sungai yang tidak henti-hentinya bergelombang, yang arusnya selalu menabrak batu-batu. Ia memandang jauh ke sebuah bayangan. Bayangan itu terasa tak biasa sebab belum pernah ia menjumpainya. Warnanya merah. Ia berdiri dan berusaha mendekati bayangan itu. Tapi ia sendiri takut, kalau-kalau itu mitos yang sedang diperbincangkan di kalangan orang adat di desanya.

Ya, ia melanjutkan baris-baris sajak Whitman. Waktu itu angin berhembus pelan-pelan tapi tak pernah berhenti. Ia melihat bayangan itu lagi, tapi anehnya bayangan merah itu semakin mendekat ke arahnya. Ia kembali gusar. Jam begini ia kembali tak tenang. Ia dekati bayangan itu, lalu mencucukkan jari ke permukaan sungai. Tapi tak ada apa-apa, suhu air sungai masih stabil, rasanya masih tawar. Ia bertanya-tanya, apakah mitos itu benar adanya? Kalau seseorang sendiri kemudian ada bayangan merah dari pohon yang berdiri sendirian, kemudian bayangan itu mendekat berarti bahwa ia akan memperoleh kutukan?

Ia kembali melanjutkan baris sajak Whitman versi 1982: "...And what is reason? and what is love? and what is life?..."  Ia duduk tercenung hanya melihat bayangan itu. Bayangan merah yang tidak membawa perubahan apa-apa. Seperti hantu, ia bergerak tanpa bisa disentuh. Tak lama, ia mendengar suara orang minta tolong. Tapi ia biarkan suara itu berlalu. Tak lama juga, bayangan merah itu menghilang. Ada sesuatu yang seperti menjawil pundaknya, tapi ia tak terlalu ingin menanggapinya. Ia berhenti mengucapkan baris-baris sajak Whitman. Ia merasa tak ada kaitannya antara barisan sajak itu dengan sungai yang bernama Whitman ini. Apakah si Whitman pernah tinggal di sekitar sini, mati di sungai ini sebagai seorang penyair yang suci?

Eva sebenarnya sedang merasa gusar. Pohon-pohon besar di seberang sungai itu sudah ditebang dengan menggunakan teknologi canggih. Di seberang sungai itu tinggal satu pohon rindang saja. Pohon yang menciptakan bayangan berwarna merah. Ia terlihat tumbuh lebih subur dibandingkan dengan pohon lain. Eva pernah mendengar orang adat bercerita, konon Whitman gantung diri di pohon itu, setelah mengucapkan kata "apa itu cinta, apa itu hidup", kepada seorang petani yang sedang memperjuangkan tanah ladang miliknya. Di kisah lain, Whitman mati dibunuh di dekat pohon itu. Lehernya digorok oleh orang suruhan karena ia diduga berhasil membawa semangat pemberontakan para petani. Kata orang adat, bayangan merah itu hanya muncul ketika ada musibah yang akan terjadi. Tidak, Eva tidak memedulikan itu. Mitos hanyalah milik mitos. Kenyataan bukanlah mitos. Ia jadi teringat akan nasib bapaknya yang belum sekalipun pernah ia jumpa. "Ah sudahlah.... aku tak mau berpikir panjang tentang ini, aku hanya ingin mengendapkan gusarku" 

Beberapa hari setelahnya, matahari yang semakin terasa terik, membuat bayangan pada pohon-pohon. Tak terkecuali pohon di seberang sungai itu. Eva kembali ke sana dan menyanyi, setelah itu mengucap sajak Whitman. Seseorang berteriak kembali minta tolong. Bayangan merah berlalu cepat. Ia tidak merasa yakin dengan semua yang terjadi. Ia lalukan yang terjadi. Entah merah simbol darah, pohon simbol pengayoman, atau apalah. Ia hanya ingin berada di tepi sungai Whitman. Merayakan kegusarannya seorang diri, melepaskan pikiran yang tidak-tidak, menjauhkan diri dari rasa sakit, menyatu dengan semesta seperti putaran bandul kalung seorang peramal. Ia hanya percaya, di dunia ini, keanehan pasti terjadi beserta apapun yang belum pernah kita temui,  kita tinggal merayakannya saja karena menanggapi dengan terlalu serius adalah sebuah kesia-siaan belaka. Lalu tiupan angin kencang seolah membawa tubuh Eva pada kenyataannya sendiri.

Ia terbangun, minum anggur, menutup buku kumpulan puisi Whitman, dan menatap sebuah pohon yang sedang ditebang seorang tukang kebun. Whitman mau bilang apa di mimpi kecilku? ,ucapnya dalam batin. Lalu tiba-tiba ia mendengar suara bapaknya, menyuruh Eva supaya segera membelikan sebuah belati di pasar yang semalam terbakar.



2015 

*Lukisan berjudul Red Shadow karya Rudi Mantofani.


10.05.2015

DI BUKIT KOTBAH IA MENGUCAP OM


berkali aku membaca kepedihan itu:
setengah dari hasrat yang disinyalir sebagai jelmaan
desis ular dan rayuan siluman.
yang seperti itu mesti dibuang ke jurang bersama
babi-babi sebagaimana peristiwa di pasal sebuah kitab

sebab kepedihan mestilah kita asuh
seperti anggur-anggur di ladang perumpamaan,
seperti burung pipit dan sehelai rambut;
kepedihan perlu bahasa yang tak tampak
bahwa ia atau siapapun itu tak lekas menunjukkan
muka muram karena merasa gagal atau
karena ini bukan hitungan hari baik

bahasa sebuah bangsa telah mengambil keyakinan
yang tiap-tiap pemeluk pun tahu
kebahagiaan berkiblat pada karma itu sendiri
: nirwana beserta para makhluk yang tak pernah
merasa tunduk pada kekhawatiran

maka dengan langkah kaki yang tenang
dan perangai wajah seperti goncangan teratai
yang pertama kali jatuh pada musim gugur,
ia mengucap om...om...om...
seraya memecah-mecah kepedihan
kepada lima ribu orang


2015


10.02.2015

KOSMOS DALAM ILUSTRASI SEORANG SALIK


Judul : Suluk Senja
Penulis : Dimas Indiana S.
Cetakan :  I, Agustus 2015
Penerbit : Pustaka Senja
Jumlah Halaman : vi + 99 halaman
ISBN : 978-979-7731-87-8






Suluk dalam definisinya secara umum merupakan jalan ke arah kesempurnaan batin. Selain itu, di lain tempat suluk mengarah pada perbaikkan akhlak, penyucian amal, dan penjernihan pengetahuan. Dengan kata lain, suluk merupakan aktivitas. Buku kumpulan puisi yang ditulis oleh Dimas Indiana ini menawarkan pada sebuah variasi pengertian yang lain tentang suluk. Sebagian besar puisi-puisi yang dihadirkan di buku ini malah tidak banyak menyoal hubungan kesempurnaan diri ke arah Sang Mahakuasa, atau suluk dalam tokoh-tokoh tasawuf. Penulis seolah sengaja ingin memberikan warna lain tentang suluk. Nah, warna inilah yang sedang dimunculkan kepada pembaca bahwasanya ada semesta lain dan itu sepantasnya laik untuk dikunjungi sejenak. Warna seorang salik senja. 

Dalam buku yang berisi 33 puisi ini, penulis tampaknya mempunyai kecenderungan untuk mengeksplorasi puisi-puisi dengan penanda nama-nama orang yang barangkali pernah dijumpainya. Entah penulis hendak berusaha mengenang deretan nama tersebut. Dengan kata lain merupakan bagian dari kehendak subjek untuk mengikutsertakan nama-nama tersebut ke dalam proses kreatif menulisnya. Di lain sisi, penulis hendak menunjukkan bahwa nama-nama tersebut adalah bagian dari upaya penulis untuk memberi tanda yang mana di sebaliknya ada pesan universal dari sebuah pertemuan. Perihal pesan universal ini salah satunya dapat ditemui dalam sajak berjudul “tentang tanah yang semestinya kita ziarahi”, berikut penggalannya: “...sebab usia tak membuatmu/lelah untuk terus menziarahi sepetak tanah di/dadamu.”  Tentu ini kemudian menjadi dugaan yang bisa berkata lain ketika dimasuki oleh masing-masing pembaca. Demikian menjadi menarik ketika mencoba untuk mengungkap bahasa penulis lewat penandaan nama-nama. Pembaca bisa belajar bahwa selain merupakan bacaan fakultatif untuk mereka yang ingin mengenang pertemuan-pertemuan --- adalah di dalam setiap pertemuan terselip suluk itu sendiri.

Hal menarik lainnya adalah usaha penulis untuk menjadikan unik tidak hanya dalam tipografi (yang tidak biasanya digunakan oleh penulis di kebiasaan menulis puisi sebelumnya) namun juga tema yang digarap. Penulis mencoba membuat paduan puisi dengan pengalaman pribadinya yang memiliki hobi sebagai biker pada puisi “verzaholic”. Selain penulis hendak memunculkan suasana sejarah seperti dua judul puisi di halaman-halaman akhir, yaitu “sangtham suksa”, dan “klana bandopati”. Tidak berhenti sampai di situ, bilamana membaca di lembar-lembar awal, maka pembaca akan diberikan sajian judul puisi yang relatif panjang. Apakah ini merupakan materi licentia poetica yang sedang diolah oleh penulis untuk memberikan daya tarik kepada pembaca? Ya, impresi pertama memang penting untuk dilakukan sebagai penulis muda yang mempunyai energi untuk terus menerus berkembang dalam ketekunan mengasah teknik menulis. Dengan begini, pembaca barangkali tidak akan bosan dalam mencerna buku kumpulan puisi yang dalam pasarannya konon memiliki stereotip melankolis liris mendayu-dayu.

Puisi-puisi yang dimunculkan dalam rentang titi mangsa 2012-2015 ini ibaratnya adalah kosmos --- semesta yang sedang diciptakan oleh penulis. Selain berisi puisi, buku ini menghadirkan ilustrasi-ilustrasi gambar yang seolah bermaksud untuk menahan mata (selain semacam jeda), memandanginya dengan tanpa memperhatikan jangka waktu. Lantas kemudian ‘senja’, tak lain adalah kosa kata puitik yang sedang diterjemahkan penulis sendiri ke dalam bahasa-bahasa yang mengerucut pada nukilan puisi berjudul “dalam dzikir senja; saat kau mengajariku cara menasbihkan cinta kepada semesta”: “Fabbi Ayyi Ala’i Rabbikuma Tukadziban....” yang artinya, nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?

Semarang, 2015