tertanda Jl. Gombel Lama
* I *
rumah rumah di kaki bukit tak banyak
mengungkapkan bagaimana jalanan aspal
memperkenalkan kepada setiap pengendara
garis garis marka yang luntur karena musim
si pencuri warna putih untuk dibagikan
pada ramalan awan yang merengek meminta
asap supaya tidak datang menjelma anak anak
polusi
-rumah rumah di kaki bukit ternyata sudah lama
menyimpan suara dari atap atap berlumut,
hanya saja jalanan belum mendengar:
“sebentar lagi longsor bisa saja turun”-
* II *
lapangan golf tak sekedar bangga pada warna
hijau pada telaga kecil pada telikung jalan
sempit pada mobil dan motor di depan nama
gapuranya, karena mereka sebenarnya bukanlah
mesin mesin penggusur hutan yang pernah menjadi
nenek-moyangnya seabad silam.
-lapangan golf tetap nampak anggun dengan segenap
kelengkapan permadaninya. demikian, ia tak akan pernah
menyesal pada gusuran dosa masa lampau-
* III *
adakalanya trotoar bukanlah tempat bagi
para pejalan kaki, sebab ia kadang buta; dibutakan
oleh lubang siang dari matahari yang lupa pada
apa ia membuat persembunyian bagi keyakinan
asing bahwasanya tak pernah ada jalan-sorga
untuk mengenang alamat tempat tinggal
para penyesal penghujan dan kemarau
* IV *
suatu ketika di bibir rumah tua
seorang pengendara menemu amplop lama
berisi nama jalan dan sajak kecil
:
“dua ribu sepuluh;
pada sisi sisi Jalan Gombel Lama
nafas nafas berarak rapi, merodakan
percakapan doa yang ingin sendiri”
Kota Semarang, 2010