SEKELUMIT KOMUNITAS DAN YANG TAK SELESAI*
Oleh:
Ganjar Sudibyo
Dari
kisah ke kisah, dari peristiwa ke peristiwa, dari lalu ke lalu, mengapa?
Maka
dikisahkanlah peristiwa hari pertama:
Pada hari jumat pagi menjelang siang, saya
dan Baqi (seorang kawan baru sekomunitas Lacikata) diturunkan bus yang
mengangkut kami dari Semarang. Bening-bening mata kami, di Cileunyi kami naik
angkot menuju Cicaheum sebelum bergerak ke UPI. Sekitar pk 10.00 lebih sekian
waktu kami sampai di depan UPI. Kami dijemput Abdul Aziz, entah siapa nama
panggilannya yang tiba-tiba menanyakan nama Adin. Kami dihantar menuju kantin
kampus karena kawan-kawan dari Jawa Timur sedang sarapan di sana. Setelah
sebentar bersalaman dan mengenalkan diri, kami bersama-sama menuju ruang PKM
ASAS UPI. Waktu siang hari sampai sore hari kami habiskan untuk saling berbagi
kabar dengan kawan satu ke kawan lainnya.
Siang itu setelah mandi jumat’an saya intens
mengobrol dengan Denny. Ada keasyikan tersendiri ketika mengobrol dengan kawan
saya itu. Kawan yang pertama kali berkenalan di dunia maya, sekarang tampak “siapa
dan bagaimana dia” ketika berinteraksi tatap muka. Ia bercerita bagaimana
perjuangan dirinya dalam mendandani dunia sastra dan teater di Malang. Adanya
proyek kesenian kampung yang sedang ia banggakan merupakan inti dalam
pembicaraan waktu itu depan minimarket dan seorang polantas yang duduk di
seberang kami. Sepanjang perjalanan menuju ke ruang ASAS UPI kami tetap
mengobrol seputar bagaimana cara mengembangkan kesenian dalam masyarakat.
Rujukan mengenai revitalisasi sastra pedalaman adalah hal yang tepat untuknya.
Namun saya menekankan bahwa tidak bisa kita berjuang sendiri dalam membentuk
komunitas atau kelompok kesenian. Butuh orang lain yang tentunya seidiologi dan
sekemauan agar kita tak sekadar membangun sarang laba-laba.
Sore hari, kami bergerak menuju YPK (Yayasan
Pusat Kebudayaan) yang lokasinya di dekat Braga. Dengan menumpang dua angkot
kami melaju ke tempat tujuan sebagai persinggahan beristirahat sekaligus tempat
acara fokus sastra 2014 diadakan. Sekitar setengah jam lebih kami sampai.
Terdiri dari 3 bangunan gedung utama. Gedungnya pun tidak terlalu luas. Di
sebuah ruang semacam ruang untuk latihan kesenian kami meletakkan barang-barang
yang kami bawa. Para perempuan tentunya singgah di ruang yang berbeda. Beberapa
waktu kemudian kami duduk minum es jeruk di warung YPK. Saya, Baqi, Deska,
Chandra, Denny, Umam, Irham. Kami berbincang dari persoalan 33 tokoh sastra
hingga pada kesadaran komunal. Beberapa penyair kemudian datang menyanjangi
kami di meja yang berbeda seperti Ratna Ayu, Romli Burhani, dan entah siapa
yang belum saya kenal.
Malam cepat saja masuk, di luar, Braga
semakin kelap kelip. Kami menunggu acara penyambutan oleh panitia. Saya belum
makan, dan memang tidak ada jatah makan yang diberikan panitia saat ini.
Sekitar pukul 8 malam kami berkumpul di ruang utama untuk diskusi. Saya belum
sempat makan karena keasyikan ngobrol berbagi pandangan tentang kehidupan
bersastra di luar sana. Zulfa seorang MC dari ASAS UPI memberikan perkenalan
yang cukup menarik disertai dengan gaya bercanda seperti seorang stand up komedian. Malam itu
masing-masing komunitas memperkenalkan diri. Saya bersama Deska dan Baqi
bersama-sama mengenalkan diri bergabung dengan kawan-kawan dari Jawa Timur.
Setelah perkenalan itu, saya dan Umam membeli beberapa roti penahan lapar untuk
kawan-kawan yang belum makan. Sepanjang acara saya menggerundel bersama teman
saya dari Sumenep itu. Tentang acara yang tidak dipersiapkan dengan matang. Di
penghujung acara, ketika kawan-kawan dari ASAS UPI memperkenalkan diri, saya
kemudian berdiri menginterupsi acara. Saya meminta penjelasan dari panitia
mengenai latar belakang serta tujuan diadakannya fokus sastra yang mana
sekarang mengambil peserta berdasarkan komunitas. Lalu diikuti oleh Umam dan
selanjutnya seseorang yang baru tiba dari Tuban berbicara dengan lantang tentang
ketidakseriusan panitia dalam mengelola acara. Akhirnya acara selesai juga,
menghasilkan wajah-wajah yang tampak tertegun serius sambil tertawa
kecil-kecilan.
Perkenalan komunitas Lacikata bersama dengan komunitas dari Jawa Timur
Setelah acara saya berpapasan dengan
kawan-kawan Kandangpadati dari Padang. Ada Heru Joni, Ramoun Apta, Fariq
Alfaruqi, dan seorang pemain sastra yang masih belia: Andesta. Saya mencoba
mengajak mereka untuk ngopi bersama di Braga bersama kawan-kawan lainnya. Kami
tidak tahu ternyata ada aturan jam malam di Bandung saat ini. Tapi kami hanya
berjalan saya menyusuri jalan-jalan di Braga berbelok tanpa tahu nama jalan.
Setelah lama tidak mendapati angkringan, akhirnya kami kembali ke tempat
persinggahan kami.
Tengah malam,
Chandra mengajak saya ke tempat diadakannya bahasan materi untuk esok hari. Beberapa
bir berkadar alkohol yang tak seberapa menjadi jamuan utama,
kami bercengkrama dengan kawa-kawan penyair muda dari Padang. Bahasan yang agaknya penting di sini
adalah mengenai kegiatan komunitas di masing-masing daerah. Mereka menceritakan
bagaimana proses kreatif dalam berkomunitas. Bahwasanya obrolan tentang sastra
dan puisi kerap kali diadakan di kedai kopi. Karya yang dianggap pantas akan
dibahas, sedangkan yang tidak akan dibuang. Mereka percaya bahwa proses selama
berkomunitas harus memberikan hasil, dan hasil yang nyata diharapkan adalah
pemuatan tulisan ke dalam media cetak. Ya tak asing lagi memang, bahwa penyair
muda semacam Heru, Ramoun, dan Fariq adalah sosok yang tak tabu ditemui di
koran-koran nasional. Demikianlah mereka menganggap bahwa keberadaan komunitas
di satu sisi penting, di satu sisi tidak menjadi hal yang mutlak bagi proses
kreatif perorangan. Tema-tema perbincangan akhirnya mengendap pada pukul lima
pagi.
Maka
dikisahkanlah peristiwa hari kedua:
Pagi hari sekitar pukul
delapan, pembukaan secara resmi rangkaian acara Fokus Sastra
2014 dilakukan. Adegan teatrikal dari pantia membuka rangkaian acara tersebut.
Willy (yang saat itu berambut gondrong seperti Rendra) merapal ayat quran,
sirine dibunyikan, Ma’aruf (selaku ketua panitia acara) datang membawa gunting
untuk memotong rambut Willy sebagai perlambang. Sayang, tidak semua rambutnya
dipotong, panjang rambutnya masih tampak sama saja.
Di bagian belakang kursi para peserta terdapat beberapa
kawan yang ikut andil dalam acara ini. Mereka adalah penjual buku. Tentu acara
semacam ini tidak akan disia-siakan. Para penggelar lapak (yang juga adalah
penulis) menjual berbagai jenis buku dengan harga yang lumayan. Buku yang
sedang dipromosikan waktu itu adalah buku puisi terbaru milik Ahda Imran.
Penggelar lapak buku aseli bandung
Disksusi pertama dimulai. Diskusi ini dibawakan oleh Langgeng dan Ahda Imran.
Langgeng membawakan pengaruh teori kekuasan Foucoult terhadap penyebaran ilmu
dan konsep tentang sastra di Indonesia, sedangkan Ahda menjabarkan tentang
sastra dan konsepsi keindonesiaan dalam negara orde baru. Diskusi berlangsung
agak dingin, para seperti seolah baru saja bangun dan menghirup nafas pagi
pertama.
Beberapa saat
kemudian, syekh muda (penulis front pembela syiah…hehe) dari Banten masuk ke
ruangan dan duduk bersila di belakang menemui anak-anak asuhnya. Saya ikut ke
belakang, karena baru pertama mendapati wajahnya yang ternyata ke-timur
tengahan. Kami berfoto bersama dan bertukar buku. Selain itu kami bertukar
kisah. Sulaiman Djaya namanya, seorang pegiat komunitas Kubah Budaya Banten. Ia
mengisahkan bahwa komunitas mereka yang mengontrak sebuah rumah merupakan
komunitas yang dipenuhi oleh para mahasiswa. Tentu mereka yang mau belajar
menulis bersama. Aktivitas yang kerap dilakukan adalah melakukan camping menulis, mengadakan diskusi buku
di perpustakaan daerah setempat. Mereka merasa bahwa dengan melakukan kegiatan
yang tidak melulu eksklusif (mencoba outgroup)
akan menjadikan nama mereka strategis untuk diminati lebih banyak orang. Di sela perbincangan, sejenak ia melakukan
pembacaan doa yang terasa sangat khidmat dan nikmat dari ayat suci quran. Aduhai... Lalu usailah diskusi pertama.
Saya dan Syekh Sulaiman (kanan)
Diskusi kedua dimulai dengan pembicara Heru Joni (dari Padang) dan seorang dari kubah budaya (Ahmad S.Rumi). Mereka berdua membahas bagaimana Posmodernisme (P besar) mempengaruhi arah dan gaya kesusastraan. Perbedaan pandangan terjadi ketika Heru menguraikan pada akhirnya posmodernisme akan menjadikan sastra seperti mie goreng rasa rendang dan sebagainya dan sebagainya. Ahmad berpandangan bahwa kita tidak sepenuhnya menyalahkan Posmodernisme, karena di atas itu ada kapitalisme. Dalam kapitalisme, sastra diarahkan menjadi sastra yang bermuara pada pasar. Diskusi tersebut tampaknya tidak memberikan solusi apapun untuk permasalahan sastra yang sedang terjadi. Bagi saya, itu hanyalah pengantar atau latar belakang dalam kerangka ilmiah, harus ada analisis lebih lanjut dan buah pikir tentang cara-cara bagaimana untuk menanggulanginya. Waktu pun habis untuk mengorek berbagai macam pengantar.
Heru (tengah) dan Ahmad (kanan)
Pada siang kesorean, acara dilanjutkan dengan membahas buku antologi
puisi dan cerpen Fokus Sastra 2014. Pembahas adalah Edwar Maulana -- puisi dan Fina Sato (yang digantikan oleh Faisal Syahreza karena berhalangan hadir) -- cerpen. Jujur saja, nampaknya dan nampaknya lagi, buku yang dicetak memiliki berbagai kekurangan, begitu pula dengan redaksional bagaimana pemilihan puisi dan cerpen. Semestinya para kurator mesti memiliki kesadaran dalam mempertanggungjawabkan hal semacam ini, sayangnya esai pengantar yang muncul di buku ini hanya semacam deskripsi atas pembacaan karya para pengirim. Inilah yang menjadi bahan pertanyaan yang saya ajukan sewaktu acara ini berlangsung.
Senja hari untuk diskusi komunitas. Zulkifli berlaku sebagai moderator acara meminta perwakilan komunitas menceritakan tentang kegiatan dan seluk beluk komunitas. Saya mewakili komunitas Lacikata. Setiap komunitas menceritakan tentang kiprah masing-masing komunitas yang mana dalam acara tersebut dihadiri oleh sekitar 12 komunitas sastra. Yang menarik di sini adalah adanya keberagaman dalam berkomunitas, dari yang berlatar belakang pesantren, kampus, hingga umum. Dengan demikian muncul harapan akan adanya kreativitas dalam kegiatan berkomunitas.
Pengenalan antarkomunitas
Malam setelah diskusi komunitas selesai, maka berlangsunglah acara pentas untuk merayakan buku ‘Dari Kaboa Hingga Karto Lamus, dan Fragmen Perjamuan’. Perayaan bergulir dengan meriah karena mendatangkan kelompok musik dari Bandung. Selain itu, juga diisi dengan pembacaan puisi yang atraktif dari berbagai macam penyair. Lacikata mengirimkan seorang penyair muda untuk membacakan sajaknya.
Abdullah Mubaqi membacakan sajaknya secara perdana
Atraksi menggemaskan dari salah seorang peserta: Khoer Jurzani namanya
Acara perayaan buku antologi Fokus Sastra 2014 berlangsung sebentar. Malam minggu di Braga sedang meriah dengan acara festival kuliner. Kami memutuskan untuk makan malam di pameran kuliner bersama Baqi, Sartika (penyair muda medan), Denny. Dan gudeg jogja.
Romyan (penyair msb itu yang juga potograper) dan Arinda malam-malam datang ke tempat kami rehat. Ia membuatkan teh untu saya. Selang beberapa waktu kemudian tiba-tiba perut saya jadi sakit. Lalu, apakah tehnya bermasalah? Romyan mengobati saya dengan memperlihatkan hasil jepretannya. Dan karena Romyan telah 'menyakiti' saya, sebagai tuan rumah yang baik, ia harus bertanggungjawab dengan mengajak saya ke luar karena di tempat ini semakin membosankan (hanya melihat tubuh-tubuh terkapar). Maka, kami berangkat ke luar gedung. Braga sangat sepi dan 'mencekam' saat itu, berbeda dengan Braga di tahun-tahun lalu. Ya, ya, Jam malam selalu saja membuat suasana 'mencekam'. Di tengah perjalanan, kami menemukan beberapa penyair muda yang ternyata sedang nongkrong di depan minimarket. Nah pertemuan semaam ini yang barangkali bagian inti dari Fokus Sastra 2014.
Maka
dikisahkanlah peristiwa hari ketiga:
Pagi hari Semi (penyair garis keras) datang. Seolah ia berharap datang dan mendapati semua penyair muda masih tertidur. Kenyataannya tidak. Kami sedang sarapan. Hari ini adalah hari di mana rangkaian acara Fokus Sastra 2014 akan berakhir. Kami bersiap untuk menuju ke Museum Sri Baduga. Dengan angkot, kami menuju ke sana.
Pose bersama Semi (berjaket hijau)
Museum Sri Baduga merupakan museum yang menyimpan aneka ragam artefak dan alat-alat (baik seni maupun kerja sehari-hari) yang digunakan masyarakat sunda pada abad-abad itu. Yang menarik adalah arca patung budha yang paras dan aksesorisnya berbeda dengan patung budha di Magelang. Setelah mengelilingi museum, kami kembali ke auditorium. Di sinilah acara diakhiri dengan sesi sharing selama mengikuti kegiatan Fokus Sastra 2014. Masing-masing perwakilan komunitas mengutarakan pendapatnya tentang acara ini. Saya bersama wakil dari Jawa Timur sepakat bahwa perlu mengutarakan rekomendasi sebagai langkah konkrit menanggapi permasalahan sastra yang muncul akhir-akhir ini. Rekomendasi atau resolusi ini terkait dengan tema-tema yang ditawarkan oleh panitia sepanjang acara ini berlangsung. Terlepas dari ketidaksiapan panitia acara, ada tiga hal penting yang saya utarakan, yaitu kesadaran komunal, semangat indie, dan riset. Ketiga hal ini penting karena menjadi dasar atau pondasi dalam dinamika bersastra. Saya rasa menumbuhkan tiga hal pokok ini perlu diperjuangkan oleh para sastrawan muda yang notabene masih belajar di kampus-kampus.
Foto bersama di Auditorium Museum Sri Baduga
Siang menjelang sore, setelah kami berfoto bersama, kawan-kawan dari Jawa Timur dan KIAS Semarang pulang terlebih dahulu. Mereka seolah masih ingin mengutarakan sesuatu yang belum bisa disampaikan lewat bahasa. Hujan deras saat itu. Buku yang saya bawa dari Semarang akhirnya habis.
Kami (saya dan Baqi) memutuskan main ke kos Semi. Silaturahmi ke kawan-kawan Bandung lainya. Setelah makan di warung milik saudaranya rendra. Kami menuju ke kosnya yang konon sangat pas jika digunakan untuk menulis karena lingkungannya tidak terlalu ramai. Di sana kami bertemu dengan sastrawan muda semacam Rendy, Andika, dan Kadek surya. Kami bertukar cerita tentang kondisi di Semarang, dan tentang kegiatan-kegiatan selama Fokus Sastra berlangsung, ya karena Andika dan Kadek tidak ikut datang ke acara tersebut (di saat yang sama Rendy memilih asyik main PES). Setelah bergosip sastra sana-sini, malam hari, saya dan Baqi pamit pulang. Uang yang tersisa pas buat naik travel.
Kamar Semi yang ditempati bertahun-tahun lamanya
Bandung - Semarang, 2014
*catatan yang salah satunya digunakan untuk membayar rokok af kurniawan
**beberapa foto diambil dari kamera romyan