Apresiasi yang saya lakukan ini merujuk pada empat puisi terpilih versi Majalah KANAL edisi ketiga. Berikut empat puisi terpilih dan ulasan singkat saya terhadap empat puisi tersebut.
KAPUAS
rindu yang menuntun sampan berani melewati jeram
tak hanya kerlip kunang-kunang, cinta juga cahanya menerangi kelam
seperti sisa api yang masih menyala di pinggir sungai Kapuas
asap putih menari mendengar bunyi seruling yang di tiup anak-anak rimba
di malam sepi tanpa sajak perpisahan
awan nampak bergegas
bulan pias.
di kulit langit jingga terkelupas
lewat nafas malam terlepas
ya, memang tak ada sajak yang aku siapkan untuk Kapuas
dan sinar mata pun tak memberi janji apalagi harapan
kita berpisah tanpa sedih dan kecewa
sampai berjumpa di muara segala cahaya
2015
KAMPUNG LAUT
--mestinya kau ikut ke kampung laut, nda
selain berperahu menyisir lika-liku pulau-pulau kecil
selama sekitar dua jam
membelah-belah selat
di kanan kiri hutan bakau dan ada pemandangan sepanjang pantai;
camar melayang-layang terbang, bangau berbaris mengintai ikan
juga berang-berang berenang memburu ikan
dan biawak yang merayap-rayap hendak menerkam bangau dan camar
aku seperti berada di dunia hayal
dan di batu gajah yang alangkah indah
aku bertemu mang ucu yang sudah belasan tahun hidup di pulau kecil itu
setumpak tanah di kampung laut
mang ucu sangat lihai berburu kepiting dan menangkap ikan
sambil menyelam di geronggang karang
dan gelang akar bahar melingkar di tangang mang ucu
mang ucu mengajakku menyelam di geronggang karang
o, aku akan menangkap kepiting dan lobster merah untukmu, nda!
Cilacap, 12 Nopember 2015
ANAK
Beri ibu dada pagi yang berangsur terang
beri ibu senyum telaga tanpa gulma atau ganggang
menjadilah pohon, menjadilah jalan, menjadilah gunung
atau liuk sungai di hamparan terang dan hujan pikiran
Tengah kami pungut dan lemparkan bekicot ke selokan
kami jentik rangkak ulat dan kami usir penyamaran
para belalang, bunglon, tempayak, di dahan-dahan angan
agar lebih hijau warnamu, mengatasi gerumbul kekhawatiran
Agar saat ini dan seterusnya bisa kami patrikan :
“Bukan tubuh, pancaroba air muka, dan angka-angka usiamu
yang tengah sempoyong terhisap malam.”
Selalu, masih kami petik dan mainkan dawai-dawai hati
serta bertakzim pada upacara-upacara persemaian mimpi
oleh karena engkau adalah darah dan daging pengharapan
yang diciptakan Tuhan saat cinta tersenyum
2015
Mendaki Kesedihan
bagai hujan tak berhenti jatuh ke dunia
mataku meneteskan kesedihan hingga engkau berpaling
menemukan lobang gelap nan dalam di hati aku
tak dapat dicegah lagi oleh masa lalu kesekian percintaan
oleh panggilan bisu namaku yang tenggelam di hatimu
kesedihan hanya butuh dimengerti sebagai mataair
membelah dirinya ribuan kali hingga engkau ada di sana:
mengucap perpisahan, menertawakan ingatan
ingatan yang berbicara tentang hujan di hitam dadaku
lihatlah seseorang mati berkali-kali diceburkan kata-katanya!
tanpa kehendak, seakan takdir membawa aku ke dasar
menyelami sungai-sungai pucat di mana opelia mengapung
dan membekap tubuh aku; kesedihan abadi ribuan tahun
seperti sendiri memanggul dosa berulang kali
seperti sisifus yang tak diampuni
2014
PERTANGGUNGJAWABAN
MENULIS
Ada tema-tema besar yang cukup menarik dan
sedang digarap dalam keempat puisi terpilih di Buletin Kanal edisi ketiga kali
ini. Puisi Wans Sabang berjudul “Kapuas” dan Eddy Pranata berjudul “Kampung
Laut” sekilas ingin berbicara soal tempat. Keduanya, pada baris-baris awal
dalam puisi mereka, semacam memberikan aba-aba kepada pembaca bahwasanya nama
tempat yang mereka tulis adalah materi utama deskripsi menulis. Eddy menulis
begini: “–mestinya kau ikut ke kampung
laut, nda”, sementara Wans memilih begini: “seperti sisa api yang masih menyala di pinggir Sungai Kapuas”. Kedua
larik itu tidak bisa secara gamblang dikomparasikan sebab peletakkannya
berbeda. Eddy meletakkan larik tersebut di awal puisi, sedangkan Wans
meletakkan di baris ketiga. Kesamaan dari kedua penulis tersebut tampak
berupaya memperkenalkan deskripsi tempat di bagian awal. Hal ini bukanlah suatu
kesalahan. Bisa jadi ini merupakan suatu cara deduktif dalam kerja menulis
mereka. Struktur tidak bisa dilepaskan dalam suatu konstruk, apapun itu. Dalam
menulis puisi, struktur bisa jadi sangat penting (bahkan sangat genting di hari
ini). Beragam teknik bisa dipelajari untuk bisa memperoleh struktur yang pas
dalam mengolah tema. Oleh karena itu, sangat perlu bagi seorang penulis
mula-mula adalah belajar bagaimana menggunakan teknik dalam
berdiksi-imaji-rima-majas-tipografi hingga mengerti benar apa yang disebut
puisi.
Rentetan pertanyaan kemudian yang muncul
untuk kedua puisi tersebut yaitu ada apa dengan Kampung Laut dan ada apa dengan
Kapuas? Sejarah apa yang terjadi di dalamnya? Narasi kepentingan apa yang
membedakan kedua tempat itu? Lalu, apa pentingnya nama kedua tempat yang
diletakkan itu? Pada “Kampung Laut”, sekilas Eddy tampak hendak menunjukkan sesuatu
pada yang ia panggil “nda”. Ada ironi yang hendak ditampilkan di sana, tapi
agaknya ironi itu masih samar karena tertutup oleh deskripsi sang aku atas alam.
Ironi hanya terasakan di baris awal dan akhir. Pada “Kapuas”, Wans tidak
terlalu ingin menampilkan bagaimana lanskap kapuas selain bunyi seruling dan
anak-anak rimba. Selebihnya Wans bermain-main dengan rima--pada bait kedua
misalnya--. Wans seolah berhasrat sekali mengadu tentang perpisahan dan harapan
kepada pembaca, namun ia tidak sedang hendak mencipratkan kesedihan: “kita berpisah tanpa sedih dan kecewa”.
Dari dua puisi tersebut, mungkin saja membuat pembaca yang cerdas jadi pupus
melihat bagaimana narasi Kampung Laut dan Kapuas dianak-tirikan.
Merencanakan kata dengan disiplin dan
tidak terburu-buru agaknya bisa dirasakan di puisi berjudul “Anak”. Usaha Arwinto
Sunu Aji mematangkan emosi teks bisa dikatakan terjaga (membaca bagaimana Sunu
memperlakukan judul dengan isi), hanya saja kejanggalan dimulai ketika
dihadirkan subjek ‘kami’. Kata ‘kami’ yang dihadirkan memungkinkan subjek di
paragraf pertama: ‘ibu’ menjadi goyah. Lalu siapa ‘kami’? para ibu? Sunu
berpotensi membuat pernyataan di awal alinea ketiga ini kontradiktif dengan
tabrakan subjek tersebut. Adapun Sunu masih tergoda menggunakan frasa instan
yang sebentar puitik: dawai-dawai hati,
pancaroba air muka. Sunu barangkali
perlu mengayak lagi keputusan menyusun frasa-frasa tersebut.
Dalam menorehkan makna terhadap sebuah
puisi, pembaca lebih berwenang dan lebih berkuasa daripada penulis (Teeuw,
1991). Bagus Dwi Hananto menulis “Mendaki Kesedihan” dengan konstelasi si aku
yang kental di dalamnya. Namun, pengalaman si aku seolah digiring ke dalam
bentuk lain yang merujuk pada ‘hitam dadaku’. Dwi juga mencoba memasukkan
analogi kisah kuno untuk mengiringi konsep ke-aku-annya. Pengalaman si aku di
teks Dwi patut diperhatikan lantaran kemudian tidak dipungkiri akan godaan
tenggelam dalam kegelapan teks. Zoetmulder (1983) mengungkapkan bahwa dalam pandangan penyair (kawi), dewa itu
bukan hanya asal mula dan tujuan akhir segala keindahan. Mereka menyerahan
dirinya kepada semacam “ilham puitis” yang memabukkan. Maka mencipta atau
menikmati karya sastra bagi mereka sama dengan keluar dari diri sendiri,
kemudian hanyut mengalami keindahan itu. Untung saja Dwi cekat menaruh
mitologi yunani di akhir teks itu.
Syahdan, ada ceplosan perkataan demikian: aktivitas menulis (puisi) tidak untuk buang
ingus. Nah, maka bisa kemudian ditimbang-timbang kembali ke bilik
perenungan, ada apa dengan menulis (puisi) hari ini. Tentu terlepas perkara keceplosan.
Selamat kepada yang terpilih!
Semarang,
2016