PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

12.28.2011

MORTI

tersebab lucia

kau ingin sekali bercinta di laut terang itu--
air yang kau bayangkan sebagai ranjang lima dimensi
menelanjangimu lekas mencoba lekang menyamai kesunyian
ah, betapa sahaja ruang yang kau bangun di basah rambutmu
sama seperti sekujur tubuh melayang dari kedalaman:
kau sebut itu kematian, kau panggil itu kehidupan


kau ingin sekali bercinta di laut terang itu--
menyetubuhi keasinan pertemuan dengan desah terasing
menggema dalam mercusuar yang kosong, hingga tak ada imaji
seorang kekasih memerankan seorang bintang porno
sungguh, tak ada kau di sana, tak ada kilap buah dadamu
sebab betis dan ujung kakimu berkulit lumpur abu kelu
maka lebih baik setubuh diam ini mengantar masa lalu:
kau sebut itu kematian, kau panggil itu kehidupan


kau itu
itu kau


2011

12.21.2011

UFUK YANG BERANGKAT

tak ada akhir, kata paz
kita adalah seni yang kembali
bening sepercik basah mata
menghuni kehilangan demi kehilangan
sampai datang bab kesepian van gogh
yang ia namai warna. siapa dapat
mengatur masa depan, sebab igauan
berangkat lebih dulu bersama ufuk
di perpisahan bahasa kita



2011

12.20.2011

SAJAK-SAJAK JIM PASCUAL AGUSTIN

LANSKAP

sepuluh kilometer dari laut,
dua dari rentang pegunungan
menjulang di atas bagian
kota. tiga di pagi hari
mendengarkan angin
yang terdengar lebih
seperti gelombang menerjang.

rumah terlihat masih
seolah-olah ada sesuatu
terjadi. dekat gerbang
dari flat ini kami menyewa
sebuah pohon Van Gogh,
tetapi aku tak dapat melihat bintang-bintang
dari jendela yang terkunci

seperti semua pohon lain
pada seketika di kota ini,
sedang berjuang
dengan laut tak terlihat

setengah dunia jauhnya,
tanah di mana aku pertama kali
menyentuh pohon dan melihat
tertiup lanskap angin
pada kulit mereka



DALAM LABIRINMU

Anak empat bulan,
kau meratapi tanpa
air mata.

Botol di sisimu,
kerincingan bib keriput, berdetak diam,
dan ibumu,

Semua enam belas tahun dari dirinya
Aku tidak bisa mengatakan bahwa kau telah dicuri.
Mungkin sisihkan

di suatu tempat
dalam labirin
kebutuhanmu.

Mengajarkan kita,
untuk memahami
bahwasanya paling rapuh dari binatang,

Apa yang kau gelisahkan.
Tentang kesabaran kita yang diukur
pada sendok teh,

Mungkin saja itu tidak akan pernah
cukup untuk mengukirmu
demi cinta


*Jim Pascual Agustin adalah penulis Filipina yang tinggal di Afrika Selatan. Sajak-sajak tahun 1997 ini, diterjemahkan bebas oleh Ganz.

12.19.2011

APOLOGIA: BECEK INI MENGANTARMU

tertanda timur budi raja


beginilah bahasaku mencoba menerjemahkan serak bahasamu
sejeda sunyi itu mengingatkan atas perjalanan buta dan tua
yang bilamana dikekalkan akan semakin hijau dalam pikiran
atau cokelat tua melikat-kilat di kulitmu. beginilah bahasa tubuh
perjumpaan tanpa banyak perjanjian. seketika pelajaran tentang
sastra yang pingsan seumpama kota yang lekas becek di penghujan,
seketika itu juga langit begitu kotor untuk mengenakan rumus permohonan
maaf: kebersahajaanmu


2011

12.13.2011

PUISI-PUISI KECIL YANG MENULIS DIRINYA DI DESA MERAPI



MEMECAH PERSEMBUNYIAN


tak perlu kau sembunyikan dirimu ke rekat
rerumput di sisi-sisi jalan yang coba kau
tirukan bayangannya. kemarilah, duduk
bersama kami karna kami tak sedang melarikan diri
dari bungkuk pinggang atau keringat bibir,
bahkan mempercayai batang singkong yang kami
cabut akan tumbuh kembali dengan umbi paling besar
esok lusa. ladang mengisyaratkan kami gerak tunas
tembakau menyempit menujumu. barangkali, dengan
gendar dan tempe di lidah kami, siang semakin
mengetahui betapa lunaknya persembunyianmu.
atau mungkin kau sedang meniru bayangan keranjang
di samping kami?


2011



JALAN MATA ANGIN TELOMOYO

fajar ini tumbuh-tumbuhan yang memanjang
dari tanah bahasa telanjang nenek moyang
--kita memburu basah di seluruh pucuk daun kol
merekam setapak-setapak yang berdebur
mata angin jauh dekat gunung itu


2011



YANG BERJATUHAN ITU TERKELUPAS DI KAKI

angin bambu-bambu meniadakan kehilangan
ialah kesunyian di sudut mata seorang anak
sepulang sekolah bersama lekuk rerumput
yang menatapinya. lalu segalanya mengeras
menunggu kejatuhannya setelah jejak terkelupas
dari kaki menuju kaki


2011



MEMBEKUKAN API, MENIKAHI ABU

suara kita timbul dari gosokan kedua telapak tangan kita
seperti patahan kayu-kayu itu ke dalam pokok api
sebelum menikahi abu. itulah diri kita yang sangsi
seraya berharap bisa membekukan api, segigil air
bak kamar mandi, kemudian pikiran-pikiran hangat
mencoba berjoget di dalamnya


2011



MENYEMPURNAKAN ANGIN SUNYI

entah dari mana angin ini tiada memanggilmu
dari keramaian bisu bambu ataukah tanah ladang
yang saling ingin digemburkan.
demikian para petani mencerabuti sunyi
sebermula bunyi rerintik keringat cangkulnya--
sesempurna perjalanan panen ketela


2011

12.06.2011

SEBAB BARA MELEMPAR CANGKANG

mungkin tak ada keheningan lebih dari kerobekan suara tepi pantai
pun malam dan bintang-bintang dengan paruh bentang dadamu.
sekian kali, aku bermaksud menjadikan seluruh tepian ini
senja selamanya tanpa kau, juga waktu selanjutnya.
sekian kali, malam adalah putaran asing, timbul jauh dalam
kobar unggun sepanjang ia mesti dipelihara sebagai api berbentuk
kesunyian. kita telah habis mempercakapkannya: batu-batu karang
serupa gua kematian sebuah zaman. kita telah habis menggetarkannya:
melempar cangkang seisinya hidup-hidup. inilah kemerdekaan sebenarnya:
proklamasi telah kita sampaikan sampai jari-jari lepuh dan suara hening runtuh
berulangkali, seperih terang-padam naik perlahan dari ruh bara waktu itu:
mendekatlah, segalanya mencair bebas di letup inti api di sampingmu
--tak terkecuali timbunan keterasingan.


2011

11.29.2011

MEMBURU PERTANDA

gerimis adalah perjalanan muda yang menerangkan
air serupa pasir-pasir yang dari jauh ke kaki
menginginkan naik ke atas kepala kita,
ombak seperti bersikeras menghabisi karang
karang di tepian, entah bagaimana kita kian
hangus saja sebagai pendatang. hangus
ditemaramkan matahari yang hampir masuk
ke laut jauh itu--tanpa percakapan dan ucapan
selamat jalan.
sungguh, kita tak tahu menahu bahwasanya
pesisir ini semakin basah menyertai tubuh kita
yang lelah. padahal di sini sebuah perahu menantikan
kelepasannya dengan gagah untuk bisa mengangkut
matahari selanjutnya. lalu dari mana kita mesti
mempertautkan isyarat dan bayangan-bayangan
yang coba dipegang oleh orang-orang, sebab
mata kita mulai sembab dan mulut kita merasa asin
tanpa perlu memasukkan bagian tubuh satu per satu
mengejar ombak terjauh.
terlalu banyak tanda asing di sini, dan tak perlulah
kita kenali satu demi satu. nyeri jari yang berdarah
setelah berulang menelusup ke celah pohon berdaun duri
serta kata-kata yang hilang beralir ke utara
adalah tanda yang utama sebab kita saling berkekasih.
cukuplah


2011

11.24.2011

KERIKIL YANG ASING

jalan raya pudak payung menuju sukun:
sepanjang jalan itu seperti mempertautkan antara yang kelak dan barangkali,

yang kelak:
seketika tujuan adalah muka yang perlu kita kembalikan
kepada nafas pengharapan pada kegelapan, baik
di atas langit, baik di dalam tanah

yang barangkali:
seketika perjalanan adalah uji coba perjalanan selanjutnya
tanpa begitu ambien dengan keramaian pun kelengangan
kedatangan-kepulangan, kecemasan-kebahagiaan

lalu kita mesti fasih meletakkan segalanya pada sebelah dada yang tepat
supaya tak menemu sesal: kita di dalamnya--sesat di antara
kerikil yang asing



2011

11.22.2011

VIGILI SEORANG WARIA TULI DI PINGGIR KALI BANJIR KANAL

yang datang atas nama luput bunyi doa panjang,
panjang sepanjang deras arus kali ini
antara geliat hunian triplek dan kayu
kerlip lelampu yang sama seksinya
dengan lelagu dangdut koplo
berjogetlah tuan!
bersama busung dada palsuku:

--terpujilah bahasa manusia yang dibungsukan
kemuliaan kepada kecemasan,
ia begitu sabar memerankan malaikat kecil
di malam sewaktu gambar bulan datang
mengambang sebagai jelangkung dengan luka jantung
pada lolong muka muka mata yang tak pernah menamakan
diri manusia


--salam ya suara suara telanjang
seperti permulaan saban orang orang pinggir
menuang airmata oplosan ke gelas bir
menenggaknya cepat sambil menahan getir
syahdu ini manja dan begitu harafiah
untuk diperdengarkan, diperdentumkan
ke gendang gendang telinga hampa udara;
o, siapa ia berkelamin hendaklah ia berjaga
di tempat yang tepat di petak umpat--
lalu sedapat dapatnya membaca-tafsirkan:
kepulangan lain tanpa bunyi, setelah tuannya
mengeramati celana dengan doa
sebelum berbuka.


2011

ATAS NAMA SAMPAN

atas nama sampan, tariklah aku ke luap sungai
ke negeri air bengawan—ke negeri
paling ngeri rakyatnya

atas nama sampan, kemudianlah kita menyatakan
bahwa air itu telah membakar rumah rumah
pinggir kali hitam. lalu aku melihat beberapa
petani mengairi hijau pepadi dengan
api hitam

atas nama sampan

dada kita telah sama sama sumpah
kepada setiap arus
untuk diangkat, diayunkan,
didorong ke pinggiran yang lebih
tenang riciknya. tak lagi jauh pasang
tak lagi berwarna api

atas nama sampan, nenek moyang kita
adalah perahu bocor



2011

KELUH KAU PASANG SORE DI JEMBATAN KARTINI

oleh karena sepanjang rumah di pinggir kali banjar timur kau panggil kematian
bertalu-talu yang berlalu lama mendiami isyarat kehilangan kota--peta yang
sebentar dilupakan orang-orang. seketika kau seolah dijatuhkan burung pelikan
sore itu ke air yang terbakar tanah. sore itu terlalu muda untuk kau maknai
sebagai angin yang lantang berlari dari selatan, dan derak jembatan akan terus
menyuarakan seberapa jauh kau mesti berkata kepada dirimu sendiri--
seberapa luas kau simpan keluh di kesesakan tanpa harus menyatakan
sesal demi sesal. sungguh kau, meski kelengangan jalan di sekujur jembatan,
sore inikah yang konon kau inginkan jatuh dari angkasa supaya bisa kembali
kau pasang bersama keluh yang berkelupas-lepas lewat celah hidumu
lalu bercerai satu satu?


2011

ELEGI YANG MENULISMU KEMBALI

tertanda m.p.


"1.
ada wajah ada yang mulai
menulismu dengan hati-hati"


maka kau kembali kepada waktu yang pernah
menyempurnakan muasal rajah di tubuhmu:
o, dengan penghiburan kutulis nama
dengan kesesakan kutulis nama,
nama itu engkau yang turun menjadi
basah ke pipi. basah menjadi putih di bibirmu


karena sejatinya segala peristiwa yang demam
tak akan membuatmu pucat, atau sepasi harapan
yang suatu waktu kuletakkan di dingin telapak
tanganmu:
inilah pertemuan yang kusangsikan
inilah pengembalian yang pernah kita percintakan
tanpa perhitungan


"2.
ada puisi mati-matian merayumu
memisahkan antara kata dan cinta"


dengan apa lagi isyarat perjalanan mesti membuatmu
berpaling dari kematian yang sengaja dipisahkan
atau kau musnahkan sebagai pengasinan
--penghidupan. kata telah sedemikian iba
menemanimu di kesunyian di jalan-jalan
menuju petang sepanjang trotoar katedral.
cinta telah sedemikian terlanjur terbutakan
oleh kedua matamu yang berkilau redup-redam,
karena di mataku selamanya kita hanya alangkah


"3.
pertemuan seumpama kemabukan
kesakitan yang melengkapi bahasa lain"


tak ada penyebab yang pasti. aku cuman kehilangan
mimpimu. pesakitan yang rakus membuat kau
semakin jauh dari jejakmu sendiri. tak ada penyebab
yang pasti. kenapa mesti memabukkan percintaan
yang kembali kita tikam pelan-pelan, kekasih



2010-2011

11.04.2011

MATA PECAH MATA PEJAM

…Dan kini mataku pun bersenandung. Tatap tajam-tajam iramanya, lempar dirimu ke dalam api.”
[Octavio Paz]



-
Lelaki itu paham, ia tak sedang memelototi jendela yang sarang atas debu bertahun-tahun. Debu yang sewaktu-waktu ia pasang di mata sipitnya. Hanya di matanya yang sipit dan sayu itu, ia pernah simpan sesarang debu demi setetas nazar. Sekali lagi, ia tak sedang memelototi jendela, hanya saja entah kenapa ada yang layak ia pertahankan di lubang mata setiap menjelang pukul setengah enam sore. Pun, ia tak jarang mengaduh karena kegetirannya sendiri mendengar nanar matanya menyanyikan gaung lagu yang hampir sekarat di telinganya. Pukul setengah enam sore. Pada debu ia masih mengaduh, dan ia tak sedang memelototi pekat debu jendela di sepanjang adzan yang mulai terdengar jauh.

–-
Yang hidup di seberang jendela adalah kepulangan burung-burung menuju sarang. Tak ada badai. Taka ada mendung. Tak ada gerimis. Sarang selalu kering dan hangat untuk menetaskan mimpi-mimpi sehabis pagi. Sehabis dibawa sayap-sayap yang berarak keluar dari matanya. Sebab yang keluar pastilah kembali, meskipun kadangkala membawa sisa yang tak diharapkan. Mungkin di kepulangan lain, yang semula tegak hidup tetap tegak hidup seperti mimpi. Mimpi yang tak pernah dipecundangi walaupun dibayangi oleh usia. Dahulu dan sekarang, yang hidup di seberang jendela adalah kepulangan burung-burung menuju sarang. Dan ia masih saja menampakkan mata yang penuh kepulangan mimpi-mimpi sebelum menjadi pintu. Sebelum pagi kembali dibukakan.

—--
Udara bersuhu selimut. Ia masih duduk, sementara di luar gaduh. Ada bulan timpang yang tiba-tiba jatuh. Orang-orang berkerumun untuk menyampaikan doa supaya suatu waktu dengan kejatuhan, adalah pertanda untuk kembali menuju keberanian. Keberanian melihat diri sendiri, seperti ia yang sedang tekun menenun matanya untuk masa depan. Kadang kala orang-orang terlalu terpaku akan kejadian di luar dirinya, sehingga lupa bahwasanya di dalam dirinya masih banyak yang timpang dan berada di ujung tanduk. Ia tak tahu kenapa ia lebih tertarik kepada mata. Setiap ia mengingat orang-orang di sekitarnya, ia pasti akan dihantui bagaimana rupa mata. Bahkan seringkali ia tahu bagaimana orang mengucap dusta lewat mata. Memergoki orang yang membodohi ketimpangannya sendiri. Udara bersuhu selimut tebal, sekarang. Ia tak melihat lagi orang-orang yang berdoa khusyuk. Yang ada hanya bulan-bulan kecil beterbangan. Bulan-bulan berwarna bola mata.

—---
Untuk kesekian kali, di matanya muncul sebuah tempat yang lama ia kunjungi. Sebuah taman bermain sepanjang usia kanak-kanak. Barangkali, ia gatal dengan masa lalunya hingga berkali-kali ia menggaruk mata yang tak lekas lelah mengatupkan keinginan-keinginannya itu. Berkali-kali ia membasahi matanya dengan percik api pesakitan di masa lalu. Ia percaya bahwa karena masa lalulah ia berada dan berhasil menamai dirinya seperti halnya ia menyebut indera yang bisa melihat adalah mata. Untuk kesekian kali, taman bermain itu seolah ingin diciptakan kembali utuh–lengkap dengan anak-anak yang sedang asyik berayunan, berkejaran, dan membunyikan lagu dolanan di negeri bulan purnama. Sesegera beberapa waktu kemudian, longsor dari arah selatan datang menimbuni seluruh tempat itu. Semua anak, semua mainan, kecuali ia yang lari menyelamatkan diri. Ia benar-benar selamat seraya merasa ada malaikat yang membawanya jauh dari tempat itu. Menuntunnya kembali ke jendela di utara, tempat ia merasa dilahirkan tanpa percakapan. Sekembalinya atas letusan lirik-lirik rap di sebuah lagu yang ia putar berulang dan berulang. Lantas, ia kucek matanya yang berdebu. Ia basahi matanya dengan obat tetes mata yang terbuat dari tangis malaikat. Sampai saatnya, ia kutuk jendela menjelma lirik-lirik pecah tentang kegagalan lenting suara manusia kepada haribaan mata yang sebentar pejam.



2011

EUROPESCHEBUURT*



karena langit terus basah

50 bangunan lupa ke mana
jalan pergi ke abadnya


kita masih menghitung lelampu yang padam
di sini dengan sekalian pencahayaan tanpa
ada banyak laron datang menyalakan kegelapan,
ruhku seolah bersegera merasuk ke perlintasan
era-era yang didirikan mengimitasi kampung asing,
padahal aku seringkali bertanya-tanya: paving-paving
inikah yang membuat kenangan melahirkan suara-suara
derap-derak orang-orang pertengahan, para pedagang,
dan runtuhan kastil--inikah jalan yang mengasingkan kotanya
sendiri, lantas kita ikut melupakan arah di mana de javanische,
de malaische, dan de chineesche kampong mempercakapkan
cuaca demi cuaca berfoto di tubuh kita melalui angin kering
yang gemetar, bergetar sampai ke ujung jari kita.
kau menanyai tentang sejarah yang tak tertuntaskan
atas segala rute jalan menuju pemukiman kolonial
bahwasanya di sinilah kesepian tetap berada di jalan
kesepian sama halnya dengan nama di balik
pendar cahaya-cahaya tua--
di sana tak ada riwayat tersembunyi
hanya saja sunyi yang terlalu basah


2011
*) adalah nama Kota Lama di Semarang pada abad 17

11.01.2011

PAGI DAN SEGELAS SUSU INI KEKAL SEMENTARA MENJADI AIRBIRU MATAMU

seperti pagi ini yang kau panggil-panggil dari uap susu panas, lihat saja rasa ngungunku
yang terbias di percakapan warna putih tulang semakin renyai menembus alam pikir
tentang kenapa kita mesti menyeka airmata. dari es yang pagi-pagi sama-sama beruap
seumpama susu panas itu, aku tak yakin bahwa kegiatan minum-meminum
terlalu sentimentil untuk disebut ibu dari segala kepanjangan awal hari. segelas susu
waktu itu menciptakan pagi yang tak pernah fiksi. setiap hari, kasihku. dan kau pasti
mengenali upayaku menerjemahkan deru mesin yang mulai mendera kesunyian
di antara simpanan mimpi atau sejarah kenapa semut-semut berenang-renang
hanya di permukaan air, seolah menahbiskan diri sebagai pemanis buatan.
pemanis buatan yang sekedar menginapkan anyir ke lidah atau menitipkan
kesangsian hidup: agar kekal kita atas percintaan menuju suara-suara kecil.
seperti pagi ini yang kau panggil-panggil dari dasar segelas susu-- akukah
yang sementara kekal atas kepalsuan bahwasanya akulah tanda berulang
tenggelam di airbiru matamu


2011

10.18.2011

MITOS PENYESALAN

selepas tuwung kuning*


--kita tak perlu menghunus kebhakilan
sendiri, bukan?

dengan melihat mata masing-masing seutuhnya
perlahan cakar ayam keluar satu-satu untuk beradu
di semesta lain, sedang tangan-tangan kita
akan bersilih-tumbuh bulu-bulu ayam jago
lalu setiap waktu berjalan menuliskan
rasa lupa yang ditimpa berat maki lelaki
sesak. semakin sesak. seolah membelukar.
dan tangan tak juga bergerak, selain berusaha
menerima selendang tuwung kuning untuk kafan
kesendirian menjelang ayam berkokok memanggil
panggil keserakahan yang lenting mengalihkan
pandangan, menempelkan sedu muka ke tajam
mata pedang. karena kita terlalu ceriwis menenun
basah api demi sebening api, karena siapa merasa
besar kelaklah memakai mata paling banyak airnya.
alangkah suara pohon kesayangan berbau hantu
seperti membenturkan kepulangan pagi-pagi sekali,
meniadakan memar nafas yang tak sengaja terbakar
dalam sekam batang pisang kering. kita ini
yang tercinta dan mencinta, seringkali harus
membuang hunus pedang. mencacatkannya,
seperti merobek pakaian baru kita. menyemat
sesal yang was-was hingga bulu-bulu rontok
lalu kita dibawa bangga atas pengaduan
ke pengaduhan, melepas persembunyian perih
untuk mempersunting diri kandung kita,
merayakan sesal kuat-kuat tanpa sedikitpun
mengeluhkan udara yang telah berton-ton cemar.


2011

MITOS KEHENDAK

selepas datu untal*


“barangsiapa menentukan nasib terlebih
dulu, kemudahan akan menunjukkan taring
yang luhur yang bukan lahir dari mulut buaya.”

sebab katamu mengucap lafaz tak henti
luas menyeberang dari gili ke gili
menghindari pasir yang menyerpihkan
kaki menjadikannya gaib dan begitu
nyeri seperti ditumbuhi sisik-sisik
barisan taring-taring yang berhunusan
dari buaya muara. berenang menjauh
lekas supaya tak merasa hidup ini
fiksi atas kesepian demi kesepian sebab
keterasingan yang kerap menganga
seolah ingin melempar kehidupan lain
atau sekedar menitipkan rintih kutuk
sebagai langkah membuat sungai seabadi
mungkin, seumpama nama. melafalkan
maklumat kesadaran kalau dunia
ini bukan angkasa tak terpetakan,
kalau dunia ini tempat tinggal roh-roh
duduk bersebelahan, terkadang menyapa:
“puan-tuan, kita sedemikian dekat
hanya saja kalian tak kunjung melek
menjaga diri baik-baik adanya.”
maka perlahan,
tubuh ini akan tertinggal khusyuk sendirian
tanpa kerangka karena manusia kini seperti
tersandung lebih dari satu abad lamanya
membuka mulut dan tak ada yang keluar
membaca mantera dan tak ada yang jelma
mengusiri nenek moyang di tanah sendiri
melupakan muasal detak-detik kecil. berdenyut
seakan mendebar-debarkan pelarian panjang
yang sesat dan tak tahu ke mana langkah
sebenarnya berlamat-lamat berat, berat
nampak selamat atau tamat.


2011

MITOS KETAATAN

selepas ni timun mas*


sepanjang tak lupa mencintai diri
berterimakasihlah karena ni timun mas
yang kepadanya pintu telah ditetapkan
sebagai ruang diri untuk tumbuh bergantian
menjagai dengan penuh kehati-hatian
bahwasanya setiap orang mesti tahu
ke mana berbuat kelu atas nasibnya
memperbaikki kedunguan yang tak
berkunci pada kedangkalan di bawah
telapak kaki wanita. demikian selebihnya
orang bertembang seperti nyai timun mas,
layaknya ibu yang menghaturkan mantera
ke atas tidur anaknya di samping puting
memercikkinya dengan doa sepanjang
mungkin. hingga kelak datang pencobaan
yang seringkali muncul wanita-wanita palsu
--ibu bersuara lain. berterimakasihlah akan
masa depan yang senantiasa menampakkan
pembebasan raksasa i lantang hidung. sebab
diri tak seharusnya begitu saja mempercayai
mitos tikus, kucing, ular, anjing. mitos diri,
sebelum mempelajari siapa diri telanjangnya
di antara yang lahir. inilah bab kesekian
tentang bagaimana tak mengingkari
yang hidup yang tak setimpal atas tumbal
yang menjadikan pelanggaran
menuliskan kenapa kini banyak
berhala palsu silih bergentayangan
mengetuk-ketuk pintu orang dengan
bersenandung nafsu lagu-lagu mesin
serupa seorang ibu merindukan kepulangan.



2011

10.02.2011

DI TELAPAK TANGAN - OKTOBER, HUJAN YANG AKAN DATANG

mari belajar meramu-ramal dengan telapak tangan yang ada
:tengadahkan telapak tangan kiri, mari belajar meraba
garis-garis sayatan lahir yang kian tebal dengan mozaik
seperti sulaman sutera. ingatlah tiga garis utama: kesehatan,
keuangan, relasi. masukilah satu per satu, ikuti jalan garis
itu masing-masing. hingga merasakan bagaimana
cintanya diri ini kepada tubuh dan jiwa seperti tusukan
rimbaud di telapak tangan verlaine. maka sepanjang
diri mengenal siapa yang ada di diri, ialah yang sekarang
--oktober yang belum banyak bisa ditebak. hanya jika
perjalanan adalah kepastian, itu mungkin berada
di antara ribuan takhayul. kenanglah oktober
yang tetap menjadi bagian dari telapak tangan
dan tafsiran-tafsiran masa depan serta segaris
kekinian. sebab siapapun akan kembali pada
timbunan titik yang menyatakan ia ada-tiada.
ketahuilah akan hujan yang kerap kali diperkarakan
orang, ia akan segera memataairkan langit, seperti
keringat dingin berembun di telapak tangan.


2011

9.27.2011

MENG-UPLOADMU DI DINI HARI

:m


benar. aku tak bisa merasakan ujung bibirku
begitu hangat meminum rindumu. selepas demam,
demam yang mengajakku berpetualang dari
sinyal ke ponsel. benar. seperti ada yang sedang
menjemputku. tapi mungkin itu bukan kau sekali.

sejauh kutemukan usia yang mahal harganya,
aku ingat benar kau yang justru mengajari
bahwasanya dari jangka waktu kau mengatakan
kangen adalah penggenapan atas lamanya
aku memeras mata di hadapan seluruh puisi.
sejauh kutemukan dini hari ini,
kau mengeramatiku dengan kekosongan suara
menuju paru-paruku yang tiba-tiba berhembus
sisa bau rokok sedemikian kuat,
seperti ingin mengalahkan mimpi kita tentang
carrickfergus-carrickfergus yang akan datang
tanpa memperdayai diri demi menghibur diri
sampai bulu kuduk berdiri menakut-nakuti
ikrar percintaan

karena kita tak lagi berfirasat sama, karena itu
tandai tandailah ini sebagai pendewasaan
sebab kita masih memandang langit yang sama
dan jarak berjalan pelan-pelan mengejar ruangnya
mempercintakan kita sekuat-kuatnya, sebenarnya
suatu ketika



2011

8.24.2011

KONON, DI SEBUAH KAMAR YANG MENDOWNLOAD BULAN TAK HENTI-HENTINYA


menghisap udara dengan sepuluh jari tanganmu
seperti berpulangnya sengal nafas satu per satu
menuju penantian yang kucatat-ulang tadi pagi
karena tanggal-tanggal semakin semu tak berganti
dari episode menjelang episode yang terindui
orang-orang kampung bermatakan channel televisi.

udara kian sesak saja dan bunyi sepi bergentang
seperti penyair menenggelamkan kesunyian dirinya
seumpama berkendara di kemacetan tanpa klakson
selebihnya kota telah lampau memperbaikki alarm
supaya tak ada pagi terbit bersilih karena kaki-kaki
mulai tak sanggup menasrifkan kilometer perjalanan
menyembunyikan derap-derapnya, merahasiakannya
dengan nafas istirah panjang di kamarmu. demikian
segalanya terasa ingin abadi di kamarmu, dan kau tak
kunjung menyerah karena bulan selalu kuning merah
diam tak ingin kausuarai sebagai bulan yang pelan
masuk ke malam berikutnya.

alangkah kau masih mempercayai penantian bertahun
yang batal itu, menuliskannya dengan kecut jari-jarimu
dari kamar hingga bulan bisa tampak kekal di dalamnya
mengembalikan seluruh alamat pergi, membesuki
kebahagiaan tinggal di sini sambil menyaksikan gelap
kamar beserta bulan yang sebentar lagi memilih mesra
selamanya


hey, bukankah bulan tak mudah kehilangan byte sedikitpun?


2011

8.22.2011

TAKDIRKAN AKU SEBAGAI KATAKMU
















tertanda nenek lampat


[i]
selama perut masih girang beribu tahun lampau
selama dirimu tak pernah fiksi,
izinkan aku membenamkan diri ke rahim kesepianmu

lebih sulit rasanya jika batu batu ini kujelma
sebagai bunga bunga liar di ladangmu
daripada menjadi mahkota pangeran
sebab di rabun usiamu, aku belajar menghayati
tawar airmata mana yang benar benar menenggelamkan
warisan cinta adam

sebelum aku menatap nanar sesudah segalanya
lenyap karena tertelan ludah sendiri—sesudah manusia
tak lagi mengenal hikayatnya sebagai penyempurnaan
makhluk, aku benci dan sangsi jadi manusia
nek!

[ii]
niscayalah bujang katakmu, tak sekali anakmu semata
niscaya zamanmu itu nyata di belakang abad danau toba
dan seketika orang orang menamai sebuah tempat
dekat jurang terjal di jawa
:tangkuban perahu

ini aku. datang dari milenium ketiga
yang bersedia diberkati olehmu—oleh rapal doa doa
menjadi anak kedua berkulit hijau licin
bermuka katak

ini aku. jemputlah ke masa kini
atau doakan aku
supaya bisa tiba ke masamu
walau terkadang di duniamu
matahari tampak bayang
manusia tampak binatang

[iii]
silakan datang, nek
lahirkanlah kembali aku.
dunia ini bisa kau cipta
sebagai masa lalumu

dan barangkali, di balik kaki bukit itu
--yang kini penuh televisi, internet
blackberry pun ipad;
ada keyakinan
bahwasanya mereka tak pernah sanggup
memfiksikanmu juga si bujang anakmu
sama dengan manusia

“nenek lampat, demi namamu
aku takdir kemanusiaan katak
aku takdir hidup musibah milenium masa

takdirkanlah aku”




2011
Puisi ini terinspirasi dari sebuah pembacaan cerita rakyat: Si Bujang Katak
(Puisi masuk dalam antologi Pertemuan Penyair Nusantara v: "Akulah Musi")



8.14.2011

TUGU MUDA SERATUS RIBU TAHUN


Sir Richard Owen takkan pernah melihat semarang punya tugu
homo sapiens kini bergentayangan naik bus trans semarang
keduanya bertemu dinosaurus yang ternyata masih hidup
di bawah tanah. bergerak bergelimpang, tak bisa kencing tenang
karena kota ini semakin keparat saja. bau pesing terjadi di mana-mana.


2011

SEDINDING GABUS, SEPANJANG PERJALANAN YANG LANTAS KE TEMPAT SAMPAH

karena f.


2008, sketsamu berjumpalitan
sketsamu masih berjumpalitan di dinding yang terbuat dari gabus
sepertinya ingin membunyikan sesuatu tentang kebaikan dunia maya
--kita mesti jujur...kita mesti jujur
aku sempat mengiggau tentangmu dan enam belas tahun sms balasanmu
menunggui bau printer yang ngadat, lantas kapan selesai mencetak
sejarah kenapa kau putuskan untuk menemaniku sebagai lelaki

ketahuilah, sketsamu berkali-kali memanggil dingin dinding bukan tanpa alasan,
adakalanya aku tak dapat sepenuhnya mengerti bahasa
kedamaian yang hanya ada di pundakmu
lalu terpotret di sana bersama sebab-sebab takhayul
kucing hitam, bunyi gagak, kekupu cokelat, bintang jatuh,
hujan monyet, kecelakaan

aku mulai paham kalau kau tak pintar membikin puisi sampai-sampai menyesal
menangisi puisimu sehingga menggantinya sebagai musik
namun musik telah berhenti sebagai musik selain menumbuhi pemandangan berdua
mungkin sepasang kekasih yang lama jumpa. musik hanyalah diam dengan
bisikan lembut kepada telinga kita:
ya, kita tak sepatutnya berjalan
kita tak sepatutnya menempuh perjalanan
mengatur siapa yang akan menyelesaikan arah
menentukan di mana rumah yang sah

kepadamu, suatu waktu telah bersedia diketemukan oleh tempat sampah
aku meremasmu dan sketsa yang berisi pundak-pundak kita
dengan demikian kita tak perlu berkeluh kesah atas tempat
yang telah menemukan kekesahan terlebih dahulu
melepasnya ke ruang yang tak pernah terkira untuk disinggahi

barangkali, perkenankanlah aku untuk memperkenalkan diri, lagi

sejujurnya
ini aku yang mengetuk malam-malam supaya aku kau keluarkan dari bau printer
sketsa, dan 2008!



2011

8.11.2011

ALEGORI POHON BELIMBING


yang rela menerima segala sampah

dan tumpah tanpa membunyikan sebah adalah tabah

kita tak perlu bermuluk-muluk memakai peci
dan baju koko yang baru bilamana yang lama
telah usang karena kita tak pandai merawat
atau mengukur cawat

dahi ini tetap dahi setinggi manusia, ia akan
seperti kesombongan bilamana mendongak
lebih tinggi dan tinggi hingga melupakan
siapa yang menderaskan darah ke segala
tingkah

aku. aku. akulah pohon yang setengah terpangkas
oleh dada penuh bulu brutal yang mengeras.
setengah mati tanpa ada suara ketuk pintu
suara kerendahan hati--
"izinkanlah aku memangkasmu sebab telah kuketuk pemilikmu"

hahaha!
ini musabab, pak erte yang baik...
akulah batang-batang pohon yang tersungkur di pinggir jalan
yang tak mengutuk kalaupun benci angslup di tajam belatimu
manakala kau bersikeras patahkan dengan doa sepulang umroh

maka di pangkal akarku telah berulangkali
menerima nasihat syahdu dari air selokan
dan tak sebentar sungsang karena berseberang
semata,
lantas suaraku yang khilaf mengaku aku
menjemput laku kehilangan manusia
seketika pergi tanpa busana
tanpa memberi salam pemiliknya, tanpa!

yang rela menerima segala sampah
dan tumpah tanpa membunyikan sebah adalah tabah


2011

8.01.2011

SAJAK-SAJAK MELANIE LIEBERMAN*

Menghabiskan Waktu dengan Kakek


Bagian I
Untuk Seseorang yang Pernah Veteran

ia sudah terbang mobil di stopwatch langit yang membeku
rem dengan katup yang terjebak
seperti burung cuckoo macet di pintu sebuah jam.

ia duduk
di kursi penumpang dari ford lengkap fokus 2007
tapi semua yang ia lihat hanyalah kendali tekanan udara
dan sayap di samping pandangan cerminku.

ia masih menganggap sekelilingnya adalah perang
yang berjuang selama terbang di atasnya sehektar padang hijau
ujung es dan biru seperti electroshocks yang melalui kulit.

itu
pelajaran pertama aku mengemudi, tapi aku tidak belajar untuk terbang
mencoba untuk menavigasi pinggiran kota terasa lebih sulit
ketika rekan-pilot mengira kau menghindari artileri-artileri.

di puncak
bukit ia mendesakku melepaskan gas -- dan rem,
untuk pindah ke gigi yang lebih rendah,
sehingga aku mampu memberhentikan jet kargo di landasan.

tidak ada gunanya
bersikeras
bahwasanya mobil tidak bekerja dengan cara yang sama seperti jet
atau pikiran yang tua sama dengan yang muda
bahwasanya rem ada untuk berhenti sementara
meluncur menuju tepi sebuah langit yang datar.



Bagian II
Jika Kau Tak Gunakan Kata-Katamu Mereka Menghilang

Seumpama dokter-dokter yang mendeteksi infeksi
merambat naik dari pergelangan kaki kirinya
melalui pahanya yang seperti puding kismis
dan ke dalam tebal-kanker perutnya.

ia meletakkan jariku ke dalam tangannya,
sementara lidah licinnya bertongkat pada sebuah kata,
vokal akord kuno berdecak dengan sungguh
semua sembilan puluh tahunnya mundur dari sistem.

sebuah kamera video betanda kutu-kutu pada
sudut meja dapur,
untuk mengabadikan cerita-cerita
dari orang-orang pabrik

hikayatnya menetes perlahan
sampai gambar abu-abu dan putih yang mengerak
sejak tahun 1930-an di New York
membusuk ke dalam sarang laba-laba dan debu.

"kau
tahu," katanya, berpindah dari satu
pemikiran mampet menuju yang baru,
"jika kau tidak menggunakan kata-katamu mereka benar-benar
menghilang. "

dan
aku mencoba untuk merawat milikku
menandai setiap chip seperti dalam sebuah batu rosetta
sebelum berubah menjadi tetes embun di beranda belakang
pergi secepat cahaya matahari gudang seantero dunia





*Melanie Lieberman adalah seorang penulis dan editor muda Amerika yang sampai saat ini telah menerbitkan 13 buku. Sajak-sajak ini diterjemahkan oleh Ganz Pecandukata, 2011.

Sumber: http://www.hillstead.org/PDFs/lieberman_grandpa2009.pdf

7.31.2011

SAJAK-SAJAK WALT WHITMAN*



Seorang Anak Takjub

DIAM dan takjub, bahkan ketika kecil,
Aku ingat aku mendengar pengkhotbah setiap Minggu yang meletakkan Tuhan dalam
kata-katanya,
Sebagai pengkhianatan atas beberapa persaingan atau pengaruh.



Tengah Malam yang Cerah

INI adalah jam-Mu wahai diri, perjalanan bebas menuju tanpa kata-kata,
Menjauh dari buku-buku, jauh dari seni, hari terhapuskan, pembelajaran dilakukan,
Engkau sepenuhnya muncul, diam, menatap, merenungkan tema yang
terbaik untuk engkau cintai.
Malam, tidur, dan bintang-bintang.




Sebuah Daun untuk Bergandengtangan

SEBUAH DAUN untuk bergandengtangan!
Kau orang tua dan muda!
Kau yang di Mississippi, dan seorang mekanik! Kau orang kasar!
Kau orang kembar! dan semua prosesi bergerak sepanjang jalan!
Aku berharap membenamkan diri di antara kalian hingga terbiasa bagi kalian untuk
berjalan bergandengtangan
!



* Walter "Walt" Whitman (31 Mei 1819 - 26 Maret 1892) adalah seorang penyair, esais, wartawan Amerika yang pernah bekerja sebagai guru dan pegawai pemerintah. Sajak-sajak ini diterjemahkan oleh Ganz Pecandukata, 2011.

Sumber: www.poemhunter.com/ebooks/redir.asp?ebook=2353...walt_whitman...

7.28.2011

SAJAK-SAJAK KATIA KAPOVICH*


HARI SAMPAH

Mereka harus berteriak satu sama lain
karena angin pagi setelah Natal.
Aku berharap bisa melukis wajah mereka tanpa menggunakan kata-kata:
satu tinggi dan reyot, pendek dan gemuk, sedang yang lainnya
mengenakan jaket oranye kotor, celana olahraga,
dan masker wol hitam pada mulut mereka-
adalah orang-orang hari sampah.
Mereka terjebak denganku untuk melakukan sejumlah akrobat.
Gelap-biru daur ulang sampah diangkat dengan tangan berurat satu
menemukan diri dalam pelukan lain,
yang bersenandung atas apa pun yang bersenandung
kepada sopir, dan dorongan nyala stopkontak
ke atas piramida tong sampah yang dikosongkan.
Aku baru saja menaruh beberapa puisi buruk di dalamnya
puisi dari musim dingin sebelumnya, dan sekarang mereka pergi,
seperti masa Sang Buddha. Terima kasih, Bung.


MALAM FLAMENCO

Tersebab musim semi mendatangi bulan yang terlambat,
Orang-orang beramai turun ke jalan-jalan,
termasuk aku dan seorang gadis cebol.
Sebuah band sedang bermain flamenco favorit,
sedang dia berdandan, seolah-olah demi sebuah kencan
ia telah berdiri ke atas panggung
di hadapan semua orang.

Dia mulai mengetuk-ngetukkan kakinya,
sepatu hak tingginya tak tertahankan
menangkap irama tetapi tidak pernah meninggalkan tempat
di antara lampu neon di Cambridge Trust Company
dan risik padang rumput Bunga-bunga Harvard.

tangan putih pendeknya
menekan ke pelukan dadanya
yang patah hati
dan memegangnya seperti semangkuk susu.

Dia menari dan menari,
bayangnya tumbuh lebih panjang dari tubuhnya,
seperti lampu-lampu jalan Square yang berdatangan,
menghapus jejak kaki dari debu
meninggalkan cangkir-cangkir kertas untuk memutihkan
senja biasa.


(Flamenco adalah sebuah genre musik dan tari yang berasal di wilayah Spanyol selatan Andalusia di akhir abad ke-18)



TERBAKAR

Ketika hari membersihkan sampah turun ke atas rongsokan,
sebuah Balai kota dan tuan rumah Jerman kami temukan
dalam kompartemen koper kecil
mereka berbagi dengan sebuah bola dari kaus kaki, kap robek,
kau menggigil dalam celana renangmu
pada pohon beku tempat orang-orang Jerman
mendorong kami untuk bergabung dengannya demi berenang.

Aku akan mengambil arlojiku dan menguburnya di kerikil
yang mungkin menggerus pasir kekosongan,
melambaikan tangan-tangannya, mememarkan sikunya,
namun kukuku adalah sebuah kaca pembesar.
Kau meminta orang-orang Jerman untuk meninggalkan kami sendirian,
meneguk dari botol, menikahi seseorang,
tetapi dalam mimpi aku tergoda lagi
telanjang di bawah matahari musim gugur.

Satu hal terakhir sebelum aku lupa
kulit berbintik-bintik, bibir biru, suara-konyol
Aku akan mengambil kaca pembesar
dan menunjukkan apa yang kumaksudkan.




*Katia Kapovich, seorang penyair yang membawakan sajak-sajaknya dalam bahasa Inggris dan Rusia. Dia adalah penulis Rusia yang tinggal di Cambridge di tahun 2000. Aajak-sajak ini diterjemahkan oleh Ganz Pecandukata, 2011

http://www.janushead.org/10-1/kapovich.pdf

7.27.2011

SAJAK-SAJAK PAUL CELAN



Sebuah
gemuruh:adalah
kebenarannya sendiri
yang berjalan di antara
laki-laki,
di tengah
badai metafora.



Di mana
?
Pada
malam seketika bukit batuan runtuh.

Dalam
puing-puing dan curam keresahan,
dalam kegaduhan paling pelan,
kebijaksanaan itu - adalah lubang bernama Ketiadaan.

Jarum-jarum air
menjahit bagian
bayangan - di jalan perjuangan
yang lebih dalam dan bawah,
yang bebas.



MEMECAH

Tanpa kesakitan, sebuah pohon-
kuburan pecah menjadi
ranting-ranting yang patah:

racun masa lampau
istana-istana, katedral-katedral masa lampau,
mengapung-
di arus dan jatuh

sebab pembakaran yang berulang
lepas
dari tanda baca kesela-
matan,
Kitab Suci,
melarikan diri ke bagian-bagian
tak terkirakan hingga
yang dinamai tak-
mampu mengucapkan
nama-nama.




(Paul Celan, seorang penyair dan penerjemah yang berasal dari Rumania berdarah Yahudi. Ia lama tinggal di Jerman di masa perang dunia II. Sajak-sajak ini diterjemahkan oleh Ganjar Sudibyo setelah sebelumnya dibahasa-inggriskan oleh John Felstiner, 2011)

sumber:http://www.janushead.org/10-1/celan.pdf

7.22.2011

SAJAK-SAJAK OUYANG YU



JANGAN BERKATA


Betapa sepinya dirimu
Ada begitu banyak pohon di sekitarmu
Berdiri dengan begitu terpisah
Bahwa mereka tidak pernah berbahasa satu sama lain dalam gelap

Ketika kau berjalan pulang larut malam
Seseorang mengangkat bara api dari panci api
Betapa kau memiliki perasaan
Bahwa itulah kehidupan

Sama halnya seperti kau masuk pintu
Lalu bayanganmu membuat suara
seketika kau melihat ke belakang dan melihat bahwa itu adalah anjing tanpa rumah
Seketika itulah kau berpikir, puisi ini dituliskan



MINGGU, 22 AGUSTUS 2004

Pukul 4.09, Minggu sore, 22 Agustus 2004
Saat itu di luar hujan sangat deras
Hujan terdengar di dalam rumah
Ouyang Yu sedang mengetik
Menulis puisi ini
Bel oven di dapur berbunyi
Suara sorak Olimpiade memenuhi ruang tamu
Dan Ouyang Yu telah sedang menerjemahkan di rumah sepanjang hari
Langit berubah abu-abu, berganti kuning
Lampu menyala di rumah

Ketika Ouyang Yu selesai menulis puisi
di pukul 4.12, Minggu sore, 22 Agustus 2004



MUSIM DINGIN

Sehari-hari dengan matahari aku terbang sendiri
Di ambang jendela ruangan ini

dia telah lama mati
Tapi aku masih hidup



LAMPU

Aku menyalakan semua lampu
Dalam ruangan yang tidak terlalu besar ini
Aku menyalakan semua lampu
Dua lampu di atas kepala tempat tidur
Satu lampu di kedua sisi cermin di dinding yang berlawanan
Satu lampu yang berdiri di sudut
Tabung ini seperti lampu berwarna susu
Dan pada sebuah lampu pijar di sisi tempat tidur
aku menyalakan mereka semua
Mereka tidak tahu mengapa aku
Menyalakan mereka semua
Sementara di ruang bintang-4,5 ini
Malam jatuh dengan cepat


(Ouyang Yu, seorang penyair Cina yang tinggal di Australia di abad 20.
Sajak ini diterjemahkan oleh Ganz Pecandukata, 2011)

sumber: http://www.janushead.org/11-1/Yu.pdf

SAJAK-SAJAK CRISTIAN ALIAGA


HASRAT TAK TERTAHANKAN

Setelah tangan telah siap mulai
gerakan itu
sesuatu memiliki kesadaran sekilas
dari penyakit seseorang tentang bagaimana melakukan.
Pakaian akan jatuh,
anggur akan tumpah dan
jantung akan berdarah selamanya.

Tapi sesuatu tidak dapat menghentikan gerakan itu.




BERMAIN DI PERDARAHAN

Kami bermain di perdarahan
namun kami menutupi
lubang itu

Aku telah melihat darahku
menari
dalam mesin transparan

Sesuatu telah hilang di dalamnya
dari hangat mereka
di tabung cairanku

Aku telah melihat lewat para pasien
warna
keputusasaan.



KEBAKARAN YANG DILEMPAR MALAM

Karena ia yang bernyanyi sementara
anak-anaknya membakar hidup-hidup,
karena ia yang tidak tahu, ia yang tidak
memperhatikan bau;

Karena ia yang menggunakan lidahnya untuk menyapu
para bos karpet,
karena ia yang tidak mampu, karena ia
tidak tahu apakah ada cara yang lebih baik;

Untuk ia yang membentang tanpa kata-kata
meminta apa yang tidak akan diberi oleh mereka,
karena ia yang tidak mengerti, karena ia
tidak ingin untuk tahu bahwa di sana tidak akan ada;

Untuk ia yang menyalakan api
malam itu melemparkannya keluar,
karena ia menghargai cahaya, karena ia
tidak lupa akan panas kehilangannya.

Untuk mereka aku menulis, mereka yang
tidak akan berhenti untuk membaca.


(Cristian Aliaga adalah seorang penyair Argentina Selatan di abad 20.
sajak ini diterjemahkan oleh Ganz Pecandukata setelah dibahasa inggriskan oleh Ben Bollig, 2011)

sumber: http://www.janushead.org/11-1/Aliaga.pdf

7.21.2011

[MASIH DALAM CORETAN KECIL PSIKOLOGI] LUBANG HOMEOSTASIS PUISI DALAM EKSPERIMENTASI DIALOG PENYAIRNYA*



Melaboratoriumkan Keberadaan

“Keberadaanmu adalah pilihan-pilihanmu!”

Secara tegas Sartre menyatakan betapa vokal ia dalam perutusan eksistensialis. Begitupun ia mengamini apa yang diyakini Nietzsche bahwa individualitas, keluhuran, dan martabat adalah aufgegeben (yaitu sesuatu yang diberikan kepada manusia sebagai tugas yang harus dijalankan). Dalam kehidupan proses kreatif mencipta dalam karya, secara tidak disadari terbangun sistem di dalam diri sang pencipta tersebut. Seyakin apa yang telah dipercayai olah Sartre maupun Nietzsche, Freud membungkus kebutuhan-kebutuhan manusia dalam mekanisme yang telah sedemikian rupa tertata. Selanjutnya akan bekerja sesuai fungsinya masing-masing. Hal ini berkorelasi dengan apa yang disebut dengan sistem homeostatik manusia. Sebuah sistem di mana terdapat kerangka psikologis yang meletakkan nilai-nilai kebutuhan dan dorongan dalam diri manusia. Kerangka ini adalah tuan yang baik bagi proses mempertahankan keadaan stabil atau keseimbangan hidup. Kemampuan untuk mempertahankan diri sendiri dalam ruang yang nyaman dapat menggambarkan diri seseorang dalam bermotif, dalam memetakan konsep kognitif seseorang. Kemampuan ini akan muncul bilamana seseorang mulai mampu berkaca terhadap keberadaannya (dalam konteks ini adalah sebuah karya).

Di sini tidak akan dibahas tentang bagaimana reaksi fisiologis muncul sebagai variabel yang diregulasi. Namun, sebenarnya ada yang lebih mendasar dari sekedar pembahasan reaksi tersebut (apabila dikaitkan dengan karya sastra berupa puisi). Keberadaan puisi-puisi yang ditelurkan oleh para penyairnya menawarkan interpretasi yang lebih dari hanya sekedar inter- atau antartekstual saja. Di dalamnya terdapat apa yang disebut Freud sebagai fenomena gunung es yang begitu luas, banyak yang tak terjamah dan penuh teka-teki. Fenomena ini menuntut keberanian untuk membuka rangsangan bagaimana si penyair merepresi seluruh kebutuhannya lalu mengemasnya diam-diam dalam puisi-puisi yang perlahan membeku, lantas menemu puncaknya masing-masing.

Ketika seorang penyair berulang kali menuliskan puisi, itu pun berarti bahwa ia mengalami puncak-puncak neurotik untuk menjadi individu yang ingin lepas dari manifestasi pengingkarannya. Namun, tidak semuanya bisa digeneralisasikan seperti ini. Meski demikian hal ini dapat menjadi tolok penilaian psikoanalisis bagaimana memandang sebuah proses psikologis melalui penciptaan sebuah karya.
Dalam buku puisi “Biar!”, Nanang Suryadi terlihat sedang memperlakukan eksperimentasi-eksperimentasi emosionalnya melalui citraan-citraan dengan tingkat diferensiasi yang renggang antara tiap tema. Atau, jangan-jangan Nanang sedang asyik dalam laboratorium dirinya, memakai jas-jas baru untuk mengamankan diri? Nah!
Berikut ini merupakan salah satu sajak yang telah dibekukan dalam laboratoriumnya dengan bahasa-bahasa temuannya:
Biar!
tak kau ingat lampu-lampu yang menyihir kita menjadi
orang yang mentertawakan dunia. tak kau ingat keringat
meleleh di langkah kaki, di punggung, kening, menantang
matahari! menunggingkan pantat ke muka-muka orang-
orang yang dipuja sebagai dewa!

o, engkau telah membunuh kenangan sedemikian cepat.
seperti kulindas kecoak dengan ujung sepatuku. perutnya
yang memburai, putih, mata yang keluar dari kepala, masih
bergerak-gerak. aku menjadi pembunuh. seperti dirimu.
demikian telengas. tanpa belas. kepada kenangan.

biar. jika kau tak mau temani. biar kurasakan nyeri sendiri.
di puncak sepiku sendiri!
(halaman 5)
Adapun Nanang menggambarkan komponen emosional yang dikerucutkannya ke dalam judul. Pada kalimat: “biar. jika kau tak mau temani. biar kurasakan nyeri sendiri.” Seolah ada mekanisme di mana si penyair ingin menyangkal perasaannya sendiri, mencoba untuk mendistorsikan apa yang disebut Rogers sebagai diri nyata. Semakin dekat diri nyata dengan diri ideal, maka pengaruh emosional yang dirasakan akan lebih bahagia. Namun, di sisi lain, si penyair ingin memfungsikan untuk menjadi sepenuhnya memberikan penghargaan positif dari keambivalensian antara kenyataan dan keidealan dalam dirinya. Dengan demikian, ia dapat mencukupi kebutuhan rasa amannya untuk menutupi tingkat keresahannya terhadap kenyataan yang dihadapi. Kalimat tersebut sekaligus menjadi klimaks dari sepanjang dialog antara dirinya dengan tubuh yang ia hadirkan melalui puisi.
Sementara itu di puisi di bawah ini, si penyair ingin mengungkapkan semacam imagery bahasa keterasingannya terhadap pengalaman inderanya:
Bahkan
Bahkan aku tak ingin menjadi huruf, karena huruf masih
Mengingatkanku pada puisi, bahkan...

Lalu ingin kututup buku catatanku, kerekat dengan isolatip,
Agar tak kukenang lagi, huruf-huruf itu yang merayu dengan
Matanya yang meredup sayu, bahkan...

Jangan sebut aku penyair, karena aku hanya debu, yang
Menghampiri telapak kakimu
(halaman 43)
Dalam puisinya, ia berusaha mengkonkretkan konflik dengan sesuatu yang tak terhindarkan. Sesuatu yang tak terhindarkan itu kemudian merasuk di dalam bawah sadar si penyair. Lantas, mencoba untuk dipertahankan dan diterima di dalam konsep dirinya. “Bahkan aku tak ingin menjadi huruf, karena huruf masih/Mengingatkanku pada puisi, bahkan...” Ada semacam rasa penolakan yang dikatarsiskan dalam kalimat tersebut, sehingga memunculkan permusuhan yang pelik di dalam penyangkalan perasaannya sendiri. “Lalu kututup buku catatanku...Agar tak kukenang lagi...” Pada bunyi puisi selanjutnya itu, ia sepertinya ingin menjauhi kegaduhannya dengan menampilkan diksi perlawanan atas kesadarannya bahwa sumber keresahannya adalah “buku catatannya”. Lalu, siapa dan apakah “buku catatannnya” itu? Citraan si penyair mengenai “buku catatan” tidak lain adalah pengalihan bahasa dari sumber kecemasan dalam pengalaman pribadinya--hubungan si penyair dengan kepenyairannya. Menurut Prof.Suminto dalam bukunya “Mengenal Puisi”, ia pernah menuliskan bahwa penggunaan kosakata aneka bahasa dalam puisi memang didasari oleh persepsi masing-masing penyair. Kata-kata tertentu dipilih dan dipakai oleh penyair karena kata-kata itu memang bersifat “siap pakai’, yang bagi penyair mungkin lebih kaya dan lebih bervariasi guna mengekspresikan berbagai jenis emosi, yang memang merupakan aspek yang sangat mengedepan pada bahasa puisi (hal.159).
Di lain tempat, si penyair memiliki tingkat kepekaan terhadap isyarat-isyarat yang tertangkap di lubang-lubang inderanya. Namun, untuk mengetahui tingkat kepekaan seperti itu tidak dapat disamakan dengan proses kreatif penyair lain. Setiap penyair memiliki trait-trait sendiri dalam mengasah kepekaanya. Nanang Suryadi di kumpulan puisinya kali ini seolah ingin mempertontonkan bagaimana ia mengolah laboratorium kepekaan puitiknya—laboratorium yang sekaligus diletupi oleh asap keberadaan dirinya sebagai seorang manusia. Namun sejauh mana ia berhasil dalam eksperimennya? Maka bertolak dari uraian Paz tentang puisi: sejauh kemampuan si penyair mentrasendensikan dirinya antara puisi dengan apa yang ia puisikan.

Menggali Lubang Diri demi Menutupinya, Menggali Sajak demi Memasukinya

Kutuk Puisi
Dapatkah ia lepas
Dari kutuk puisi

Ke mana ia
Akan berlari

Puisi terus memburu
Hingga ambang mati
(halaman 78)
Puisi tersebut seakan mengetengahkan kesadaran si penyair akan situasinya, situasi yang menjadi stimulus untuk melakukan dialog-dialog lain. Dialog kali ini, sepertinya penyair ingin menerjemahkan relasinya dengan puisi. Lalu, apakah si penyair sedemikian brutal hingga menyebut puisi itu berkutuk? “Puisi terus memburu/Hingga ambang mati”. Penggambaran si penyair mengenai konsep “kutuk” dalam puisi perlahan berhenti sampai di klimaks ini. Demikian si penyair memiliki “self concept” yang meyakini bahwa ada adegan kejar mengejar dalam kepenyairannya. Tidak ada yang salah dengan ini. Bahwasanya si penyair mengalami langkah perburuan antara diri dan realita adalah sebuah fragmen yang sah, sebab tahapan perkembangan dalam kepenyairan memiliki asosiasi dekat dengan bagaimana seorang penyair mempersepsikan objek maupun subjek dalam pola-pola kebahasaan. Dalam puisi tersebut ada kata-kata: “lepas”, “berlari”, “ke mana”, “memburu”, “hingga”, kemunculan kata-kata tersebut sebenarnya ditujukan untuk mengikuti alur tema. Terlebih dari itu, ibaratnya Nanang masih berlarian gonjang-ganjing dalam mencari jalan ke persinggahan ternyaman dengan jalan yang tak banyak kelokannya. Hala ini mendorong sisi emosionalitas kepenyairannya mudah pecah yang kemudian menyebabkan ia terus menggali kedalaman dirinya untuk menutupi lelubang proyeksi kebutuhannya sebagai langkah adjusment terhadap pencarian-pencarian self concept yang baru. Sementara itu, ia masih terperdaya bagaimana menutupi lubang-lubang lain berkaitan dengan interaksi kepribadian seorang Nanang dan lingkungannya. Terhadap lingkungan, ia tak sepenuhnya bisa menyalahkan. Lantas ia melakukan spekulasi-spekulasi intrapersonal di mana kepuisiannya itu tiba, seperti dalam potongan puisi berikut:
Di sebalik bunyi, suara bolak balik, mungkin gema yang
Patah. Seperti ingin disimpan rahasia dari lengking, tak
Tuntas. Ucapmu dari kedalaman jiwa, tak
....
(Adalah dirimu, Gema yang Patah; halaman 64)
Sebagian puisi-puisi Nanang juga ingin menunjukkan ikatan-ikatan emosionalnya dengan kehadiran orang-orang yang ia jumpai. Salah satunya demikian:

Tak Sampai Engkau
--:scb

telah sampaikah engkau pada titik di mana rindu tak ada di
mana puncak segala puncak tergapai. siapa paling besar di
antara paling besar. engakukah? mengekeh dalam luka tak
sampai rindumu. cuma gerutu konyol dan kelakar liar.
karena tak sampai pada rindu. tak sampai engkau.

aih, kutahu, demikian pedih hatimu, dan teriak: pukimak!
demikian kau?
(halaman 49)
Apakah Nanang ingin kembali meneriakkan kedekatannya dengan seseorang, mengangkatnya dalam puisi atau sekedar sebuah penggalian emosionalitas untuk memasukki ruang-ruang percakapan baru? Atkinson memaparkan beberapa komponen emosi antara lain, rangsangan otonomik, penilaian kognitif, ekspresi emosi dan reaksi emosi. Apabila dikorelasikan dengan puisi tersebut, rangsangan otonomik yang terjadi dapat diinterpretasikan seberapa kuat relasi emosional si penyair dengan seseorang berinisial sbc. Penilaian kognitif berkaitan dengan suatu analisis situasi si penyair yang menghasilakn suatu keyakinan emosional. Bahwa sbc adalah kawan terdekatnya saat itu, ini adalah keyakinan emosional yang sedang ia punyai saat itu. Ekspresi emosi adalah bagaimana subjektivismenya mengkomunikasikan kedekatannya itu dalam bahasa puitik. Sedangkan reaksi emosi adalah bunyi bahasa yang ia tuliskan. “...dan teriak: pukimak!/demikian kau?” Melalui pungtuasi dan diksi, di situ ada reaksi emosi yang dipertunjukkan sebagai buah peretemuannya dengan sbc. Demikian Nanang pun mempuisikan relasinya dengan orang-orang lain yang dianggap mempunyai hubungan personal. Penggalian emosionalitas dirinya akan hubungan interpersonal ini dapat dipahami sebagai tahapan prakognitifnya menuju eksperimentasi keberadaannya untuk menyusun keseimbangan-keseimbangan baru di dalam relasi dunia personal (keaku-an) dan lingkungannya (kekau-an). Hal ini tercermin bagaimana ia memperlakukan diri dengan puisi dalam bukunya itu. Keberadaannya sebagai manusia dan penyair yang kemudian memunculkan eksperimentasi dialog-dialog yang intens dalam puisi, membutuhkan penyadaran benar akan pentingnya mekanisme sistem homeostatik yang ia ciptakan sebelum terjebak di lubangnya sendiri. Jangan-jangan ia bukan Nanang yang sejatinya? Atau kesejatiannya itu sepanjang warna-warni pelangi? Maka, Nanang sepertinya perlu mengambil dan menyulut rokoknya sejenak, mengendapkan teh kepyur yang saya sajikan sebelum diteguk pelan-pelan untuk berelasi dengan ilustrasi Pascal tentang kesadaran manusia akan keberadaannya:
“Manusia hanyalah sepotong alang-alang, alang-alang yang paling lemah yang pernah hidup di semesta raya ini. Meski demikian, ia adalah alang-alang yang berpikir. Alam tidak perlu mempersenjatai diri untuk membinasakannya: sekepul asap, sedikit tetesan air, sudah cukup untuk membunuhnya. Akan tetapi, meski alam mampu menghancurkannya, manusia lebih agung daripada yang membunuhnya, karena ia mengetahui bahwa ia akan mati,.....padahal tentang hal itu, alam tidak pernah tahu sedikit pun.”

Semarang, 2011

*Ditulis sebagai catatan apresiasi atas terbitnya buku kumpulan puisi Nanang Suryadi: “Biar!” (IBC;2010) Oleh A.Ganjar Sudibyo (Ganz) seorang mahasiswa psikologi yang juga bertekun meniti puisi.

7.06.2011

KEPERGIAN BUAH BIRU SUMBI


dayang, selamatkanlah wajahku

bilamana aku akan pergi ke abadmu
seperti kepergian warna langit
menuju kulit paling legit

sebab aku dari pada buah birumu
yang tercipta melalui puisi sekarat
yang pergi. pergi ke abad jauh
melepas rambut uban
menanaknya di airmata ketuban


2011

7.01.2011

CIK-CIK PERIUK, KEPITING HIDUP


mari masak kepiting hidup

sebab bapa kita terlahir dari periuk
dan jantung kita tercubit
seperti ingin keluar dari jebak capit

mari masak kepiting hidup
dan membiarkannya membangun
periuk di ujung lambung
berbau tanah humus


2011

MENAHBIS LAGU KICIR


cepatlah pelan di jalanmu itu

dari jakarta yang macet
lelagu pucet dipercayai
melegakan pulsa di nomor
ponsel masing masing
-- telponlah nenek moyangmu
supaya kita tertahbis
sebagai manusia serapan leluhur
yang kembali dari lirik lagu!



2011

6.18.2011

KEPADA MADRIM


o yayi madrim,
ke manatah dunia
menerakai aku

sebab kini nyawa
terkecup seribu kali
basah di lekuk payudara
menuju diam jantung
sebelum surat pulang lucut
dari kedatangan
batara yamadipati

o yayi, pahamkanlah
aku tak sedemikian mati
di rajam pelukmu--
sebab adalah kehilangan kesekian
aku daripadamu, adalah kehidupan
yang tertebus dari nafas ke nafas


2011