…Dan kini mataku pun bersenandung. Tatap tajam-tajam iramanya, lempar dirimu ke dalam api.”
[Octavio Paz]
-
Lelaki itu paham, ia tak sedang memelototi jendela yang sarang atas debu bertahun-tahun. Debu yang sewaktu-waktu ia pasang di mata sipitnya. Hanya di matanya yang sipit dan sayu itu, ia pernah simpan sesarang debu demi setetas nazar. Sekali lagi, ia tak sedang memelototi jendela, hanya saja entah kenapa ada yang layak ia pertahankan di lubang mata setiap menjelang pukul setengah enam sore. Pun, ia tak jarang mengaduh karena kegetirannya sendiri mendengar nanar matanya menyanyikan gaung lagu yang hampir sekarat di telinganya. Pukul setengah enam sore. Pada debu ia masih mengaduh, dan ia tak sedang memelototi pekat debu jendela di sepanjang adzan yang mulai terdengar jauh.
–-
Yang hidup di seberang jendela adalah kepulangan burung-burung menuju sarang. Tak ada badai. Taka ada mendung. Tak ada gerimis. Sarang selalu kering dan hangat untuk menetaskan mimpi-mimpi sehabis pagi. Sehabis dibawa sayap-sayap yang berarak keluar dari matanya. Sebab yang keluar pastilah kembali, meskipun kadangkala membawa sisa yang tak diharapkan. Mungkin di kepulangan lain, yang semula tegak hidup tetap tegak hidup seperti mimpi. Mimpi yang tak pernah dipecundangi walaupun dibayangi oleh usia. Dahulu dan sekarang, yang hidup di seberang jendela adalah kepulangan burung-burung menuju sarang. Dan ia masih saja menampakkan mata yang penuh kepulangan mimpi-mimpi sebelum menjadi pintu. Sebelum pagi kembali dibukakan.
—--
Udara bersuhu selimut. Ia masih duduk, sementara di luar gaduh. Ada bulan timpang yang tiba-tiba jatuh. Orang-orang berkerumun untuk menyampaikan doa supaya suatu waktu dengan kejatuhan, adalah pertanda untuk kembali menuju keberanian. Keberanian melihat diri sendiri, seperti ia yang sedang tekun menenun matanya untuk masa depan. Kadang kala orang-orang terlalu terpaku akan kejadian di luar dirinya, sehingga lupa bahwasanya di dalam dirinya masih banyak yang timpang dan berada di ujung tanduk. Ia tak tahu kenapa ia lebih tertarik kepada mata. Setiap ia mengingat orang-orang di sekitarnya, ia pasti akan dihantui bagaimana rupa mata. Bahkan seringkali ia tahu bagaimana orang mengucap dusta lewat mata. Memergoki orang yang membodohi ketimpangannya sendiri. Udara bersuhu selimut tebal, sekarang. Ia tak melihat lagi orang-orang yang berdoa khusyuk. Yang ada hanya bulan-bulan kecil beterbangan. Bulan-bulan berwarna bola mata.
—---
Untuk kesekian kali, di matanya muncul sebuah tempat yang lama ia kunjungi. Sebuah taman bermain sepanjang usia kanak-kanak. Barangkali, ia gatal dengan masa lalunya hingga berkali-kali ia menggaruk mata yang tak lekas lelah mengatupkan keinginan-keinginannya itu. Berkali-kali ia membasahi matanya dengan percik api pesakitan di masa lalu. Ia percaya bahwa karena masa lalulah ia berada dan berhasil menamai dirinya seperti halnya ia menyebut indera yang bisa melihat adalah mata. Untuk kesekian kali, taman bermain itu seolah ingin diciptakan kembali utuh–lengkap dengan anak-anak yang sedang asyik berayunan, berkejaran, dan membunyikan lagu dolanan di negeri bulan purnama. Sesegera beberapa waktu kemudian, longsor dari arah selatan datang menimbuni seluruh tempat itu. Semua anak, semua mainan, kecuali ia yang lari menyelamatkan diri. Ia benar-benar selamat seraya merasa ada malaikat yang membawanya jauh dari tempat itu. Menuntunnya kembali ke jendela di utara, tempat ia merasa dilahirkan tanpa percakapan. Sekembalinya atas letusan lirik-lirik rap di sebuah lagu yang ia putar berulang dan berulang. Lantas, ia kucek matanya yang berdebu. Ia basahi matanya dengan obat tetes mata yang terbuat dari tangis malaikat. Sampai saatnya, ia kutuk jendela menjelma lirik-lirik pecah tentang kegagalan lenting suara manusia kepada haribaan mata yang sebentar pejam.
11.04.2011
MATA PECAH MATA PEJAM
2011
0 pembaca kata berbicara:
Posting Komentar
silakan rawat benih ini