Malam hari di suatu Kota, seorang kawan mengajak saya berkunjung ke kediaman Pak Iman. Ke rumah
kecilnya yang bermukim di antara orang-orang kos. Dekat pusat kota.Obrolan telah
berlangsung ketika saya dan seorang kawan baru saja datang. Pak Iman memang
sudah berumur, tapi semangatnya untuk menularkan ilmu yang ia miliki tidaklah
putus. Beliau semakin dikenal sebagai seorang budayawan, sastrawan, penyair,
penulis cerita anak (kalau yang satu ini saya baru tahu setelah berkunjung
malam itu). Pak Iman biasa menyambut para tamu di teras kosnya. Duduk ngopi,
udud bersama.
Saya tidak baru
pertama kali datang ke kediaman Pak Iman. Ini kali kedua, hanya saja malam ini
lebih ramai dengan orang-orang yang ingin bersua. Saya dan seorang kawan yang
saya ajak kemudian turut duduk bersama di teras itu. Dan saya pun mencoba mulai
mencatat dalam otak, ucapan-ucapan yang disampaikan oleh beliau.
Waktu itu
pembicaraan Pak Iman seputar makna konotasi dan denotasi. Tema yang pernah
diangkat di sebuah forum di PKKH UGM. Adapun konotasi semakin bertebaran di
bahasa manusia sehari-hari kini, khususnya Indonesia. Kosa kata yang kerap kali
dipakai dalam bahasa prokem sehari-hari setelah ditelisik lebih lanjut ternyata
bukan merupakan makna yang sebenarnya (dalam arti denotasi) melainkan konotasi
(makna kias). Fenomena seperti yang kemudian membuat orang-orang bahasa mesti
memperhatikan lebih dalam bukan sekedar membuat revisi kamus bahasa. Tidak
hanya berhenti pada bahasa sehari-hari lewat komunikasi verbal, adanya iklan di
baliho yang sekarang semakin marak, juga menjadi bahan perhatian. Demikian
perihal bahasa konotasi menjadi masalah yang krusial manusia sekarang. Kata
semakin jauh dari makna yang sebenarnya, kata semakin kental dengan kiasannya. Seperti
misalnya berdandan. Makna berdandan menjadi semakin menjauh dari makna
sebenarnya, berdandan menjadi semakin bias karena perilaku orang-orang dalam
berdandan yang menjurus ke idealisme boneka maniken. Orientasi-orientasi yang
demikian menjadi makna semula menjauh dari kata itu sendiri. Persoalan seputar
memaknai kata menjadi semakin rumit karena hampir sebagian orang berkomunikasi
dengan demikian. Ya, seperti lingkaran setan. Ini baru contoh kosa kata
pertama, belum yang lain. Seperti misalnya bertemu. Pertemuan menjadi makna
denotasi bilamana ada tatap muka, bukan lewat perangkat media. Memang di satu
sisi, saya menyetujui apa yang dikatakan beliau, namun di satu sisi bisa juga
menjadi koreksi bahwasanya di pelajaran bahasa Indonesia terdapat peliyorasi
dan ameliorasi. Penyempitan dan perluasan makna (dalam konteks tertentu). Kedua
istilah tersebut yang kemudian bisa menjadi batas konotasi dan denotasi yang
dibicarakan.
Tidak hanya melulu
berbicara soal konotasi dan denotasi, pun tidak disebut Pak Iman jika tidak ada
pepatah yang dilumerkan dalam obrolan. Beliau sempat mengisahkan tentang adegan
ramayana. Kira-kira begini jika saya kisahkan ulang: Ketika Anoman menjaga
Rahwana yang sedang dihukum. Anoman berucap kepada Rahwana, tidurlah rahwana
kau tidak akan bisa lepas dari hukuman abadi ini. Selang kemudian Rahwana
berucap, Anoman, Anoman, tidurlah, kau tidak akan memiliki keturunan karena kau
hanya seorang diri, tapi dunia akan dipenuhi oleh rahwana-rahwana lain.
Demikian kisah itu dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan dunia sekarang. Tema tersebut kemudian mengarahkan pembicaraan menuju zaman kalathida. Beliau kemudian menceritakan tulisannya yang pernah dimuat di Suara Merdeka, terkhusus, beliau merujuk kepada warga Semarang. Tulisan tersebut menyoal rasa malu yang kini semakin tipis di dalam diri manusia. Rasa malu yang dimaksud adalah malu terhadap perilaku yang buruk. Beliau mengungkapkan bahwa lemahnya rasa malu tersebut mulai dicontohkan oleh para aparatur negara. Perilaku yang buruk itu pun kemudian dianggap biasa dan dibiarkan terus menerus muncul. Ini semua menjadi pertanyaan, kemudian kita mesti bagaimana?
Ada perihal-perihal yang kemudian diceritakan oleh Pak Iman. Beliau orangnya gampang bercerita panjang-lebar. Sampai suatu ketika saya bersama beliau hampir 12 jam. Namun, di kesempatan yang agaknya merdeka ini saya ingin mencoba 'membaca' apa yang diucapkan beliau ketika membalas sms teman Beliau. Begini kira-kira: "Belajarlah dari tumbuhan yang tabah dan tetap
tumbuh ketika dipangkas, belajarlah kejujuran dari hewan, dan kecerdasan dari manusia."
Sampai jumpa di lain kesempatan, Romo.
"Ngelmu iku kelakone kanthi laku"
"Ngelmu iku kelakone kanthi laku"
Yogyakarta, 2015