BAB I: KAMAR
ubin kamarku malam ini penuh dengan salju, lalu aku menyusun tungku
terbuat dari bara kutub utara yang mencair. aku mendekatkan diri seraya
mengatupkan telapak tangan tempat bermunculan anjing anjing laut
sebelum masuk ke rongga mulut paus pembunuh. anehnya, ada kau di
sana bersama seorang pemuda menanam pohon limau. dan aku ingat
limau di kamarku yang sedemikian getir bagi lidah. bertahun tahun
pohon itu tetap saja tak tumbuh buah, sebab di kamar ini telah genang
bekuan airmata rusuk yang tak ingin berbuah di masa kegigilan tempat
semua tungku dinyalakan dan orang orang tekun menghangatkan diri
memeluk ingatan dirinya yang berada di musim panas kamar masing
masing. membunuh raung anjing anjing getir di setiap lubang dada
melalui jalan jalan telapak kaki.
BAB II: LEMARI
aku memasrahkan segala waktu kepada pakaian pakaian. sebab, mereka
yang lebih tahu tentang penanda umur dan lagu api gomora. di dalam
lemari memanggil derit pintu pesakitan sodom tempat aku berjanji takkan
menengok masa kanak kanakku dan kekasih lama lagi. aku mengambil
baju tidur di lemari. memakaikannya erat erat di tubuh, hingga kulitku
adalah kain. aku menutup lemari dan pergi jauh jauh darinya sebelum
kepalaku menggelantung di gantungan pakaian dan mataku menjadi
koyak karena umur.
BAB III: RANJANG
sepanjang tubuhku nyaman di ranjang ini, aku takkan berani membiarkannya.
bunga ilalang liar begitu lebat tumbuh di sana sini dan ranjangku tak pernah
mengeluh untuk memuat untuk mewarnai hijau pada spreinya. aku bahagia
bisa punya ranjang penuh sayap kupu pagi hari, suara jangkrik malam hari.
menatap langit seperti laut dekat bibir pantai yang biru muda, aku seakan
semakin dekat dengan fotomu yang dulu. bahwa di ranjang ini pun, aku
berharap melihatmu memakai gaun putih rebah di hijau tubuhku. dan kita
mulai membicarakan tentang rumah berkelebat angin rumput bunga
bunga lavender dan ranjang di langit yang mulai menatap tanah kering
menjelang segala sesuatu beruban ungu, pada rambutku juga kau.
BAB IV: SELIMUT
aku menuliskan tentang selimut bukan karena aku melulu kedinginan,
melainkan karena sebenarnya aku telanjang. dan mungkin hanya
selimut yang paham benar bahwa manusia itu makhluk paling telanjang
di muka bumi. alih alih, selimut bisa meramal kegigilanku menerjemahkan
ketelanjanganku. dan aku mendukung selimut untuk menjadi seorang
psikolog bagi setiap kecemasan yang merayakan bahasa persembunyian
kepribadian tubuhku. maka, aku tak henti henti mengenakan selimut
untuk mengetahui betapa jujurnya aku.
BAB V: BANTAL
mengadu adalah mengaduh. ke atas bantal di balik baunya yang lekat
rambutku, mimpi siap kurancang bahwasanya di dunia ini tak terlalu
sempit untuk surga yang sebentar lagi tidur dari liur airmata juga
harapan ke mana diri ini membawa pulang.
2011