CORETAN KECIL PSIKOLOGI 6 (BAGIAN II): GURINDAM HASAN ASPAHANI DALAM RANTAI STRUKTUR JIWA PENANDA-PETANDA (SEBUAH PERCOBAAN ANALISIS PSIKOLOGI SEMIOTIKA BERDASAR KONSEP SAUSSURE DAN STRAUSS)
Oleh: Ganz (A. Ganjar S.)*
Signified-Signifier
Manusia adalah homo semioticus, kata seorang ahli semiotik Art van Zoest. Yang mana menurut van Zoest jika kekeuasaan itu berdiam diri, tidak memberikan tanda, maka manusia sendiri akan memproklamasikan sesuatu, apa saja, sebagai tanda. Sebab, ini pun mampu dilakukan oleh manusia. Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion”, berarti tanda. Ferdinand de Saussure seorang linguis berkebangsaan Swiss, seorang yang direferensikan sebagai penemu semiotik berusaha mengembang-lengkapi tesis-tesis van Zoest. Saussure memurnikan ide pembagian tan da ke dalam suara dan imaji sebagai suatu menyatakan bahwa akan lebih jelas ketika merujuk konsep sebagai petanda (signified) dan suara atau imaji sebagai penanda (signifier). Puisi berisi unsur-unsur semiotik yang begitu kental. Setiap kata dan tanda baca mempunyai peran, baik sebagai sebuah petanda maupun penanda. Puisi menawarkan semacam proklamasi kekuasaan kepada pembaca bahwasanya teks tersebut diharapkan bisa membawa pembaca pada kemerdekaan interpretasi tanda dari masing-masing jiwa. Dalam bagian II ini, saya mencoba untuk mengulas kembali sajak berjudul Gurindam karya Hasan Aspahani berdasarkan kacamata psikologi semiotika[1]. (Pada bagian II hanya dibahas sajak “Gurindam Pasal yang Keempat” sebagai sampel dalam membahas tema esai ini)
Struktur Tanda: Arbitrer Jiwa “Gurindam Pasal yang Keempat”
“Jangan tanya makna sebuah puisi pada penyairnya, sia-sia. Siapa tahu penyair tadi gila, hingga makna terserah pembaca. “ Suatu ungkapan spontanitas dari seorang penulis buku Metodologi Penelitian Psikologi Sastra, Suwardi Endraswara ini cukup memberikan kisi-kisi kepada pembaca. Kisi-kisi tentang bagaimana mengungkapkan sebuah sajak yang dibaca. Hal ini juga tergantung tingkat refleksi tiap-tiap pembaca. Saussure dalam menguraikan tentang semiotika, menekankan bahwa kesemenaan tanda adalah prinsip utama. Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai istilah “arbitrer”. Selanjutnya, arbitrer ini sendiri punya latar belakang psikologis yaitu untuk mengkatarsiskan jiwa melalui kata. Dengan kata lain, adanya penglepasan tanda-tanda makna untuk diikatkan pada mata pembaca yang muncul atas dorongan ekspresi kejiwaan si penulis puisi itu sendiri. Pun dengan puisi berikut :
Gurindam Pasal yang Keempat:
Mana Kata, Mana Makna
Kenapa kau takut hilang jejak di dalam sajak,
bukankah hakikat sajak adalah jauh melacak?
Kenapa kau takut sajakmu kehabisan kata-kata,
bukankah hakikat sajak adalah kata yang mencipta?
Kenapa sajak kau jejali kata, kau bebani makna?
sajak itu meleluasakan kata, meluaskan makna
Sajak mulai bicara, kau ucapkan jutaan kata,
kenapa tak sebait pun sajak ingin kau cipta?
(Sumber: 60 Puisi Indonesia Terbaik 2009)
Puisi di atas tergolong rangkaian unik sebagai bagian dari tubuh puisi yang dibentuk dalam memenuhi kebutuhan menciptakan makna lewat tanda. Di sini, tanda itu berstruktur dengan masing-masing tujuan. Yang kemudian terkait struktur mental si penulis itu sendiri. Dua bait berikut memiliki relevansi yang erat dengan bagaimana membaca strukur secara semotika dan psikologis:
Kenapa kau takut hilang jejak di dalam sajak,
bukankah hakikat sajak adalah jauh melacak?
Kenapa kau takut sajakmu kehabisan kata-kata,
bukankah hakikat sajak adalah kata yang mencipta?
Kata tanya “kenapa” menjadi dielu-elukan untuk memperkuat struktur setelahnya. Subjek (“kau”)yang kemudian tetap menyala untuk sengaja tidak dilesapkan. Ini adalah sebuah tanda lewat representasi penanda—“kata tanya”, petanda – “kenapa”. Pemunculan kata tersebut berjasa bagi penciptaan struktur yang sedemikian murni, dan bila dikaitkan dengan strukturalisme Claude Levi-Strauss (seorang psikolog struturalisme) maka ada sebuah keteraturan hubungan antara bahasa dan mitos yang lekat pada tanda-kata dalam puisi. Ada semacam muatan jiwa yang beradaptasi dengan pengkailan makna dari sisi penulis sendiri. Si penulis berusaha menguakkan makna mentah-mentah lewat pertanyaan tajam seperti “bukankah hakikat sajak adalah kata yang mencipta?” Bahwa pembaca akan membahasakan secara gamblang atau multiinterpretatif itu akan menjadi persoalan lain, yang terpenting di sini adalah “pemahaman jujur” timbul lewat ruang kecil--puisi sebagai proyeksi makna penulis untuk pembaca. Pemahaman ini selanjutnya akan terlepas dengan sendirinya seturut subjektivitas pembaca. Subjektivitas dalam kemerdekaan yang interpretatif tanpa keluar dari keberadaan struktur tanda-tanda kata dalam puisi tersebut. Dengan demikian, arbitrasi pembaca dapat terpenuhi sebagaimana bait puisi di atas berusaha menggemburkan pemikiran-pemikiran pembaca yang telah masuk dalam pengkailan makna dari penulis. Dan struktur tanda, seolah berkaitan dengan semacam gejala neurotik bagi si penulis sendiri terhadap ukuran mitos yang hidup dan berkarya dalam dunia jiwanya.
Katarsisme Mitos Strauss Mencekal Makna Puisi
Penglepasan emosi menjelang akhir sajak ini masih dan tetap bergelut tentang bagaimana gejala neurotik dan bakat si penulis mengangkat keberangkatan fakta. Fakta di tengah-tengah dasar tebaran mitos yang tersembunyikan oleh langkah arbitrasi. Mitos kearbitreran ini kemudian secara lebih jelas dapat dijumpai pada persembunyian makna di bailik tanda-baca dan kata bait berikut:
Kenapa sajak kau jejali kata, kau bebani makna?
sajak itu meleluasakan kata, meluaskan makna
Bahasa bait itu serasa ingin membunyikan aspek yang disebut Levi-Strauss sebagai langue mitos. Adanya interaksi mendalam ditunjukkan antara mitos dengan makna puisi itu sendiri. Baris pertama pada bait tersebut menuangkan transformasi fakta ke dalam makna dan bahkan pesan estafet. “...kau jejali kata”, “kau bebani makna”, kedua himpunan kata tersebut seperti membayangi pembaca akan bagaimana mengenal sebuah sajak penuh kata tapi tak selamanya memiliki ringan makna. Adanya perpaduan harmonisasi diksi juga ditunjukkan pada bait tersebut hingga bisa dikatakan emosi makna pembaca ingin diletupkan lewat sebuah katarsisme mitos si penyair. Demikian jika dikorelasikan dengan Strauss dapat dikemukakan bahwa di dalam struktur puisi dan makna yang terkandung di dalamnya terdapat struktur mitos ciptaan si penulisnya. Bagaimanakah stuktur mitos tersebut dapat dicekal? Bait itu telah berkatarsis dengan sendirinya mencekal makna: “....meluaskan makna”
Jiwa si Penyair: Embrio yang Sungguh Hidup
Sajak mulai bicara, kau ucapkan jutaan kata,
kenapa tak sebait pun sajak ingin kau cipta?
Bait keempat tersebut bertolak untuk menciptakan penanda-petanda emosi yang mengerucut pada struktur pertanyaan. Di mana ada penempatan supaya pembaca turut mengotak-atik jawaban dari teka-teki penanda yaitu “sajak” dan petanda yaitu “kata” dalam konteks puisi ini. Melalui lorong bait ini, ada percobaan pengikatan belenggu yang seakan merantai pembaca. Hingga menembus keluar lorong penciptaan interpretasi jawaban pun, struktur jiwa yang tersusun rapi dapat mengobrak-abrik kerapian itu sendiri dengan kedisiplinan penyuguhan dinamika sajak. Hal ini berangkat dari bentuk pengolahan emosi dalam mitos penulisnya dan lahir embrio hidup di pikiran pembaca untuk keluar dari rahimnya dan menamakan bayi itu sebagai refleksi atas puisi. Refleksi yang lebih hidup tanpa menjauhkan nyala semiotika petanda-penanda dengan sumbu mitos jiwa si penyair.
Salam.
Semarang, 2011
*penulis seorang penyair muda dan mahasiswa psikologi Undip Semarang
Footnote:
[1] Sebuah cabang disiplin ilmu yang coba saya adopsi, pun saya kombinasikan dari ilmu semiotik dan psikologi.
--esai ini dan bagian I, dimuat di http://poetikaonline.com/2011/01/coretan-kecil-psikologi-gurindam-hasan-aspahani/--