PERTEMUAN KETIDAKSADARAN
KOLEKTIF DALAM DIALEKTIKA
KOMUNIKASI
MASSA
Sebuah esai
bebas oleh: A.Ganjar Sudibyo
“We are rapidly fabricating a total
psychological environment for ourselves”
(Frederick William)
Produk komunikasi massa menuju
cultural design
Ashadi Siregar dalam
artikelnya yang berjudul “Popularisasi Gaya Hidup” memaparkan bahwa setiap
kelompok dalam stratum sosial tertentu akan memiliki gaya hidup yang khas.
Dapat dikatakan bahwa gaya hidup inilah yang menjadi simbol prestise dalam
sistem stratifikasi sosial. Inilah yang kemudian bergerak-tumbuh menjadi simbol
identitas. Sekiranya, pun kebudayaan datang tiba-tiba dan kemudian menjadi
kunci sebuah pintu atau sebuah kacamata tiga dimensi. Kuntowijoyo dalam bukunya
“Budaya dan Masyarakat” mencatat adanya integrasi yang penting antara latar
belakang kebudayaan dan kedudukan masyarakat. Alih-alih, terdapat kaitan yang
signifikan dengan empat tanda pokok yang menunjukkan kekayaan sistem komunikasi
massa interpersonal. Elizabeth-Noelle Neuman melalui Jalaluddin Rahmat,
menyebutkan antara lain: bersifat tidak langsung, artinya harus melewati media
teknis; bersifat satu arah, artinya tidak ada interaksi antara peserta-peserta
komunikasi (para komunikan); bersifat terbuka, artinya ditujukan pada publik
yang tidak terbatas dan anonim; mempunyai publik yang secara geografis
tersebar. Relasi antara gaya hidup, kebudayaan, kedudukan masyarakat, dan
sistem komunikasi massa telah menyusun penampakan secara harafiah, bahwa
beredarnya kapitalisme yang diam-diam berkepanjangan adalah produk. Produk yang
tidak bisa dinyana. Produk yang menjadi cultural
design, seperti yang pernah diungkapkan oleh B.F. Skinner. Skema seperti
inilah yang sebenarnya sedang berlangsung dalam masyarakat, terutama terjadi
pada masyarakat urban.
Kebudayaan massa, masyarakat
massa
Oleh karena gaya
peradaban, orang-orang mengkonsumsi ini-itu. Orang-orang mulai cemas dan
kunjung tak percaya diri bilamana tidak menggunakan barang X ketika tampil di
depan publik. Orang-orang mudah merasa janggal bilamana tidak sama seperti
orang yang lain, bilamana kulit tidak putih, bilamana tidak menjadi penggemar
boyband korea, bilamana bla bla bla. Khalayak semakin kini seolah semakin
dibawa menuju keterasingan, seperti kata Erich Fromm. Di satu sisi, fenomena-fenomena
ini mencerminkan kondisi ruang-ruang yang disebut oleh Umar Kayam sebagai
“melodrama-melodrama yang sentimentil”. Ruang-ruang yang dihidupkan kembali. Ruang-ruang
yang mana menjadi imbas dari pengaruh subkultur kebudayaan massa. Massa yang
menjadi konsumen kebudayaan dilukiskan sebagai badan-badan rakyat yang terikat
dan tersatukan dalam suatu masyarakat baru yang dikembangkan melalui beraneka
ragam proses orientasi “menerima dan memberi” nilai-nilai lama dan baru dalam
melihat organisasi ekonomi, pembagian kerja, organisasi tempat pemukiman, serta
dalam melihat pemanfaatan berbagai sumber. Proses seperti itu digambarkan
menghasilkan suatu solidaritas baru yang membuat ‘masyarakat massa’ menjadi
suatu kesatuan sosial yang unik dan baru.
Demikianlah Edward
Shils menggambarkan masyarakat massa sebagai suatu masyarakat industri, yang
juga merupakan ‘masyarakat orde baru’ yang kendati segala konflik-konflik
internnya, mengungkapkan bahwa pada individu terdapat kesadaran yang lebih
besar akan ikatan pada masyarakat sebagai suatu keseluruhan dan akan adanya
suatu afinitas dengan sesamanya. Ia kemudian menggambarkan masyarakat telah
dapat membuat bagian terbesar penduduk lebih erat hubungan keluarganya dengan
pusat daripada yang pernah terjadi, baik dalam msayarakat pramodern maupun
masyarakat modern dalam tahap-tahap permulaannya. Dengan persepsi semacam ini,
masyarakat (massa) lalu dibayangkan memiliki kebudayaan yang mengikat
berdasarkan suatu persetujuan, seperti halnya zaman dahulu. Akan tetapi pada
waktu yang bersamaan, juga tunduk pada idiom komersialisme yang telah menjadi
dinamisme lingkungan baru. Sedangkan kebudayaan telah diklasifikasi dalam
kebudayaan intelektual, menengah, dan biasa (van Wyck Brooks) atau dalam
kebudayaan yang halus, sedang, dan kasar (Edward Shils). Hannah Arendt lebih
berterus terang mengatakan, “masyarakat massa....bukannya menginginkan
kebudayaan, melainkan hiburan, dan yang disajikan industri hiburan memang
dikonsumsi masyarakat seperti halnya dengan barang-barang konsumsi lain yang
mana pun.” Dengan singkat, kebudayaan massa---menurut konsep-konsep ilmuwan
barat ini, memiliki sifat-sifat sebagai berikut: komersial, menghibur, populer,
modern, merupakan paket, mempunyai audiens luas, dan dapat diperoleh secara
‘demokratis’.
Pada hakekatnya, ruang-ruang yang sebagaimana telah diuraikan itulah yang patut memperoleh perhatian lebih dari sekedar wacana publik untuk melakukan pemampatan budaya secara ambisius melalui dalil hukum.
Pada hakekatnya, ruang-ruang yang sebagaimana telah diuraikan itulah yang patut memperoleh perhatian lebih dari sekedar wacana publik untuk melakukan pemampatan budaya secara ambisius melalui dalil hukum.
Les eternels increes
Jung mendefinisikan
ketidaksadaran kolektif sebagai suatu warisan kejiwaan yang besar daripada
perkembangan kemanusiaan, yang terlahir kembali dalam struktur tiap-tiap
individu, dan membandingkannya dengan apa yang disebut oleh Levy Bruhl
tanggapan mistik kolektif orang-orang primitif. Ketidaksadaran kolektif ini
mengandung emosi-emosi dan afek-afek serta dorongan-dorongan primitif yang mana
berasal dari keterpengaruhan persona, self,
anima-animus, shadow, dan kepribadian
mana. Manifestasi ketidaksadaran kolektif yang muncul itu dapat berbentuk
simtom dan kompleks, mimpi, dan arketipe. Arketipe inilah yang di antara
bentuk-bentuk itu bermuara dalam setiap budaya di masa lalu, sekarang, dan akan
datang. Bergson menyebutkan adanya hubungan antara ketidaksadaran kolektif
dengan personal yang memiliki kerangka bernama les eternels increes. Keilmuan psikologi, terutama dalam bidang depth psychology menawarkan bahwasanya
di balik kebudayaan itu terdapat lingkaran-lingkaran ‘ego’, yang dengan
demikian mendorong perilaku-perilaku manusia terutama perihal gambaran orientasi
interaksi. Adanya ketidaksadaran
kolektif telah secara mendasar memberikan kontribusi kepada kelahiran
ketidaksadaran personal. Di sinilah pergerakan itu bergeser di balik arus
lingkungan sekitarnya. Orang-orang telah ‘dirasuki’ idealisme-idealisme di luar
dirinya yang kemudian membentuk tataran superego. Persona, self, anima-animus, shadow,
dan kepribadian mana, seperti apa yang telah diuraikan oleh Jung, adalah berada
di lingkaran itu. Tak pelak, pergerakan di luar diri manusialah yang diam-diam
mengasuh manusia. Tanpa adanya kontrol diri dan pengenalan diri, maka manusia
akan semakin jauh dari dirinya. Sekali lagi, ketidaksadaran personal akan
semakin jauh dari diri-eksistensial manusia. Pelemahan untuk menjadi pribadi
yang utuh, autentik, dan orisinal telah berangsur lebih-lebih ketika manusia
telah dihadapkan pada ketergantungan terhadap apa yang ada di luar dirinya
saja. Maka kembali pada filosofi Bergson bahwa ketidaksadaran kolektif adalah
cerminan peradaban manusia.
Antara discourse dan kekuatan media
komunikasi massa
Media massa tentu,
tidak bisa dinyana adalah raksasa penggerak kepentingan. Ketika dunia
pertelevisian telah dimasuki oleh dunia komersial, maka propaganda budaya
elektronik berlanjut pada trendsetter
gaya hidup. Semua budaya yang diciptakan orang-orang pertelevisian mengalir
seperti air bah yang sulit dibendung seiring dengan makin meluasnya tayangan
televisi.
Televisi telah
menjadi media massa paling populer selain dunia jaringan sosial, menurut sebuah
lembaga riset. Tak terlalu buruk menjadikan media televisi sebagai trendsetter
karena melalui media layar kaca inilah masyarakat menjadi tahu dan terus
mengikuti perkembangan bidang-bidang kehidupan yang sedang membudaya di kota
atau daerah tertentu. Masyarakat tidak akan ketinggalan informasi maupun budaya
massa yang terus menerus mengalami perubahan, baik secara perlahan maupun
instan.
Acara-acara yang
ditayangkan lewat dunia pertelevisian yang ada mudah dicerna dan tidak sulit
untuk ditiru. Keberagaman informasi baik berita maupun acara hiburan menjadi
makanan pokok yang membuat sebagian masyarakat menjadikan berbagai acara
tersebut sebagai alat panduan untuk bersikap dan berperilaku dalam kehidupan
sehari-hari.
Penayangan
acara-acara yang sebagian besar mudah dicerna oleh masyarakat ini yang
sebenarnya menarik tujuan seperti yang dikemukakan Frederick Williams. Pertama,
melakukan perubahan terhadap sikap dan perilaku manusia. Kedua, memberikan
hiburan. Dunia pertelevisian menggunakan secara tidak langsung metode
penayangan berulang-ulang dengan porsi kemasan acara yang bersifat dialogis.
Kepentingan telah diam-diam berjalan tanpa disadari oleh banyak khalayak.
Pertelevisian menjadi kekuatan yang lihai membeberkan informasi dengan
kemasan-kemasan hingga apa yang diproduksi itu menjadi kebutuhan bagi
masyarakat. Discourse antara
pertelevisian dengan masyarakat memang sengaja dibentuk supaya menjadi ikatan
dan lambat laut menjadi trendsetter gaya
hidup masyarakat.
Pertemuan dialektika kita
Pada satu sisi,
penggunaan media tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan media belaka, sebab
faktor kecenderungan dari khalayak masyarakat tidak kalah pentingnya. Dorongan
untuk menggunakan atau tidak menggunakan media dapat didekati dengan dua cara
sehingga terdapat empat kemungkinan perilaku khalayak menghadapi media.
Kuntowijoyo mengelompokkan dalam dua kemungkinan: pertama, dorongan untuk
mendapatkan kepuasan atau gratifikasi atas media, karenanya mencari media untuk
dikonsumsi, atau pada ekstrimitas lain yaitu menghindari penggunaan media.
Apa yang telah
diutarakan ini merupakan kecenderungan yang tidak semata-mata adanya dorongan
psikologis. Perlu diperhatikan bahwa khalayak masyarakat bukanlah kumpulan
individu yang terisolasi dan anonim. Setiap individu merupakan anggota kelompok
sosial dan partisipan dalam lingkungan budaya. Dalam perkembangannya, berbagai
media komunikasi massa dengan perangkat teknologi elektronik menjadi bagian
penting dalam kehidupan masyarakat. Muatan dari berbagai media ini semakin jauh
dari unsur lokalitas dan komunitas dari konsumen (Liebes dan Katz, 1993). Media
komunikasi massa telah menyumbangkan efek afektif, kognitif, sosial, dan
behavioral. Sedangkan ketidaksadaran kolektif berada di dalamnya. Jalinan yang
terjadi antara manusia dengan media komunikasi akan terus berlanjut dan
sesungguhnya ini merupakan hajatan publik: nilai hidup berangkat dari
‘keringat’ dan gagasan-gagasan yang transformatif untuk menuju culture design yang sesuai.
Pertemuan-pertemuan yang intens antara manusia dengan peristiwa, manusia dengan
media komunikasi tetap saja akan menemui ekuilibrasi pada titik-titik tertentu,
sebab manusia dan peristiwa senantiasa memunculkan dialog demi dialog. Demikian,
barangkali ini adalah kemungkinan-kemungkinan tentang pelajaran bagi manusia
menuju pintu kepandaian akal dan budi. Atau, jangan-jangan, kita sedang
dididik?
2012
Daftar
Bacaan
Kuntowijoyo. 2000. Budaya dan Masyarakat. Flores: Nusa Indah.
Agee, Waren K., Philip H.Ault, and Edwin Emery.
1991. Introduction to Mass Communications.
New York Harpers Collins Publisher Inc.
Mcquail, D. 1987. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Terj. Agus Dharma dan
Aminuddin Ram. Jakarta: Erlangga.
Effendy, Onong U. 1993. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Nimmo, D. 1989. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Terj.Tjun
Sujarman. Bandung: Remaja Karya.
Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Suryabrata, Sumadi. 2005. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Kuntowijoyo, dkk. 1997. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia.
Yogyakarta: Jalasutra.
Kuswandi, Wawan. 2008. Komunikasi Massa: Analisis Interaktif Budaya Massa. Jakarta: PT Rineka
Cipta.