***KEPADA SANG MALAM***
Oleh : penulis
|
G |
ugusan bintang menari-nari tatkala sang malam terbit menampakkan wajahnya, disertai sinar purnama yang tampak begitu rindang berjaga di sepanjang malam. Riuh kerlip-kerlip kota seakan kian menambah angkuhnya dekorasi malam di sela-sela heningnya malam dan kesyahduan di antara kekelaman. Sangatlah wajar, bila malam selalu diliputi kejutan-kejutan karena di balik gelap pasti ada terang. Entah dalam bentuk apa terang menjelma. Ada kalanya, setetes harapan mencuat di saat sang bintang merosot dari peraduannya. Ya....inilah cerita malam, cerita ketika hembusan angin lirih muncul menemani setiap insan yang ingin berduel dengan sang malam. Atau, ketika angin tak mau diajak kompromi. Lantas, meluluhlantahkan malam syahdumu.
Tak kalah mencoloknya, para binatang malam bermunculan menjalankan misi-misinya. Adalah nyamuk-nyamuk yang beterbangan ke sana ke mari, mencari seteguk butiran segar. Mereka nampak hebat dengan perlengkapan senjata jarum mematikan di barisan depan wajah mereka. Namun sayang, tak sedikit dari mereka yang tewas. Entah terinjak, entah tertindih, entah tergilas demi mendapatkan setetes embun merah.
Berbeda dengan binatang malam mematikan tersebut, yang satu ini kadang nampak, kadang lenyap dari peredaran. Tapi, entah kenapa manusia-manusia malam terkagum melihat benderang cahaya kecilnya. Tanpanya, mungkin malammu takkan terasa lebih syahdu atau bisa dibilang malam yang sunyi senyap. Aku pun juga pernah merasakannya.
Ya, kau benar... Kunang-kunang. Mungil, pipih, tubuhnya sebesar biji jagung, dilengkapi dua sayap dan beberapa kaki kecil. Memang, sekilas dari fisik yang sesungguhnya terasa tak begitu menarik dibanding binatang lainnya yang lebih lucu. Bila kau mengamati lagi sebenarnya ia memancarkan warna yang megah. Pancaran warna yang tak dimiliki oleh binatang-binatang malam lainnya.
*
Wouwww!! Cobalah lihat serangga mungil itu. Mereka menghinggapi tiap sudut malam yang kelam. Lalu, menyinari dengan tubuhnya. Betapa kemilaunya malam di antara hiasan kunang-kunang itu. Mereka menuju ke mari sembari menunggu kawan-kawannya. Hatiku bergetar bahagia melihatnya terbang ke tempat ini.
Kunang-kunang. Bagi kebanyakan orang di era serba digital, visual, dan kawan-kawannya[1], telah terlupakan atau mungkin dianggap cerita jadul, cupu dan sebangsanya. Terhanyut oleh cerita-cerita yang lebih njamani atau beradab. Namun, tidak bagi penghuni malam yang setia. Serangga malam ini begitu elok bila disimak. Ya, memang tak seindah bunga teratai ungu yang bermekaran di pagi hari. Ini beda! Sayapnya yang kecil membantunya mengarungi lautan malam. Terbang menuju tempat yang mereka tuju. Betapa menakjubkan bila mereka membentuk formasi yang solid disertai silauan cahaya-cahaya kecil.
Kisah kunang-kunang masih berlanjut. Seekor kunang-kunang memecah formasi yang telah terbentuk. Ia menjauh dari teman-temannya yang seakan mengacuhkannya lantaran mendatangiku. Tepat di sebelah kanan mataku. Ia terbang perlahan, bertengger di sudut ranting malam. Si kunang-kunang berucap,“Hei...malamku terlalu luas untuk kuarungi. Aku tak ingin capai mendayung tubuh kecilku ini untuk menuju ke tempat nun jauh di sana.” Aku terdiam, terpana menatap serangga malam dengan tubuh sebesar biji jagung itu. Tiba-tiba, si kunang-kunang terbang mendekati wajahku yang merona keheranan karena kedatangannya.“Hei kawan malamku, ijinkan aku tinggal bersamamu supaya kita melewati malam ini bersama. Aku sudah letih menggetarkan sayap-sayap kecilku.” Feelingku berkata sepertinya ada sesuatu yang telah ia katakan kepadaku. Begitu pula dengan hati kecilku. Seolah-olah mendesakku supaya membuka kelopak tangan sehingga ia dapat membaringkan tubuh kecilnya. Perlahan kubuka tanganku yang menggenggam butiran-butiran pasir malam. Si kunang-kunang meletakkan tubuh mungilnya di permukaan telapak tanganku yang kini tak halus lagi.
Pancaran sinarnya masih saja bergelora. Pijakkan kaki mungilnya di telapak tangaku membuatku sedikit merinding. “Sebenarnya, apa sih maunya?” Aku bertanya-tanya karena takjub memandangnya. Sekilas, aku merasakan getaran yang berbeda ketika aku mencoba menempelkan mataku yang sayu di dekat mata sipitnya. Paling tidak, aku bisa tahu mengapa si kunang-kunang memancarkan cahaya. Entah kenapa hatiku ingin mengatakan suatu hal yang tiba-tiba muncul. “Hei, terima kasih teman. Telapak tanganmu lembut bagiku dan cukup bisa menghangatkan tubuhku walau sejenak. Sekarang, aku hanya akan jadi sebatang kara. Kawan-kawanku telah berlayar jauh tanpa jejak hingga inderaku tak bisa membaunya dari sini.” Kunang-kunang itu mengatakan sesuatu yang tak kumengerti. Mungkin kau mengerti apa yang telah terucap di balik remang redup cahayanya itu. Kurasa, dia kesepian.
**
Plokkk!!!!! Telapak tanganku secara otomatis kulayangkan kepada seekor serangga nakal. Tidak lain tidak bukan, seekor nyamuk. Tamparan tanganku tepat mengenainya. “Titip salam buat Tuhan ya....” Dan, tamatlah riwayatnya. Mungkin aku berdosa malam ini, membunuh satu makhluk yang tujuannya bukan menyakitiku tetapi demi bertahan hidup. “Tak apalah, biar Sang Pencipta yang memeliharanya kembali...”,demikian hati kecilku menyanggah. Selang kemudian, Si kunang-kunang terbang menjauh dari pelataran telapak tanganku. Ia terguncang atas peristiwa berdarah tadi. Untungnya, ia enggan terbang jauh dari tempat ini. Bolehlah ia menemaniku, mengawani senyapnya malam ini. Lantas, si kunang-kunang bertengger di tempat lain untuk merasakan kesepiannya. Dan, telapak tanganku mengatup lagi.
Tak lama berselang, pikiranku melambai-lambai menyambut malam. Andai saja aku menjelma kunang-kunang, aku akan pergi ke tempat yang aku inginkan. Aku bisa menerangi hitamnya malam. Gelapnya lorong-lorong malam. Lalu, mewarnai kanvas malam dengan warnaku. “Hmmm, andai saja aku manusia. Aku tidak akan menyisakan waktuku untuk duduk merenungi malam. Akan kubuat cahaya-cahaya yang lebih kemilau dari tubuhku ini sehingga seluruh malam akan hanyut tertelan cahaya. Dan kujadikan dunia malam, dunia yang bercahaya, warna-warni. Hingga heningnya, tertiup oleh topan warna-warni malam.”
***
Lagi-lagi suara binatang-binatang jahanam[2] mendengung di sekitar malamku. Lantas, aku memasang kuda-kuda untuk membidik binatang-binatang kerdil berhati setan itu. Dengan senjata berbisanya, ia akan membius malamku bila tak kubunuh. “Hei... biarlah dia menghisap malammu. Dengan demikian, aku akan menerangi ruang malammu.” Aku menyimpan kuda-kudaku kembali lantaran tiba-tiba angin berhembus kencang, mengoyakkan hiasan malam yang telah dan akan kupasang. Tapi tenang, aku punya sesuatu selagi ada angin. Kuterbangkan layang-layang malamku yang lama kusimpan di kantong malamku. Sedangkan, si kunang-kunang mungil berusaha memberiku cahaya supaya benang yang kuulur terlihat. Kalau tidak, bisa-bisa menyayat kulitku. Lihat tuh!!! Layang-layang malamku akhirnya terbang tinggi dengan tenaga angin malam. Coraknya memang agak kelam. Tapi yang paling penting, aku bisa mengendalikannya sesuka hatiku. Sembari mengidungkan lagu-lagu para malam dan bersyair ria di atas ranjang sang terra. Tak mau kalah akan apa yang kubuat, si kunang-kunang merenda suara kecilnya yang mendengung di antara gaung-gaung angin gulita. Sejenak, si kunang-kunang mencoba mengukir larik kata-kata di samping telinga angin;
Kepada sang malam,
engkau telah menghujani
tubuhku
sayapku
lenteraku
di bawah purnamamu
aku berteduh
mengibaskan sesaat
cahaya kecil rapuh
mengganti
dengan lentera baru
dan
kembali
bergemuruh
menghiasi engkau
walau hanya
setitik embun
atau
setetes tinta pelangi.
[salamku, lentera kecil di luasnya lautanmu]
Layang-layang malam itu lalu pergi hanyut diterjang ombak angin. Bertamasya entah ke mana angin membawanya. Sejujurnya, aku tak merelakan layang-layangku dibawa pergi. Walau tak lama berselang, sang malam menawarkan senyuman balasan.
****
Rasa letih sudah memuncak. Tapi pikiran masih bergelantungan di dinding-dinding malam. Suara derit pintu menambah detak suasana menjadi kian bergelora. Letih yang menjadi mendidih terobati, ketika kibaran-kibaran sayap kelelawar bergegas menyambut malam. Dengan rupa menakutkannya, mencoba mengusik kesunyian malam. Tak tanggung-tanggung, ia dan kawan-kawannya terbang begitu gesit. Lantas menyergap mamalia malam pengerat yang telah diketahui tempat persembunyiannya.
Cit! Cit! Cit!!!!..... Teriakan itu seperti menodai malam putih ini. Namun tak usah kau khawatir karena dalam sekejap malam pun kembali teduh.
*****
Layaknya hujan yang membasahi tanah kering. Kurasa malam ini penuh dengan peristiwa-peristiwa malam yang menyegarkan malam-malam kering. Hingga terasa begitu berwarna dari pada malam-malam sebelumnya. Si kunang-kunang kecil masih terhanyut dalam kesendiriannya. Namun, kini ia tak lagi sendiri karena aku dan malam menemaninya. Mungkin sampai cahaya yang keluar dari tubuhnya habis. “Hei kawan, mengapa engkau berdiam diri di situ?” Aku tak tahu bagaimana ia mencecap bahasaku ini ke dalam bahasa binatangnya. Aku berharap ia mengerti apa yang aku maksud. Rasanya seperti pawang binatang saja, aku ini. Lalu, malam kembali berhembus kencang. Kurasa, sebentar lagi akan terbit pergantian waktu. Aku dan si kunang-kunang termenung dalam diam.
Kuamati si kunang-kunang kembali mengepakkan sayapnya. Kuharap, ia sudah tak letih lagi. Aku berusaha untuk mendekatinya dan mengucapkan salam perpisahan. Semoga pertemuan ini menjadikan malam-malamku terus bersinar meski pun sekecil sinar kunang-kunang itu. “Kawan, aku hanya akan berada di sini menemanimu”, si kunang-kunang masih melenggang terbang ke sana-sini memutari kepalaku. Aku tak tahu apa yang ingin ia perbuat untukku. Tapi, tak apalah. Kusimpan saja salam perpisahan tadi.
******
Terkadang waktu bisa menjadi musuh dari malam-malamku. Ia memang berandalan. Seenaknya saja menghapus detik demi detik malam-malamku. Ya....waktu memang kadang punya sifat seperti itu. Andai saja aku waktu, malam akan terus kunyalakan mungkin seperti ombak yang takkan habis bergelombang. Malamku juga takkan habis untuk memancarkan taburan gelombang warna. Menyapu goresan-goresan pahit, dengan demikian pasir pantaiku tetap terjaga utuh.
Aku tersenyum, melihat tingkah si kunang-kunang yang masih saja tak mau diam hinggap di sudut daun kering. Ya sudah, aku pun ingin bertingkah dengan melantunkan sajak ringan yang pernah menemaniku di sepanjang malam.
“ketika sajak beranjak
kelam menjelma kata tampak
lalu pelangi muncul dalam gelap
nyanyian para malam pun mengusik lelap
jauh di redup matamu”
*******
Sebentar lagi waktu akan menunjukkan siapa yang berkuasa atas semuanya ini. Kucoba untuk menggapai si kunang-kunang yang tiba-tiba terkulai lemas di atas ranjang daun kering. Wahai kawan malamku, kunang-kunang si mungil bercahaya. Mengapa kau tergeletak lemas. Apakah waktu yang membuatmu terbaring tak berdaya? Atau, diriku yang tak mampu menjawab apa yang kau pertanyakan selama semalam ini? Jangan kau khawatir, karena aku akan baik-baik saja di sini bersama malam yang akan tenggelam. Mungkin kau butuh sesuatu. Katakanlah padaku. Ia hanya terdiam tak bergutik
Tidak mungkin!!! Sejenak aku menghela nafas, menenangkan jiwaku. Aku terhenyak menatap tubuh mungilnya yang kini sudah terkapar kaku dan tak bercahaya lagi. Melihat si kunang-kunang telah beranjak dari malam ini.. Sayang, sungguh malang nasib serangga mungil ini. Kuakui, waktu memang telah menjadi raja atas semua. Lama berselang, raganya disambut oleh sorakan kaum semut merah.
********
Mega nampak dikerudungi oleh awan-awan putih yang menghitam. Hangatnya malam, kini berganti dingin. Bahkan lebih dingin dari segelas es yang tadi sempat kuteguk.
Kejutan demi kejutan kembali mencuat malam ini. Lihatlah barisan cahaya-cahaya kecil itu! Mereka datang kembali ke tempat ini. Tapi, mungkinkah mereka akan menjemput kawannya yang telah tiada itu? Aku kembali dihanyutkan oleh suasana langka ini. Mengejutkan, memang. Kehadiran binatang-binatang malam kerdil itu bagiku. Mereka terlihat mengincar sesuatu yang telah lama mereka cari-cari. Perlahan, kumenjauh dari raga serangga mungil yang tak lagi bercahaya itu.
Bresssssss.... Reruntuhan tetesan-tetesan air dari atap langit menghujani malam dengan cepatnya. Ada fenomena baru apa lagi ni??? Aku terhuyung-huyung kedinginan dan bersegera mengambil jaket kulit hitamku di kamar. Lantas, kembali duduk di teras malam. Tak disangka, langit tak mau kehabisan air simpanannya. Malam kembali diselimuti kesejukan selepas rintik hujan mengguyur di pelataran malam.
Kulepaskan mata-mataku untuk mencari barisan cahaya kunang-kunang yang hilang entah kemana arus hujan membawa. Kuakui, cahaya-cahaya kecil itu sangat memesonaku. Dan aku tak mau kehilangan cahaya-cahaya kecil itu lagi. Kupandangi tempat di mana serangga bercahaya tadi tiada. Kuterkejut raganya telah menghilang. Mata-mataku pun tak berhasil menemukan segerombol kunang-kunang tadi.
*********
Lirihnya angin, nyamuk-nyamuk nakal, si kunang-kunang, layang-layang malam, perburuan malam, kembalinya para kunang hingga guyuran hujan malam. Adalah mozaik-mozaik malam yang muncul lalu menghias malam-malam panjangku. Tentunya, di malam langka nan syahdu ini.
Kutinggalkan mereka, lalu kulukis di belahan kanvas hitamku. Kuteropong atap malam. Hmmmm.....Tengoklah langit-langit malam! Sungguh luar biasa!!! Lihat, ada satu bintang mencuat dari peraduannya! Saatnya mencipta sepercik harapan supaya benderang malamku. Aku ingin....Aku ingin...Aku...ingin menjadi kunang-kunang yang bisa menerangi tiap sudut malam yang berdetak dalam diriku. Dan kuingin menyatu denganmu, sang malam. Seperti lirik lagu Kla Project yang sedikit kuubah“...kau dan aku / jadi satu / arungi laut malam / takkan ada / yang kuasa / mengusik haluannya...”
Inspirator : gerombolan kunang-kunang yang berlalu lalang
ketika tanah Jogja terguncang
***** THE END *****
0 pembaca kata berbicara:
Posting Komentar
silakan rawat benih ini