Kuseduh kau erat-erat
Supaya arakan kabut pagi
Tak membuat puisiku kian beku
; peri yang sebentar kembali
2009
engkau belajar menulis dengan menulis, engkau belajar membaca dengan membaca
Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)
Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)
Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez
Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca
Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho
Kuseduh kau erat-erat
Supaya arakan kabut pagi
Tak membuat puisiku kian beku
; peri yang sebentar kembali
2009
Teungku yang mulia,
1#
Kudengar kau kewalahan
Bahkan kaummu tercecer
Mengenai perhelatan lampau. Antara
Tanahmu dan yang olehmu disebut golongan
Penyamun
Marchausse, marchausse...
Nila setitik rusaklah sebelangga
Demikian serambimu
Luluhlantah oleh taktik para tak beradab
Tersebut kaum penduduk tanah asing
Sesaat pula belati-belati sapurata kocarkacir lalu
Menjerit di pertiwimu melihat putra-putranya
Tersambar desing peluru. Kaummu sayang, kaummu
Malang. Terbahak mereka pada ragamu.
Kepada air menjadikannya
Susut. Kepada api menjadikannya
Asap. Habislah yang mulia.
2#
Kelopak matamu berkerlip masih.
Selepas subuh. Sedang
Nafas pendekmu tersendak-sendak
Sebab barak-barak tak sanggup menampung
Para kaummu. Penuhlah ia dengan raga-raga kaku.
Kelopak matamu berkerlip masih.
Zuhur memanggilmu. Dan bersegera
Kau mencuci jiwamu yang kusut.
Wudlu itu. Mengeringkan keringatmu
Sehabis menggali liang bagi insan-insan pertiwimu
Sambil berharap-dendam pada mereka
Mereka yang olehmu kafir
Kelopak matamu berkerlip masih
Senandung asar menarikmu
Kembali. Usai dentuman
Yang betapa deras. Yang betapa keras. Memaksa
Awan-awan cumulonimbus berarak-cucuran
Menghampiri hari yang hampir senja
Hampir mati
Jingga pun menangis karenanya, karenamu, karena mereka
Kelopak matamu berkerlip masih.
Tak lama magrib bergaung di antara cekaman pulaumu
Lentera-lentera tua kau nyalakan
Demikian apimu yang tak padam oleh mereka
Oleh segala yang kau sebut musnah
Kelopak matamu akan senantiasa berkerlip
Sesaat tambur isya mengantarmu pada
Serambi tempatmu berkeluh. Serambi tempatmu
Berharap. Kau tetap bersama peci hitam tua itu dan
Sarung yang kau lilitkan pada
Derita tubuhmu. Dan nada tak terlupa.
Bungong jeumpa-mu.
3#
Yang kau tunggu tibalah
Kau sengaja menggulung sajadahmu
Berai rambutmu ditepis angin yang biasa
Mengejar awan langit jingga itu. Tak lama
Mereka datang membawa serta-merta lipatan
Litani janji yang baru saja kau rundingkan. Tak lama.
Melabuh di serambimu.
2009
*) Inggris : The Acehnese, judul buku karangan Snouck Hurgronje(1857-1936) tentang sebuah research penjajahan.
2\
CAVATINA-
Pada mulanya di petikan itu. Yang membuatmu
Terhapus dari akor-akor mayor
“Merebahlah sejenak bersamaku...”,
Akor minor menarikmu keluar
Sesaat setelah kau bosan atas ritme-ritme mono
Kau letakkan sehelai senar
Yang tadi sempat putus karena kau
Kau terlalu cepat meredam
Allegro con spirito
Cavatina. Kau sebut itu
Bukan not-not penuh. Pun kau terbingkai
Lewat tab-tab yang tak panjang
Atau di fret 7 kau mengakhirinya
Cavatina. Sebutmu
MONALISA-
Lihat matamu berkumpul sesuatu yang tak asing
Bagiku itu emas.
Emas yang tak pernah tersentuh oleh siapapun. Siapapun.
Kubilang emas itu adalah dentingmu. Dentingmu
Monalisa. Monalisa
Begitu iramamu memetik tak henti
Dawai-dawai gitar klasik yang gemetar, karena
Kau terlalu cepat mengganti arah
Tak bosan-bosannya kau melukis, menyekap dirimu
Bersama notasi-notasi yang selalu merias dirinya
Sehingga kau tak lagi terjebak dalam kemolekan
Ketika seorang penganyam nada menjumputnya
Lantas, kau meminta jarum waktu melarikan diri
Dari kubangan angka-angka
Sehingga kau cepat masuk pada titian
Chorusmu
Chord-chord itu bersemayam
Pada ritme-ritme melodis
di bawah tepukan-tepukan perkusi
tak pelak, bila
Harus rela kau menyandang
Notasi tak ditinggal sepanjang zaman
CAVATINA-MONALISA
Tepat di bingkai suaramu
Menjadikan segalanya seperti kunci-kunci
Yang kau pasang demi menyerupa
Desir angin tatkala membawamu
Di bening getar tali-tali senar
Dan syair sederhana membentukmu
Menuju notasi tanpa kata
Seiring wujud kapal jemarimu kian tebal
Menandakan sejuta nada berjejal
Salutku padamu,
Kau takkan hanyutkan keduanya
di silauan purnama
Tapi menyimpannya,
Atau merangkumnya
Dalam secarik partitur
Dan semua yang hilang
Akan mengingat
Bahwa anak-anak dawai telah menyebutmu
Pemetik yang bahagia, walau
Tak sama
Seperti yang kau peram
Cavatinamu
Monalisamu
; ima
1\
MARCH OF THE PRIESTS FROM THE MAGIC FLUTE K 620, LARGETTO
Malam. Masih kelam. Di tepian nada terdengar
Sajak meniup flute pada akor intro. Adagio espressivo
Memantik gemulai gerik jemarimu. Perlahan
Stabil pada sangkar nadamu, dan tak pelak
Tarian tiupanmu membutakan titinada yang kau buat
Contrabass pun ikut memainkan dawainya. Mendengung
Di kejauhan terdengar sayup biola dan violin,
Pengisi birama supaya tak hanyut dalam rinai melodis
Atau,
Kadang sengaja melarikan pundi-pundi melodi, supaya
Harmoni tak lupa bila masih ada notasi grave tergeletak
Di garis batas wajahnya
Semakin dekat. Dekat.
Lalu flutemu menuju tepat pada interlude.Di mana
Terbaring tangganada diatonis di ranjangnya
Sejenak, lantaran nafasmu menghampiri largetto mengarakmu pada
Chorus...
MARCH OF THE PRIESTS, ALLEGRO MODERATO
Malam. Masih kelam. Di tepian nada muncul terdengar
Sajak pianissimo berlomba mengiring rintik-rintik
Air yang terdampar kepada embun
Yang tak sempat berbulir di pucuk
Dedaunan sabana dandelion-dandelion muda. Sedang
Andante mulai lenyap. Tersisih
Oleh andantino ditunggangi dewangga puisi
Yang dimabuk oleh madah cinta dengan notasi angka
Sementara, kau tak keluar-keluar dari jeruji paranadamu
Dari allegro moderato di balok yang kau injak-injak
Oleh jemari mungil
Kau tersangkut sendiri di antara beratnya
Tuts-tutsmu
MARCH OF THE PRIESTS, ALLEGRO CON FUOCO
Malam. Masih kelam. Di tepian terdengar nada tertinggal
Sajak yang berawal dari dedawaian biola, cello, contrabass.
Serta merta tepukan perkusi dan butir-butir
Marakas yang berdesak-desakan meminta keluar dari
Ruang sempitnya
Sekumpulan partitur-partitur tergantung kemudian
Dipasangnya kembali oleh akor-akor
Menjadikan kau semakin erat
Aerophonemu
Lantas berkutat tangganada diatonis
Hingga desing triangle
Meloncat-loncat di telingamu. Menyeru
Allegro con brio. Dan pada sekt interval
Gaungmu makin berjejalan
Seolah ingin memugar di ruas-ruas yang kau anggap
Sepi
Allegro con fuoco
Kau yang menjadikannya omega
#1#
kurang beberapa putaran lagi, berganti
semua yang kau sebut waktu
semua yang kau sebut genocide
haluan kirimu katamu keras
ternyata apa
tak sanggup menyentuh
apa yang kau pikir hampir runtuh
seolah bombardir adalah akhir, darimu
tembok-tembok berbenteng
menara-menara condong
bangunan-bangunan tua berarsitektur barok
berserak di terra
betapa eksotiknya puingmu!
#2#
kejatuhan yang sudah adalah sudah
kota abadi sepeninggal segalanya
yang kau sebut orkestra buta
bila gesekan dawai biola pun tak menjadi
yang kau sebut tempo, menjadikan adagio
lalu andante yang bersahuran tapi tetap sama,
perlahan dalam ketukan-ketukan timbal
harpa, lalu kau namakan lento
di mana benar-benar tak terdengar
dan largissimo
hingga tak lagi kau menyebut kotamu
apa yang kau sebut
2009