tertanda gelombang-jantungku: M.
“...simpanlah supaya kau ingat itu suaraku,
bukan yang lain...
(: gie)”
waktu pertama - 18:56 -
bagaimana tanya itu bisa terjadi bagaimana malam
bisa menyatukan gelombang gelombang jatuh
dari arah bulan sabit menuju jalanan genang air hujan
bagaimana nomor ponsel yang sudah teramat lama bisa
menjadi tanda awal bagi seluruh suara di ruang teramat
puisi ini,
bagaimana?
(ponselku yang diam, ternyata mengharap
rindu melalui kaca kaca jendela di belakangnya)
waktu kedua - 19:25 -
“....!”
apa kau tak peduli, sekedar membalas atau
membaca tentang bunyian kata kata yang sudah
kurancang setelah kuambil dari rusuk keadamanku
apa kau tak mau tahu dan rupanya kau hanya ingin
berteman dengan sepanjang isyarat kesementaraanmu
yang aku pikir kau bagian dari kamar yang tak perlu
orang untuk boleh masuk selain benda benda
yang kau anggap lebih dari fiksi
: kursi, meja, lampu belajar dan buku?
“...!”
waktu ketiga - 19:38 -
(tanyamu tak pernah ingin kusimpan begitu saja,
hilang bersama iringan gelombang)
aku menulis harapan palsu yang sebentar lagi mati
di samping manusia manusia yang tak butuh puisi
seperti pengkhianatan setahun lalu
: bolehkah pengkhianatan itu redam
olehmu?
waktu selanjutnya....
o, malam malam yang terbakar!
bagaimana aku melanjutkan setiap pagiku
mendadandaninya serupa mimpi
yang sehabis malam jadi abu
dan, layakkah aku mengibakan pengharapan
yang jatuh berkali kali dari arah bau bangkai bulan
hanya kepadamu?
(bersua pun kita hanya mimpi
dan pasti jadi abu-kota di pagi hari)
maka, kepada siapakah waktu
menggantimu?
- ah...barangkali, kau hanya menginginkan
sejarah auman itu -
“...jelas-jelas pintuku yang bertanda darah
sudah kubukakan...”
(:M.)”
Semarang, 2010