selepas tuwung kuning*
--kita tak perlu menghunus kebhakilan
sendiri, bukan?
dengan melihat mata masing-masing seutuhnya
perlahan cakar ayam keluar satu-satu untuk beradu
di semesta lain, sedang tangan-tangan kita
akan bersilih-tumbuh bulu-bulu ayam jago
lalu setiap waktu berjalan menuliskan
rasa lupa yang ditimpa berat maki lelaki
sesak. semakin sesak. seolah membelukar.
dan tangan tak juga bergerak, selain berusaha
menerima selendang tuwung kuning untuk kafan
kesendirian menjelang ayam berkokok memanggil
panggil keserakahan yang lenting mengalihkan
pandangan, menempelkan sedu muka ke tajam
mata pedang. karena kita terlalu ceriwis menenun
basah api demi sebening api, karena siapa merasa
besar kelaklah memakai mata paling banyak airnya.
alangkah suara pohon kesayangan berbau hantu
seperti membenturkan kepulangan pagi-pagi sekali,
meniadakan memar nafas yang tak sengaja terbakar
dalam sekam batang pisang kering. kita ini
yang tercinta dan mencinta, seringkali harus
membuang hunus pedang. mencacatkannya,
seperti merobek pakaian baru kita. menyemat
sesal yang was-was hingga bulu-bulu rontok
lalu kita dibawa bangga atas pengaduan
ke pengaduhan, melepas persembunyian perih
untuk mempersunting diri kandung kita,
merayakan sesal kuat-kuat tanpa sedikitpun
mengeluhkan udara yang telah berton-ton cemar.
--kita tak perlu menghunus kebhakilan
sendiri, bukan?
dengan melihat mata masing-masing seutuhnya
perlahan cakar ayam keluar satu-satu untuk beradu
di semesta lain, sedang tangan-tangan kita
akan bersilih-tumbuh bulu-bulu ayam jago
lalu setiap waktu berjalan menuliskan
rasa lupa yang ditimpa berat maki lelaki
sesak. semakin sesak. seolah membelukar.
dan tangan tak juga bergerak, selain berusaha
menerima selendang tuwung kuning untuk kafan
kesendirian menjelang ayam berkokok memanggil
panggil keserakahan yang lenting mengalihkan
pandangan, menempelkan sedu muka ke tajam
mata pedang. karena kita terlalu ceriwis menenun
basah api demi sebening api, karena siapa merasa
besar kelaklah memakai mata paling banyak airnya.
alangkah suara pohon kesayangan berbau hantu
seperti membenturkan kepulangan pagi-pagi sekali,
meniadakan memar nafas yang tak sengaja terbakar
dalam sekam batang pisang kering. kita ini
yang tercinta dan mencinta, seringkali harus
membuang hunus pedang. mencacatkannya,
seperti merobek pakaian baru kita. menyemat
sesal yang was-was hingga bulu-bulu rontok
lalu kita dibawa bangga atas pengaduan
ke pengaduhan, melepas persembunyian perih
untuk mempersunting diri kandung kita,
merayakan sesal kuat-kuat tanpa sedikitpun
mengeluhkan udara yang telah berton-ton cemar.
2011