DERING
Oleh:
Fitriyani
--November 2011
Pukul 00.00. Handphone saya berdering.
Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada
saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Bukan namamu. Saya kembali berbaring.
Pukul 05.30. Handphone saya berdering.
Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada
saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Entah sejak kapan saya tak menganggap penting oranglain.
Pukul 05.51. Handphone saya berdering.
Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada
saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Saya berdoa kau sehat dan baik-baik saja.
Pukul 11.15. Handphone saya berdering.
Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada
saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Saya menarik napas. Panjang.
Pukul 11.22. Handphone saya berdering.
Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada
saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Saya benci karena mereka sok perhatian.
Pukul 18.58. Handphone saya berdering.
Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada
saya berdebar, tangan teramat gemetar. Mungkinkah itu pesan darimu? Saya raih handphone, dan menekan salah satu tombol...
Tuhan, berapa jam lagi saya harus menunggu?
Pukul 21.05. Handphone
saya berdering. Bergetar sebentar. Lalu
diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat
gemetar. Mungkinkah itu pesan darimu?
Saya raih handphone, dan menekan
salah satu tombol...
Dada saya mulai berdenyut. Nyeri.
Pukul 12.00. Handphone
saya berdering. Bergetar sebentar. Lalu
diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat
gemetar. Mungkinkah itu pesan darimu?
Saya raih handphone, dan menekan
salah satu tombol...
Saya baru ingat, saya meninggalkan banyak sekali pekerjaan.
Pukul 17.55. Handphone
saya berdering. Bergetar sebentar. Lalu
diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat
gemetar. Mungkinkah itu pesan darimu?
Saya raih handphone, dan menekan
salah satu tombol...
Positif thingking, positif thingking...
Pukul 20.10. Handphone
saya berdering. Bergetar sebentar. Lalu
diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat
gemetar. Mungkinkah itu pesan darimu?
Saya raih handphone, dan menekan
salah satu tombol...
Kenapa saya tak punya nyali menghubungimu terlebih dahulu?
Atau handphonemu hilang?
Pukul 22.11. Handphone
saya berdering. Bergetar sebentar. Lalu
diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat
gemetar. Mungkinkah itu pesan darimu?
Saya raih handphone, dan menekan
salah satu tombol...
Saya teramat takut ada oranglain bersamamu, saya cemburu...
Pukul 01.01. Handphone
saya berdering. Bergetar sebentar. Lalu
diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat
gemetar. Mungkinkah itu pesan darimu?
Saya raih handphone, dan menekan
salah satu tombol...
Tuhan, apakah Kau melambatkan waktu?
Pukul 04.00. Handphone
saya berdering. Bergetar sebentar. Lalu
diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat
gemetar. Mungkinkah itu pesan darimu?
Saya raih handphone, dan menekan
salah satu tombol...
Den? Ah, saya pikir itu kau...
Saya kembali tidur. Dan entah, rasanya
tak ingin bangun.
--Desember 2011
Pukul 06.10. Handphone
saya berdering. Kali ini dengan dering
lain, bergetar lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Dada saya berdebar, tangan
gemetar. Mungkinkah itu telepon darimu?
Saya raih handphone, dan buru-buru
menekan salah satu tombol...
“Halo?”
“Renata?”
“Ya?”
“Ah, kamu, sulit sekali dihubungi. SMS
saya masuk?”
“Maaf, ini siapa, ya?”
Orang diseberang sepertinya bingung,
suara perempuan. Apakah saya mengenalnya? Rasanya tidak. Nomornya
disembunyikan.
“Renata?”
“Ya?”
“Kamu kok aneh. Ini Mbak Rita. Bukannya
kamu sendiri yang meminta saya untuk menghubungi nomor ini?”
“Oh, masak?”
“Gimana sih, Ren? Ini pesanan buku
sudah datang. Kapan kamu mau ambil?”
Saya terhenyak, mengingat, hal-hal yang
sebentar-sebentar hilang dari kepala saya. Beberapa hari ini memang tidak
banyak yang saya lakukan. Hanya di dalam kos-kosan. Nonton televisi, tidur,
menatap handphone, menjauhi handphone, jarang makan, dan malas mengingat apapun.
“Ren?”
“Ya, Mbak?”
“Jangan bilang kamu lupa dengan saya.
Ya sudah, nanti hubungi saya lagi jika sudah ingat.”
Telepon dimatikan. Agak kasar. Tentu
saya kaget, namun masih bengong. Buku? Rasanya saya perlu minum banyak vitamin.
Sebab sulit mengingat apapun selain kau.
Pukul 07.05. Ah, Handphone saya berdering lagi.
Dering yang sama, bergetar cukup lama. Saya tahu itu pertanda telepon.
Dada saya berdebar, tangan gemetar. Mungkinkah itu telepon darimu? Saya raih handphone, dan malas menerimanya...
“Halo?”
“Kamu di mana?”
“Kenapa memangnya?”
“Dicari Pak Handri.”
“Ah, kenapa dia mencariku?”
“Ren, kamu sakit??”
Suara di seberang hilang, telepon
ditutup. Ia Tantri, kawan kerja saya di sekolah swasta di kota kecil ini. Ia
kerap memberi perhatian pada saya. Tak hanya itu, ia pun sering menjadi kambing
hitam atas kekacauan yang saya perbuat. Dimarahi Waka Kurikulum, ditegur Kepala
Sekolah, dan lainnya. Seperti saat ini.
Pukul 09.20. Handphone saya berdering lagi. Ah, dering yang sama, bergetar lama.
Saya tahu itu pertanda telepon. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar.
Mungkinkah itu telepon darimu? Saya raih
handphone, dan gugup menekan
tombol...
“Halo?”
“Ren? Ya Tuhan, kemarin-kemarin kamu
pingsan? Berulangkali ibu telepon, yang ada hanya talilut talilut. Tidak tau
ibu kuatir?”
Saya menghela napas.
“Oh, ya? Masak sih, Bu? Tidak ada
telepon ibu.”
“Mengigau kamu. ”
“Nyatanya memang tidak ada.”
“Kamu benar-benar membuat ibu kuatir. ”
“Tidak perlu kuatir, Bu. Saya sehat.”
“Apa? Seperti ini sehat? Barangkali
psikismu perlu dirawat.”
“Untuk apa, Bu? Saya kan sehat. Sudah
ya, Bu. Pokoknya ibu percaya saya sehat. Mau mengajar dulu. Muah.”
“Hei, Ren..!!”
Telepon saya tutup. Ibu memang sering telepon. Tapi apa benar kemarin
juga telepon? Saya lupa. Yang pasti saya memang tak mau menerima telepon
beberapa minggu terakhir ini. Oh ya, hmm, saya harus berbohong pagi begini,
saya kan bolos mengajar.
Pukul 10.30. Handphone saya berdering lagi. Ah, dering yang sama, bergetar agak
lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Dada saya berdebar, tangan gemetar. Saya
tahu itu bukan telepon darimu. Maka saya beranjak. Membiarkannya terus
berdering.
--Januari 2012
Di halte. Handphone gadis itu berdering.
Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Ia
memencet tombol dan mengetik huruf berulang-ulang, tersenyum, mengetik huruf
lagi, dan tersenyum lagi. Dada saya berdebar, sedikit gemetar, dan nanar.
Di dalam bus. Handphone lelaki tua itu berdering.
Bergetar agak lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Ia memencet tombol,
mendekatkan ke telinga, lalu cemberut. Makin cemberut. Dada saya berdebar,
sedikit gemetar.
Di tepian jalan. Handphone anak SMP itu berdering.
Bergetar agak lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Ia memencet tombol,
mendekatkan ke telinga, lalu tersenyum, tertawa, tersenyum lagi, tertawa lagi.
Dada saya berdebar, gemetar, nanar.
Di pintu gerbang. Handphone satpam itu berdering.
Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Ia
memencet tombol dan mengetik huruf berulang-ulang, tersenyum, lalu murung. Dada
saya berdebar, sedikit gemetar.
Di depan kelas. Handphone cleaning service itu berdering. Bergetar sebentar. Lalu diam. Saya tahu itu
pertanda SMS masuk. Ia memencet tombol dan mengetik huruf berulang-ulang,
cemberut, murung. Dada saya berdebar, sedikit gemetar, dan nanar.
Di kantor. Handphone seorang guru berdering.
Bergetar agak lama. Saya tahu itu pertanda telepon. Ia memencet tombol,
mendekatkan ke telinga, lalu tersenyum, tertawa, tersenyum lagi, tertawa lagi.
Dada saya berdebar, lalu gemetar, sangat gemetar.
--Februari 2012
Subject :
Renata??
Ren, sulit sekali dihubungi?
Handphonemu kenapa? Kamu pikir aku tidak kuatir? Segera SMS atau telepon balik
jika handphonemu sudah sehat.
Subject :
Les..
Renata.. Ya, ampun.. kamu kemana saja?
Adikku keteteran ni, kapan mulai ngelesi lagi? HPmu kenapa sih? Ganti nomor?
bales
Subject :
dicari ibu!
Renata........ ibu marah-marah. Mbakmu
ini selalu jadi korban. Nomormu kenapa? Aktifkan dong Hpnya... senang sekali
membuat orang repot.
Subject :
Soal Mid Semester
Selamat siang, maaf Bu Renata, mohon
soal untuk mid semester segera dikumpulkan. Minggu depan sudah harus cetak. Ibu
sakit? Sejak kemarin saya cari di sekolah tidak ada, nomornya saya hubungi juga
tidak bisa. Mohon perhatiannya ya, Bu. Terimaksih. Salam
Subject :
mana tulisannya??
Ren, saya setres menghubungimu, kalau
ganti nomor ngasih tau dong. Mana tulisannya? Segera kirim. Hampir deadline. Awas
kalau alasan lagi. Mas Jakfar
Subject :
REEENNNNN..............
Bu guru ini bingungin amat sih. Heeiii,
kemana kamu, Non? Fb ga pernah update, tweeter ga pernah update, nomor mati,
email gak dibales. Masih idup kan? Inget, kerjaan di sekolah numpuk. Hpmu
kenapa??? Bales donggg....
Subject :
soal kemaren..
Mbak Renata, maaf baru menghubungi.
Soalnya kemarin sibuk sekali. Ini handphone sudah terjual. Uang sudah saya
kirim ke rekening Mbak. Lain kali kalau mau beli atau jual lagi bilang aja.
Makasih. Rendi
***
“Mana Renata?”
“Tidak tahu.”
Boja,
2012
*Tulisan ini digunakan untuk Ngopi
Komunitas Lacikata.
(PARAUNYA) DERING REPETISI DAN INTERPERSONALITAS DALAM BAHASA
- Sebuah
catatan singkat dalam pembacaan cerpen “Dering” di acara Ngopi komunitas
LACIKATA -
Oleh: Ganz
(Kepada
Herman Pratikto
20
Desember 1952
Saudara
Pratikto,
Mengenai
cerita pendek Saudara, “Rosita”, yang saya paksa baca sampai habis atas
permintaan Saudara, saya cuma punya satu perkataan: jelek.
Meskipun
begitu saya akan coba juga menunjukkan di mana letak kejelekannya......
-
Surat-Surat 1943 – 1983, H.B. Jassin -)
Dimensi repetisi psikologis pembaca
Pembacaan cerpen naratif yang berkisah tentang ‘kronologis’
keberadaan seseorang ini tiba-tiba menyeret saya untuk masuk kembali ke dalam
sebuah tema repetisi. Kehadiran yang konon menjadi sebuah kebutuhan adalah
cakupan makna yang semestinya punya nilai bagi keutuhan cerpen ini. Kemudi
selanjutnya, resepsi pembaca seolah diarahkan menuju sesuatu yang bias. Barangkali,
pengarang ingin memberi kesempatan selebar-lebarnya kepada pembaca untuk
berpikir berulang-ulang, memastikan bahwa cerpen ini membawa pada suatu makna
yang dipercayai adalah perantara menuju maksud pengarang. Ya. Pada awalnya,
‘pembaca awam’ sepertinya akan diajak merasakan kegaduhan di benak mereka untuk
mengerti pada sisi teks. Kegaduhan yang dimaksud adalah lingkaran-lingkaran
repetisi. Skema inilah yang mengantarkan bahasa komunikasi antara teks dan
naluri pembaca.
Di satu sisi, apa yang diuraikan oleh Prof. Groys Keraf dalam
bukunya “Komposisi” sepertinya tidak dapat dinafikan untuk dipertautkan pada ruang
pembacaan cerpen “Dering”. Bilamana dipandang secara stilistika yang utuh,
cerpen ini tidak dapat dipisahkan dari bahasa pengulangan. Gorys Keraf
mengemukakan bahwa repetisi adalah pengulangan sebuah kata yang dianggap
penting. Dalam konteks ini, penggunaan repetisi pada cerpen “Dering”, tentu
memerlukan kehati-hatian terutama dalam penempatannya. Apa yang telah disajikan oleh pengarang sejak awal,
tampak berberondong pola-pola pengulangan bahasa. Keadaan ini memformat pembaca
untuk berpikir ulang. Lagi dan lagi. Artinya bahwa apa yang sedang dibuat
pengarang, bisa dikatakan semacam labirin, bukan pola repetisi visual seperti
gaya tarian gangnam. Sementara itu, Halliday dan Hasan, memperlebar teknis gaya
repetisi dalam tulisan. Jenis gaya repetisi yang dimiliki oleh cerpen ini
adalah gaya kohesivitas. Kekohesifan yang dimaksud oleh Halliday dan Hasan merupakan keterikatan antarunsur dalam
struktur wacana yang ditandai melalui pola-pola pengulangan. Pengulangan inilah
yang dinamakan dengan repetisi. Di antaranya, terdapat kohesi leksikal dan
kohesi gramatikal.
“Pukul 00.00. Handphone saya
berdering. Bergetar sebentar. Lalu diam.
Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar.
Mungkinkah itu pesan darimu? Saya raih
handphone, dan menekan salah satu tombol...
Bukan namamu. Saya kembali berbaring.
Pukul 05.30. Handphone saya
berdering. Bergetar sebentar. Lalu diam.
Saya tahu itu pertanda SMS masuk. Dada saya berdebar, tangan teramat gemetar.
Mungkinkah itu pesan darimu? Saya raih
handphone, dan menekan salah satu tombol...
Entah sejak kapan saya tak menganggap
penting orang lain.”
Kedua paragraf tersebut merupakan paragraf yang berkohesi,
begitu pula dengan paragraf-paragraf selanjutnya. Sejumlah 13 paragraf sejak
dari awal ingin merepresentasikan sesuatu yang berbau kronologis. Adapun
terdapat gaya pengungkapan tambahan di setiap paragraf. Hal ini tetntunya yang
memberikan pengaruh pada daya repetisi yang diperoleh pembaca. Dalam gaya
penulisan lain tentunya hal ini bertujuan untuk memberi daya letup teks dan
daya tarik bagi pembaca. Maka sah-sah saja apabila gaya pengungkapan tersebut
dilakukan oleh pengarang untuk mengkonstruksi cerpen ini. Hanya saja,
bentuk-bentuk eksperimentasi yang ingin diolah mesti ditimbang kembali,
mengingat bahwa seringkali repetisi bisa menimbulkan titik kebosanan, bilamana
pada muaranya tidak dibubuhkan sesuatu yang memuat daya letup bagi pembaca. Di
sinilah pengarang belajar memainkan sentuhan yang pas untuk dimensi psikologis
pembaca.
Antara
subjek, objek, dan kohesivitas
Dalam suatu wacana sastra, Maman S. Mahayana pernah
mengungkapkan bahwa sebuah cipta sastra adalah hasil perenungan yang intens
dari subjek pengarang yang pasti berbeda dengan subjek pengarang lain. Oleh
karena itu, satu peristiwa atau masalah yang sama akan ditanggapi dan
menghasilkan pandangan yang berbeda jika diungkapkan oleh dua pengarang atau
lebih. Dalam penyajian cerpen ini, pengarang seperti tidak memperhatikan alur,
media dalam meletakkan peristiwa, dan bagaimana mencari titik
klimaks-antiklimaks. Subjek yang bernama Renata menjadi semacam teror bagi
pembaca. Namun, di wacana yang lain, objek menjadi samar. Sesuatu yang bersifat
gradasi terjadi pada setiap selang pergantian waktu (bulan dalam cerpen
tersebut). Sebagai sub-chapter, itu cukup meyakinkan alur pembahasaan. Tapi,
gradasi peristiwa agaknya berseberangan (mungkin juga bertolak agak jauh)
sehingga kohesivitas dalam keutuhan cerpen ini menjadi pecah. Kehadiran
tokoh-tokoh, seperti tokoh-tokoh dalam sub-chapter bulan januari maupun
tokoh-tokoh yang berada dalam subject email tampak menghanyutkan subjek utama;
yang adalah saya, yang adalah Renata. Ada upaya pembungkaman subjek di tengah
hingga akhir cerita. Distorsi semacam ini merupakan distorsi yang agaknya
(lagi-lagi) kurang matang, karena selain adanya gradasi yang jauh dan mencolok
(lihat saja pergantian dari media handphone menjadi media email), pengarang
sepertinya telah masuk dalam keterjebakan estetika amanah yang akan dibawanya.
Hal itu terlalu khusyuk sehingga meninggalkan resepsi pembaca akan apa yang
sedang ditawarkan dalam cerita ini. Demikianlah, keterpaduan antarsub-chapter
mesti diperhatikan kembali, mengingat gradasi, mengingat subjek-objek,
mengingat pembaca. Tanpa perlu mengurangi cerita yang telah dituliskan,
pengarang malah bisa mengembangkan lagi dengan cara meninggalkan gaya
penceritaan yang minim akan sudut pandang. Pada akhirnya, kohesivitas akan
terjaga.
Interpersonalitas
dan akhir dari repetisi
Disclosure menjadi
istilah yang lekat dengan interpersonalitas. Bagaimanapun tentang istilah,
bahasa tetap akan terus dierami. Seperti kata Umar Kayam tentang gaya bertutur.
Kembali pada persoalan interpersonalitas yang muncul mencolok dalam cerpen ini,
saya mengamati bahwa keseriusan pengarang menampilkan percakapan Renata dengan
subjek lain kurang diimbangi dengan pengembangan tampilan dialog. Dialog-dialog
yang ter-eksplore di sini barangkali terlalu singkat atau cepat untuk diakhiri
dengan jalan menutup telpon. Keadaan ini bisa menggagalkan konflik yang sedang
terbangun dalam diri pembaca. Tak pelak, seakan-akan ada sesuatu yang putus di
jalan, lantas menganggu itikad baik pembaca. Berkaitan dengan
interpersonalitas, seorang ahli komunikasi (Luft) pernah mengemukakan bahwa
orang memiliki atribut yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri dan orang lain
(orang terdekat), dan tidak diketahui oleh siapa pun. Sejauh pengarang berlari
dalam alur, dapat juga pembaca terengah-engah mengejar. Eksperimentasi yang
sedang dibangun pengarang seakan hanya memberi ruang sempit dan kode-kode yang
monoton. Maka, di sisi interpersonalitas, komunikasi subjek dengan teks yang
menciptakan subjek harus benar-benar mengenal akumulasi percakapan serta
pemantik emosi. Dengan harapan, agar menutup kemungkinan penggunaan batasan-batasan
kronologis yang berlebihan dan tidak memperoleh tempat.
Repetisi yang memberi warna pink di
tengah ruang hitam cerpen ini rupanya perlu ditelaah kembali untuk
dikembangkan. Akhirnya, pengarang tidak harus meyakini bahwa cerita pendek ini
sampai di sini. Adakalanya, ia mesti masuk-menjabarkan letak celah-celah bahasa
pengulangan ke dalam kertas coretan hingga tahu di mana mereka berada dan
dihadirkan, penguasaan ruang setidaknya dipertimbangkan tanpa membeberkan
bahasa perulangan tentang bayangan persoalan dirinya. Masuklah pada dering,
pada parau.
Hari Cium Sedunia,
2012