SEJUMLAH PERTANYAAN (NON)SUKSESIF: REPETISI, REPRESI, DAN MEKANISME PERTAHANAN AF DALAM ‘PENYIMPANGAN DAN PENYATUAN[1]’
Sebuah Ulasan Singkat Oleh: Ganz
Kau bilang aku mengulang
sesuatu yang telah kubilang sebelumnya.
Aku harus mengatakannya lagi,
Haruskah aku mengatakannya lagi?
[T.S. Eliot]
Octavio Paz dalam buku kumpulan esainya “Suara Lain” di salah satu babnya ia mempercayai bahwasanya ada manifestasi yang muncul dalam sebuah pengulangan pada raga puisi. Ia menyatakan lebih lanjut mengenai pengulangan yang mana dikorelasikan dengan proses rekonsiliasi dan kekinian. Menyimak puisi-puisi AF (demikian saya memanggil penyair muda yang kian licik, yang bernama panjang Arif Fitra Kurniawan), mengembriokan saya sejumlah pertanyaan terkait ‘mitos perubahan’ dalam proses menulisnya. Berikut ini sejumlah pertanyaan yang mesti saya lahirkan dalam ulasan singkat ini beserta deskripsi dan sejumlah bukti halusinatif dari sejumlah puisinya yang diberikan kepada saya:
Apakah AF sedang mampu bermain-main anafora, efoni, kakofoni, onomatope, lambang rasa, dan mempergunakannya secara sadar, atau hanya abcdefg....?
Pada beberapa puisi yang disodorkan oleh AF, saya merasa terpancing dengan kekhasannya dalam permainan bunyi-bunyi hurufnya. Puisi-puisinya yang berjudul “TUPAI-TUPAI DI TUBUHMU”, “02.30”, “Masa Lalu yang Menyala Malam Hari”, “Mitos Hujan Sore Hari”, “Siang yang Dangkal”, “Setabah Subuh”, serta “Ke Engkau Lagi” menebarkan tuduhan semacam permainan atau peletakan bunyi-bunyian. Berikut saya serta-mertakan definisi berdasar KBBI maupun buku yang berjudul “Berkenalan dengan Puisi” beserta contoh-contoh dalam puisi AF”:
1. Anafora menurut “KBBI offline versi 1.3” merupakan pengulangan bunyi, kata, atau struktur sintaksis pada larik-larik atau kalimat-kalimat yang berturutan untuk memperoleh efek tertentu. Contoh penggalan puisi AF yang dituduh melakukan anafora ada dalam TUPAI-TUPAI DI TUBUHMU:
“....
dengan sendirinya dari bibir engkau.
dari jari engkau, dari ketiak engkau
dari leher engkau, dari punggung engkau.”
Kata “engkau” yang disusun berurutan dalam penggalan bait puisi tersebut sepintas terasa sekali pengulangannya. Salah satu efek yang ditimbulkan dalam upaya seperti ini adalah semacam estetika atau dimungkinkan erotika.
Suatu kombinasi vokal-konsonan yang berfungsi melancarkan ucapan, mempermudah pemahaman arti, dan bertujuan untuk mempercepat irama baris yang mengandungnya dipanggil dengan efoni. Salah satu contohnya ada dalam penggalan bait puisi yang berjudul Mitos Hujan Sore Hari”:
“kita pertanyaan yang lebih keropos dari batang
dan cabang-cabang, bergantian patah oleh rerintang
yang membelokkan kaki dan kehendak jawaban.
begitulah kita mengulum takdir di telapak tangan.”
AF seakan-akan berupaya menegkombinasikan perpaduan suara -ang dan –an, pertanyaan yang bisa menjadi semacam refleksisasi seperti yang dinyatakan Suminto A. Sayuti adalah apakah dengan demikian puisi ini mengalami keberhasilan dalam pemahaman arti.
Perpaduan bunyi-bunyi konsonan yang berfungsi menghalangi kelancaran ucapan disebut dengan kakofoni. Nuansa kakofonik terjadi pada nukilan puisinya yang berjudul “Siang yang Dangkal” dan “Masa Lalu yang Menyala Malam Hari”:
“....
yang mana lebih hangat ketika dijumlahkan.
sungguh aku hidup tiap kali engkau tiup,
sebanyak hitungan kelopak mata
yang membuka—menutup.”
[Siang yang Dangkal]
“....
yang dari dulu engkau tuduh pancing terbalik,
lantaran mampu menangkap dan
ditangkap yang mengambang di antara langit-langit
dan engkau yang berupaya tetap tengadah ketika
terhimpit kalimat sempit.”
[Masa Lalu yang Menyala Malam Hari]
Kakofoni pada esensinya merupakan deskripsi suasana yang negasi, tidak dikehendaki, disharmoni, chaos, tidak menyenangkan, bahkan kekacauan yang membosankan. Konsonan yang biasa merepresentasikan hal ini adalah huruf /p/, /t/, /k/, dan /s/. “dan engkau yang berupaya tetap tengadah ketika/ terhimpit kalimat sempit”, dua baris ini masuk dalam nuansa kakofonik, dan bisa dikatakan sebagai kakinya.
4. Onomatope merupakan bunyi yang bertugas menirukan bunyi dari bunyi yang sebenarnya dalam arti mimetik. Hal ini dimungkinkan terjadi pada puisi yang berjudul “Siang yang Dangkal” dan “Setabah Subuh”. Berikut nukilannya:
“kau yakin, aku mampu mengalir serta
mengulurkan diri sendiri sedemikian panjang
....”
[Siang yang Dangkal]
“...
yang membuatmu lebih lenggang dari kesepian yang
dibentangkan oleh suara azan dari kejauhan.”
[Setabah Subuh]
Kata “mengalir” dan larik “dibentangkan oleh suara azan dari kejauhan” mungkin agak representatif untuk menengarai kedua nukilan sajak tersebut mempunyai aspek onomatope. Namun agaknya pula, apakah AF kurang ber-eksplore mengenai aspek ini atau tidak mengetahui karena enggan mencari padanan kata yang lebih ‘berkias-bunyi mesra’? Sehingga yang sebenarnya puisinya bisa lebih tampak anggun dengan level kiasan bunyi seperti yang sering dijumpai pada puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo.
5. Lambang rasa adalah bunyi-bunyi tertentu yang membawa nilai rasa berbeda antara yang satu dan yang lainnya. Lambang rasa dapat diketemukan dalam puisi super mininya AF yang berjudul 02.30:
“semakin dini
semakin dingin
semakin engkau”
Kombinasi antara bunyian vokal-konsonan -i, -in, -au dalam puisi tersebut tampak jelas sekali. Pada puisi ini seolah-olah AF ingin mendeskripsikan suasana pada waktu itu dengan komparasi ekspresi bunyi dan metafora. Lapis bunyi ini menimbulkan semacam lapis arti yang mengerucut pada kata “engkau”. Terlepas dari penyuksesan itu, apakah AF sempat memikirkan untuk mempertimbangkan kombinasi vokal-konsonan beserta keketatan yang dikandungnya?
Apakah AF sedang menyediakan puisi-puisinya yang kini untuk mengaktifkan lubang dirinya?
Hangat-hangat letong sapi, rupanya AF diam-diam sengaja ataupun tidak, perlahan merubah pola menulisnya. Beberapa puisi yang ada di buku antologi puisi “10 Kelok di Mouseland”, misalnya. Di sana sangat rapat dengan populasi imajinasi, tipografi struktur dan tentunya judul ‘rel kereta apinya’. Pada puisi yang baru dipublikasikan seperti “Menyentuh Kotamu”, sebuah puisi yang ditulis untuk seorang penyair muda yang stylish: Rendy Jean, secara tipografi judul tampak memini, dan AF mulai menaruh kata “membayangkan” pun menggunakan kata “yang” sebagai drive bagi kata-kata selanjutnya. Apakah keterpengaruhan gaya kepenulisan penyair-penyair muda di bandung yang menyebabkan demikian? Tapi, setelah coba ditelisik kembali, saya terhantui oleh bait ini:
“yang menyeret sandal jepit hijauku pada jam 5.30 pagi
mendaki kota-kota di kakimu yang berawalan ci—
kota yang tumbuh dari perumpamaan.”
Larik yang berbunyi “kota yang tumbuh dari perumpamaan” bisa dikatakan sebagai imbuhan akhiran yang mungkin gagal. Mungkin, karena AF tergesa untuk menyebut kota yang ia injak kesekian kalinya itu sebagai perumpamaan. Dari segi enjambement, salah satunya, juga teras kurang match. Begitukah AF yang pernah suatu ketika mengungkapkan ingin mengejar kuantitas karya memproduksi karya lekas-lekas? Dugaan yang lain, ini semacam pengaktifan lubang. Dalam arti bahwa, ada sisi kekurang-sinergisan antara apa yang ia inderai, kehendak kepenulisan dan teks yang ia tullis. Hal ini, bisa saja mengakibatkan tumpulnya “ego puitif” dalam dirinya yang selanjutnya puisi-puisinya bisa mengalami ‘penyimpangan’ atau terombang-ambing ke sana ke mari. Namun, di lain sisi AF kiranya tetap teguh dengan kiasan-bunyi yang hendak dibangunnya—mengisi lubang dirinya.
Apakah dengan mekanisme pertahanan yang dimunculkannya, AF mempercayai dirinya sendiri, puisinya sendiri?
Persatuan antara kata, tubuh, dan kejadian kerap kali banyak memunculkan konflik yang sedemikian pelik. Dan bilamana gagal mengatasinya akan terjadi penyimpangan dan bilamana sebaliknya akan terjadi penyatuan sehingga menciptakan sajak yang utuh serta sublim. Nukilan puisi terakhirnya ini pantas menjadi motivasi dalam konflik yang tersiar dalam dirinya;
“mimpi, entah kenapa selalu bisa menggagalkan
pertemuanmu dengan nama yang engkau susun
dengan ledak bibir tertahan. lampau. lampau sekali.
kesalahan mengetuk matamu minta diampuni.
apa memang terlampau sukar ketika ingin
memaafkan diri sendiri yang ingkar?”
[Setabah Subuh]
Seperti subuh, tabahlah AF.....atau haruskah aku mengatakannya lagi ?
Semarang, 2012
[1] Judul subbab Puisi dan Modernitas dari buku “Suara Lain” oleh Octavio Paz
*Esai ini dibuat untuk keperluan Ngopi komunitas sastra LACIKATA
0 pembaca kata berbicara:
Posting Komentar
silakan rawat benih ini