Kesudahan hari itu membuatmu terdampar di pelosok cita. Beranjaklah kau menuju pondok lamun. Di situ kau bermimpi tanpa melerai perkelahian antara detik jam tanganmu dan detak jam kepalamu. Setidaknya mimpimu menjadi batas ruang mereka.
2009
engkau belajar menulis dengan menulis, engkau belajar membaca dengan membaca
Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)
Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)
Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez
Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca
Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho
Kesudahan hari itu membuatmu terdampar di pelosok cita. Beranjaklah kau menuju pondok lamun. Di situ kau bermimpi tanpa melerai perkelahian antara detik jam tanganmu dan detak jam kepalamu. Setidaknya mimpimu menjadi batas ruang mereka.
2009
Ia masih berkutat pada jalur yang biasa. Di jalanjalan sepi. Hanya dua pengamen mampu membelah kebisuan trotoartrotoar bercat pucat. Ia berharap pada permainan sebuah gitar dan gendang milik mereka, supaya sajaknya tak lepas kendali dari jalur yang biasa.
2009
: tuhan kami di dunia
Seharian kami rela berpeluh bersama. Menyeka kucuran embun keringat kami. Teras-teras toko ibunda kami, mendekap diri kami. Dari rerintik air yang menguyupkan kami. Dari petang yang tak henti mengejar kami di sisi doa-doa kepada gemintang dan rembulan. Jalanan ayahanda kami, menyiapkan diri kami. Untuk sekedar menuang uang receh di kantung-kantung kemarau kami. Untuk berguru pelajaran kasihan pada tangan-tangan setiap pengendara yang lewat di sisi lampu merah-kuning-hijau.
Seharian kami rela berpeluh bersama. Menyeka kucuran embun keringat kami. Surga bukan milik kami, juga mereka. Tapi, penciptalah. Kami pun bukan anak-anak surga. Kami hanya murid yang setiap dentang waktu belajar meneriakkan ilmu rezeki pada pelajaran surga, bahkan neraka. Meski tak banyak tahu ilmu kami. Tapi kami tahu, surga tak pilih kasih seperti tuhan kami di dunia. Hanya itu.
2009
MALAM DI KIBAR RAYU PULAU KELAPA
: 64 tahun tanah persada
Setengah abad lebih, kita duduk menenggak gelasgelas panembrama para ksatria. Bersama mereka. Rayuan belatibelati tanpa sarung di degup peluk. Rayuan pusakapusaka tanpa mantra di ujung genggam. Rayuan satuan-satuan doa tanpa takut di palung hati menuju tepian bibir. Rayuan langkah-langkah tanpa bungkuk di gelegar jalanan.
Setengah abad lebih, kita berpacu di pesisir pulau pejuang. Bersama mereka. Rayuan para pengikat kepala. Rayuan para pelempar bambubambu runcing. Rayuan para peneriak surga. Rayuan para nahkoda layarlayar samudera. Rayuan para penganyam bendera. Rayuan para pelantun pertiwi.
Setengah abad lebih, kita bermalam di gemuruh kelebat bendera tanda jasa. Bersama mereka. Kita berkibar. Pada anginangin rayu dan langitlangit perkasa. Nyiur pulau kelapa yang kita rindu dalam satu.
2009
MEMOAR UNTUK KITA
Sejak dulu, kita adalah bangsa. Kita telah meniti di garisgaris perang. Di medan tempat kita menengadahkan kepala. Tempat kita bergotong memanggul dan merakit senjatasenjata. Tempat kita menggendong para kawan yang berjatuh sakit atau menutup mereka dengan tangis.
Kita telah tersimpan. Dalam segudang buku sejarah. Dalam museum bingkaibingkai kepahlawanan. Dalam kenangan nisan liangliang kubur.
Sampai kini, kita adalah bangsa. Kita tetap meniti di garisgaris perang. Di medan tempat kita menundukkan kepala. Tempat kita bergotong memanggul balada tangis tanah kita. Tempat kita memejam mata di segala kepunahan atas penjajahan yang bisa terjadi.
2009
BETA PUNYA BENDERA
Beta punya bendera. Sewaktu tanah beta dikoyak gelegar para pendatang. Bendera beta naikkan di tiangtiang perjuangan. Bendera beta bawa lari. Di depan sana. Di kobar koar para pelawan kakikaki asing berdesing.
Beta punya bendera. Bendera beta bawa lari, ke mana beta bergema di tanah persada.
2009
KAMI GENERASI BAMBU RUNCING BARU
Kami adalah bambubambu muda. Yang dengan perkasa, meruncingkan diri lewat pisau dan belati.
Kami adalah bambubambu muda. Yang dengan gagah,
menikam tubuhtubuh bengis tanpa nama di terra kami.
Kami adalah bambubambu muda. Yang dengan perkasa, menenteng mayatmayat tak bertuan di makam kami.
Kami adalah bambubambu muda. Yang dengan gagah,
tegap menancap di gulungan reformasi.
Kami adalah bambubambu muda. Yang dengan perkasa, menyebut generasi dengan runcingruncing baru.
Kami adalah bambubambu muda. Yang dengan gagah,
memasung diri kami ke dalam tanah air bergelimpang pahlawan.
2009
SURAT KEPADA PANGERAN
Pangeran yang mulia,
Kita telah menunggangi kudakuda sejati. Memanah, menikam bersama. Kita telah setia menjaga lahanlahan para petani, rumahrumah rakyat dari gerilya musuh, juga lembaranlembaran wasiat dari bolabola api.
Kita telah memastikan. Musuh lari terbirit-birit. Melihat pasukan solid kita menggempur dalam bara dan tak mudah dibelah.
Dengan demikian selesailah pertempuran kita. Namun satu hal yang perlu engkau ingat di tempat peristirahatanmu. Kita bukanlah pahlawan tanpa tanda jasa.
Salamku,
Tanah tumpah darahmu.
2009
TANAH BERPASIR JUANG
Tanah ini bukan tanah biasa. Bukan sekedar pijakan manusia belaka. Bukan hanya pelataran tempat lahirnya gedung-gedung, kantor–kantor dan rumah-rumah bertingkat dengan kemegahan semu. Bukan.
Tanah ini bukan tanah biasa. Bukan pula tempat memendam segala yang mati atau hidup. Ini adalah tanah tanpa hiasanhiasan permadani maya lambang manusia pelupa sejarah. Ini adalah tanah beratas pasir juang. Di mana leluhur menaruh cinta pada setiap butirnya.
2009
TAHUN `45
Di tahun `45, para ibu bekerja keras menyeka jutaan airmata para suami dan anaknya. Melaparkan diri demi bulir-bulir padi dan umbi-umbi ketela milik lahan mereka. Demi susu nyanyian ronta para bayi.
Di tahun `45, para ayah bekerja keras menyeka jutaan airmata para ibu dan anaknya. Memperkasakan diri demi rumah-rumah dari para penjarah dan pemungut kedamaian. Demi kuntum-kuntum wasiat bumi.
Di tahun `45, para anak bekerja keras menyeka jutaan airmata para ibu dan ayahnya. Menggembalakan dirinya dari kawanan domba di antara raung-raung serigala kebebasan. Demi menyelamatkan yang hilang dari dirinya, juga mereka. Kemerdekaan itulah.
2009
Tibalah waktu guntingan-guntingan sajak engkau temu,
di sepasang alas kaki ibumu. Semenjak engkau membingkai renungan kelahiran dua sajak kembar. Merekalah wanita dan kompor.
Ananda, jangan lupa engkau rekatkan kembali dirimu pada sobekan-sobekan itu. Sesaat, engkau segera saksikan: sajakmu beranak-cucu di telapak kaki ibumu.
2009
Aku kenyang oleh perayaan semalam. Di ranjang rembulan sabit, tempatku melahap mereka. Sepiring bunga tidur dan segelas pelangi. Hanya saja, aku bimbang; mengapa sekeranjang hati tak bersisa di talam pelaminanku.
2009
Malam di kemerahan lampu trotoar, ia berjalan berpisah satu langkah dengan seorang muridnya. Setelah berwaktu-waktu memandang sederet mobil untuk dijadikan puisi di ujian pelajaran bahasa
Ia tersungging senyum melihat muridnya lega. Ia hanya berjalan saja, menginjak larik–larik puisi muridnya yang berguguran di trotoar. –tak sadar si murid bahwa yang digenggamnya tertempel kalimat: Anda dinyatakan BELUM LULUS –
2009
Lebih dari setengah musim kemarau ia hanya belajar menyusutkan lamunan berat di perut kepalanya. Seperti seorang dokter piawai akan pasien, ia pun piawai akan dirinya. Dengan sebuah catatan kecil ia coba menulis resep ampuh.
Semusim beranjak, resep telah berulang ia praktikkan di laboratorium mungil yang ia bangun di perut kepalanya. Dan sekian lama ia belajar, ia hanya mendapat kalimat aturan pakai di label botol resepnya. – Dilarang bersajak sebelum dan sesudah melamun–
2009
Tiba-tiba saja ia muncul membelalakkan mata. Menatap segulung angka-angka yang ia simpan lama. Mencari sebuah tanggal tersembunyi di agustus yang sama. Di situ ia hanya menjumpa angka berudu-berudu hitam legam yang berduyun mengerumun bersama gemericik bilangan khawatir di angka tiga puluh satu. –ia menaruh pinta pada gemericik; supaya sehabis minggu berudu-berudu itu tak berlinang di kalendernya-
2009
Tak perlu kita bertumpu pada tiga jarum kecil di dua belas putaran angka itu. Saat waktu mempersilakan kita untuk berburu. Dengan sandisandi apung di warna biru, kita pecahkan tekateki baru. Kita remahkan satu per satu. Meski matamata kita sampai haru. Kita membulat tekad, tanpa kelu, tanpa jemu. Demi puisi, kita memburu dan memburu.
Tak perlu kita bertumpu pada tiga jarum kecil di dua belas putaran angka itu. Saat musim kita temu. Dan petakpetak ladang kemarau kita tuju. Menyusur bersama sekantung impian lugu.
Tak perlu kita bertumpu pada tiga jarum kecil di dua belas putaran angka itu. Saat tiba kita berdahaga pada sebotol susu. Yang dulu kerap kita rindu bersama ibu.
Tak perlu kita bertumpu pada tiga jarum kecil di dua belas putaran angka itu. Saat terlalu suntuk kita memburu. Lalu kau berseru di pekat debu, “tekateki baru telah lama kita cumbu, namun jejak tak segera kita temu.” Setelah canang waktu bertalu, kita mengadu pada selembar tekateki pesan di buku puisi itu;
di bawah rerimbun pohon duku
di dekap peluk induk domba tanpa bulu
sajak buruan kita temu
2009
Dikau berkelit pada sebuah monitor. Pada segaris denyut kursor, dikau menimba harap tanpa menipu diri. Dikau berbahasa bersama dunia tanda simbol. Di peluk monitormu. Dikau bercakap bersama kotakkotak menu. Dikau menjemari bersama tutstuts hitam putih keyboard. Menunggu para abjad berjajar melengkapi deret puisimu. Dikau merekat diri pada layar berinchi itu.
Dikau berkelit pada sebuah monitor. Pada segaris denyut kursor, dikau menimba harap tanpa menipu diri. Di situ katakata tercetak. Di situ mereka berbaris rapi menghadapmu. Menghadapmu yang mereka anggap kiblat. Di situ mereka mengerek panji dan menaruh hormat. Dikaulah lambang di kibar itu.
Dikau berkelit pada sebuah monitor. Pada segaris denyut kursor, dikau menimba harap tanpa menipu diri. Gerik kursor bergegas meluncurkan suara huruf baru. Saling sahut dengan nisan detik di sudut kanan bawah pintu puisimu. Hanya demi segaris mungil kursor dikau mengadu. Bahwa dikau berjanji tak akan ada tawatawa sendu di depan atau dalam monitor. Walau selubung suara kelebat kafan ungu selalu mengikut tanpa jeda ke mana dikau di kursor puisi itu.
2009
Musim engkau jadikan bilangan-bilangan kecil bagi huruf-huruf syairmu. Engkau mainkan bersama irama partitur-partitur itu. Engkau simpan dalam koper berbahankan kulit nada. Engkau bawa di kafe-kafe jazz tanpa nama. Engkau memperkenalkannya; “inilah hasil pecarianku selama ini, semua telah kutemu.” -Engkau lupa, ada yang hilang di genggamanmu-
2009
[1] – Selamat Malam …
Tadi malam kau berbisik-bisik kepada sebuah kompor. “dalam gigil perutku tak kunjung kenyang.” Sedang si kompor tua semakin letih menghangatkan dingin. Mata apinya semakin redup. Lantas kau membuang percuma. Mengambil setengah putung batang yang biasa kau simpan di daster lusuhmu. Dan kau sulut di atas redup api itu.
Seperti biasa pula di pekat asapmu depan si kompor yang terlalu banyak menyimpan kantuk. Kelopak matamu membasah. Membaca cergam sendu anak-anakmu. Usai sekolahnya tertindih oleh mesin-mesin pengeruk. Oleh orang-orang berseragamkan kacamata hitam. Oleh parade perkabungan papan tulis, penghapus juga kapur-kapur.
“Kapan Kami Bisa Membaca dan Menulis Lagi, Bu?” Lalu kau jadikan judul pada bait renungmu kali ini.
Dalam putaran detik, terpejam si kompor mengucap salam
[2] – Keluar dari Mimpi
Tangisan mungil menyusup di rongrongan azan subuh. Menjadi alarm yang biasa mengeluarkanmu dari mimpi. Mimpi di mana cergam sendu diterjemahkan sebagai sebuah adegan film bahagia. Di mana kau, lelaki cecungukmu dan kelima anakmu bersama menyusuri kotakota tempat surgadurga bersemayam. Ya, dengan balon udara yang kau cipta. Berbarakan perkabunganmu. Dan bergelembungkan renungan-renunganmu bersama kompor.
Lalu kau redam tangisan itu. Dengan sebuah kempongan tanpa air, timangan di ayunan kecil berbahan kain dan sepenggal lagu ninabobo.
Dengan langkah buru kau tiba di tempat biasa kau menyedu. (kau lupa kompormu belum bisa keluar dari mimpinya)
[3] – Kemerduan Hari Ini Bukan Esok
Pagi itu. Usai festival raga-raga jatuh. Seorang petugas BLT terpaksa tiba dengan sebuah amplop dan potongannya. Alangkah berbinar hatimu. Kau bayar dengan sebuah kerut senyum meski dalam rasa ingin kau hujam matanya dengan pisau karatmu.
Sesegera kau bangunkan kompor itu oleh seguyur minyak. Minyak serobotan dari kereta antrean. Lalu nyala setelah tersemat. Melejit merah. Membiru lalu. Mendidihkan segala yang kau tuang.
(melodi para koki pun melenting dalam larik siul)
Hari ini. Enam penghuni rumah bambu telah bersantap bersama. (meski kenyangmu tak) Dalam alam sadar filosofimu masih terbujur di bongkah kepalamu. Lantas, kau hujankan pada tungku kompor. Hari ini
[4] - “Sesekali Inginku Bubuhkan Kata TAMAT pada Semua”
Mau kau jadikan apa aku ini? Sumbuku direbut oleh tragisnya leher yang tersangkut berat di simpulku. Dari lelakimu. Pejantan malasmu. Tertawa sajalah airmatamu.
Memang nasibmu. Nasibnya. Nasib kita. Bila aku mati di kesenjaan hari-harimu. Lantaran kuyupmu kembali lagi. Oleh matamu. Juga anak-anakmu. Oleh rembulan samar tanda basah kelopak matamu melihat anak-anakmu berperut kerontang.
“Susahku tak meringan, walau kuk yang kupanggul telah kuserahkan…” keluhmu pada kompor yang tak berapi lagi
[5] – Kesaksian di Sebuah Bab
Pada bab kelimamu kompor bersaksi;
Kau tahu jenuhmu membangun hunian labalaba di kekosongan lubanglubang sumbuku. Merenta. Di belantara kegusaran semadi kita. Di temaram kedahagaan lelap anak-anakmu.
Kau tahu kitabkitab malam kau rambatkan di kontemplasi pepohonan bodhi. Di mana kemiskinan menemakan diri tentang setiap fragmen renung kita. Di mana kau daraskan darahdarahmata. Ke atasku. Mengalir lalu. Mengarat bersama persendianku.
Kau tahu segala renungmu adalah isyarat kepunahan minyak, air, listrik, sembako. Juga macam subsidi. Bak garis sabit bulan muda mengiris langit pucat kau sebut mereka. Hanyut meluruh di rawa renungmu.
Kau tahu di sebuah cangkir retak kau tuang mereka. Merekat pada dingin endapan kopi encermu. Kau aduk lantas kau teguk. Katamu supaya lidah sampai tak mampu bicara apa itu kata. Hati tak mampu membaca apa itu rasa. Otak tak mampu menafsir apa itu pikiran.
Kau tahu niscaya ornamen-ornamen jenuhnya kitabkitab malam dalam renungmu tak melampaui
[6]–Firman Kom-por dan Wa-ni-ta (Kerudung); Bukan Lagi Sebuah Aku Kamu
Aku berfirman:
bukan lagi kom-por kamu. Padammu menyemayamkan pilu matamata haru. Bilamana ragamu habis dirayap kekarat dan dilumut muaian. Habis tak bersisik. Bilamana juduljudul pada babmu digelincirkan sebuah nama baru. Tabung hijau mungil menawan.
Bukanlah lagi kom-por kamu. Gemerontang tabung itu membising di pekuburan namamu. Seraya menyeru, “Kamu bukanlah kom-por, namamu. Nafas lendir minyakmu tak mampu bertahan di antara balada konversi gas.”
Kamu berfirman:
bukan lagi wa-ni-ta (kerudung) aku. Kerudung kusandarkan. Pada bahu yang tak sanggup memanggul. Tertujuku; mejameja tujuan bolabola billiar eliptikal. Tongkattongkat penyodok yang bermalam di ranjang mataku. Menggelindingkan bolabola mata tempat api duka tersulut.
Bukanlah lagi wa-ni-ta (kerudung) aku. Malam renung kuusaikan. Kudirikan paviliun dengan tamantaman bunga. Tempat kurentangkan sayapsayap molek. Kupanjangkan antena bersinyalkan hidung belang. Terbang melalu hinggap ke mana. Asal madu kudapat. Untuk sekedar menunda insomnia anakanakku. Seraya menyeru, “Aku bukanlah wa-ni-ta (kerudung), namaku. Kerudung telah mendingin di kehanyutan kepakku.”
Demikianlah firmanmu akan aku, firmanku akan kamu
[7] – Sandi Sandi di Prasasti Kita; Kau beserta Wanita Itu
Betapa pilu bila kita dirindu. Betapa berang bila kita dikenang. Lensa mata pun lelah mendidih. Namun di
Aksara gemerontang kerontang
Aksara cucuran gelasgelas dahaga
Aksara rerintik piringpiring lapar
Aksara hujan sekolah gusuran
Aksara kecipak darah tumpah
Aksara parasparas pasi
Aksara mazmur requiem
Aksara kontemplasi subsidi
Aksara cibiran zikir rezeki
Aksara litani fatamorgana
Aksara notnot sungkawa
Betapa pilu bila kita dirindu. Betapa berang bila kita dikenang. Di
[8] – Kita Jelmaan Kalian
Di ruang kotak beratap pasi kau berlutut usai meringkas sandisandimu;
Kita telah memicingkan mata bersama. Merengek di hadapan ibu rembulan sabit. Bahkan memudarkan satu sama lain. Namun bekas tetaplah mengembun di setiap pagi. Tempat kita mendengar kalimat tanya yang sama. Makan apa kami hari ini? Menjadi desir angin di setiap malam. Tempat kita memanjatkan puja-pujian, pusaran doadoa tobat, dentingandentingan mohon. Tempat kita berpura tanpa rungu pada cerita kelu berdiskon sampai 99% dan mahalnya keserian tatapan wajahwajah. Kita adalah kalian.
Kita telah bersetubuh di tempat pasangan airmata kita berdansa. Melahirkan bayibayi miskin berbusung. Tumbuh menjadi kanakkanak gelandang. Menyamar sebagai biduan jalanan tanpa nama. Melalang buana. Setapak demi setapak. Menuju trotoar sunyi, teras toko, jembatan penyeberangan, pinggiran sungai, seberang rel atau ruang berpohon. Kita adalah kalian.
Di ruang kotak beratap pasi kau berlutut mengutuki kompor juga dirimu usai meringkas sandisandimu; kita jelmaan kalian. Kalian para pengidap pukau kemiskinan
[9] – Selebrasi dalam Epilog