Sebuah upaya refleksi kecil
Di antara pucuk tahun lama dengan tahun baru, saya tiba-tiba ingin mempublikasikan
jenis tulisan lain (selain fiksi, terjemahan dan esai sastra) di blog yang
sudah saya kelola selama hampir 5 tahun ini. Tulisan semacam testimoni kecil
tanpa kandungan referensi buku (dalam konteks ilmiah). Di sela hari-hari payah
saya, ketika saya merasa bahwa segala hal yang tadinya dekat dengan saya ternyata
menjadi potensi untuk berjarak. Tentu saja, hanya saya yang merasakannya,
merasakan keterjauhan itu. Nah, saya mencoba untuk menarasikan deskripsi hubungan saya
berkenaan dengan jarak. Ada tiga macam hal terkait dengan hubungan jarak jauh
(bahasa remajanya: long distance
relationship disingkat ldr) yang sedang saya alami kini. Pertama, hubungan
saya dengan kekasih saya. Kedua, hubungan saya dengan Tuhan. Ketiga, hubungan
saya dengan tingkat kesadaran masa kini.
Perihal pertama bukanlah sesuatu yang baru sebenarnya. Saya sudah sedemikian rupa
lebih dari empat tahun menjalani hubungan ini. Empat tahun lebih barangkali
bukan jangka waktu yang lama bagi pasangan-pasangan yang sudah berpengalaman
dalam menjalin asmara dengan memilih hubungan jarak jauh. Bagi saya, pun ini
bukan suatu permasalahan yang terlalu berarti untuk diputuskan bahwa menjalin
asmara jarak jauh adalah sebuah omong kosong dalam mengarungi bab-bab
percintaan. Dengan kata lain, sama saja tidak punya kekasih. Anekdot semacam
ini sangat sensitif bagi pasangan-pasangan yang sudah akrab dengan jalinan
asmara jarak jauh. Saya dapat memaklumi, barangkali mereka yang mengatakan ini
sedang mengalami fobia jarak atau level pemahaman atas cinta yang terbagi
antara ruang dan waktu. Apapun itu, anekdot yang dibuat untuk menjatuhkan
jalinan asmara jarak jauh sebenarnya tidak bisa melemahkan saya (barangkali
juga pasangan saya).
Perjalanan asmara hubungan jarak jauh memiliki kekhasan
yang menitikkan begitu banyak memori (jatuh-bangun dalam rangka memperbaikki
hubungan). Memori-memori itulah yang mengajarkan saya bagaimana saya terus
menerus memperbarui tafsiran atas jarak yang terbentuk melalui dimensi waktu. Jarak, pada esensinya (ketika saya sedang
berupaya melewati ini) bisa bertambah membahayakan pun bisa bertambah
memesrakan. Membahayakan, sejauh jarak itu tidak dirawat dan merawat hubungan
sebuah pasangan, pun sejauh diri yang satu ikut menjauh dari “diri yang lain”.
Jarak dalam hal ini menjadi semacam pesakitan yang harus dihindari. Memesrakan,
sejauh jarak itu semakin menjadi suatu perekat, bahwasanya hanya “ia” seorang
(dari kedua belah pihak). Lalu jarak,
tak lain adalah sebuah sarana perindu untuk kembali bertemu dengan ikatan kasih
sayang yang lebih segar yang jauh dari pikiran-pikiran buruk. Dengan kata lain,
jarak hanya kilasan kesementaraan menuju pertemuan yang tepat.
Soal asmara yang seperti ini telah dilewati oleh banyak
pasangan. Banyak yang bertahan hingga ke peristiwa puncak, banyak yang kemudian
berpisah hingga memutuskan untuk menjauhi perkara jarak. Saya sadar, bahwa ini
bukan kali pertama saya memutuskan untuk menjalin hubungan semacam ini. Tapi
saya berusaha belajar untuk kesekian kalinya, barangkali ada sesuatu yang
direncanakan yang tak saya ketahui tentang jarak. Peristiwa-peristiwa yang
pernah mencemaskan emosi tentu berkali-kali muncul dan bahkan berulang.
Bilamana seorang tidak menyadari akan peristiwa-peristiwa ini dan membuat
semacam refleksi kecil-kecilan maka akan memunculkan bosan yang kemudian
tinggal menunggu detik hubungan yang pecah. Saya sebenarnya tidak hendak
menjadi mahaguru bahkan guru dalam berbicara soal ini. Namun saya berupaya
mengambil sedikit panenan dari pekarangan saya. Dengan demikian, jarak bagi saya bukan menjadi
sesuatu yang pantas dicemaskan secara berlebihan.
Perihal kedua, saya mencoba untuk membuka keintiman yang selama ini saya tutup
rapat-rapat. Keintiman saya dengan Sang Maha Pencipta. Saya berikan sedikit
gambaran latar belakang diri. Saya dilahirkan di keluarga yang taat beragama.
Saya sendiri memperoleh pendidikan agama yang cukup memperkaya sisi religiusitas
saya. Pendidikan yang paling membuat saya semakin kaya adalah ketika berada di
asrama (pada masa ketika saya menuruti kehendak bebas untuk menjadi seorang
rohaniwan). Di sana, saya belajar banyak
hal, mengenai refleksi, mengenai penyembuhan luka batin, mengenai kemandirian
beragama, mengenai orasi, dan tentunya mengenai menulis. Dalam konteks ini,
saya akan jelaskan ringkas mengenai kemandirian beragama. Pendidikan yang saya
peroleh di masa-masa itu menitikberatkan pada pengembangan iman beragama. Para
seminaris (dan novis), diajak untuk tidak bermalas-malasan dalam menyelami
kedalaman pengetahuan, dan relasi antara manusia dengan manusia, pun manusia
dengan Sang Maha Pencipta. Yang menarik dari sini adalah proses menemukan
hubungan yang intim antara diri personal dengan Tuhan. Setiap individu berbeda
dengan yang lainnnya. Di sinilah awalnya saya menemui keunikan, saya menemui
jalan saya sendiri untuk membentuk suatu peradaban beragama, yaitu relasi intim
saya dengan Sang Maha Pencipta.
Saya merasa bahwa setiap individu mempunyai gambaran
Tuhannya masing-masing. Citra kehadiranNya yang berbeda satu sama lain. Tentu
dengan landasang pengalaman masing-masing ketika menafsirkan suatu tanda selama
berada dalam arus putaran waktu. Dan waktu, sekali lagi menjadi orang tua. Ia
(waktu) sejatinya adalah yang mengasuh apa yang tumpul dalam diri kita. Sadar
atau tidak, ia melakukan pembenahan secara perlahan. Dengan catatan, manusia
yang ikut di dalamnya mempunyai rasa peka dan terbuka terhadap segala sesuatu
yang dijumpainya. Kedewasaan bukanlah menjadi tujuan utama menurut saya. Sebab kedewasaan
bisa melemahkan ‘pikiran kanak-kanak’ dalam diri manusia. Pikiran yang bisa
mengajak terus menerus berkelana. Kedewasaan hanyalah sebuah omong kosong fase
perkembangan, tidak lain adalah hasil dari mereka yang mengejar pola-pola hidup
mapan dan monoton. Lahir-hidup-sakit-mati. Saya lebih ingin menyebut bahwa
kemurnian adalah tujuan pokoknya. Semakin memurnikan diri, semakin juga
mengeksistensikan diri di hadapan Yang Maha Pencipta. Waktulah yang akan
memurnikan diri dengan kapasitas perkembangan manusia yang berbeda tiap
individunya.
Dalam persoalan yang saya geluti, agama bukan lagi
perihal taat - tidak taat, dosa – pahala, surga – neraka, melainkan sebuah jalan
yang mengantarkan manusia pada peristiwa-peristiwa. Peristiwa di mana manusia
bisa merasa sangat dekat, dan bisa merasa sangat, sangat jauh. Apa arti jauh –
dekat di sini? Bagi saya, iman bermain di sini, sebab iman adalah pokok dari
semua orang yang beragama. Ia menjadi sangat dekat, sebab manusia berani
menggerakkan iman akunya menuju Sang Maha Pencipta. Ia menjadi sangat jauh,
sebab manusia terbentur oleh gerakan-gerakan praktis, yang mana dipikir
sesimpel ini, atau sesimpel itu untuk mendekatkan diri padaNya. Oke, saya malah
membuat rumit di sini. Sekali lagi ini hasil dari hubungan pribadi saya
denganNya. Bahwa apa yang dimiliki oleh segala pikiran dan perasaanNya tidak
sesimpel apa yang dipikir dan dirasakan oleh manusia. Mana mungkin sebuah robot
tau apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan oleh Penciptanya secara tepat?
Secanggih-canggihnya robot, tetap saja ia tidak bisa melebihi penciptanya. Ini
analogi kecil yang sebenarnya tak bisa langsung diasosiasikan bahwa robot
adalah manusia, bahwa pencipta adalah Tuhan. Saya ingin berbicara bahwa
fenomena manusia yang kemudian meniadakan kehendak manusia lain dalam perilaku,
sikap, ungkapan berhubungan dengan Sang
Maha Pencipta adalah sesuatu yang sangat keliru. Fenomena tersebut menyatakan
bahwa pembodohan dan pemalasan dalam berketuhanan semakin ramai.
Dalam pengalaman pribadi, saya mencoba untuk
mengeksplorasi segenap pikiran dan perasaan terhadap Sang Maha Pencipta.
Menjauhi diri dari ritual-ritual, menjauhi diri dari aktivitas
kelompok-kelompok tertentu. Memang hujan tak ke mana jatuhnya, ke tanah, laut
manapun, ke benda-benda apapun, ke makhluk siapapun. Ini menggambarkan suasana
basah yang ada dalam diri saya. Suasana di mana saya tidak bisa menjauhkan diri
dari Air. Pertemuan-pertemuan dengan berbagai macam individu, kejadian-kejadian
yang tidak bisa saya duga, kemewahan hidup yang katanya absurd oleh sebagian
orang. Semakin saya menjauhkan diri, saya malah semakin menemukan tanda-tanda
lain. Bahwa Ia sangat bisa dan lihai bersemayam di manapun, pada siapa dan
apapun. Di satu sisi, saya malah merasakan seperti merebahkan tubuh di
kesejukan padang rumput hijau berembun dengan langit biru cerah ketika saya
memasuki ruang-ruang keagamaan. Dengan kata lain, saya tidak menemukan
kewajiban dan hak bagi saya yang beragama. Ya, alhasil latihan spiritual atas
diri religiusitas saya ini masih mencapai hal yang demikian. Pasti namun
perlahan, saya terus melatih daya-daya yang ada dalam diri saya karena masih
banyak yang belum tersentuh. Dan sekali lagi, waktu. Ialah yang akan meneruskan
Ia dalam memurnikan diri saya di antara periode-periode manusia.
Perihal ketiga, adalah bagian yang sebenarnya tidak jauh dari masa kekinian saya.
Apakah ini tanda semacam krisis dalam perkembangan? Saya tidak sepenuhnya mengamini. Masa depan bilamana itu diasosiasikan dengan
warna, adalah hitam legam. Ia gelap, bahkan sangat gelap. Bukan berarti saya
antiharapan terhadap masa depan saya sendiri. Saya malah semakin menyadari
bahwa sikap atau lebih tepatnya prinsip lepas bebas yang saya terapkan dalam
diri saya mengerucutkan saya pada jalan ini. Masa depan hanya sebuah hasil
tekanan dari alam manusia sendiri atas rasa cemas. Manusia malah melakukan
kredit terhadap hidupnya sendiri dengan memberi nama masa depan.
Ringkasnya, upaya saya ini malah mengerucut pada
redefinisi tentang masa depan. Saya tidak mempunyai obsesi cita-cita atau mimpi
yang dikata orang setinggi langit itu. Saya yang kemudian tidak lantas melulu
menaruh harap bahwa kamu atau kalian semoga selalu baik-baik saja. Sebab yang
mulai bertumbuh dalam benak adalah upaya dan upaya. Bagaimanapun juga, harapan
adalah sebuah godaan untuk melemahkan diri kini dan melalaikan jalan-jalan
kecil masa lalu. Oleh karena itu, masa depan adalah gelap. Saya mesti menjaga
jarak dengan masa itu. saya tidak ingin memberi noda pada masa kini. Lalu
bukankah jalan masa kini dipancangkan oleh masa depan? Sedia payung sebelum
hujan, misalnya? Oh, hei tahukah diriku sayang, bahwa alam telah benar-benar mempunyai perhitungannya sendiri,
dan peristiwa-peristiwa yang manusia alami? Saya tetap saja tidak bisa merasakan dahaga dan lapar tanpa jarak. Tiba-tiba saya malah merasa kerdil dan dangkal jika terlalu dekat berdampingan dengan segalanya. Inilah hubungan jarak jauh. Inilah "laku puasa dan matiraga" yang sedang saya olah terus menerus. Refleksi ini telah menjadi semacam morfin kebahagiaan bagi sepanjang pandangan yang telah saya lalui.
Dalam nama waktu, menulis seperti ini telah memberi kesempatan pada catatan jarak untuk
terus menumbuhkan padang-padang hijau-biru rindu yang tak lekang oleh upaya-upaya "aku".
Foto oleh Ganjar Sudibyo (2011)
Semarang, 2014 - 2015
0 pembaca kata berbicara:
Posting Komentar
silakan rawat benih ini