LIGHTS ACROSS VIA DOLOROSA*
by Ganjar Sudibyo
(be working, not for those meals that eager to vanish)
1. A handful of lights we keep guessing be always fallen
from our hand before it opened:
those, the lights that merged with the noise
beyond our ears, you said. then again you say,
those, you and all oblivions, I and all rememberances.
A handful of lights as we are naked and dived into the embracing water:
I said, this surface seems not like the teary eyes, the air seems not that easy
swept on away to the deepest. It could be, we need
to learn how to be settled as water, as air, with no doubt
against the lights nor the noises that make us soaked again.
my love, no matter how stirred we are in life, thousands of fortunes
never be the boundary of our journey after maturity:
since after all, we already agreed to put away all that oblivious,
all that coming back until the hands of others lighten up.
still and all, we are who believe that the streams strenghten the water
like downhearted strenghtened a heartbeat. And every heartbeat be a home
for the dazzling eyes over a question, “is that the lights or water
which keep cheering up itself tiredlessly.”
2. Tracing down our footway, is my tenacity to be relieved
any dues without singing out any conclusive blues
like they who are celebrating through the suffer. We are, my love,
the winding ways that perfect our greeting poems
while waiting for farewell and evanescence working for us,
who is squinching each other, possessing each other: hugging,
whiten us shivery, eternally, lovely.
2012
*translated into english by Pemuda J.
CAHAYA YANG BERENANG DI VIA DOLOROSA
(“bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa”)
1. sekepal cahaya yang sedang kita reka-reka selalu saja luruh
sebelum salah satu tangan dari kita membuka terlebih dahulu:
itu, cahaya yang bersitubuh dengan suara-suara risik di bawah
telinga kita, katamu. katamu sekali lagi, itu: kamu dan segenap lupa,
aku dan segenap kenangan. sekepal cahaya bersama kita
yang bertelanjang menjatuhkan diri pada trenyuh air: kataku,
permukaan ini tak seperti dalamnya airmata, udara tak begitu saja
mudah hanyut dibawa menuju yang terdalam. mungkin kita sama-sama
perlu belajar rela pada sebentuk air, sebentuk udara, tanpa mengabaikan
ada cahaya pun suara-suara yang membikin kita basah kembali
kekasih, selarut-larutnya hidup ini dalam kita, seribu kali keberuntungan
bukanlah takaran bahwasanya perjalanan mulai menemui kedewasaan;
sebab bagaimanapun juga, kita seia menancapkan segala yang lupa,
segala yang kenang sampai suatu saat tercipta cahaya pada kepal
tangan lain. bagaimanapun juga, kita tetap percaya gelombang-
gelombang yang memerkasakan air seperti halnya menamakan
kemasygulan pada setiap debar. setiap debar tempat sepasang
mata kita yang bertaruh-tukar tawar: “cahaya itukah atau air
yang tak lelah khusyuk melipur dirinya”
2. menelusuri kita, adalah sekerat ketekunanku menerima setiap
kejadian tanpa memberi kesimpulan-kesimpulan yang asin
seperti halnya perayaan orang-orang mengenai ketabahan. kita, kekasih,
ialah kelindan-kelindan yang menyempurnakan sajak-sajak pertemuan
seraya menunggu perpisahan dan kesementaraan bekerja untuk saling picing
saling masuk: memeluk kita, jadi putih getar, putih abadi, putih kekasih
2012
0 pembaca kata berbicara:
Posting Komentar
silakan rawat benih ini