Judul: Ekaresti
Penulis: Mario F. Lawi
Penerbit: PlotPoint Publishing
Cetakan: I, Juni 2014
Jumlah halaman: XII + 93
ISBN : 978-602-9481-67-9
Orang awam yang jarang membaca buku (pun di luar anggota gereja) pastilah banyak yang tidak tahu tentang kosa kata yang menjadi judul sebuah buku kumpulan puisi dengan kemasan cukup apik ini. Pembaca memerlukan waktu untuk membuka kamus atau mesin pencari guna memperoleh penerangan soal ekaristi.
Mario adalah mantan seminaris yang divonis tidak dapat melanjutkan pendidikan imamnya karena suatu penyakit. Latar belakang yang demikian tentu turut menjadi kontribusi bagi Mario. Ia dengan segala daya upayanya memasukkan unsur-unsur biblis (kitab suci) dan simbol-simbol dalam perayaan gereja. Selain bahwa Mario hidup di lingkungan yang barangkali nyaris setiap hari ada waktu khusus yang digunakan untuk menulis, Mario tekun dalam megasah pundi-pundi talentanya. Mario mengizinkan dirinya terseret oleh iklim di luar dirinya yakni pengetahuan dan pengalaman yang ia serap selama bertahun-tahun. Keberadaan buku ini menegaskan bagaimana ketekunan Mario dalam meresapi pengalaman, cerita dan simbol-simbol gereja.
Apakah hal-hal yang berusaha dirangkum Mario ke dalam puisi adalah sesuatu yang sophisticated menimbang bahwa tema-tema yang ia sodorkan ke pembaca jarang digarap penulis lain di Indonesia? Tunggu dulu, tidak semudah itu untuk membawa karya ini ke irisan avant garde dalam sastra meski di antara para penulis dari Indonesia bagian timur, Mario bisa dikatakan menonjol dalam hal publikasi karya di media cetak nasional. Buku ini sebagian memuisikan kisah tentang Zakheus, Ararat, Magdalena, Rafael, Samuel, Yusuf, Nuh, Musa, Zakharia, Saulus. Syahdan, Mario menjadikan nama-nama tersebut sebagai bahan utama menulis puisi. Selain itu, simbol-simbol dalam kitab suci dan perayaan agama Katolik, seperti Pentakosta, Quo Vadis, Homo?, Via Dolorosa, Getsemani, Nazaret, Kyrie, Sakramen, Perjamuan, Requiem, Adventus, Paskah, Angelus, Wirug, turut dihadirkan. Walaupun demikian, istilah-istilah tersebut masih terbatas istilah judul, belum mengenai isi puisi yang dikandungnya. Bisa saja, pemberian judul berseberangan dengan isi. Hal ini sangat mungkin terjadi, dan sering terjadi dalam puisi-puisi yang kian jamak di indonesia kini. Demikian memungkinkan hal tersebut muncul di puisi-puisi Mario. Dugaan ini menyisakan seputar kejelian dalam membaca karya sastra, terutama puisi.
Ada dua teknik penulisan dalam sebagian besar puisi-puisi Mario di dalam buku ini. Teknik gaya bahasa alusi atau disebut dengan kithtavi, eponim dan metonimia. Kedua teknik ini hampir sama, namun jika digali lebih akan menghasilkan pemahaman yang berbeda. Istilah yang digunakan oleh Mario dalam puisi-puisinya mengandung kedua teknik ini. Salah satu nukilan puisinya yang menggunakan teknik metonimi: “Ke matamu yang ceruk, Tobia berenang” (Adventus). Sedangkan nukilan yang menggunakan teknik alusi salah satu contohnya: “sedang Adam tersedu sendiri / menyaksikan Eva / melahirkan bayi-bayinya” (Ruang Tunggu, 2). Teknik eponim digunakan dalam nukilan berikut: “meletakkannya demi menjaga langkah para Majus.” (Fragmen Natal) Ketiga majas itu masif digunakan oleh penulis untuk mengolah materi yang dibawakan. Terlepas bahwa apakah penulis sadar menggunakannya atau tidak, ketiga teknik itu sering muncul dalam puisi-puisi Mario.
Pembaca yang baik tentu bisa merasakan tenaga Mario dalam mengemas isi Alkitab cukup besar, kekuatan Mario ditunjukkan dengan tema-tema tersebut yang terarah dalam buku ini. Ekaresti identik dengan eksplorasi-eksplorasi teks yang menggubah dari pengalaman pembacaan biblikal dan dibumbui dengan sentimen pribadi (latar belakang kepercayaan jingtiu termasuk di dalamnya). Membaca Ekaristi tanpa mengenal seluk beluk kisah-kisah dan simbol-simbol gerejawi akan membawa pembaca merasa di dalam ruangan baru dengan benda-benda yang nampak memendarkan kilat indahnya tanpa tahu nama, sejarah, dan kegunaan benda itu. Hal ini yang membuat pembaca hanya bisa duduk diam merasakan saja tanpa memikirkan karena bisa berujung pada sesat pikir.
Segmen pembaca buku ini pasti terbatas. Mario tidak menulis untuk pembaca. Mario menulis untuk dirinya sendiri dan barangkali kalangannya. Sebab itu, percayalah, puisi hari ini bukan untuk semua.
2016
*Resensi ditulis oleh Ganjar Sudibyo
0 pembaca kata berbicara:
Posting Komentar
silakan rawat benih ini