*Dunia Anonim; “KONON, DI SEBUAH KAMAR YANG
MEN-DOWNLOAD BULAN TAK HENTI-HENTINYA” -Ganjar Sudibyo-
Anonimitas berasal dari kata Yunani ἀνωνυμία,
anonymia, yang berarti "tanpa nama". Sebuah keadaan anonim, saya
sebut ‘Dunia Anonim’ sedang dibangun oleh Ganjar melalui sekumpulan sajak “Pada
Suatu Mata, Kita Menulis Cahaya”, anonim dibatasi pada keadaan, dimana
hubungan relasi sangat misterius, tidak dapat dipastikan apa dan siapa, suatu
keadaan ambang batas, dimana ia berdampingan dengan tidak, tak jarang
hubungannya bersifat acak dan eksperimental.
saya sedang
membayangkan sebuah rencana besar tentang sebuah konstruksi seni sastra-puisi,
ada kerja yang lain yang sedang diupayakan penyair ini dari banyaknya kerja
kreatif berpuisi, ia sedang menarik-narik sebanyak-banyaknya pengetahuan dari
dalam dan luar dirinya dengan sengaja, lalu diolah dengan acak, saya melalui
engkau (wawasan pengetahuan), engkau melalui saya, saya-engkau-engkau-saya,
saya-saya-engkau-engkau. Kerja kreatif ini terlihat sangat referensial,
bisa saja memukau (mencengangkan) karena di tuangkan dalam teks puisi dimana
kerja puisi bagi saya adalah kerja seni, yang ukuran dan capaiannya tidak
mutlak.
Pada “KONON,
DI SEBUAH KAMAR YANG MEN-DOWNLOAD BULAN TAK HENTI-HENTINYA”, saya melihat
ada kerja makna yang lain yang dibebankan pada kata; bukan kata yang dibebani
makna, namun sebaliknya, mungkin tidak saya bayangkan kenapa kamar men-download
bulan, atau orang-orang kampung bermatakan channel televisi, keadaan
demikian saya sebut selanjutnya sebagai dunia anonim, dimana relasi dibangun
tanpa identitas, tanpa nama, seperti pada teks:
“ini seberang bukit: ruang bagi air hujan dan kemarauYang perlahan rembes ke ponsel touchscreen para
Investor, lalu telepon genggam model qwerty para
Penyapu jalan yang semakin buram dan tak jelas keypadnya
...............................................................................................
...............................................................................................
Ini seberang bukit: langit bernapas seperti bersepeda
Dan bus-bus tua yang memaksa menanjak
Melaju tanpa henti. Ketahuilah, seisi kota
Diam-diam telah bersepakat bahwa panggung
Adalah drama orang-orang pencinta asap
Gombel, senin, pukul tujuh pagi, musim
Kemarau, masih saja ada asap sepasang
Kekasih yang bersikeras bercinta di gazebo!” (Teater Asap Di Gombel)
Ada beban makna pada kata dalam tiga bait puisi diatas, beban tersebut membuat teks terasa asing dari bahasanya, apa ini hanya soal gombel (sebuah kawasan di Semarang), pertunjukan sibuknya sebagai kesia-siaan, atau bicara pada persoalan lain yang lebih besar?
Sebagian lagi Judul-judul sekumpulan sajak ganjar ”Benteng Portugis, Bahu Kita; Cahaya yang Berenang di Via Dolorosa; Carrickfergus; Dacha; Di Bawah Pohon Magnolia; Immaculata; Maleakhi; Marba; Morti; Oratorium; Oreillon; Sam Po Tay Djien” dst.
Judul-judul di atas dibangun dari sebuah narasi yang sudah ada sebelumnya, lalu di ceritakan kembali melalui perspektif ‘aku’, tapi ‘aku yang anonim; ragu’, karena aku bisa menjadi kamu, mereka, dia, kau; sangat cair dan acak sebagian besar tak ada tokoh yang menjadi apa atau siapa, hampir keseluruhannya ‘aku ’ berperan sebagai narator yang menentukan jalannya cerita.
“di sebuah tempat, manakala matahari tumbuh melalui
kepompong-kita menyaksikan orang-orang melumat
dada mereka yang penuh pasir; di sebuah tempat,
manakala mata kita tak pernah berseberangan memandang....” (Dacha:kita, kesedihan)
“pelayaran adalah sembahyang anak cucu kita-pawai kebajikan
Yang dihidupkan dalam nyaring kebisuan.
Sesampainya kata-kata ini tak tumpah jadi sepah yang rapal diujung ikat kepalamu.
Perjalan itu pelayaran panjang yang aduhai mengusik pendaratan; di mana
Mesti kita tanggalkan baju zirah pertama kalinya. ... ” (Sam Po Tay Djien)” dst
Ganjar membangun kembali narasi, tempat bahkan mitos, melalui konstruksi yang acak, aku dalam peristiwa, peristiwa didalam aku, aku diluar peristiwa, peristiwa diluar aku, terjalin secara acak. Posisi aku-kita-mereka-kau-dia mengalami krisis baik sebagai subjek maupun objek. Seperti kutipan pada teks:
“anak itu senang sekali membuat negeri dari tanah liat,
kau senang sekali dibuat cintaku rekat-rekat.
kitaku kita sedang berada didalam mereka tak senang tak juga pilu...
.............................................................................................................
.............................................................................................................
...kitaku, kita, sejumlah lentur tik-tok jam: kanak-kanak
terang yang dipersunting manusia dan kehilangan.” (Pada Suatu Mata, Kita Menulis Cahaya)
Kitaku, sebuah kenyataan bahwa kita (aku dan kau), menjadi hanya aku, ada proses matinya orang kedua, mati dimaksudkan bahwa tak ada lagi kehendak yang mandiri dari orang kedua, segalanya menjadi sepakat, bahwa baik aku ataupun kau sama saja, jadi kitaku, bukan kitamu, atau kita mereka, kecendrungan aku sangat mutlak, dalam sajak di atas, bahwa belum tentu kau (orang kedua) sejumlah lentur tik-tok jam, tapi aku sudah mengatakannya demikian, dan’ kau’ tak memiliki suara apa-apa.
Keadan demikian menimbulkan asosiasi kecemasan, bahwa dewasa ini hampir tidak ada lagi ruang privasi, segalanya digiring menjadi ruang yang terbuka, konsumsi massa, pembakaran habis habisan orang pertama, bahkan persoalan human crisis, pada teks :
“Seekor kucing mati terperangkap di tengah jalan raya,
Sore-sore. Orang- orang lalu lalang saja dengan jam
tangan berputar terbalik. Sore-sore. Sebuah kota
mendirikan gedung-gedung tanpa jalan raya. Seekor
kucing lahir denga matanya yang buta tanpa induk;
orang-orang mengendarai kesibukan tanpa pernah
mendengar suara kucing dan memperhatikan jeda.” (Soresore)
Seekor kucing mati, dan tak ada yang melihatnya sebagai kematian, kesibukan membuat pikiran kita melaju sangat cepat, sehingga tak ada jeda untuk mendengarkan suara kucing, seperti gedung-gedung tanpa jalan raya.
Ganjar menerima kecemasan dan menawarkannya pada kita, melalui kata-kata yang cemas, gugup, dan ragu pada bahasanya, ia ingin bergeser menjadi sesuatu yang melampaui kata-kata itu sendiri
“ibu,ibu,ibu...bagaimana cara yang tepat untuk
Mengartikan ketinggian itu, karena semua tempat tak
Lagi banyak menjelaskan batas. Maka pertama-tama,
Berjanjilah...lepaskanlah segalanya itu
Ke dalam aku,
Aku.” (Ketika Pertama seorangpun Belum Mampu Mengartikannya)
Penyair ini menerima yang datang padanya, dan ia juga menarik sesuatu untuk membaca yang sudah ia pahami sebenarnya, ilmu pengetahuan bagi ia berkilauan sehingga ia menyusun sedemikian rupa realitas berlapis-lapis, imajinasi tumpang tindih, dan menjadikannya “gambar-gambar yang menyala”, apakah sudah cukup menyala di hadapan pembaca, saya menganjurkan membacanya terlebih dahulu.
Supaya pada suatu mata kita dapat menulis cahaya
Salam,
Vivi Andriani Tanjung
0 pembaca kata berbicara:
Posting Komentar
silakan rawat benih ini