(ESAI)
YANG HENDAK BERBICARA TENTANG PUISI (ESAI)
Oleh
Ganjar Sudibyo*
-------------------
--
BAGIAN I --
-------------------
Definisi
dan redefinisi
Di
mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung
Dalam
perkembangannya, perjalanan kesusastraan di Indonesia telah sampai kini pada
realitas-realitas yang ingin dicapai oleh rumusan sebagian sastrawan. Tampak
pada tahun 2012 rupanya ada pergerakan terkait dengan perkembangan genre
penulisan karya sastra: puisi. Maret 2012, tercatat Sapardi Djoko Damono,
Sutardji CH, beserta Ignas Kleden memberikan ulasan penting pada sebuah buku
kumpulan puisi karya Denny JA[1] (seorang
yang berlatar belakang sebagai ilmuwan sosial). Buku kumpulan puisi tersebut
bukanlah buku kumpulan biasa. Pada sampul depan buku tersebut ditonjolkan pula
semacam stempel “Genre Baru Sastra Indonesia”. Selang beberapa bulan
setelahnya, Ahmad Gaus menerbitkan buku kumpulan puisi esai berjudul “Kutunggu
Kamu di Cisadane” dengan menghadirkan Jamal D. Rahman sebagai penulis kata
pengantar. Pertengahan 2012, di sebuah situs beralamatkan puisi-esai.com[2]
mengumumkan bahwasanya diadakan lomba menulis puisi esai. Beberapa waktu
kemudian, pengumuman tersebut disiarkan melalui Jurnal Sajak edisi 3 pada tahun
2012.
Lebih lanjut,
bericara tentang puisi esai, maka tidak bisa terlepaskan dengan bagimana
artikulasi pemaknaannya. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) menerangkan bahwa
esai merupakan karangan yang berisi analisis atau tafsiran, biasanya dipandang
pribadi atau terbatas. Sedangkan puisi sendiri diartikan sebagai karangan
terikat yang dapat berbentuk sajak, pantun, dan syair. Bilamana kedua arti ini
dikolaborasikan maka didapatkan, puisi esai merupakan karangan terikat yang
berisi analisis atau tafsiran pandangan pribadi atau terbatas yang dapat
berbentuk sajak, pantun, dan syair. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa definisi
baik tentang esai maupun puisi kini mengalami ameliorasi. Artinya, KBBI edisi
terbaru pun tidak bisa mengikat pada definisi yang telah disebutkan. Dengan
demikian pemberian rumusan pengertian puisi esai di luar konteks KBBI, dan
dapat dicatat bahwa hadirnya puisi esai dapat dikatakan sebagai genre terbaru
dalam ranah perpuisian di Indonesia. Sebagaimana penggagasnya (Denny JA) memberikan
alasan tertullis dalam artikelnya “Puisi Esai, Apa dan Mengapa?”, meskipun
memunculkan pro kontra tentang legitimasi, genre baru, diakui maupun tidak,
puisi esai tetaplah lahir sebagai rupa karya sastra. Toh, Denny JA tidak lantas
hibuk memperkarakannya.
Denny telah
merumuskan kriteria puisi esai yang digagasnya, yakni: Pertama, puisi esai
mengeksplor sisi batin, psikologi dan sisi human
interest pelaku. Kedua, puisi esai dituangkan dalam larik dan bahasa yang
diikhtiarkan puitik dan mudah dipahami. Ketiga, puisi esai tak hanya memotret
pengalaman batin individu tapi juga konteks fakta sosialnya. Kehadiran catatan
kaki dalam karangan menjadi sentral. Keempat, diupayakan puisi esai tidak hanya
lahir dari imajinasi penyair tapi hasil riset minimal realitas sosial. Kelima,
puisi esai berbabak dan panjang. Pada dasarnya puisi esai itu adalah drama atau
cerpen yang dipuisikan. Melalui kelima kriteria tersebut, maka pertanyaan
selanjutnya akan dikaitkan dengan kriteria kelima. Diksi drama dan cerpen yang
dimasukkan oleh Denny JA mengandung ambiguitas mengenai ketidakkonsistenan
terhadap diksi esai dan puisi. Selanjutnya yang muncul sekarang, apakah di
tangan seorang ilmuwan sosial, pakem definisi esai, puisi, cerpen, maupun drama
bisa diubah-ubah sesuai dengan kepentingannya? Jika demikian, apakah pakar
bahasa tidak malu lema dalam Bahasa Indonesia disepelekan? Atau memang sebagian
sastrawan di Indonesia sudah merasa bahwa tidak perlu lagi definisi secara
generik mengenai istilah-istilah tersebut? Kondisi semacam ini menandakan
sebuah ketegangan seperti yang pernah dikemukakan oleh Jamal D Rahman dalam
kumpulan puisi esai “Dari Singkawang ke Sampit”[3]. Demikian
sampai di sini, tanda tanya untuk duduk perkara ini.
Fenomena
puisi mutakhir: Avant Garde?
"Protes
sosial tidak diekspresikan melalui demo di jalan, atau menduduki gedung
parlemen. Protes itu dieskpresikan melalui puisi esai dari sebuah acara
peluncuran buku dan pidato kebudayaan," kata Jamal D.
Rahman[4]. Apa
yang dikatakan oleh Jamal tentang kehadiran puisi esai rupanya mengisyaratkan
semacam pertaruhan legitimasi pada karya sastra bergenre baru, terlepas dari siratan
makna kondisi perpolitikan, psikologis dan sosial di Indonesia pasca orde baru.
Terkait dengan ketegangan legitimasi tersebut, bilmana berpijak pada esensi
genre baru, maka tidak dapat dipisahkan dari sastra kontemporer dan avant garde. The Merriam-Webster Dictionary, menuliskan
tentang kontemporer sebagai marked by
characteristic of the present period yang artinya sebagai “penunjuk pada
dimensi waktu yaitu masa kini atau dengan lain perkataan karya-karya mutakhir
yang dipublikasikan”. Sedang avant garde
merupakan penunjuk pada unsur pembaharuan pada segi teknik maupun ide dari
suatu karya seni. Karakteristik sastra kontemporer atau avant garde ini bertumpu kepada seni yang telah mentradisi.
Karakteristik avant garde ini
diciptakan oleh para seniman tidak dengan ‘’eksperimen’,’ tidak dengan coba-coba,
tidak pula dengan lempar dadu. Para seniman pencipta karya sastra kontemporer
ini bekerja melalui proses penciptaan yang panjang. Melalui pencarian yang
panjang dan bertanggung jawab.
Alih-alih, yang
digagas oleh Denny JA menurut pandangan beberapa kalangan memang tidak bisa
disalah-persepsikan di satu pihak tentang bagaimana meyakini gaya yang dipakai
dalam puisi esai. Bentuk dan karakter serta kriteria puisi esai pun sudah
ditetapkan secara sepihak oleh penggagas. Apresiasi mulai dijunjung oleh para
pendukung gagasan untuk membawa geliat genre puisi esai. Secara teknis, seperti
yang telah dijelaskan di awal, puisi esai lekat dengan bab-bab panjang dan
catatan kaki. Puisi yang lekat dengan catatan kaki bukanlah hal yang baru.
Simak saja puisi-puisi Zeffry Alkatiri[5], juga
puisi-puisi lain yang sebelumnya sudah memakai catatan kaki dan bab-bab.
Artinya bahwa genre ini masih dipertanyakan sebagai bentuk pergerakan avant garde. Memang secara nama,
barangkali adalah hal yang baru. Namun orisinalitas dalam bentuk adalah
pertanyaan yang mendasar untuk perkara ini.
Suminto A. Sayuti
(2002, h.3) menyatakan bahwa sebagai hasil kebudayaan, puisi memang selalu
berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat
yang menghasilkan kebudayaan itu. karenanya,
setiap batasan yang ada seharusnya selalu diperhitungkan sifatnya yang realtif,
dan juga harus diperhitungkan konteks manakah yang dijadikan pijakan batasan
itu. yang jelas, puisi, apa pun corak dan ragamnya, meniscayakan adanya hal-hal
yang hakiki dan universal. Suminto menerangkan kemudian, bahwa berbagai
upaya-upaya pembatasan dan pemerian karakteristiknya pun tidak boleh
mengabaikan aspek-aspeknya yang hakiki dan universal itu, misalnya dari aspek
bahasanya yang selalu memperhitungkan nilai bunyi dan aspek puitiknya.
Menyangkut persoalan puisi esai, maka menyangkut pula persoalan perluasan
maupun penyempitan makna bagi puisi itu sendiri. Hal ini sudah dibicarakan
secara ringkas di awal. Oleh karena itu, pergerakan inovasi untuk
memasyarakatkan puisi di satu sisi memang perlu diapresiasi sebagai gagasan
yang harus diusung. Namun di lain sisi, para sastrawan yang terkait perlu
melihat kembali berkenaan dengan aspek
hakiki dan universal itu.
Kritik
atas kritik sebagai masa depan puisi
- “Berapa
banyak....laki-laki dan perempuan macam apa yang membaca puisi?” [Octavio Paz,
1991] -
Percobaan-percobaan
yang dilakukan oleh kalangan sastrawan yang dipandang mumpuni dalam bidang
perpuisian atau persajakan bilamana disimak hingga kini, telah menghasilkan
beragam jenis atau tipe puisi. Dari beragam jenis tersebut, sedikit yang bisa
menonjol dan diterima oleh sebagian besar publik. Puisi esai telah menarik
simpati berbagai kalangan karena salah satunya faktor promosi ke ruang publik
yang lebih. Leon Agusta dalam sebuah
artikel yang ditulisnya[6]
mengatakan demikian perihal eksplorasi yang digunakan dalam teknik puisi esai:
“Tak ada yang baru di bawah
langit. Begitu sering kita dengar banyak orang mengatakan. Namun, selalu ada
cara pandang yang baru tentang apa atau bagaimana adanya sesuatu di bawah
langit. Selalu pula ada cara pendekatan baru terhadap sesuatu yang sudah
berlalu—terhadap sesuatu—misalnya karya dari masa silam. Dari segala sesuatu
yang ada sebagian elemen sudah dieksplorasi, tetapi ini tidak berarti bahwa
tidak mungkin ada elemen lain yang dapat dieksplorasi.
Setiap generasi baru dalam seni
selalu melihat atau menyiasati apa yang sudah dilakukan oleh seniman generasi
sebelumnya dengan cara pandang yang berbeda. Perbedaan konteks dan pengalaman
akan melahirkan berbagai pertanyaan baru dengan fokus pada elemen-elemen
tertentu. Semuanya ini mendorong mereka untuk melahirkan sesuatu yang baru di
luar paradigma dan wacana lama. Hasilnya, adakalanya melahirkan paradigma baru
yang pada gilirannya akan menghasilkan karya yang baru pula.”
Masa depan puisi
tentu tidaklah tergantung pada bagaimana menciptakan dan menamai cara
bereksplorasi. Puisi yang sebenarnya memiliki kepentingan yang luhur pada
awalnya, memang sudah barang tentu dapat beralih pada kepentingan yang lain
sesuai dengan iklim zaman. Bilamana Denny JA berniat memasyarakatkan puisi
(dalam hal ini puisi esai) dengan kekuatan persuasifnya[7], maka
dapat dikatakan bahwa ada sisi positif di mana ia mengerti dan tahu keadaan
puisi di ranah ruang publik. Selain itu, barangkali ia belum paham benar cara masyarakat kini dalam mengapresiasi
puisi-puisi yang berlahiran. Gagasan yang ditindaklanjuti oleh Denny JA tidak
bisa dipandang miring begitu saja, pun tidak bisa dipandang benar sepenuhnya.
Adakalanya dalam sejarah perjalanan proses kreatif polemik antarpegiat sastra
dibutuhkan. Proses ini merupakan proses penempaan di mana sebuah gagasan akan
terus diasah oleh zaman yang melingkupinya. Dengan demikian, apresiasi semacam
ini diharapkan orientasinya akan membuahkan kualitas bukan semata kuantitas.
Kreativitas merupakan
salah satu energi penting perihal proses kreatif, dan itu dimiliki oleh Denny
JA. Kondisi kesusastraan indonesia kini yang ‘dangkal-dangkal dalam’ memang di
satu sisi perlu diisi oleh orang-orang semacam Denny JA. Tentang kepentingan
yang lain, yang ingin diletakkan oleh penggagas puisi esai tersebut adalah
persinggungan di mana setiap gagasan pasti memiliki kepentingan. Pada akhirnya,
yang menilai gagasan Denny JA layak untuk dipertahankan adalah publik sendiri. Para
kritikus hadir sebagai orang kedua yang memberikan (menawarkan)
konstruk-konstruk atas karya-karya yang lahir. Proses kreatif tetap berjalan,
begitu pula dengan kritik yang sebenarnya tidak bermaksud untuk melemahkan. Dan
puisi esai sedang tidak berada di garis paling depan sendirian.
-------------------
--
BAGIAN II –
-------------------
Memandang
pola-pola tiga puisi esai secara ringkas
Pada bagian ini
ditujukan lebih pada pengulasan puisi esai yang ditulis oleh Rahmad Agus
Supartono, Jenar Ariwibowo, dan Arif Fitra Kurniawan. Ketiga puisi esai
tersebut masing-masing diterbitkan dalam buku kumpulan esai ”Dari Rangin ke
Telepon” dan “Dari Singkawang ke Sampit”. Bagian ini akan mengulas puisi-puisi
mereka secara ringkas saja.
Puisi esai RAS (Rahmad
Agus Supartono atau kerap disebut dengan Guspar) yang berjudul “Dia, Sangkarib
dan Sekarung Kapas” memiliki catatan kaki yang relatif sedikit. Hanya dua
istilah yang diberikan keterangan catatan kaki. Sepintas, puisi yang ditulis
oleh RAS bernada religiusitas, sebab banyak diksi-diksinya yang terkait dengan
tema tersebut. Seperti diksi: shalat, istighfar, surau, zakat, dan nama tokoh
Umar bin Khatab. Gaya penulisan RAS juga tampak seperti cerpen yang dibalut
puitisasi (hanya saja bedanya, morfologi tulisan tersebut berlarik-larik
seperti halnya puisi). Puisi yang ingin menonjolkan teka-teki Sangkarib dan
Sekarung kapas ini mempunyai sisi lebih ketika mengulas tema kancah politik
yang diaruskan melalui pengantar religiusitas. Pada bait yang dibernomor 16
(yang diduga kuat memikiki relevansi repetitif dengan bait nomor 9), ada unsur
yang mengisyaratkan demikian:
“Dia
mulai mengerti makna kalimat perintah Sangkarib.
Dia
mulai mengerti bahwa keburukan yang keluar
dari
kebijakan politiknya tak akan pernah mampu
dikontrol
pergerakannya.
Seperti
kapas yang akan ditiupnya.”
(
Dari Rangin ke Telepon, h.106)
Selain itu, dapat
disimak ketika RAS membuka dan menutup puisinya. Membaca puisi esai RAS,
pembaca tidak terlalu dibebankan dengan persoalan pemahaman diksi, hanya saja
persoalan teka-teki yang sedang dibangun oleh penulisnya. Sisi puitis terasa agak diminimalkan dan RAS
menulis dengan hati-hati sekali, seperti bentuk-bentuk metafora. Berkaitan
relevansi puisi esai dengan catatan kaki, yang dapat diajukan di sini adalah
seberapa penting catatan kaki itu dibubuhkan. Dalam puisi esai RAS terdapat
kata-kata yang sebenarnya perlu untuk dijelaskan seperti para caddy, ormas primordial. Berbeda dengan
tema yang dibawakan oleh RAS dalam puisi esainya, JA (Jenar Aribowo) mengangkat
tema “melawan lupa”. Tema yang terkait dengan runtuhnya rezim orde baru dan
korban-korbannya. JA mencoba mendiskripsikan kondisi negeri, kelumpuhan hukum,
dan terutama kemiskinan melalui kisah interaksi Suti dengan nasib di negerinya,
bapaknya, ibunya, Pini, bahkan dengan
dirinya. Berikut merupakan sebuah
nukilan pada bagian epilog puisi esai JA yang mana menelusupkan sebuah pesan inter-subjektivitas
dari penulisnya:
“jika tak ada yang benar-benar tulus
mengulurkan tangan padamu
maka selamanya engkau tetap akan jadi seperti itu
sebab negeri ini adalah negeri yang tidak pernah
mau tahu
negeri yang tidak pernah bangun
negeri yang sengaja ditidurkan, sayang”
( Dari Singkawang ke Sampit, h.135)
Secara umum, puisi
esai yang dibangun oleh JA memiliki pretensi kreatif dalam memasukkan pola-pola
repetitif. Hal ini didasarkan karena adanya kecenderungan menaruh pengulangan
kata pada sebagian besar larik yang ditulis oleh JA. Simak saja: pada bagian
nomor 4, nomor 6, nomor 10, nomor 13, nomor 14, dan 15. Kreativitas yang
dilakukan oleh JA dalam mengeksplorasi majas, metafora, dan repetisi kiranya
dapat dipertimbangkan kembali mengingat bahwa ada yang janggal seperti nukilan
berikut ini:
“.....
kau menikahlah dengan orang yang kaya raya
supaya tak lahir lagi orang-orang bernasib seperti
kamu berikutnya”
(Dari
Singkawang ke Sampit, h.128)
Raisa adalah sebuah
nama. Entah peristiwa, entah korban, entah benar-benar orang. Begitu (AFK) Arif
Fitra Kurniawan menerjemahkan sebuah pandangan dirinya tentang nama Raisa ke
dalam puisi esai. AFK yang seringkali membawa lipatan-lipatan konotatif ke
dalam larik-lariknya seperti demikian:
“beberapa
kali pertemuan kita senantiasa
akan
seperti ini; bergantian kau ataupun aku
akan
diam lama seperti sebuah celengan.
membiarkan
yang lain menjadi orang
paling
tidak bisa menghentikan diri
:
boros menghamburkan cerita-cerita suram.”
(Dari
Singkawang ke Sampit, h.93)
Pembawaan puisi esai
oleh AFK memiliki kecenderungan estetik untuk mengemas kata-kata ke dalam
lipatan-lipatan konotatif yang berlapis. Hanya saja, kehadiran catatan kaki
dalam puisinya menjadi tidak sedemikian penting sebenarnya. Catatan kaki
menjadi semacam informasi yang jauh dari isi atau teks puisi esai. Dalam puisi
esai AFK berjudul “Bukan Lagi Rahasia Kita, Raisa” catatan kaki tampak menonjol
dengan panjang-lebar sumber informasi. Seperti tentang prostitusi. Pertanyaannya
apakah dalam kaitannya dengan bait atau lirik yang menuliskan tentang
prositusi, istilah prostitusi perlu diberikan keterangan berlebih? Tentu tidak
mengherankan memang bilamana keterangan diletakkan pada diksi atau istilah
asing. Simak saja sebait berikut ini:
“waktu jakarta sudah menunjukkan pukul 3 pagi
di taman kota yang lembab dan gelap sebab
lampu-lampunya banyak yang raib dicuri,
di kota yang semakin sempit sebab ditumbuhi
subur prostitusi ini aku masih menabahkan
diri
untuk tidak dihancurkan dingin dan sepi”
(Dari Singkawang ke Sampit, h.91)
Perbendaharaan kata “prostitusi” yang
digulirkan dalam bait puisi esai AFK seolah-olah menjadi kata yang harus
digaris-bawahi ketika pembaca ingin mengenal lebih dalam puisi esainya. Selain
membaca puisi esai, seolah-olah pula catatan kaki dalam puisi esai AFK menjadi
antara amat penting diperhatikan dan tidak. Melihat kabar yang demikian, maka
mesti kembali pada pengertian dan tujuan dari catatan kaki. Menurut pedoman
penulisan ilmiah catatan kaki merupakan
daftar keterangan khusus yang ditulis di bagian bawah setiap lembaran atau
akhir bab karangan ilmiah. Catatan kaki biasa digunakan untuk memberikan
keterangan dan komentar, menjelaskan sumber kutipan atau sebagai pedoman
penyusunan daftar bacaan atau bibliografi. Tujuan Catatan Kaki, antara lain:
- Catatan kaki dicantumkan untuk memenuhi kode etik yang berlaku
- Dapat juga sebagai penghargaan terhadap orang lain yang mungkin berjasa dalam penulisan tersebut
- Dipergunakan untuk menunjuk kepada sumber dan pernyataan yang dipergunakan dalam teks.
Pada
kemudian, dalam puisi: fiksi dan riset
Mulanya, penggagas
puisi esai bermaksud untuk menggabungkan antara dunia fiksi (yang lekat dengan
puisi) dan riset (yang lekat dengan hal-hal ilmiah dan akademis). Setelah
membaca beberapa buku puisi esai, cita-cita itu kiranya masih jauh dari
realita. Salah satu penyebab utamanya adalah standar teknis yang kurang
diperhatikan. Puisi esai menjadi bukan riset, melainkan ide yang didukung oleh
puitisasi dan catatan kaki.
Eksperimentasi puisi
pada dasarnya adalah baik dan perlu. Charles Baudelaire (seperti yang dikutip
oleh Leon Agusta dalam esainya di horison pada edisi bulan November 2012)
menciptakan prosa yang cukup lincah agar dapat menimbulkan kenikmatan lirikal
dalam jiwa, getaran renungan dan sentuhan hati nurani. Sampai sekarang bentuk/
genre sastra ini, yang bisa disebut semacam cangkokan dari puisi dan prosa, menimbulkan
berbagai debat/ polemik di kalangan satrawan dan kritikus. Keadaan yang sama
juga dialami puisi esai versi Denny JA. Tapi, sesekali ada pikiran busuk yang
mampir dalam situasi kesusastraan di Indonesia. Dalam keadaan seperti ini: uang
dan kekuasaan barangkali akan dapat membuat genre puisi yang baru?
Semarang, 2013
Beberapa Acuan Pustaka
Buku:
Susastra,
Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya vol. 4 nomor 2 tahun 2008. Jakarta: obor
Asep
sambojda, Asep. (2011). Asep Sambodja
Menulis. Bandung: Ultimus.
Situmorang,
Saut. (2009). Politik Sastra.
Yogyakarta]: SIC.
Paz,
Octavio. (1991). The Other Voice.
Depok: Komodo books.
Sayuti,
Suminto A. (2002). Berkenalan dengan Puisi.
Yogyakarta: Gama Media.
Damono,
Sapardi D. (1999). Politik Ideologi dan
Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Kedung
D.R., K. Achmad, Y. Sapto H., R. Agus S., & Wendoko. (2013). Dari Rangin ke Telepon. Depok:
JurnalSajak.
Arief
S., Arif F.K., Catur Adi W., Hanna F., & Jenar Aribowo. (2013). Dari Singkawang ke Sampit. Depok:
JurnalSajak.
Peri
Sandi H, Beni Setia, & Saifur Rohman. (2013). Mata Luka Sengkon Karta. Depok: JurnalSajak.
Nur
Faini, Onik S.M., S. Sahasika, Syifa A., S. P. Elu, & Y. Rosida. (2013). Mawar Airmata. Depok: JurnalSajak.
* Tulisan ini
digunakan untuk kepentingan NgoPi LACIKATA edisi khusus puisi esai yang juga
menghadirkan jawara-jawara (yang berdomisili di Semarang) sayembara puisi esai oleh
JurnalSajak pada tahun 2013.
[1] Buku kumpulan puisi esainya
yang diterbitkan pada waktu itu berjudul “Atas Nama Cinta”.
[2] Situs ini merupakan sebuah
situs yang dikelola oleh pihak Denny JA sejak peluncuran buku kumpulan puisi
esainya dan dikhususkan untuk menyebar-luaskan geliat puisi esai.
[3] Buku kumpulan puisi esai ini
berisi 5 pemenang terpilih Lomba Puisi Esai yang diselenggarakan atas nama
Jurnal Sajak.
[4] Pernyataan tersebut
dilontarkan ketika wartawan ANTARA News mewawancarai Jamal D Rahman di waktu
peluncuran buku-buku kumpulan puisi esai pada Bulan Februari 2013.
[5] Buku puisi pertamanya yang
pernah meraih KLA: “Dari Batavia sampai Jakarta 1619-1999”
[6] Artikel ini tertera di situs
beralamatkan http://oase.kompas.com/read/2013/01/14/06305616/Mempersoalkan.Legitimasi.Puisi-Esai, selain juga sudah pernah
dipublikasikan dalam majalah sastra HORISON pada Bulan November 2012.
[7] Kekuatan persuasif yang
dimaksud di sini adalah bentuk-bentuk promosi puisi esai yang dilakukan ke
ruang publik. Seperti pembawaan puisi ke wujud film, musik, lukisan, lomba.
sekali waktu kita bisa diskusi lebih dalam tentang puisi esai, ganz.
BalasHapusaku mengapresiasi banget esaimu ini, bagus.
ayo, tambah menyelam lebih dalam dengan diskusi lagi.
aku tunggu deh.
oke....matur suwun, Pak...
BalasHapus