Mengonfrontasikan
“Sajak Sebatang Lisong” dan Puisi Ganjar
Catatan Gunawan Budi Susanto
Izinkan
saya memuat secara utuh sajak Rendra, “Sajak Sebatang Lisong”, yang
ditulis 19 Agustus 1977. Lantaran, inilah sajak yang disebut Ganjar
Sudibyo sebagai sesuatu “yang benar” – dan bahwa “berkesenian tidaklah
pantas bilamana terlepas dari kehidupan” (Pada Suatu Mata, Kita Menulis Cahaya, halaman 76 – selanjutnya hanya merujuk halaman), terutama pada bait terakhir:Inilah
sajakku./Pamplet masa darurat./Apakah artinya kesenian,/bila terpisah
dari derita lingkungan./Apakah artinya berpikir,/Bila terpisah dari
masalah kehidupan.
Sajak Sebatang Lisong
Menghisap sebatang lisong,
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka.
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papan tulis-papan tulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
……………………………..
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya:
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun
Dan di langit:
para teknokrat berkata:
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun,
mesti di-up-grade,
disesuaikan dengan teknologi yang diimport.
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala.
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidak-adilan terjadi di sampingnya,
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon.
Berjuta-juta harapan ibu dan bapa
menjadi gebalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah samodra.
…………………………………………….
Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan,
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku.
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
Bila terpisah dari masalah kehidupan.
***
Nah,
bukan kebetulan, saya pun menyukai sajak Rendra ini. Ada suatu masa
lantaran begitu suka, sajak ini saya jadikan “roh” dalam pamflet politik
yang saya tulis dan saya jadikan bahan provokasi di kalangan
kawan-kawan mahasiswa paruh kedua 1980-an. Saya pun meniru-niru bikin
sajak pamflet ala Rendra. Namun, tentu saja, saya gagal.
Ya, mana
ada epigon berhasil? Kalaupun berhasil, ya berhasil sebagai peniru. Tak
kurang, tak lebih. Saya sadari, saya tak secerdas Rendra dalam
“menganyam” kata -- dengan segala aspek dan potensi bahasa. Maka,
kemudian, saya menyebut sajak-sajak saya sebagai sajak polaroid. Dan
ibarat kamera polaroid, sekali jepret jadi gambar – yang dari segi apa
pun kalah ciamik dari kamera lain, baik analog maupun digital – maka
sajak saya pun: sekali jepret (keadaan), jadilah sajak. Sampai sekarang.
Contohnya,
ya, macam sajak di bawah ini, yang saya tulis beberapa hari lalu yang
saya unggah sebagai status di facebook (19 Mei 2013: 18.22).
ucapan syukur politikus
aku mencintai negeri ini. aku mencintai bangsa ini. negeri ini negeri
yang indah. bangsa ini bangsa yang ramah. negeri ini negeri berlimpah.
bangsa ini bangsa pemurah.
kauberikan
apa saja yang kumau kausorongkan apa saja yang kupinta kudapatkan apa
saja yang kudamba kuperoleh apa saja yang kutoleh
sungguh, aku suka negeri ini sungguh, aku suka bangsa ini segala apa kauberikan segala apa kudapatkan
i love full, indonesia! padamu aku bersumpah padamu aku berjanji : bakal korupsi sampai mati.Banal
bukan? Wajar. Dan, kebanalan itu pun nyaris terjadi secara wajar pula,
berkelindan dengan profesi yang saya lakoni: jurnalis. Ya, sebagai
jurnalis saya dituntut tahu hampir semua perkara – meski sejumput demi
sejumput, tanpa kedalaman. Pengetahuan sekilas-lintas itu, ketika saya
organisasikan, lalu menjadi bekal pengayaan analisis terhadap sesuatu
persoalan, tak terhindarkan tetap pula: menghasilkan (simpulan yang
menjadi) banal. Dangkal. Sekilas-lintas.
Implikasi lanjutan: saya cenderung menghindari membaca karya (terutama sastra, terlebih lagi puisi) yang kompleks, canggih, sophisticated. Puisi paling “canggih” yang masih mungkin saya nikmati, ya antara lain seperti sajak karya Sapardi Djoko Damono ini.
Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Nah, biasanya buku (bacaan) yang memuat pemikiran yang kompleks, canggih,sophisticated macam
itu, apalagi yang disertai kecanggihan akrobatik berbahasa, segera saya
taruh dan simpan. Kecuali, jika ada pekerjaan atau komitmen yang
mengharuskan saya membuka dan membacanya, misalnya, sebagai bahan
kajian.
Terpaksa? Ya! Termasuk, terus terang, ketika saya harus membaca 46 sajak Ganjar Sudibyo dalam antologi Pada Suatu Mata, Kita Menulis Cahaya (Semarang: PM-Publisher, Februari 2013) ini. Bagi saya, sajak-sajak Ganjar ini terlalu kompleks, terlalu canggih, terlalu sophistaced.
Saya kesulitan memahami apa, siapa, kapan, di mana, kenapa, bagaimana
di sebalik “selimut-kabut kata-kata” dalam sajak-sajaknya. Saya merasa
cuma bisa menebak-nebak satu-dua sajak: apa sesungguhnya yang dia
sorongkan. Itu, misalnya, dalam sajak “Gambar-gambar yang Menyala”
(halaman 15-16), “Hana” (17), “Marba” (37). Selebihnya, menjadi penghuni
wilayah yang tak saya pahami – namun bisa saya nikmati. Bukankah
pemahaman dan penikmatan bisa saja tak nyambung? Itu pula yang saya rasakan ketika, misalnya, menikmati musik klasik atau jazz dan lukisan dan tarian yang – orang bilang – neka-neka: abstrakisme, pointilisme, dadaisme, kubisme, absurdisme, surealisme, posmodernisme, katrokisme, boyakisme.
Begitulah,
ternyata kecenderungan “intelektual”, selera artistik-estetik, dan
rutinitas (disiplin) kerja profesional telah menggerus (kalaupun
dianggap atau menganggap diri punya) kemampuan saya membaca dan menafsir
puisi.
***
Nah, kini, izinkan saya berbagi pengalaman setelah membaca dan menikmati sajak-sajak Ganjar.
Tampak
benar bagi saya, Ganjar amat piawai berbahasa. Kata-kata tumpah ruah,
mengalir, melesat, berloncatan, berjumpalitan, berzigzag kian-kemari.
Kalimat-kalimat melejing, plas! Ke mana suka, ke dada siapa. Dan,
dengarlah puisi-puisi itu bermusik – sesungguh benar bermusik. Ya,
setiap rentetan kata, kalimat, bait memperdengarkan musik(alitas) yang
mendenyar. Elok!
Ambil saja sembarang puisi. Satu saja. Nah, ini misalnya (36). Dan dengarlah….
Maleakhi
(“inilah tubuh
yang dimestikan
bagi kalian”)
saudara-saudari, ia mencintai kalian dari kejauhan
dari seluruh gelap dan dingin yang mengemasnya
pelan-pelan sampai pagi. di sana, ia menunjuk kita
pada pandangan bulan yang tak enyah dari para wanita
: jarak bagi para lelaki.
di sana, tak ada perkara tentang siapa datang terlebih dulu di
antara terang. itu, kita yang bersabar. itu, saudara-saudari,
ruang dengan kursi semenjana: tempat kita meletakkan bahu,
seketika ia, membacakan mantera lewat bahasa yang pertama
kali muncul seperti sepasang pengantin yang baru saja
bercinta untuk memperoleh keselamatan.
saudara-saudari, ia benar-benar mengucapkan kalian: kepada
pengertian kepada kesaksian,
ayat-ayat dan sumpah yang maha
2012
Mengasyikkan bukan? Musik itu, sampean dengar pula bukan? Mendenyar! Begitulah sajak-sajak Ganjar. Mendenyar, menggelenyar!
Terlihat
benar betapa dia tak sembarang mengambil sebuah kata lalu menjejerkan
dengan kata-kata lain, membentuk kalimat, membangun pengertian: entah
apa. Sadar tak sadar, sengaja tak sengaja – yang muncul atau tercipta
lewat ketekunan dan kesaksamaan memilih dan memilah kata –
kalimat-kalimat yang membuncah mencerminkan keluwescerdasan berbahasa.
Bahasa (Indonesia) di tangan Ganjar menjadi sedemikian kaya, menjadi
sedemikian indah, menjadi sedemikian seksi. Beda, jauh beda, dari pidato
kampanye para calon gubernur dan wakil gubernur (serta tim sukses
masing-masing) yang barusan sampean pilih atau tidak sampean pilih. Beda
dari kuliah para dosen di kelas yang acap (atau lebih banyak)
membosankan. Beda dari sambutan siapa pun di mana pun kapan pun dalam
acara apa pun. Beda dari khotbah yang lebih mendekatkan kita ke neraka
ketimbang ke surga. Beda dari nasihat yang selalu menggurui. Beda dari
jawaban apa pun yang keluar dari mesin penjawab apa pun….
Bahasa
Ganjar sungguh jenial. Dan, plastis. Kata-kata Ganjar, bahasa Ganjar,
adalah “penghujan yang bungsu dan nakal/adalah kemarau yang sulung dan
seksi” (38). Dan saya yakin, bahasa dalam puisi-puisi Ganjar hanya akan
muncul dari seseorang yang bertekun membaca (apa saja), sabar bermenung,
saksama menyimak, dan teliti (saat) menulis.
Bukan dari orang
macam saya, yang cenderung menyukai kamera polaroid. Nah, tepat di titik
inilah, saya angkat tangan: saya tak tahu apa sebenarnya yang dimaui,
apa yang dimaksudkan, apa yang niatkan Ganjar lewat puisi-puisinya. Bagi
saya, puisi-puisi Ganjar adalah puisi yang sulit, yang kompleks, yang
canggih. Saya megap-megap ketika memaksa diri menyelam dalam,
terpusing-pusing dalam pusaran di bawah permukaan – yang tampak tenang,
tampak biasa-biasa saja, tetapi sesungguhnya menyimpan kedalaman yang
menghanyutkan dan bisa mematikan.
Saya merasakan keasyikan
sekaligus kenikmatan (dengaran) ketika membacanya, tetapi menjadi
kosong, menjadi bengong, ketika sampean tanya: apa yang barusan saya
baca. Sampai di sini, apa yang mesti konfrontasikan (sebagaimana saya
sebut dalam judul)? Namun, sungguh, sebelum berlanjut sebaiknya saya
mendengar dulu pandangan sampean sekalian.
Salam!
Gebyog, 26 Mei 2013
--------------------------------------
Prasaran dalam peluncuran dan bedah buku antologi puisi Ganjar Sudibyo, Pada Suatu Mata, Kita Menulis Cahaya (Semarang: PM-Publisher, 2013) di pendapa TBRS, Semarang, Minggu, 26 Mei 2013.
Gunawan Budi Susanto, tinggal di Gebyog, Gunungpati, penulis kumpulan cerpenNyanyian Penggali Kubur (Yogyakarta: Gigih Pustaka Mandiri, 2011.)
5.29.2013
ESAI DARI KANG PUTU
08.52
No comments
0 pembaca kata berbicara:
Posting Komentar
silakan rawat benih ini