PENGGOYANG LONCENG
untuk ganjar sudibyo
/1/
Pertama bermula adalah malam.
Diberkatilah, kau pendengar yang budiman.
Sebelum itu, membran di telinga dan seluk-seluk
jantungmu sudah kaupuasakan.
Tanpa cemar cerita dari lahat dan pusar kota:
Pengabar yang itu-itu juga; mencoleng akhir berita,
nun menujumnya jadi sengketa — kau ingat,
yang sana itu memerlukan kata-kata
agar bisa bersiasat dalam satu upacara.
Apalah, kau memang tidak senang bertanya.
Yang sana itu boleh jadi butuh pengeras suara
agar bisa turut serta dalam dunia yang digesa.
Tak lebih, kau hanya suka memaklumi kantukmu
sendiri, menyemai-nyemai bakal mimpi.
Karena kau suka waktu pulang, suka jika tidak ada
lagi yang menduga-duga-menjawab-menerjemahkan.
/2/
Betul, dia hanya suka membunyikannya sesekali,
tidak ingin mengenal sebentuk hirukpikuk
yang entah telah dinasibkan dalam arisan, layar tv,
lampu merah, jejalan ruang ganti — tapi tidak akan
digaduhkan nostalgianya sendiri sebab tahu betul
kepada apa alur jalannya. Ke pintu tidur? Jangan bertanya.
Mungkin sebab sunyi saja yang bakal menguduskannya.
Sungguh mungkin sebabnya dia karib dengan takzimnya
sendiri ketika loncengnya berayun pelan —
dan sama sekali tidak mau ingkar
menukar bunyi lonceng itu dengan bunyi peluit
pada sebuah dermaga dalam peta, atau bunyi
burung kukuk yang masih saja bersarang di jam dinding
sejak hari kelahirannya. Tidak terbang, tidak ke mana.
Dia hanya suka membunyikannya demi mengiringi
nyanyian yang masih hidup dekat pokok lehermu:
lagu yang tidak berhasrat memeluk lirik-lirik,
lagu yang rindu menebus kembali bahagia asingmu
setelah kau terlempar dari rahim atau kepul asap cerutu.
Setelah namamu tidak mampu lagi bergoyang
memprotes datangnya perkenalan itu.
/3/
Kau adalah pendengar yang budiman.
Dan dia akan singgah mengiramakan malam-malam.
Bekasi, September 2012
Amal Bayu Ramdhana
0 pembaca kata berbicara:
Posting Komentar
silakan rawat benih ini