“Kita merasa sangat tidak nyaman dalam
dunia yang telah terinterpretasi ini”.
(Rilke dalam Duino Elegy)
Mula-mula
saya memperoleh buku ini, saya berpikir, seorang Rabu menulis tentang perahu? Adapun
dugaan-dugaan interteks saya begini: apakah Rabu adalah seorang yang familiar
dengan kehidupan sungai? Rabu Pagisyahbana alias Lukman Asri Alisyahbana adalah
pria kelahiran Purwokerto yang kini memilih tinggal di Kota Pelajar. Dalam buku
“Perahu Napas” terdapat puisi-puisinya di rentang tahun 2011-2014, yang mana
cetakan buku pertama ini tercatat pada Bulan Mei 2015. Pertanyaan teknis yang
muncul kemudian adalah bagaimana pemilahan teks puisi yang dilakukan Rabu? Dan,
seberapa pentingkah penyair ini memandang waktu sebagai tanda proses menulis
puisinya?
Oke,
berlanjut pada pemilihan judul dalam buku yang mana terdapat kata “perahu” dan
“napas”. Perahu (kata benda) seperti pada definisi mulanya adalah kendaraan air
yang dibuat sederhana daripada kapal. Sedangkan pada kata “napas” (kata benda)
yaitu proses udara yang dihisap melalui
hidung atau mulut dan dikeluarkan kembali dari paru-paru. Adapun kedua kata
tersebut, “perahu” dan “napas” merupakan sama-sama kata benda. Dugaan pertama
saya, penyair berupaya memberikan pengertian yang berbeda antara perahu dan
napas namun mempunyai saling keterkaitan, seperti misalnya kata meja kursi. Dugaan
kedua saya, perahu napas adalah perahu yang bernapas. Bernapas melalui apa,
sebab perahu adalah benda mati? -- dengan kata lain penyair sedang berupaya
membikin frase konotatif.
“Di Tepi Dermaga Kertas” merupakan
sajian puisi pertama di buku ini. Dalam bait pertama penyair memberikan
sentuhan suasana yang tidak jauh dari judul buku, berikut penggalannya:
“kau
lingkari angka-angka di almanakku
saat
sebagian bertelungkup di luar sana
kau
malah terbangun dan berjaga, melipat
kertas-kertas
putih menjadi perahu
seakan malam baginya adalah samudra
sedang mimpi seolah pulau tak
berpenghuni
...”
Namun,
tema besar apakah yang sedang hendak diarungi oleh penyair, yang ingin
disajikan kepada para pembaca? Memandang sisi struktural yang ditunjukkan dalam
puisi pertama, penyair hendak mengangkat definisi keterangan waktu dan tempat. Di
puisi pertama secara utuh, menceritakan tentang malam dan dari pulau yang tak
berpenghuni menjadi berpenghuni. Perahu memberikan semacam solusi yang menjadikan
pulau tersebut berpenghuni: “kau bujuk angin bawa perahu/sehingga pulau pun
jadi berpenghuni”. Ada imaji yang dimunculkan pada sosok “perahu”. “Perahu”
menjadi semacam perantara untuk menjadikan yang kosong menjadi isi. Di sini ada
semacam logika bahasa yang sedang dimainkan oleh penyair tentang pulau dan
mimpi, yang barangkali sebenarnya soal “mimpi” yang menjadi hal penting untuk
dimasuki oleh siapapun. Pertanyaan selanjutnya mimpi semacam apa sehingga
siapapun itu bisa menjadi penghuni? Apakah mimpi yang dimaksud adalah sebentuk
wadah pelarian dari realitas, malam itu sendiri (karena biasanya kata “malam”
bergandengan dengan “mimpi”). Puisi ini menawarkan tentang imaji lain tentang
perahu.
Mari
tengok sajak lain yang berbincang soal perahu. Pada halaman 52, puisi yang
berjudul “Di Sepertiga Malam”
berikut:
“bulan
putih di pangkuan musim
dingin
kemarau hampir berakhir
saat
angin menjelma perahu
di ketinggian
dalam
lubuk kau menjelma bintang layang-layang
dan
kita berlayar ke selatan
berpeluk
ombak
menempuh
ujung gelap
di
bawah jemari waktu
yang
bangkit memainkan benang
berdua
kita berenang di sepertiga malam
menyelami
laguna bawah sadar
menjelma
sunyi di kedalaman”
“Perahu”
lagi-lagi menjadi perantara untuk menuju ke “selatan”. Lantas ada apa dengan
selatan sehingga memerlukan perahu dan lewat jalur air untuk menuju ke sana? Apakah
selatan adalah suatu tempat yang memberikan romantisme kebahagiaan sepasang
manusia? Apakah penyair ingin memberi tanda bahasa yang lain tentang selatan? Terlepas itu, nuansa “perahu” seolah tidak terasa kental di sini, melainkan hablur, terutama
ketika penyair mencoba menyajikan bahasa dalam bait kedua. Dua Bait seolah menjadi
kurang sinambung. Demikian kedudukan perahu seolah menjadi hanya sebagai semacam
pelengkap dalam teks puisi tersebut.
Selanjutnya
keberadaan imaji perahu dapat ditemui dalam puisi “Perahu Napas” pada halaman 54:
“lelaki
duduk memangku laut tiada
selain
menyeberangi nasib di kejauhan
bersama
angin. angin utara yang berhasil turun
membawa
perasan jantung perempuan bukit
menuju
arah pantai
sendiri
ia berbisik
merangkum
masalalu
melipat
bangku kosong dan cerita hantu
sementara
waktu perlahan karam
merapikan
angan-angan
bersamanya
perahu napas
berlayar
melampaui
tubuh dan pikiran
batas
diam antara lubuk dan jantung laut
yang
pecah membawa ia pulang
ke
tugur masadepan”
Kata
“perahu” yang digandengkan dengan kata “napas” ini menjadi semakin jelas
bahwasanya perahu yang dimaksud adalah kata benda yang dihidupkan menjadi
subjek. Pada bait yang terakhir tampak jelas penyair hendak menunjukkan bahwa perahu merupakan kendaraan hidup menuju masa depan. Pertanyaan yang lagi-lagi menggoda saya adalah kenapa penyair hendak memakai "perahu" sebagai kendaraan yang dihidupkan itu? Ya barangkali penyair ingin mengangkat spiritualitas tentang perahu. Spiritualitas yang merupakan kehidupan ruh, sesuatu yang berpikir, kata Descartes. Yakni yang
meragukan, menegaskan, menolak, mengetahui sedikit hal, tidak mengetahui banyak
hal, yang berkemauan, berhasrat juga berimajinasi, dan merasa. Di dalamnya ada
semangat. Perahu dalam buku puisi ini menjadi simbol yang membawa spritualitas
tertentu.
"Perahu" dalam buku puisi ini tidak hanya dimunculkan dalam ketiga puisi yang saya perlihatkan. Adapun penyair melesapkan subjek: perahu ke dalam bentuk-bentuk lain, selain memberi alternatif penamaan dengan kata "kapal" (hal.21 & 27). Tema-tema yang coba ditawarkan oleh penyair dalam buku ini yang saya tangkap adalah wujud pelipuran diri atas gejala keputusasaan terhadap ingatan, kenangan, kisah historis, masa lalu, masa depan, roman-roman kesunyian, dan terhadap ketidaknyamanan masa kini. Keputusasaan itu memunculkan subjek-subjek sebagai asosiasinya untuk memandang dari sisi lain, sebagaimana Sartre melalui tokohnya Orestes yang berkata kepada Zeus: kehidupan manusia dimulai pada sisi lain keputusasaan. Dalam konteks ini, gejala keputusasaan atas bentangan diri imaji yang dihadapi penyair; "dan ini nasibku biar saja, biar aku pilih jejak sendiri" (Pada Rautan Pensil, hal.36)
"Perahu" dalam buku puisi ini tidak hanya dimunculkan dalam ketiga puisi yang saya perlihatkan. Adapun penyair melesapkan subjek: perahu ke dalam bentuk-bentuk lain, selain memberi alternatif penamaan dengan kata "kapal" (hal.21 & 27). Tema-tema yang coba ditawarkan oleh penyair dalam buku ini yang saya tangkap adalah wujud pelipuran diri atas gejala keputusasaan terhadap ingatan, kenangan, kisah historis, masa lalu, masa depan, roman-roman kesunyian, dan terhadap ketidaknyamanan masa kini. Keputusasaan itu memunculkan subjek-subjek sebagai asosiasinya untuk memandang dari sisi lain, sebagaimana Sartre melalui tokohnya Orestes yang berkata kepada Zeus: kehidupan manusia dimulai pada sisi lain keputusasaan. Dalam konteks ini, gejala keputusasaan atas bentangan diri imaji yang dihadapi penyair; "dan ini nasibku biar saja, biar aku pilih jejak sendiri" (Pada Rautan Pensil, hal.36)
Dalam catatannya di antologi "Manusia Utama", Arif Budiman mengungkapkan agaknya memang terlalu berbau heroik untuk penyair masa kini di negeri kita. Dibutuhkan perumusan yang lebih halus untuk tidak terlalu heroik, tetapi juga tidak terlalu bermartabat untuk membujuk penyair kembali menjadi saksi zamannya. Untuk ini diperlukan kepekaan sejarah yang tinggi yang menyebabkan suatu karya puisi bukan sekedar endapan pengalaman sejenak, atau bahkan seumur penyairnya, tetapi sepanjang umur tradisinya, bangsanya. Seperti yang dinyatakan kritikus pada Robert Lowell dan T.S. Elliot. Satu keterlibatan sejarah, satu pergumulan, yang bukan sekadar mampu menjadikan sejarah sebagai sumber ilham bagi sajak-sajaknya, tetapi sekaligus mampu mempengaruhi sejarah itu sendiri.
Demikian perahu napas menjadi sebentuk hero lain yang adalah saksi peristiwa si penyair menyelami dirinya dan realitas yang diramaikan sebagian orang. Yehuda Amichai mengabarkan bahwa memang harus selalu ada yang bersedia untuk menyatakannya lagi, menyatakannya berulang-ulang, bahwa kedua kutub itu memang ada dan sama sahnya, seperti pemain bola di lapangan.
Demikian perahu napas menjadi sebentuk hero lain yang adalah saksi peristiwa si penyair menyelami dirinya dan realitas yang diramaikan sebagian orang. Yehuda Amichai mengabarkan bahwa memang harus selalu ada yang bersedia untuk menyatakannya lagi, menyatakannya berulang-ulang, bahwa kedua kutub itu memang ada dan sama sahnya, seperti pemain bola di lapangan.
Alih-alih si penyair menyunting spiritualitas perahu pada inti kemudi seperti celupan untingan puisi berjudul "Waktu" (hal.47):
"di luar sana manusia
saling
sibuk menerjemahkan waktu
hanya
saja aku masih penasaran dengan batu
..."
Semarang, 2015
*Ditulis oleh Ganjar Sudibyo untuk kepentingan perayaan NgoPi komunitas LACIKATA yang ke-19.
0 pembaca kata berbicara:
Posting Komentar
silakan rawat benih ini