Judul : Suluk Senja
Penulis : Dimas Indiana S.
Cetakan : I, Agustus 2015
Penerbit : Pustaka Senja
Jumlah Halaman : vi + 99 halaman
ISBN : 978-979-7731-87-8
Suluk dalam definisinya secara umum merupakan jalan ke arah kesempurnaan batin. Selain itu, di lain tempat suluk mengarah pada perbaikkan akhlak, penyucian amal, dan penjernihan pengetahuan. Dengan kata lain, suluk merupakan aktivitas. Buku kumpulan puisi yang ditulis oleh Dimas Indiana ini menawarkan pada sebuah variasi pengertian yang lain tentang suluk. Sebagian besar puisi-puisi yang dihadirkan di buku ini malah tidak banyak menyoal hubungan kesempurnaan diri ke arah Sang Mahakuasa, atau suluk dalam tokoh-tokoh tasawuf. Penulis seolah sengaja ingin memberikan warna lain tentang suluk. Nah, warna inilah yang sedang dimunculkan kepada pembaca bahwasanya ada semesta lain dan itu sepantasnya laik untuk dikunjungi sejenak. Warna seorang salik senja.
Dalam buku yang berisi 33 puisi ini, penulis tampaknya mempunyai kecenderungan untuk mengeksplorasi puisi-puisi dengan penanda nama-nama orang yang barangkali pernah dijumpainya. Entah penulis hendak berusaha mengenang deretan nama tersebut. Dengan kata lain merupakan bagian dari kehendak subjek untuk mengikutsertakan nama-nama tersebut ke dalam proses kreatif menulisnya. Di lain sisi, penulis hendak menunjukkan bahwa nama-nama tersebut adalah bagian dari upaya penulis untuk memberi tanda yang mana di sebaliknya ada pesan universal dari sebuah pertemuan. Perihal pesan universal ini salah satunya dapat ditemui dalam sajak berjudul “tentang tanah yang semestinya kita ziarahi”, berikut penggalannya: “...sebab usia tak membuatmu/lelah untuk terus menziarahi sepetak tanah di/dadamu.” Tentu ini kemudian menjadi dugaan yang bisa berkata lain ketika dimasuki oleh masing-masing pembaca. Demikian menjadi menarik ketika mencoba untuk mengungkap bahasa penulis lewat penandaan nama-nama. Pembaca bisa belajar bahwa selain merupakan bacaan fakultatif untuk mereka yang ingin mengenang pertemuan-pertemuan --- adalah di dalam setiap pertemuan terselip suluk itu sendiri.
Hal menarik lainnya adalah usaha penulis untuk menjadikan unik tidak hanya dalam tipografi (yang tidak biasanya digunakan oleh penulis di kebiasaan menulis puisi sebelumnya) namun juga tema yang digarap. Penulis mencoba membuat paduan puisi dengan pengalaman pribadinya yang memiliki hobi sebagai biker pada puisi “verzaholic”. Selain penulis hendak memunculkan suasana sejarah seperti dua judul puisi di halaman-halaman akhir, yaitu “sangtham suksa”, dan “klana bandopati”. Tidak berhenti sampai di situ, bilamana membaca di lembar-lembar awal, maka pembaca akan diberikan sajian judul puisi yang relatif panjang. Apakah ini merupakan materi licentia poetica yang sedang diolah oleh penulis untuk memberikan daya tarik kepada pembaca? Ya, impresi pertama memang penting untuk dilakukan sebagai penulis muda yang mempunyai energi untuk terus menerus berkembang dalam ketekunan mengasah teknik menulis. Dengan begini, pembaca barangkali tidak akan bosan dalam mencerna buku kumpulan puisi yang dalam pasarannya konon memiliki stereotip melankolis liris mendayu-dayu.
Puisi-puisi yang dimunculkan dalam rentang titi mangsa 2012-2015 ini ibaratnya adalah kosmos --- semesta yang sedang diciptakan oleh penulis. Selain berisi puisi, buku ini menghadirkan ilustrasi-ilustrasi gambar yang seolah bermaksud untuk menahan mata (selain semacam jeda), memandanginya dengan tanpa memperhatikan jangka waktu. Lantas kemudian ‘senja’, tak lain adalah kosa kata puitik yang sedang diterjemahkan penulis sendiri ke dalam bahasa-bahasa yang mengerucut pada nukilan puisi berjudul “dalam dzikir senja; saat kau mengajariku cara menasbihkan cinta kepada semesta”: “Fabbi Ayyi Ala’i Rabbikuma Tukadziban....” yang artinya, nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?
Semarang, 2015
0 pembaca kata berbicara:
Posting Komentar
silakan rawat benih ini