(catatan pendek untuk buku kumpulan cerpen “Penjagal itu Telah Mati”)
Saya
menemui dia atas rekomendasi Badrun, yang bertahun-tahun bersama beberapa kawan
muda NU, mendampingi mereka, para eks tahanan politik (tapol) 65. Ya, anak-anak
muda itu dengan segala keterbatasan, dan bukan tanpa cemoohan dan risiko
berhadapan dengan aparat keamanan dan aparat pemerintahan yang masih bercuriga
terhadap segala yang berbau 65, melakukan gerakan nguwongke uwong, memanusiakan
manusia. Mereka menyapa, bertandang, dan mendengarkan kisah atau keluhan para
eks tapol, yang sebagian pernah diasingkan ke Pulau Buru itu. Lalu, jika
mungkin, mengembalikan rasa percaya diri mereka sebagai manusia, sama seperti
manusia lain. (Penjagal itu Telah Mati, hal.8-9)
Sudah
relatif lama saya tidak membaca cerpen. Terakhir, belakangan ketika saya
“dipaksa” menjadi juri lomba cerpen di Undip. Jauh sebelum itu, membaca buku
kumpulan cerpen karya Kang Putu (Gunawan Budi Susanto) butuh waktu yang panjang
setelah saya membelinya ketika bertemu dengan beliau di acara seni. Panjang
dalam arti bahwa butuh tenaga untuk meresapi, mencerna,dan kemudian menafsir.
Pandangan
pertama saya tertuju pada cerpen berjudul “Penjagal itu Telah Mati” (hal. 5-12)
yang dijadikan judul dalam buku ini. Saya penasaran, dengan subjek yang diberi
predikat sebagai penjagal. Memang seberapa penting dengan “penjagal” sehingga
mesti dikabarkan mati? Sekilas saya membaca, saya paham tentang apa yang ingin
disampaikan pada cerpen ini. Tema-tema yang diangkat dalam cerpen ini sama
sekali rapi, tidak banyak keluar dari rancang-bangun si cerpenisnya. Masih
tentang korban sejarah yang menjadikan bangsa ini membawa aib besar. Cerpen
berjudul “Penjagal itu Telah Mati” jelas-jelas ingin menunjukkan tentang aib
tersebut. Aib sebagai seorang penjagal. Aib yang memang benar ada di suatu
bangsa. Demikian, saya berpandangan bahwa cerpen bertemakan seperti ini (yang
mengangkat hal-hal tabu) selalu mempunyai daya pikat tersendiri.
Dalam
pandangan psikologi holistik, Henry Alexander Murray (seorang praktisi
psikologi klinis yang memiliki minat terhadap kesusastraan) menawarkan tentang
bentuk personologi manusia tidak terlepas dari faktor-faktor lingkungan dan
daya representasi lingkungan. Masa lampau atau sejarah individu benar-benar
sama pentingnya seperti keadaan individu beserta lingkungannya di masa kini.
Hal ini tidak terlalu jauh dengan pandangan psikoanalisis. Murray memiliki
konsepsi bahwa satuan dasar dalam ranah psikologi, yaitu proceeding merupakan cerminan tingkah laku yang tidak mungkin
terlepas dari dimensi waktu. Proceeding berkaitan dengan interaksi antara
subjek dan objek, atau antara subjek dan subjek dalam jangka waktu cukup lama
sehingga mencakup unsur-unsur penting dalam sekuens tingkah laku tertentu.
Saya
mengasosiasikan bahwa cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku “Penjagal itu
Telah Mati” merupakan sekuens yang dimaksud Murray. Sekuens yang berisi
serial-serial atau jadwal-jadwal yang merupakan sarana untuk mereduksi konflik
di antara kebutuhan-kebutuhan dan objek-objek. Tentu semua ini bermuara pada
teknik-teknik dalam menyampaikan cerita serta alur-alur yang telah dirancang.
Adapun
pembentukan para tokoh dalam kumpulan cerpen ini tidak lepas dengan diri si
penulis, yang kemudian direpresentasikan sebagai diri yang sedang berbicara
kepada pembaca. Superego dalam pandangan Murray, adalah hasil dari penanaman
kebudayaan. Superego sebagai subsistem dalam diri manusia bertindak dalam
internalisasi dan pengatur tingkah laku. Rangkaian ini bercermin pada yang
pernah dilakukan oleh pelaku-pelaku yang berada di luar individu. Dalam konteks
buku ini, para pelaku adalah tokoh-tokoh seperti Mei Hwa, Om Bandrio, Mbah
Reso, Moetiah, Lestari, si kakek, nenek, ibu, bapak, mertua, si “saya” atau si
“aku” dalam cerpen-cerpen tersebut.
Tokoh-tokoh
rekaan yang coba diperkenalkan oleh si penulis, selain membawa luapan superego,
erat kaitannya dengan ego-ideal. Ego-ideal ini merupakan citra yang
diangan-angankan atau diambisikan oleh individu sebagai seorang pejuang. Dengan
demikian, tokoh-tokoh yang diliputi oleh peristiwa-peristiwa di dalamnya
merupakan pergerakan yang tidak bisa dipisahkan dari stigma masyarakat. Adanya
internalisasi budaya yang sedang diciptakan lewat konflik-konflik dan tradisi
berkisah membuat tokoh-tokoh itu menjadi semakin hidup, bahkan penamaan tokoh
yang tidak jauh dari ruang lingkup kolega menjadi bukti bahwa cerpen-cerpen
yang hendak ditunjukkan kepada pembaca merupakan bentukan dari agresi. Agresi
menurut Murray bukan sebuah mekanisme pembelaan diri, tetapi sebuah kebutuhan. Selain
itu, konsep cerita yang mengambil tema sejarah ’65 ini hendak menggali
peristiwa-peristiwa traumatis yang barangkali sebagian masyarakat pun tidak
ingin peduli. Artinya bahwa ada kebutuhan lain yang kemudian saya asosiasikan
dengan istilah kebutuhan menurut Murray yaitu “counteraction”. Bahwa
peristiwa-peristiwa traumatis itu dimunculkan dengan dasar bahwa ada yang salah
dengan masa lalu, dan sepertinya kesalahan itu menciptakan ruang-ruang bagi si
penulis. Ruang yang tidak lagi gelap.
Suara Merdeka, 17 Februari 2013 pernah memuat cerpen “Penjagal
itu Telah Mati” yang ditulis pada awal tahun 2013. (Rentang tahun pada buku
kumpulan cerpen ini memuat rentang tahun penulisan 2011-2015.) Saya sebenarnya
belum membaca buku kumpulan cerpen Kang Putu sebelumnya: “Nyanyian Penggali
Kubur”, namun terlepas dari riwayat pembacaan tersebut, saya hendak menduga
bahwa kumpulan cerpen kali ini dipenuhi dengan penggunaan bahasa yang bisa
dikatakan berkobar-kobar dan tak banyak metafora, yang mana tokoh-tokoh
dimaksud untuk menyuarakan masa lalu. Masa di mana terdapat peristiwa yang
masih menjadi “hal yang masih layak dijauhi” di kalangan sebagian besar
masyarakat Indonesia.
Pada
awal paragraf, pembaca akan langsung dalam hanyutan kalimat-kalimat ketegangan
yang dingin:
“Dia mati. Kematian yang wajar. Kata orang,
lantaran sakit menahun. Namun kabar kematian itu baru saya dengar setelah
sekian lama. Kabar kematian yang diam-diam saya syukuri” (hal.6)
Kata
“mati” seolah membuat resepsi pembaca diantar ke salah satu ruang, memasuki
pintu, kemudian pintu itu menutup sendiri. Tapi ruang itu tidak gelap. Ruang
itu terang yang dipenuhi oleh percakapan-percakapan. Kata “mati” yang kemudian
diimbuhkan pada kata “syukuri” menjadikan nuansa dingin bagi keteganganan
pertama terhadap pembacaan. Tidak banyak metafora dalam cerpen ini, bahkan
mungkin tidak ada. Alih-alih, cerpen ini mengandung konflik yang bermuatan
daftar tekanan. Secara singkat, Murray mendaftar tekanan-tekanan yang dialami
oleh manusia. Tekanan yang tidak hanya bermakna negatif. Yang terjadi dalam
cerpen “Penjagal itu Telah Mati” adalah upaya untuk mengarahkan pembaca menuju
borok sejarah ’65 melalui repetisi kata “mati” dan “syukur”. Berikut potongan
pada akhir cerpen tersebut: “Dia mati. Dan saya bersyukur. Kini, saya berharap bisa lebih
tenteram momong cucu. Itulah keinginan saya, Gus. Cuma itu.” (hal.11)
Kompleks
klaustral yang didefinisikan oleh Murray berkenaan dengan sisa-sisa pengalaman
selama berada dalam kandungan individu. Analis seperti Freud dan Rank pernah
membahasnya, tapi Murray mencoba untuk menyatukan ide mereka. Pertama, kompleks
itu berkisar tentang keinginan untuk mengembalikan kondisi-kondisi serupa. Kedua,
kompleks yang berkisar tentang kecemasan karena ketidakberdayaan. Ketiga, kompleks
yang dengan penuh kecemasan ditunjukkan untuk melawan keterpenjaraan. Cerpen “Penjagal
itu Telah Mati”, mengindikasikan pendaman kompleks di antara tokoh dan
peristiwa. Dan, pokok kompleks klaustral tersebut ada di sini: “Lalu,
jika mungkin, mengembalikan rasa percaya diri mereka sebagai manusia, sama
seperti manusia lain. (hal.9)
Realisme
(menurut seorang akademisi) berusaha menggambarkan hidup dengan
sejujur-jujurnya tanpa prasangka dan tanpa usaha memperindahnya. Realisme
selalu memasukkan moral, dengan demikian sastra bagi realisme adalah sarana
untuk mengkritik dan menyampaikan pesan moral. Realisme menginginkan
representasi dari realitas (menggambarkan realitas/kenyataan dalam kehidupan
sehari-hari). Oleh sebab itu, realisme membahas kehidupan yang sedang
berlangsung dan tingkah laku manusia temporal (yang berpikir, bertindak, dan
berperilaku dalam dunia sekarang ini). George Lukacs, merupakan salah satu
kritikus sastra Hungaria yang memegang teguh teori Marxis. Lukacs
memandang estetika sastra dalam butir-butir prinsip sebagai berikut: (1) Tugas kesenian (termasuk sastra) adalah menampilkan
kenyataan sebagai totalitas. (2) Karya sastra menyajikan yang khas dan yang universal. (3) Karya sastra memiliki kekuatan membongkar
kesadaran palsu dalam pola pikir sehari-hari masyarakat. (4) Seorang sastrawan mempunyai tanggung jawab
dan karenanya harus terlibat dalam masalah yang sedang dihadapi masyarakatnya;
seorang sastrawan, kata Lukacs, hendaknya adalah seorang realis, dan seorang
realis hendaknya seorang sosialis, dan sebagai seorang sosialis, sastrawan
harus tahu dan terlibat dalam masalah sosial masyarakatnya. (5) Dalam setiap karya sastra, kepedulian sosial
menjadi ukuran standar keindahan dan satu-satunya ukuran
kebenaran.
Realisme
menjadi semacam panggung utama dalam buku kumpulan cerpen tersebut, yang
sebenarnya adalah timpalan dari pokok-pokok kompleks setelah melalui
gunung-gunung es. Pembaca mungkin saja suntuk dengan sajian tema-tema yang
melulu sama. Tapi di sinilah ada upaya penulis untuk membuat unik dalam
mengolah tema per judul cerpen. Ujian pembacaan belumlah selesai. Cerpen-cerpen
ini masih banyak mengandung hal-hal yang belum “dimengerti” masyarakat secara
umum. Dimengerti dalam tanda kutip sebab seperti yang ditulis Wijaya Herlambang
dalam risetnya bahwa masyarakat banyak yang terkecoh dengan normalisasi
(justifikasi) kekerasan melalui karya sastra yang mana telah beredar di banyak
media cetak waktu itu (orde baru). Di sini, dalam konteks ini, proceeding ekternal bisa memunculkan
polemik klasik. Murray menganggap proceeding
eksternal memiliki dua aspek, pengalaman subjektif dan aspek tingkah laku subjektif.
Kedua aspek tersebut terpantul melalui cerpen-cerpen yang kental dengan
peristiwa-peristiwa traumatis sejarah ’65. Lebih lagi, trauma tersebut tak
kunjung sembuh, meski ada celah-celah rekonsiliasi yang mulai tumbuh. Lewat fungsi
sastra, misalnya seperti yang pernah diungkapkan Sapardi.
Kemanusiaan
adalah tema besar yang merangsang penulis berjiwa besar manapun pasti hendak menggarapnya.
Kemanusiaan yang dibawakan dalam cerpen-cerpen Kang Putu bernilai empiris. Sangat
empiris. Pribadi penulis pasti turut menyumbangkan percakapan-percakapan
tersebut, sebab keduanya tidak bisa dipisahkan seperti yang diutarakan Andries
Teeuw. Mengulas kumpulan cerpen ini bakal tidak ada habisnya, sebab kekuatan situasi
yang semakin karut marut ditambah distorsi-distorsi historis yang masih
mengental. Pertanyaan tentang kemanusiaan yang ditawarkan oleh cerpen-cerpen
Kang Putu adalah semacam lampiran proceeding
dari percik renungan Murray dan Kluckhohn (1953):
“Setiap proceeding akan meninggalkan
bekas – suatu fakta baru, benih untuk sebuah ide, penilaian kembali tentang
sesuatu, persatuan yang lebih mesra dengan seseorang, sedikit perbaikan
pemahaman, pembaharuan harapan, alasan lain untuk bersedih...”
Dan
akhirnya saya mesti mengucapkan salam kepada tokoh rekaan satu ini: Selamat
malam, Moetiah...
Semarang, 2015
*Ditulis oleh seorang mantan akademisi: Ganjar
Sudibyo.
0 pembaca kata berbicara:
Posting Komentar
silakan rawat benih ini