Judul:
Heaven on Earth
Penulis: Mona Sugianto
Penerbit: Kanisius
Cetakan: I, 2015
Tebal: 224 halaman
ISBN : 978-979-21-4416-1
Penulis: Mona Sugianto
Penerbit: Kanisius
Cetakan: I, 2015
Tebal: 224 halaman
ISBN : 978-979-21-4416-1
Istilah
“refleksi” kini tentu sudah menjadi sesuatu yang familiar di masyarakat. Sejak
berabad-abad yang lampau, Socrates pernah menyatakan bahwa hidup tanpa refleksi
adalah hidup yang tidak layak dihidupi. Demikianlah refleksi menjadi sesuatu
yang penting untuk perkembangan diri seseorang dalam mejalani kehidupan.
Hannah
Arendt menggunakan istilah vita activa dan vita contemplativa untuk menganalisis kondisi kehidupan kemanusiaan
modern (dalam bukunya “The Human
Condition”). Vita contemplativa
merupakan aktivitas mental yang meliputi berpikir, berkehendak, dan
mempertimbangkan. Vita activa
meliputi kerja, karya, dan tindakan. Arendt mengungkapkan bahwa puncak manusia
bukan pada ranah pemikiran, melainkan pada kehidupan yang aktif. Berdasarkan pada
hal tersebut, kedudukan vita activa berdampingan
dengan vita contemplativa.
Tulisan-tulisan
Mona Sugianto membawa pembaca pada titik-titik refleksi. Mona menyodorkan
pelbagai pertanyaan yang cukup mengentak kepada mata pembaca dari bab ke bab. Lantaran
pertanyaan-pertanyaan reflektif ini menuai ketegangan dalam membaca adalah proses meresapi teks terhadap dunia nyata pembaca. Ketegangan yang
mengarah pada “upaya perbaikan diri” tentu muncul bilamana pembaca benar-benar
mau masuk ke dalam ruang jawab atas pertanyaan-pertanyaan reflektif tersebut.
Mona
memulai dengan suguhan pertanyaan demikian: “untuk apa kita hidup dengan semua
kenyerian hidup sebagai manusia?” (hal.23), “kapan
terakhir kali Anda pernah begitu terhimpit beban berat?” (hal.58), “apa rencana
Anda untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan beban dan
penderitaan-penderitaan?” (hal.62). Hingga kemudian, mengarah pada pokok-pokok
berikut: “jadi, apa yang paling penting dalam hidup?”
(hal.101), “apa tujuan orang ingin sukses, kaya, dan enak, kalau toh juga
menghambat kita untuk ‘selamat’?” (hal.110), “mau dan mampukah kita menjadi
pahlawan bagi diri kita sendiri?” (hal.127).
Tidak
berhenti sampai di situ. Mona menekankan kepada pembaca untuk senantiasa
menjunjung kedalaman dalam berefleksi. Sederet tanda
tanya kepada pembaca berbunyi begini: “pernahkah Anda menjadi besar dan
berkuasa, yang merasa bahwa Anda berjuang untuk bisa menang di atas saingan
Anda?” (hal.81), “bagaimana rasanya diperlakukan tidak adil, dirampas hak-hak,
dilecehkan, diperkosa?” (hal.95), “bagaimana kalau zombi jadi guru, trainer,
atau pengajar?” (hal.97), “bagaimana cara menikmati kemanusiaan kita?” (hal.98),
“bagaimana menjadi ‘terang’?” (hal.112), “anda pernah
menyesal dan kemudian dimaafkan? Bagaimana rasanya?” (hal.159).
Ajakan-ajakan
penulis terasa semakin persuasif kepada benak pembaca ketika menuju
halaman-halaman akhir buku ini. Berikut sejumlah ruang tanya yang semakin
menuju ke dalam diri: “Apakah panggilan
hidup Anda? Apa kekuatan yang menarik dan memanggil Anda? Apa yang membuat Anda
tetap kuat berjalan meskipun kesakitan, yang membuat Anda mau dan bisa bangkit
kembali setelah jatuh? Apa yang membuat Anda bisa bersukacita meskipun tidak
dikalungi bunga dan dihadiahi emas?” (hal.181), “apa yang membuat Anda yakin
untuk terus berjalan? Yakinkah Anda bahwa ada jalan di depan yang akan membawa
Anda sampai ke tempat tujuan?” (hal.200),
Tidak
sekadar menuntun pembaca pada pertanyaan-pertanyaan reflektif, penulis pun menawarkan
tips-tips semacam pemecah masalah yang biasa hadir dalam hubungan interaksi
sosial manusia dengan siapa dan apa pun. Selain ia kerap kali membubuhkan
nukilan-nukilan kata mutiara dari tokoh-tokoh ternama: Lao Tzu, Gibran,
Emerson, Gandhi, Martin Luther, Jr., Cicero, Frankl, dan sebagainya. Di satu
sisi, penulis memberi semacam analisis ringan atas permasalahan-permasalahan
aktual dari sudut pandang mitologi dipadukan dengan kelilmuan psikologi dari
tokoh-tokoh seperti Freud, Jung, Maslow, Carol D. Ryff (hal. 40). Sebuah nilai
plus karena penulis berlatarblekang pendidikan psikologi.
Pendek
kata, penulis buku mencoba merangkum seluruh tema permasalahan hidup, nurani, heroisme,
perjalanan, sejarah, tragedi manusia, bias gender, kepemimpinan, serta cinta
dengan sebuah pertanyaan profan. Pada bab akhir, alih-alih ia mengaitkan kehidupan yang diterima manusia dengan Sang
Pemberi kehidupan itu sendiri: “apa yang akan saya lakukan bila 12 jam lagi
saya akan menghadap Tuhan?” (hal.221). Berangkat dari buku dengan kemasan apik
ini, masihkah kita bertanya tentang pentingnya refleksi?
Resensi oleh Ganjar Sudibyo
Yogyakarta, 2016
0 pembaca kata berbicara:
Posting Komentar
silakan rawat benih ini