PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

1.16.2013

MEMBACA POTRET ATAS NAMA BAHASA BESERTA UPAYA-UPAYA KONVERGENSI*



Esai oleh: Ganz**

“Puisi menepuk bahu dan mencoba mengingatkan hal-hal tertentu kepada kita semua...”
[Suminto A Sayuti]

Bagi Ingmar Bergman, film adalah wujud dari bentuk ekspresi bahasanya terhadap peristiwa. Melalui film, bahasa peristiwa mengalami replikasi. Lain dari Ingmar Bergman, Afrizal Malna mendefinisikan apa yang dilakukannya dalam menulis adalah upaya biografi teks. Menurutnya, bahasa dan peristiwa adalah kesatuan tubuh yang sibuk. Tentu, dua orang ini berbeda dalam menyelami bidang mereka masing-masing, namun dalam benak, perkara bahasa menjadi sebuah kedigdayaan mereka dalam berproses kreatif. Bahasa menjadi perangkat yang tidak bisa dipisahkan dengan wilayah-wilayah peradaban, baik itu yang sudah disentuh manusia maupun belum. Menyimak puisi-puisi Amirudin dan Ghany, lagi-lagi saya menemukan bentuk-bentuk kebahasaan yang coba direka-ulang oleh mereka. Peradaban (dalam hal ini: lingkungan) mengantarkan jalan kreativitas mereka masing-masing. Kreativitas menjadi sebuah perangkat yang kemudian muncul untuk mengemudikan kendaraan yang dinamakan bahasa. Saya menyimak adanya kelumit-kelumit melalui tema-tema yang sedang mereka upayakan. Kreativitas bergerak di sini.  Goenawan Mohamad menyatakan bahwa kreativitas memang diawali rasa gelisah mencari, kegalauan ingin menemukan, juga niat merombak. Amirudin secara tidak langsung ingin mengatakan ini lewat penggalan puisinya yang berjudul “Ku Renggut Kesucianmu sebagai Karya”, berikut ini penggalan puisinya: “..Sehingga dengan gaya bebas aku sanggup menodai kata-kata...” Amir (selanjutnya saya menyebut) seakan ingin berangkat dari persoalan-persoalan di luar dirinya untuk ditunjukkan kepada pembaca bahwa ada bagian dari kehidupan yang sedang menyalak-nyalak. Amir seperti tampak bergerak dari peradaban ke peradaban. Berikut ini adalah sebuah sajak yang mencoba menyatakan kenampakan itu:

Sebuah Jejak

Kawan, warna putih itu kini mulai merayap di lembaran rambutmu
Wajahmu semakin beda karena terkelupas oleh kisah yang tak sempat kau abaikan
Kulitmu terpangkas ditumpukan gelas yang jarang dibilas disaat pertemuan malam yang dulu kita akrabkan bersama
Sayup matamu mulai tergelincir, bahkan napasmu pun lelah menahan ribuan belah langkah penuh sepah
Seperti halnya daun yang mulai terkelupas warnanya dan ranting-ranting perlahan mentalak dan mengenalkannya dengan nikmat aroma tanah yang basah
Inilah yang membuatku semakin takut mengartikan jejak yang rebah
Aku hanya bisa memberikanmu secangkir doa dan mendengarkan uraian beban yang kau sangga
Sebagai gambaran bahwa kau masih akan tetap hidup dimasa kau harus berpindah.

Jepara, 24 Desember 2012

Pada puisi yang berjudul “Sebuah Jejak” tersebut, Amir berusaha untuk mendeskripsikan orang di luar dirinya. Terlepas dari stilistika yang masih dapat dipertanyakan, puisi ini dapat dikatakan mempunyai indikasi metafora-metafora yang masih terkesan janggal. “lembaran rambutmu”, “terkelupas oleh kisah”, “sayap matamu”, “ribuan belah langkah”, “aroma tanah”, “jejak yang rebah”, “secangkir doa”. Kejanggalan ini, dalam bahasa lain, saya menyebutnya sebuah upaya puitik yang belum tuntas. Amir masih mengalami keterjebakan dalam hal diksi. Artinya bahwa Amir memerlukan upaya lain untuk lepas dari keterjebakan jalinan bahasa-bahasa tersebut. Upaya-upaya tersebut mesti digali dan diakrabi. Hal ini penting, menyangkut Amir masih mempunyai masa yang panjang dalam melakukan proses kreatif.
Di puisi lain yang berjudul “Perapian yang Tak Henti Menyala”, saya menemukan pertautan bahasa yang real dan ideal. Pada bagian akhir tertulis demikian:
.....
Di antara Laut Tengah dan Sungai Yordan itulah
Seragam Zionisme semakin kekar
Peniadaan tumpahan darah dikhianati
Kemanusiaan terlecehkan,
Parang dan pedang ditinggalkan
Darah, peti mati dan kehancuran itulah yang tersisakan
Kawan,
Ini perapian abadi,
Ini bukan perang, ini pembunuhan massal!

Pada nukilan puisi itu, Amir tampak ingin mengikat suatu perdebatan antara “perapian abadi” dengan “pembunuhan massal”. Kedua keadaan ini tentu berbeda, tapi Amir seperti ingin memaksakan bahwa diri realnya berbicara tentang “perapian abadi” tetapi tidak diri idealnya.  Bilamana saya kaitkan dengan kelimuan “Depth Psychology”, kedua jenis diri ini seringkali berkecamuk hingga pribadi (diri) menjadi benar-benar merasa nyaman. Diri Amir di sini terlihat belum nyaman ketika menyebut “perapian abadi”, maka muncul upayanya untuk membuat yang kemudian saya sebut sebagai bahasa idealnya. Secara akal sehat, lagi-lagi dua baris ini terkesan janggal. Pertama, pertaruhan antara judul dengan bahasa idealnya (“pembunuhan massal”). Bisa jadi Amir kurang telaten dalam memilah-pasangkan. Apakah “perapian abadi” ini sama dengan “pembunuhan massal” dan “pembunuhan massal” ini merupakan asosiasi dari “Perapian yang Tak Henti Menyala”?  Tentu akan menjadi rumit dan secara psikologis, pembaca akan segera mengalihkan perhatiannya ke hal lain. Kedua, Amir barangkali kurang berfokus pada bahasa yang ingin diolah oleh dirinya. Sudah menjadi kejelasan ketika Amir meletakkan frase “perapian abadi”, namun frase “pembunuhan massal” seakan mematikan frase yang sedang diolahnya sejak awal penulisan puisi ini. Nah, antara idealisme dan realisme di sini menjadi sangat kentara. Amir mesti berbalik dan berusaha menelateni bahasa dalam puisi ini.
Terkadang (atau barangkali sering) saya merasa terpaksa untuk mengatakan bahwa puisi adalah ruang di mana segalanya yang diletakkan adalah tanda. Alih-alih sebermulanya tanda, saya merasa tidak nyaman ketika Amir menuliskan puisi yang berjudul “Pada Sebuah Jala”: “Lihat,,”/”Lihatlah,,,”, pemberian tanda pungtuasi, yaitu koma, mesti saya katakan berlebihan. Saya kembali melihat ada upaya pemindahan antara bahasa lisan ke tulisan. Antara pelafalan penulis dengan pelafalan pembaca. Bilamana berkaitan dengan pakem kebahasaan, pemberian tanda seperti adalah tidak tepat. Namun, saya ingin mengatakan bahwa ada perubahan yang harus ditekuni Amir sebagai penyair muda. Perubahan itu adalah kebusungan dada untuk memahami semiotika yang sudah diwariskan. Terlalu cepat bagi dirinya untuk memberikan jangkauan yang baru. Di sisi lain pula, fenomena ini perlu untuk dihindari dan dipertimbangkan lebih lanjut.
Lain halnya dengan puisi yang berjudul “Sajak Cermin”,

Sajak Cermin

Sampai kapanpun aku takkan segan
Kau tetaplah bukan padanan
Karena aku hanya pantulkan bayangan
Aku sekeping kaca yang menyadur dan meletakkan tubuhmu itu
Sementara kau,
Kau tetaplah dirimu dengan langkah yang kau abaikan
Tapi pernahkah kau diam, mendengarkan batin yang penuh celaanku
Ketahuilah, itulah suaraku
Dan aku akan menjerit haru jika tak lengah dengan kebisuanmu
Kenapa sekedar cakap saja yang kau nyalakan?
Mana kau mengerti kehendakku!
Apalagi memahami tabiatmu sendiri!

Jepara, 06 Agustus 2012

Bila berbicara tentang psikomimesis, maka puisi di atas dapat dikaitkan degan kritik arketipe. Puisi yang disebut sebagai sajak tersebut memberikan ruang yang luas pada peletakkan diri-penyairnya. Semacam katarsisme yang dikemas rapat-rapat. Tidak ada yang salah dengan upaya ini. Amir mencoba untuk meng-konvergensikan eksistensi bahasa diri realnya dengan diri idealnya. Kenyataan ini bisa mengarah pada percobaan-percobaan untuk menggurui dirinya sendiri. Fenomena gunung es seperti yang pernah dikemukakan oleh seorang psikoanalis menjadi barang yang biasa muncul ketika berhadapan dengan ketidaksadaran. Sajak yang sedang diupayakan oleh Amir ini barangkali dapat menjadi perhatian dalam proses kreatifnya. Dengan kata lain, Amir perlu menseriusi tahapan-tahapan dalam usaha pemaknaan dirinya sendiri. Saya rasa ini lebih relevan dengan keadaan dirinya menghadapi peraman konflik-konflik antara bahasa ideal dengan bahasa realnya.
Secara umum, Amir memiliki gagasan-gagasan dengan jangkauan-jangkauan yang masih realtif dekat di dalam dirinya, kecuali puisi yang berjudul “Bulan Al Barjanji” dan “Perapian yang Tak Henti Menyala”. Bilamana Amir ini ingin menjadi seorang eksistensialis dalam hal kepenulisan, maka dirinya harus belajar mengenai aku-lirik[i]. Bilamana Amir ingin menjadi seorang fenomenolog, maka perlulah sesering mungkin untuk menulis di luar kamar atau kosnya. Bilamana Amir tidak berpihak pada keduanya atau dapat dikatakan belum ada istilah yang dapat mewakili bahasa idealnya, maka menulis dan membacalah saja dengan lebih disiplin dan telaten. Ya, semoga keadaan sekarang ini “Sebatas Sementara”. Tiba-tiba saya jadi optimis.       
Upaya-upaya konvergensi adalah suatu bentuk kemutlakan dalam kerja penulisan puisi. Teori mimesis mengarahkan pada keterpaduan antara subjektivitas yang mengalami dengan pengalaman subjek. Puisi-puisi Ghany bagi sebagian orang, barangkali adalah pengacauan bahasa tulisan. Terlepas dari anggapan seperti itu, saya merasakan bahwa ada yang sedang kejang-kejang ketika dituliskan di sana. “Tatanan simbolik, tatanan simbolik”, kata Jacques Lacan. Sebagian besar puisi Ghany memang bertendensi memiliki muatan nyleneh. Saya mencoba mencerna puisi ini:
       Intermezzo

kaya dispenser dalem kamar ini,
emosiku mendidih per limabelas menit
kamu sih, nyalanya nyolok mata tau,
guling aja ngumpet dalem selimut
emangnya ga ada kerjaan lain apa,
lowongan kan banyak dimana-mana,
kataku, ngobrol sama lampu tornado.

aku kan ga pinter kaya buku-buku,
pengalaman kalah juga kalo sama radio
bisaku ya ini,
ngebantu nerangin kalo terang udah capek,
kata lampu tornado, jawab ocehanku

2012
Kebudayaan yang bersitumbuh telah memproduksi berbagai macam bentuk media penuturan. Sapardi Djoko Damono memaparkannya dalam potongan sebuah esai begini: “...Tulisan telah memungkinkan kita masuk semakin jauh ke dalam diri kita sendiri, suatu hal boleh dikatakan mustahil dilakukan ketika kita masih berada dalam tradisi lisan. Dalam hal ini, benda budaya ciptaan manusia yang utama untuk melakukan renungan adalah karya sastra, yang tentu saja tertulis atau tercetak sebab sastra berarti aksara. Saya berpandangan, dalam perkembangan teknologi secanggih apapun, aksara akan tetap bertahan. Perkembangan teknologi mutakhir seperti komputer semakin menegaskan bahwa kita ternyata tidak akan pernah kembali ke tradisi lisan seperti ketika sebelum kita dahulu mengenal aksara...”
Bentuk penuturan yang dicobakan oleh Ghany menjadi semacam peremajaan media kata. Penggunaan cara seperti ini bilaman digunakan melulu dalam berpuisi tentu menjadi sangat riskan. Bahasa lisan kemudian cenderung dilisankan juga dalam tulisan. Selanjutnya, kemudian akan muncul pertanyaan apakah ini tanda ketidakberdayaan penulis dalam membahasakan atau ketidakberdayaan bahasa dalam menampung perisitiwa secara utuh? Saya kemudian berhenti menulis, lalu meminum segelas air putih—“Jacques Lacan, Jacques Lacan, aduhai telanjang puisi ini.” 
Mengenal sajak-sajak Ghany, saya menjadi berbinar-binar menyaksikan sajak tentang pendidikan yang dikemas menggunakan format seperti ini:
Bangku, Kuliah, Hari ini

selamat datang, bangku ini sudah kami sediakan,
saling tawar-menawar mana yang akan diduduki,

calon-calon mahasiswa kami banyak lahir dari yahoo dan google search,
mengisi kertas-kertas yang bisa absen kuliah, ijin pipis ke kantin mandi,
lalu masuk pada monolog dari dosen

selamat datang, hari ini,
bukankah kita yang penting sarjana

2012

Saya merasakan ada gagasan yang segar dari keseluruhan puisi Ghany. Betapa demikian, setelah saya pahami kemudian, ada kata-kata yang membuat saya gatal. Pada paragraf kedua, terutama. Ghany seperti belum bisa mengenal konteks atau barangkali menulis terlampau dikejar waktu. Hal ini menjadikan adanya kesalahan dalam pemasangan diksi. Kata “calon-calon mahasiswa”, akan lebih tepat bilamana diganti dengan “calon-calon sarjana”. Secara intertekstual saya menemukan adanya keasyikan Ghany mengobrol dan berceloteh tanpa memperhatikan bahwa konvergensi yang dibawakannya itu sangat sempit untuk menjadi sebuah keberlanjutan. Artinya, Ghany belum sedemikian menyadari bahwa pola-pola puisi ini (demikian juga dengan sajak-sajaknya yang lain) sebenarnya bisa dibawakan tanpa dengan cara yang ekstrem.
Satu lagi puisi Ghany yang menarik perhatian saya,
Video Games

video games, aku pamit dulu, pikirku
anak-anak sudah sukses saat ini.

kau tau, cukup tombol start menekan mereka,
dari supehero, pembalap, sampai manager
jadi petualangan dunia baru
tak ada buku yang bercerita,
tak ada pula pena yang menulis

video games, aku pamit dulu,
anak-anak sudah dewasa dalam 2 hari

2012
Puisi yang bersifat kritik sosial tersebut terasa sangat dekat dengan lingkungan yang saya lewati. Aku-lirik memiliki kekuatan posisi yang cukup baik melalui percobaan permainan repetisi. Pendekatan yang dilakukan oleh Ghany rupanya ingin lepas dari puisi-puisi lirisme yang kini banyak bermukim di sebagian besar penyair. Pendekatan seperti ini pula yang membuat saya memiliki kegairahan dalam membaca puisi Ghany. Nah, di sinilah Ghany mesti membangun proses kepenulisan dalam dirinya, tidak perlu terlalu bersusah payah untuk mencari atau memakai pola-pola lain. Demikian, Ghany memang belajar menunaikan peradaban dirinya.  
Secara umum, maka dapat dinyatakan bahwa sajak-sajak Ghany ini masih mempunyai relativitas yang labil. Ghany perlu kembali merenungi bahasa perpuisiannya dan melihat bagaimana para pembaca hari ini.  Puisi-puisi berjudul “Pria Masa Kini”, “Sepertimu”, “Bobo Sendiri”, “Intermezzo”, merupakan puisi-puisi yang perlu disaring dan ditata-ulang kembali tanpa adanya pencekalan makna dalam puisi-puisi tersebut.
Sekali lagi, pengacungan Ghany terhadap ideologi kelisanan bahasa, butuh untuk ditinjau ulang. Alhasil, Ghany yang konon memiliki pergaulan secara sembunyi-sembunyi ini akan segera mengerti tentang bagaimana mempercayai bahwa bahasa tidak akan bisa bersembunyi dan jauh-jauh dari peradaban. Upaya-upaya Ghany merupakan kerja kepenulisan yang memang patut mendapatkan ruang selebar-lebarnya, tetapi belum bisa diterima di arena perpuisian dengan pakem bahasa mainstream saat ini. Alangkah lebih mujur, jikalau Ghany mengeksplorasi kaitan bahasa-bahasa kebudayaan yang terlampau dilupakan.  
Akhirnya, bagi saya, Amir dan Ghany adalah dua orang yang sedang mengendarai motor lantas menghidupkan cahaya lain di tengah riuh asesoris lampu lalu lintas. Tapi, eit, mereka belum menggunakan helm SNI !

Semarang, 2013 


*Tulisan ini dirancang untuk bahan pembahasan event PETIK PUITIKA edisi jalan-jalan ke kampus IKIP PGRI Semarang.
**Seorang yang masih mahasiswa, pernah berprofesi sebagai asisten dosen di sebuah mata kuliah Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, dan seorang loyalis komunitas sastra LACIKATA. Tulisan-tulisannya (selain lolos maupun tersingkir dalam perlombaan menulis) pernah disiarkan di beberapa media cetak seperti Suara Merdeka, Bali Bicara, Sriwijaya Pos, Pontianak Pos, Sagang, Jurnal Sajak, Bali Post. Karya-karyanya (entah tulisan, gambar ilustrasi, musikalisasi, foto) sebagian tertampung di ruang pameran: ganzpecandukata.blogspot.com, sebagian lainnya sedang dalam proses pembukuan, sebagian lagi sedang dalam proses percintaan.


[i] Istilah seperti ini dapat ditemukan di esai-esai Afrizal Malna ketika mengulas perpuisian.