PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

10.18.2012

PERTEMUAN KETIDAKSADARAN KOLEKTIF DALAM DIALEKTIKA KOMUNIKASI MASSA



PERTEMUAN KETIDAKSADARAN KOLEKTIF DALAM DIALEKTIKA
KOMUNIKASI MASSA

Sebuah esai bebas oleh: A.Ganjar Sudibyo

“We are rapidly fabricating a total psychological environment for ourselves”
(Frederick William)

Produk komunikasi massa menuju cultural design
Ashadi Siregar dalam artikelnya yang berjudul “Popularisasi Gaya Hidup” memaparkan bahwa setiap kelompok dalam stratum sosial tertentu akan memiliki gaya hidup yang khas. Dapat dikatakan bahwa gaya hidup inilah yang menjadi simbol prestise dalam sistem stratifikasi sosial. Inilah yang kemudian bergerak-tumbuh menjadi simbol identitas. Sekiranya, pun kebudayaan datang tiba-tiba dan kemudian menjadi kunci sebuah pintu atau sebuah kacamata tiga dimensi. Kuntowijoyo dalam bukunya “Budaya dan Masyarakat” mencatat adanya integrasi yang penting antara latar belakang kebudayaan dan kedudukan masyarakat. Alih-alih, terdapat kaitan yang signifikan dengan empat tanda pokok yang menunjukkan kekayaan sistem komunikasi massa interpersonal. Elizabeth-Noelle Neuman melalui Jalaluddin Rahmat, menyebutkan antara lain: bersifat tidak langsung, artinya harus melewati media teknis; bersifat satu arah, artinya tidak ada interaksi antara peserta-peserta komunikasi (para komunikan); bersifat terbuka, artinya ditujukan pada publik yang tidak terbatas dan anonim; mempunyai publik yang secara geografis tersebar. Relasi antara gaya hidup, kebudayaan, kedudukan masyarakat, dan sistem komunikasi massa telah menyusun penampakan secara harafiah, bahwa beredarnya kapitalisme yang diam-diam berkepanjangan adalah produk. Produk yang tidak bisa dinyana. Produk yang menjadi cultural design, seperti yang pernah diungkapkan oleh B.F. Skinner. Skema seperti inilah yang sebenarnya sedang berlangsung dalam masyarakat, terutama terjadi pada masyarakat urban.

Kebudayaan massa, masyarakat massa
Oleh karena gaya peradaban, orang-orang mengkonsumsi ini-itu. Orang-orang mulai cemas dan kunjung tak percaya diri bilamana tidak menggunakan barang X ketika tampil di depan publik. Orang-orang mudah merasa janggal bilamana tidak sama seperti orang yang lain, bilamana kulit tidak putih, bilamana tidak menjadi penggemar boyband korea, bilamana bla bla bla. Khalayak semakin kini seolah semakin dibawa menuju keterasingan, seperti kata Erich Fromm. Di satu sisi, fenomena-fenomena ini mencerminkan kondisi ruang-ruang yang disebut oleh Umar Kayam sebagai “melodrama-melodrama yang sentimentil”. Ruang-ruang yang dihidupkan kembali. Ruang-ruang yang mana menjadi imbas dari pengaruh subkultur kebudayaan massa. Massa yang menjadi konsumen kebudayaan dilukiskan sebagai badan-badan rakyat yang terikat dan tersatukan dalam suatu masyarakat baru yang dikembangkan melalui beraneka ragam proses orientasi “menerima dan memberi” nilai-nilai lama dan baru dalam melihat organisasi ekonomi, pembagian kerja, organisasi tempat pemukiman, serta dalam melihat pemanfaatan berbagai sumber. Proses seperti itu digambarkan menghasilkan suatu solidaritas baru yang membuat ‘masyarakat massa’ menjadi suatu kesatuan sosial yang unik dan baru.
Demikianlah Edward Shils menggambarkan masyarakat massa sebagai suatu masyarakat industri, yang juga merupakan ‘masyarakat orde baru’ yang kendati segala konflik-konflik internnya, mengungkapkan bahwa pada individu terdapat kesadaran yang lebih besar akan ikatan pada masyarakat sebagai suatu keseluruhan dan akan adanya suatu afinitas dengan sesamanya. Ia kemudian menggambarkan masyarakat telah dapat membuat bagian terbesar penduduk lebih erat hubungan keluarganya dengan pusat daripada yang pernah terjadi, baik dalam msayarakat pramodern maupun masyarakat modern dalam tahap-tahap permulaannya. Dengan persepsi semacam ini, masyarakat (massa) lalu dibayangkan memiliki kebudayaan yang mengikat berdasarkan suatu persetujuan, seperti halnya zaman dahulu. Akan tetapi pada waktu yang bersamaan, juga tunduk pada idiom komersialisme yang telah menjadi dinamisme lingkungan baru. Sedangkan kebudayaan telah diklasifikasi dalam kebudayaan intelektual, menengah, dan biasa (van Wyck Brooks) atau dalam kebudayaan yang halus, sedang, dan kasar (Edward Shils). Hannah Arendt lebih berterus terang mengatakan, “masyarakat massa....bukannya menginginkan kebudayaan, melainkan hiburan, dan yang disajikan industri hiburan memang dikonsumsi masyarakat seperti halnya dengan barang-barang konsumsi lain yang mana pun.” Dengan singkat, kebudayaan massa---menurut konsep-konsep ilmuwan barat ini, memiliki sifat-sifat sebagai berikut: komersial, menghibur, populer, modern, merupakan paket, mempunyai audiens luas, dan dapat diperoleh secara ‘demokratis’.    
Pada hakekatnya, ruang-ruang yang sebagaimana telah diuraikan itulah yang patut memperoleh perhatian lebih dari sekedar wacana publik untuk melakukan pemampatan budaya secara ambisius melalui dalil hukum.  

Les eternels increes
Jung mendefinisikan ketidaksadaran kolektif sebagai suatu warisan kejiwaan yang besar daripada perkembangan kemanusiaan, yang terlahir kembali dalam struktur tiap-tiap individu, dan membandingkannya dengan apa yang disebut oleh Levy Bruhl tanggapan mistik kolektif orang-orang primitif. Ketidaksadaran kolektif ini mengandung emosi-emosi dan afek-afek serta dorongan-dorongan primitif yang mana berasal dari keterpengaruhan persona, self, anima-animus, shadow, dan kepribadian mana. Manifestasi ketidaksadaran kolektif yang muncul itu dapat berbentuk simtom dan kompleks, mimpi, dan arketipe. Arketipe inilah yang di antara bentuk-bentuk itu bermuara dalam setiap budaya di masa lalu, sekarang, dan akan datang. Bergson menyebutkan adanya hubungan antara ketidaksadaran kolektif dengan personal yang memiliki kerangka bernama les eternels increes. Keilmuan psikologi, terutama dalam bidang depth psychology menawarkan bahwasanya di balik kebudayaan itu terdapat lingkaran-lingkaran ‘ego’, yang dengan demikian mendorong perilaku-perilaku manusia terutama perihal gambaran orientasi interaksi.  Adanya ketidaksadaran kolektif telah secara mendasar memberikan kontribusi kepada kelahiran ketidaksadaran personal. Di sinilah pergerakan itu bergeser di balik arus lingkungan sekitarnya. Orang-orang telah ‘dirasuki’ idealisme-idealisme di luar dirinya yang kemudian membentuk tataran superego. Persona, self, anima-animus, shadow, dan kepribadian mana, seperti apa yang telah diuraikan oleh Jung, adalah berada di lingkaran itu. Tak pelak, pergerakan di luar diri manusialah yang diam-diam mengasuh manusia. Tanpa adanya kontrol diri dan pengenalan diri, maka manusia akan semakin jauh dari dirinya. Sekali lagi, ketidaksadaran personal akan semakin jauh dari diri-eksistensial manusia. Pelemahan untuk menjadi pribadi yang utuh, autentik, dan orisinal telah berangsur lebih-lebih ketika manusia telah dihadapkan pada ketergantungan terhadap apa yang ada di luar dirinya saja. Maka kembali pada filosofi Bergson bahwa ketidaksadaran kolektif adalah cerminan peradaban manusia.

Antara discourse dan kekuatan media komunikasi massa
Media massa tentu, tidak bisa dinyana adalah raksasa penggerak kepentingan. Ketika dunia pertelevisian telah dimasuki oleh dunia komersial, maka propaganda budaya elektronik berlanjut pada trendsetter gaya hidup. Semua budaya yang diciptakan orang-orang pertelevisian mengalir seperti air bah yang sulit dibendung seiring dengan makin meluasnya tayangan televisi.   
Televisi telah menjadi media massa paling populer selain dunia jaringan sosial, menurut sebuah lembaga riset. Tak terlalu buruk menjadikan media televisi sebagai trendsetter karena melalui media layar kaca inilah masyarakat menjadi tahu dan terus mengikuti perkembangan bidang-bidang kehidupan yang sedang membudaya di kota atau daerah tertentu. Masyarakat tidak akan ketinggalan informasi maupun budaya massa yang terus menerus mengalami perubahan, baik secara perlahan maupun instan.
Acara-acara yang ditayangkan lewat dunia pertelevisian yang ada mudah dicerna dan tidak sulit untuk ditiru. Keberagaman informasi baik berita maupun acara hiburan menjadi makanan pokok yang membuat sebagian masyarakat menjadikan berbagai acara tersebut sebagai alat panduan untuk bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Penayangan acara-acara yang sebagian besar mudah dicerna oleh masyarakat ini yang sebenarnya menarik tujuan seperti yang dikemukakan Frederick Williams. Pertama, melakukan perubahan terhadap sikap dan perilaku manusia. Kedua, memberikan hiburan. Dunia pertelevisian menggunakan secara tidak langsung metode penayangan berulang-ulang dengan porsi kemasan acara yang bersifat dialogis. Kepentingan telah diam-diam berjalan tanpa disadari oleh banyak khalayak. Pertelevisian menjadi kekuatan yang lihai membeberkan informasi dengan kemasan-kemasan hingga apa yang diproduksi itu menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Discourse antara pertelevisian dengan masyarakat memang sengaja dibentuk supaya menjadi ikatan dan lambat laut menjadi trendsetter gaya hidup masyarakat.

Pertemuan dialektika kita
Pada satu sisi, penggunaan media tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan media belaka, sebab faktor kecenderungan dari khalayak masyarakat tidak kalah pentingnya. Dorongan untuk menggunakan atau tidak menggunakan media dapat didekati dengan dua cara sehingga terdapat empat kemungkinan perilaku khalayak menghadapi media. Kuntowijoyo mengelompokkan dalam dua kemungkinan: pertama, dorongan untuk mendapatkan kepuasan atau gratifikasi atas media, karenanya mencari media untuk dikonsumsi, atau pada ekstrimitas lain yaitu menghindari penggunaan media.
Apa yang telah diutarakan ini merupakan kecenderungan yang tidak semata-mata adanya dorongan psikologis. Perlu diperhatikan bahwa khalayak masyarakat bukanlah kumpulan individu yang terisolasi dan anonim. Setiap individu merupakan anggota kelompok sosial dan partisipan dalam lingkungan budaya. Dalam perkembangannya, berbagai media komunikasi massa dengan perangkat teknologi elektronik menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Muatan dari berbagai media ini semakin jauh dari unsur lokalitas dan komunitas dari konsumen (Liebes dan Katz, 1993). Media komunikasi massa telah menyumbangkan efek afektif, kognitif, sosial, dan behavioral. Sedangkan ketidaksadaran kolektif berada di dalamnya. Jalinan yang terjadi antara manusia dengan media komunikasi akan terus berlanjut dan sesungguhnya ini merupakan hajatan publik: nilai hidup berangkat dari ‘keringat’ dan gagasan-gagasan yang transformatif untuk menuju culture design yang sesuai. Pertemuan-pertemuan yang intens antara manusia dengan peristiwa, manusia dengan media komunikasi tetap saja akan menemui ekuilibrasi pada titik-titik tertentu, sebab manusia dan peristiwa senantiasa memunculkan dialog demi dialog. Demikian, barangkali ini adalah kemungkinan-kemungkinan tentang pelajaran bagi manusia menuju pintu kepandaian akal dan budi. Atau, jangan-jangan, kita sedang dididik?

2012




Daftar Bacaan
Kuntowijoyo. 2000. Budaya dan Masyarakat. Flores: Nusa Indah.
Agee, Waren K., Philip H.Ault, and Edwin Emery. 1991. Introduction to Mass Communications. New York Harpers Collins Publisher Inc.
Mcquail, D. 1987. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Terj. Agus Dharma dan Aminuddin Ram. Jakarta: Erlangga.
Effendy, Onong U. 1993. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Nimmo, D. 1989. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Terj.Tjun Sujarman. Bandung: Remaja Karya.
Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Suryabrata, Sumadi. 2005. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Kuntowijoyo, dkk. 1997. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
Kuswandi, Wawan. 2008. Komunikasi Massa: Analisis Interaktif Budaya Massa. Jakarta: PT Rineka Cipta.

SAGANG DAN 9 PUISI


Majalah budaya edisi September 2012 ini membuat 9 puisi saya. Antara lain:


AKU BUNYI, KAU SUNYI
DARI PONSELMU, DERING INI BERLEPASAN MELEMPAR BAU BUSUK
MENUJU NOMOR TELPON KEMATIAN
TUHAN, KENAPA KITA BISA
BAHAGIA?*
DI TELAPAK TANGAN - OKTOBER, HUJAN YANG AKAN DATANG
KESAKSIAN TENTANG ABABIL
DI BAWAH POHON MAGNOLIA
HUJAN, PONSELMU BERDERING
EPITAF KEHILANGAN, ODE BAGI YANG MATI