PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

8.31.2010

PUISI-PUISI SAYA DI HARIAN SEMARANG, SABTU 28 AGUSTUS 2010



KEPADA INDONESIA, TERSEBAB INDONESIA

bisa dibaca di alamat;
http://ganzpecandukata.blogspot.com/2010/08/kepada-indonesia-tersebab-indonesia.html


BILA LAUT TIADA

bisa dibaca di alamat;
http://ganzpecandukata.blogspot.com/2010/06/bila-laut-tiada.html



8.27.2010

M.A.R.

tertanda kekasih


“konon, gelombang yang terkirim jauh
di ponsel rindumu adalah ucapan melebihi
kata-kata sebentuk hati merah kental dalam dadaku”

---mi,

ke arah suaramulah kutelungkupkan jarak
yang sebenarnya ingin kupunahkan dengan
matapisauku. namun jarak bukanlah kelangkaan.
ia seringkali muncul seperti pesan-pesan singkat
tentang hujan atau terik;

: mengingat hujan, terkadang
aku ingin bunuh diri di pikiranmu
menggentayangi jarak yang beriak
berdampingan dengan bunyi gertak langit

: mengingat terik, terkadang
aku ingin abadi di perasaanmu
memakaikan tubuhku dengan warna-surga
yang berdiam menebalkan pelangi doa
supaya jarak bersegera luntur
sebelum pagi


ke atas nama berpeta hatimu, mi
aku ingin bersulang-peluk
tanpa memusuhi jarak.



Semarang, 2010

8.23.2010

PEREMPUAN BERSKETSA PEMBAWA PAYUNG





angin telah membawa ibuperempuanku,
memanggil-manggil dari kejauhan
suara yang takkan pernah
sembunyi dari tulang rusuk adam




aku melihatmu sedang menanggalkan masa lalumu, pergi bersama payung
menuju ke tanah-hujan dari hulu matamu paling sunyi oleh angin dan air.
aku berkata di tanah pelupaanmu,
“suatu ketika payung itu hanya ilusi.”



2010
Ilustrasi: art quotes and painting

BALON-BALON YANG BERLEPASAN DARI TUBUH PEREMPUANMU





sewaktu pagi tubuhku serasa dikunyah akar-akar rerumputan

lalu terdengar sesak balon-balon yang semalam kautiupkan
dekat dadaku





aku yang diam-diam meminjam tubuhmu begitu lelah bagaimana meredam
suara-suara kematianmu. ah...mungkin kau tak ingat berapa pagi kau meronta-ronta
: “oh balon-balon yang malang, meletuslah ke atas sana sampai bangkit kelahiranku!

perempuanku telah melayang-layang
menuju peristirahatan hawa.”



2010
Ilustrasi: “run free” by larafairie

8.22.2010

JULI


bunga jambu di teras rumahku masih terlalu muda

untuk mekar dalam tubuhmu
yang kekar


2010

HISTERIA MAAF DI AGUSTUS-SEPTEMBER


sajadahlah yang mengirim doa-doa kami

menjadi api, membakar dosa-dosa penyebab
kami melupa dan dilupakan bencana!

luka membawa pergi duka, sekian lama
kebahagiaan kami berpuasa membilang
di kegenapan tiga puluh hari dengan segenap
indera kami menangkap adzanMu
menyemadikan kidung barzanji
dari ayat-ayat jemariMu

kakek kami yang sudah tiga puluh tahun
menuntaskan ramadhan
memberi tanda supaya pada waktunya
kami bersuara sopan dan tulus
ma-
-af...


Semarang, 2010

8.20.2010

DUA BAIT BAGI BAIT DI ATAS GUNUNG TEPEYAC

tertanda Bunda Guadalupe


*
kami persembahkan bebunga di kalung doa kami yang kami pujakan
kepada salam namamu, Bunda. dengan segenap pengasihan dan
pengampunan ke atas dua belas bintang di mahkotamulah, kami menerima
harapan sebagai sebuah jawaban atas pertanyaan di setiap kami menjalani
ziarah menuju gua-gua dan tempat-tempat suci. sebab, ketiadaan kami
yang akan datang telah menjadi kekhawatiran dan kegetiran kami di
bulatan-bulatan kecil bertanda salib itu. sejatinya kami lelah
mengampuni airmata kami sendiri; tapi di bait yang kami dirikan
bersama penghiburanmu, dosa kami selamanya akan menjadi mayat
di antara hari-hari kebangkitan. dan, kami akan menerima kegembiraan
dari Gabriel tentang litani kerendahan-hatimu yang temazmurkan!

**
seperti jubah yang dikenakan juan diego, seperti lukisan dirimu
yang tersematkan di setiap sudut katedral, gereja, kapel maupun sebalik
kertas novena. bersalam-salam kami sampaikan, berpesan-pesan
kami bacakan sewaktu kami membersihkan sisa tetes lilin. membeku
di palung-palung tempat kami melahirkan nama-nama permandian kami.
pada bait keperkasaan yang kami temui di sepanjang perjalananmu menuju
elisabetlah, kami belajar menganyam kalvari-kalvari perkasa di doa kami
sebelum kami meninggalkan tali dan kasut kami. maka, damailah kami seperti
burung-burung pipit bercericit hinggap bersarang seperti setiap helai
rambut kami yang tumbuh lalu jatuh menandakan kitab zaman kami
bahwasanya Tuhan tetap ada di bait-bait kami di atas gunung tepeyac
tempat kami berulang-ulang mengenangmu juga buah tubuhmu dengan
matarindu. O, Pia...O, Maria!


Kerep, 2010

8.19.2010

ESPANOLA EST.1945, LC-310RD

tertanda spur – winter version`05


jari-jari semacam mantra
kunci-kunci berkejaran
menyelesaikan syair-syair diam
di kepalamu di fret kesekian

triangel mengetuk-denting
menari-nari ke atas lima senar
menerjemahkan musik yang buta
dengan segenap bunyian maha nada
dan rerintihan gaung lubang
menyerupa bisu mulutmu

tampillah! lekuk-lekuk birama
membawakan lelagu penghiburan
untuk mengaca dan berkaca
bagi mereka yang bermataair

suara,
ke mana engkau bersibak selain
di dadamu?

karat tak kan menyudahi
bagian rima paling duka
sebab di kesedihan yang lalu
adalah pertunjukkan aransemen sembab
tentang betapa bahagia kita
sebagai empunya sorga
dan tiupan sangkakala
pada seteguk mimpi yang tumpah
:
sebentuk gitar klasik
di tangan pengamen kecil
menghentak
membacamu, merangkummu
menyimpanmu dalam sakunya


“o, nyanyian tuak
perdengarkan mereka
atas gemuruh not;
balok-balok doa
yang berjatuhan
dari tangga nadaMu!”


Semarang, 2010

PENCITRAAN MATA TENTANG PSIKOLOGI KLINIS SUATU SIANG DI RUANG 101


tertanda nur ahmad



pencitraan mata, satu
:
di kelas, semula kita hanya menuju pepatah
yang pernah menasihati loncatan-loncatan tanya
dari tumpukkan tulisan kacau mengenai intervensi;
primum non nocere*

adakah kita menjadi pengrajin tinta yang menuliskan
tak ada kata reviu pada setiap perjumpaan
setiap pengajaran bahwasanya kedewasaan adalah
pilihan

pencitraan mata, dua
:
mau dikemanakan terapi freud yang katamu
mengisyaratkan manusia akan penyakit alam bawah sadar

kataku di jalan kepala; kita telah mengamati
harimau tanpa taring sedang menyendiri memangsa mimpi

pencitraan mata, tiga
:
jauh kita menyusuri bab-bab
yang rupanya memilih jadi bangkai hidup
dan menyusun pertanyaan-pertanyaan tentang mereka

pertama; apakah tubuh atau jiwa yang menjelma obat
kedua; mengapa tak ada daftar simtom kegilaan di buku saku PPDGJ**
ketiga; skizofrenia seperti apa yang menjangkiti orang semacam nabi
keempat; siapa yang tak lepas dari diagnosa, tuhan saja mendiagnosa kita dengan dosa
atau sebenarnya kita yang mendiagnosa tuhan
kelima; apakah seorang psikolog adalah benar-benar klien bagi dirinya?

pencitraan mata, empat
:
pengingatan di ruang 101
kita belajar bagaimana mereka merasakannya
oleh nasib dan perilaku yang tak mudah
untuk diselamatkan
untuk menyelamatkan!




Semarang, 2010
*) peribahasa latin yang artinya pertama-tama jangan mencelakai
**) buku pedoman diagnosis ganguan jiwa




8.17.2010

KEPADA INDONESIA, TERSEBAB INDONESIA

 

- 1 -
kakek kami pernah bercerita tentang tanah purba kami. tentang bagaimana suku-suku
mencipta dan dicipta adat-adat di setiap tempat di setiap zaman. menumbuk mata
pencaharian, mengail bahasa, memanen doa. tentang bagaimana atap-atap rumah
menyaksikan kemarau dan penghujan bergantian melumuti mereka. tentang hutan
yang masih benar-benar hijau dan tak ada flora-fauna tercekik punah. tentang sungai
dan laut yang merawat-jaga air supaya tak ada tumpah di tanah atau pulau. demikian,
kakek kami mengimani bahwasanya sejarah negeri kami bukan sekedar penghafalan.

- 2 -
“apakah engkau kini mengubur ingatan kami,
ibutanah kelahiran kami?”


engkaulah yang mengandung kota-kota dan desa-desa kami. menjaga bilamana
kami tidur di kerinduan atas kubur nenek-moyang kami supaya tetap mengenal
mana nisan yang pasti kami doakan. namun, ibu...
mengertikah engkau bilamana kami ini sedang lupa ingatan. apakah ibu mengenal
kami, usia dan tanah kelahiran kami. apakah ibu benar-benar membuat negeri
kami terlahir dan dilahirkan oleh kemerdekaan. atau,
siapa ibukemerdekaan kami?

- 3 -
setiap tanggal tujuh belas bulan delapan, kami ingin sekali
merasakan merdeka benar-benar merayakan bendera yang memerah-putih
di tanah kami kota kami desa kami kampung kami rumah kami rindu kami;

negeri kami tersayang!


2010

8.16.2010

SAJAK DI JALAN BRAILLE : MENUJU MATA DAN TELINGAMU -2-

tersebab memoar Hellen Keller

ke pulau mana lagi, engkau tambatkan waktu-hatimu. hari-hari sudah begitu huruf
di jemarimu yang lapang. orang-orang kini menyimpan perasaan-perasaan bersama
pepatah hidup di balik tebal huruf-hurufmu. - mereka berseteru menyingkap
kejujuranmu, mengungkapnya dengan pertanda bahwasanya ada sesuatu yang lupa
terbaca -

ke bahasa mana lagi, engkau sederhanakan kebutaan dan ketulian. sebab, buta dan
tuli bukan lagi seperti sebuah novel atau puisi yang engkau renungkan berulang. bukan
seperti sebuah autobiografi atau catatan-catatan kecil penuh perjuangan dan kemalangan.
bahwa engkau telah memulainya dengan menerjemahkan bibir Anne Sullivan ke dalam
inderamu adalah muasal dari kesederhanaan itu. - buta dan tuli adalah bagaimana orang
melihat dan mendengarmu sebagai wanita dengan peninggalan sarat intuisi serta penciptaan.
seperti Dr. Bell memecah mitos Prometheus, seperti engkau meretas mitos braille -

Hellen, o Hellen...maka kitablah segala pengharapan, sebab sejatinya buta dan tuli
lepas mengupas kelopak matamu meremas gendang telingamu untuk sekedar
menjadi pagi di pecahan--kenangan meja belajarmu. sekedar menjadi pengucapan,
lafal pada lidahmu yang vokal tanpa menyatakan sedih bagi anugerah airmata
:
ada kebahagiaan saat engkau lupa pada keadaan dirimu.*


2010

*) penggalan kalimat dari catatan Hellen Keller

SAJAK DI JALAN BRAILLE : MENUJU MATA DAN TELINGAMU -1-

tersebab memoar Hellen Keller


bunga-bunga lili liar menaruh sejumlah bentuk perasaan yang tumpah
ketika engkau bermain dengan bahasa-bahasa eja pada jemari
ke pemahaman bibirmu

lalu di antara semi pohon mimosa ada pikiran-pikiran tak terucap, jatuh
bersama dengan bunga-bunga keringnya dekat pagar rumahmu
dan hidung cabang-cabang basah mencium patahan
aksara mimpi-mimpimu melalui tebal kambium waktu;

kukira engkau benar bagaimana mengarahkan jendela-usia
menafsirkannya dengan cara hati-jemarimu, lantas mengatakan
kepada arakan anginlembah yang mengubah gerak awan merah jambu
ke atas pohon ek raksasa dan linden sehingga engkau dapati
nyanyian pipit mengirimkan pengharapan atas keindahan
merangkum segalanya di penghabisan februarimu
:
jika kita pernah melihat, maka
“hari itu serta apa yang ditunjukkannya adalah
milik kita”*



2010


*) penggalan kalimat dari catatan Hellen Keller


WO ES WAR, SOLL ICH WERDEN*



~1/

kami adalah kelahiran hasrat-hasrat kami sendiri
sejatinya kami bukan waktu bukan batu yang menetap
membentuk kepala-kepala. sebab kepala-kepala kami
masih menyangkarkan kanak-kanak kami di masa
ketika kami baru saja menyadari oedipus kompleks
telah mencatat bagaimana seharusnya kami menganggap
ayah dan ibu kami menjadikan kami seolah seperti

penyakit

~2/
kami tak ingin seperti kaum feminis, bengis
terhadap keraguan mereka sendiri terhadap
ketaksadaran ambigu yang lesap yang menggunung
beku melampaui suhu pada derajat titik nol. kami pun ragu
apakah mereka tak lebih paham tentang perumpamaan
gunung es tentang perilaku-perilaku yang sembunyi
menyebarkan kebohongan dari kepalsuan dari
kitab-kitab psikologi di perpustakaan jiwa mereka

pun kami tak merayakan selebrasi kaum maskulin
merasionalisasi-diri jadi pengibar penindasan. mungkin
penindasan ialah lawan kami, mungkin juga kakek kami
karena sejak kami menjadi kami
kami belajar melihat moral-moral yang berlalu-lalang
masuk di pintu-pintu kenyataan, realitas

: ego kami

~3/
di tulisan-tulisan riwayat kami, sekarang
hasrat ternyata mengikat seperti tafsir mimpi. ia
tak bisa terhapus setelah hipnosis berulang-ulang
mensugestikan bahwasanya di dalam hasrat yang sehat
terdapat ekuilibrasi yang likat
kami meyakini nasihat-nasihat dari tetua
bukanlah satu-satunya arah bagi
jalan penyembuhan kami atas
simtom-simtom yang mendirikan
tempat pelepasan bahasa ayah-ibu kami
pada fase menuju kedewasaan kami menuju diri kami
tanpa melalaikan kemayaan di antara kenyataan yang sering
mempersilakan dan mengucapkan selamat datang
kepada bayang-bayang kepribadian kami


2010
*) adagium freudian yang berbunyi di mana ada id di situ ego “berjaga”


AJARILAH KAMI MENANGIS TANPA TERSEDU DAN BERAIRMATA, AJARILAH KAMI BAHAGIA



sebab kami tak bisa berpangku-tangan

hanya dengan bangkai doa
yang setiap malam dan pagi
kami pecah-susunkan
ke atas kepala timpang kami


2010

8.06.2010

TINTA AKAN TETAP BEBICARA TENTANG MATA SAKITNYA



lalu ada retinapuisi meminum obat airmatanya sendiri.




2010

PUISI PUISI YANG TERSERAK-PECAH DARI MATA DAN MENJADI....


MEJA BELAJAR

di mejanya, ia selalu ingin tahu
tentang buku dan alat alat tulis yang
seolah sering bertanya;
“apakah kami sedang belajar, atau
kau?”

MIMPI
semalam ia tak ingat batang hidung mimpi,
semalam ia hanyalah seekor kunang kunang
tanpa warna di mimpinya

PURNAMA
sekali lagi seorang anak menggambarnya
penuh bekas coretan pensil
merahnya pucat, luntur
ia tak lagi kelihatan seperti bulat; sebab
usia menumbuhkan liang di guratan tubuhnya

RANJANG
tempat airmata tak bisa mengumpat
sebuah dongeng dari nenek
: legenda airmata melempar suara suara burung-burung bangkai
menjelma bayi yang ditinggal ibunya
yang merengek di balik kerumun burung-burung bangkai

DERIT
seperti apakah bunyi pintu
yang dekam di kepalamu?

CRRAKKK!
lama, ia meremas sakitnya
menggilasnya dengan mesin penggiling
jadi RAUNG

AGUSTUS
: dentum bangunan pertengahan musim
berlarian mendirikan matamu yang dulu

PUISI PUISI
ke mana tinta membaringkan kalian
membacakan bunyi yang tak bisa bersuara
atas sejarah pesakitan di genggam nama doamu

FOTO
itu kau, atau mata yang mengandungmu?
- sedang yang terserak-pecah berucap pada dirinya
“selamat tinggal, mayatku tercinta.....” –


Ambarawa-Semarang, 2010

8.04.2010

TAK ADA JALAN MENUJU ROMA ?


Berapa kali sudah terwasiatkan

dari kakek hingga ayah kami
dada kami yang kini koyak
masih saja bersikeras mendirikan
tempat pelipur segala kebuntuan

Kebuntuan itu datang dan likat
seperti benalu bertahun-tahun lingkar
pada tubuh pohon beringin yang kami
tanam di kepala kami masing-masing
sewaktu musim mengeringkan mata kami

Mata kami sejauh ini dapat melihat
balok-balok jatuh di pelupuk mata
mata kami tak ingin dibutakan dan
dibelalakkan oleh setiap kehilangan
arah yang menyesatkan diri kami
oleh ucapan-ucapan peramal
di tahun dua ribu dua belas

Dua belas tahun kami mengingat
teman-teman kelas kami dulu begitu
antusias bermain sepak bola
dengan langit hujan deras tanpa
sepatu ataupun baju olahraga
hanya saja teriakkan kami sama
dengan bunyi geledek petir

Petir sering mengetuk tanah kami
ialah pertanda pancaroba hampir usai
tapi tetap saja kami khawatir akan
sawah-sawah kami menjelma
villa-villa dan perumahan mewah
arghhhh...doa-doa yang terbakar!
maka ke manakah roma kami
yang dulu?

Yang dulu masih mudah kami temui
obat lara sewaktu longsor dan banjir
atau kemarau panjang melalui kami
dengan begitu cepat menguras
sumur-sumur di belakang rumah kami

Rumah kami sejatinya sekarang kandas
atau bisa saja dikatakan lepas dari
genggam airmata sampai-sampai
kami mencari dan tak kunjung
mendapati jalan menuju kediaman
idaman kami



Semarang, 2010

8.03.2010

SAJAK UNGU DI JENDELA KAMAR 224

*
angin sungai kapuas tak pernah lelah mengetukmu
mengabarkan lagu derau bagi kertak kaca langit-langit
o, jendela yang seringkali terlupa dan dilupa!

**
arus timur kian menuju mataku, mata yang kini padam
karena diam. di seberang jendela, akulah penafsir mataku
sendiri penafsir padam penafsir diam. sebab, tak ada waktu
tak ada kalender yang memilih tinggal pada penafsiran baka ini.
- jendela telah mengetahui sampai kapan arus membawa
mataku menuju diam itu sendiri -

***
ada orang-orang bermain tenis di bawah sana. di lapangan
yang bentuknya seperti jendela. lalu entah, bola-bola itu memantul
seolah menggantikan bola mataku. memasang kulitnya pada kelopak
mataku supaya ketika bercermin menghadap jendela nanti, gerimis dapat
memantul kembali ke langit dan ingatan yang jadi dingin leleh selamanya.
mengalir ke hulu musim di bulan juli. tenggelam, jadi KAU!
- jendela begitu paham, menyaksikan gerimis mengubah bola-bola
di lapangan itu berurai pada mataku yang juga matamu -

****
di kamar 224, aku menemumu telanjang dekat jendela
yang kini ada di mata kematian diammu. lantas, memakaikanmu
dengan sajak ungu tanpa tahu siapa penyairnya





Pontianak-Semarang, 2010