PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

1.01.2011

ESAI PSIKOLOGI SASTRA II

CORETAN KECIL PSIKOLOGI (4): SEBUAH PERCOBAAN TINJAUAN PSIKOANALISIS DUA SAJAK AHMAD KEKAL HAMDANI


Oleh Ganz (A. Ganjar S.)


Kematangan yang Tajam dalam Pengolahan Menuju Persepsi: Faktor Peninjauan Psikoanalisis

Ketajaman seorang penyair untuk menuliskan sajak-sajak yang “pisau” membutuhkan proses kreatif yang tak instan. Secara psikologis, terdapat beberapa tahap sebelum seorang penyair melahirkan sajak. Tahap pertama yaitu tahap penginderaan (peran serta indera secara fisiologis dari sebuah interaksi sosial), tahap sensasi (pengolahan informasi dari hasil penangkapan indera) akan membuahkan sebuah persepsi (sebuah proses di mana impuls-impuls sensorik diatur dan diterjemahkan), dan yang kemudian dituangkan lewat sajak. Tentunya, kematangan itu akan semakin bekesinambungan juga tajam jika penyair tersebut mau dan mampu belajar tentang kondisi (pengalaman, “status” sekarang dan orientasi ke depan) dirinya. Tentang bagaimana ia mengolah suatu informasi hingga menjadi persepsi sebelum menjadikan keutuhan sebuah sajak yang terlahir. Kematangan dalam menanjamkan proses inilah yang memberikan pengaruh besar bagaimana peran psikoanalisis bisa memasuki dan membedah keberadaan sebuah sajak.


Maksud dan Biografi Singkat

Selanjutnya saya tidak akan mengulas tentang bagaimana cara dalam mencapai kematangan seorang penyair, namun ada apa dengan sajak yang telah ia lahirkan dengan percobaan tinjauan psikoanalisis. Ulasan kali ini adalah dua sajak dari penyair yang masih muda. Ahmad Kekal Hamdani, kelahiran Jember 5 Agustus. Semasa kecil, penyair ini bercita-cita menjadi pelukis. Sewaktu SMA kerap memenangkan lomba lukis, karikatur, cipta/baca puisi dan musikalisasi puisi tingkat lokal maupun regional. Sajak-sajaknya pernah dimuat di media massa baik lokal maupun nasional (selain menulis sajak, juga menulis esai, cerpen maupun vignet), dan diterbitkan dalam buku yang berjudul “rembulan DI TAMAN KABARET”. Sekarang ia masih berstatus mahasiswa jurusan aqidah dan filsafat UIN di Yogyakarta.


Dua Sajak A.Kekal Hamdani

Berikut ini dua sajak tersebut:

Stasiun Sehabis Hujan

-3 sajak untuk kecemasan

I

Kursi-kursi panjang

yang tua

yang risau

ia sedang membaca koran

ada yang mengukur bayang-

bayang

Hujan pecah

lantas rebah, memeluk sepatu:

Berkisah tapak tentang waktu

II

Sehabis hujan

yang lengang

Kursi-kursi panjang

tapak berdebam

: lalu hilang

III

Kereta melintas

sehabis hujan, di jendela.

gambar bibirmu

membekas, kereta menuju

yang ditinggalkan dan pergi

: ibu

[ ]


(Sumber: “rembulan DI TAMAN KABARET” sehimpun sajak {2009}, hal.67)


Epitaf Laut

I

Kapan laut akan tertidur ibu?

Sesungguhnya, pada surup waktu bila malam melipat muram

ada yang berdesir ke lubukku, seperti sampan-sampan sunyi

bila membelah riak-ricik, namakulah itu: laut

Bila ditegakkan cahaya, di timur orang-orang mengemas

nasib dan keberangkatan. kita sedang di sini mendengar bisik

perjalanan, tapak yang berdengung ke utara di jalan hening

kota-kota tua, tempat setiap peristiwa ditulis

dan dibukukan menjadi puisi. akulah itu: laut

Ia terduduk di situ, menunggu sesap di batinnya lebih dalam

membuka jendela, menunggu hujan lebih resap ke akar-akar

yang menjalar di kakinya, mengikat jarak

antara gerak gelombang dan diam airmata

namakulah itu: laut

II

Kapan laut akan tertidur ibu?

Tak kutulis ibu, gugur asin laut yang bergulir

setiap matamu terbuka dan bersidekap dengan lukaku

selintas sesap ke langit menjadi perahu

berlayar bersama angin. Itu karena ibu, matamu adalah

lanskap dalam batinku, seperti titik hujan

angslup ke dalam dadaku: laut itu

III

Kapan laut akan tertidur ibu?

Lantas perlahan ia tutup jendela

seperti mengatupkan kenangan dari masa lampau

gelombang ingatan: perih itu bernama laut

[ ]


(Sumber: “rembulan DI TAMAN KABARET” sehimpun sajak {2009}, hal. 76)


Inspirasi Puitik, Gaya Puitik, Kejeniusan Natural: Hubungan dengan Alam Bawah Sadar

Ada beberapa hal khusus yang perlu diperhatikan sebelumnya, yaitu tentang inspirasi puitik, gaya puitik dan kejeniusan natural. Penyair (Ahmad K.H.) sepertinya memiliki maksud inspirasi puitik dan gaya puitik yang cukup bertenaga pun gemulai dalam membuka maupun menutup kedua sajaknya. Pada sajak pertama, ia melakukannya dengan pendiskripsian tegas yang kemudian ditutup dengan kata induktif yang mencoba mengonklusikan rangkaian sajak tersebut. Pada sajak kedua, dimunculkan daya tarik dalam semiotika kalimat tanya dan ditutup dengan konsep paralel untuk setiap bait hingga bait akhir. Sedangkan dalam kejeniusan natural (bagaiamana seorang penyair menangkap simbol-simbol alam untuk dibawakan dan dimaknakan dalam sajak) yang dimiliki oleh kedua sajak tersebut terasa lebih kental pada sajak “Epitaf Laut”. Dalam sajak tersebut memiliki kosa kata yang lebih variatif dari pada sajak sebelumnya. Di “Epitaf Laut” kiranya simbol laut ini mudah untuk dipecahkan secara teka-teki makna. Pada bagian III terdapat korelasi antara kata “laut” dalam kalimat tanya dengan kata “laut” di akhir bait: “perih itu bernama laut”. Nah, inilah salah satu ciri kelihaian seorang penyair dalam mengasah kejeniusan natural.Tentunya tiga hal yang perlu diperhatikan dalam terciptanya sajak ini memiliki interdependensi dengan pengalaman alam bawah sadar penyair.

Pada sajak “Stasiun Sehabis Hujan”, terlihat bahwa ada keterpautan antara kecemasan dengan penciptaan sajak. Di sini ada sebuah langkah untuk melepaskan emosi (kecemasan itu) melalui pelahiran kata-kata semacam “risau”, “bayang-bayang”, “pecah”, “rebah”, “berdebam”, “hilang”, “ditinggalkan”, dan “pergi”. Kata-kata tersebutlah yang merupakan “anak-anak kecemasan” dari seorang penyair. Perasaan cemas sendiri telah memfungsikan dirinya sebagai tanda bagi ego. Ego berusaha sekuat mungkin menjaga kestabilan hubungannya dengan realitas, id, dan superego. Namun, ketika kecemasan mulai menguasai, ego berusaha untuk mempertahankan diri. Dan, di sini muncul suatu mekanisme pertahanan ego yang menjelma sebuah penulisan sajak. Dalam kata yang lain, ego merupakan representasi dari sebuah realitas, id merupakan representasi dari kebutuhan biologis sedangkan superego adalah representasi dari rangkaian nurani (conscience). Alam bawah sadar penyair (dalam hal ini kecemasan) menjadi semakin kuat ketika terdapat dalam tiga bait berikut:

(1)“Hujan pecah

lantas rebah, memeluk sepatu:

Berkisah tapak tentang waktu”

(2)“Kursi-kursi panjang

tapak berdebam

: lalu hilang”

(3)“…kereta menuju

yang ditinggalkan dan pergi

: ibu”

Pada bagian pertama unconscious mind penyair mendorong munculnyadisplacement, yaitu upaya untuk memindahkan perasaan tentang waktu yang menekan dengan benda sebagai target simbolik. Kata (benda) itu direalisasikan dengan “sepatu”. Pada bagian kedua, unconscious mind penyair lebih condong menuju represi. Dalam teorinya, Anna Freud pernah menyebut dengan “melupakan yang bermotivasi”. Metafor “kursi-kursi panjang” mengindikasikan ada semacam ingatan yang ingin dan segera dilupakan atau dilalui. Dengan demikian kecemasan yang membentuk represi sedikit demi sedikit akan memudar. Hal ini ternyatakan dalam kata “: lalu hilang”. Sementara itu pada bagian ketiga, mekanisme pertahanan ego penyair muncul dalam bentuk introjeksi atau kadang disebut juga sebagai identifikasi. Mekanisme ini bekerja dengan cara membawa keperibadian orang lain masuk ke dalam diri penyair. Kata “ibu” adalah kunci dari identifikasi tersebut dan dengan melahirkan kata tersebut ada rasa untuk melepas kecemasan sebagai langkah untuk merenggut rasa aman guna meneguhkan identitas penyair. Kata tersebut dapat juga menyumbangkan arti tentang bagaimana hubungan antara kehidupan penyair dan ibunya yang dalam tahap perkembangan di tahap phallic di mana terdapat rasa “kenikmatan hubungan” atau lebih sering disebut dengan krisis oedipal. “Ibu” yang berfungsi sebagai objek “cinta” menjadi dimunculkan melalui alam bawah sadar dan menjadi identif dalam kata di bait tersebut.

Hubungan antara karya sastra dengan persona dipertegas oleh Freud, yang memandang bahwa seorang penyair tak lebih dari seorang “pelamun” yang lari dari kenyataan hidup. Ungkapan freud itu rupanya bersepadan dengan sajak “Epitaf Laut”.

“kapan laut akan tertidur ibu?

…..

… : perih itu bernama laut”

Potongan sajak tersebut menyematkan seorang yang masih berkutat pada persoalan hidup yang sangat berat dan mencoba supaya persoalan itu pergi. Namun, hidup tanpa persoalan sama halnya tak hidup. Di sini pun masiih ditemukan kata “ibu” yang rupa-rupanya adalah pertanda tentang penyair ini, bahwasanya masih melalui krisis oedipal (mungkin sepanjang hidup). Saya belum tahu tentang kehidupan yang dilalui sebenarnya, namun lewat semiotika bahasa yang ia susun sedikitnya dapat meraba. Tidak hanya pada sajak yang sedang saya ulas saja, tapi sama halnya dengan sajak-sajak lain. Terlepas dari itu, ada apa dengan laut? Mengapa di setiap bait penyair ini meletakkan kata laut? Deskripsi tentang laut bisa saja meluas dalam sajak ini, tapi penyair telah menciptakan arti (creating of meaning) sendiri bagi kata “laut”. Di sajak ini diketemukan tiga kata yang mencoba untuk menciptakan konklusi di masing-masing bait, yaitu “namakulah itu”,”ke dalam dadaku”, dan “ingatan”. Ketiga kata ini merupakan kata induktif sebelum merujuk pada laut. Penyair mencoba memproyeksikan pengalaman-pengalaman inderawinya dengan menggunakan tiga kata yang bisa membuka kamar kosong berisi alam bawah sadarnya. Lantas bagaiamana dengan bentuk pelarian penyair dari kenyataan? Beginilah ia mencoba melakukan displacement setelah memupuk represi:

“Lantas perlahan ia tutup jendela

seperti mengatupkan kenangan dari masa lampau”

Inspirasi puitik, gaya puitik, dan kejeniusan natural tak bisa terlepas dari pengalaman-pengalaman bawah sadar si penyair. Di sajak “Epitaf Laut” ada sesuatu yang sepertinya terlalu dalam untuk diselami. Sesuatu itu mungkin seperti superego di masing-masing pribadi yang tak mudah untuk ditebak.


Psikoanalisis: Embriologi Kepribadian

Sepertinya, tidak salah bahwasanya sajak merupakan proyeksi dari si penyairnya, juga tempat meletupkan represi secara positif dan tenang melalui semiotika yang terlihat memiliki gayanya yang khas. Ulasan yang ditinjau dari teropong psikoanalisis ini secara tidak langsung juga adalah sebuah embriologi kepribadian. Bagaimana si penyair mengekspresikan unconscious mind-nya pada lekak-lekuk kata dan makna, mengulang-ulangnya menjadikannya lebih matang dan tajam hingga memiliki kedalaman arti yang lebih bagi pembaca.


“…dengan bakatnya(penyair) yang istimewa dia menjalin khayalan-khayalannya menjadi suatu kenyataan hidup baru yang oleh orang-orang lain disambut sebagai cerminan hidup yang berharga.”

[Sigmund Freud]


Salam.

Semarang, 2010


Referensi:

Endrasawara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress.

Broere, C. George. 2008. General Psychology. Yogyakarta: Prsima Sophie.

Hamdani, Ahmad Kekal. 2009. rembulan DI TAMAN KABARET. Yogyakarta: PondokMas Publishing.

Jones, Ernest. 2007. Dunia Freud. Yogyakarta: IRCiSoD.



- esai ini pernah dimuat di tabloid "Bali Bicara" -

WAKTU DAN HUJAN DI KOTA PERSEPSI


Waktu

ia nampak seperti payung orang-orang hujan

ingin tampak dari setiap langit di setiap jalan,

terkadang ia belajar mengeja kata- -terbata ba ta

sembari mengucap salam kedatangan tahun-tahun

yang lebih butuh untuk dikatakan sebagai sebuah

bahasa. bahasa di mulut mata.

suatu kali, ia pernah menyebut yang lalu

adalah kepulangan bagi orang-orang yang merasa

gagal mengenali dirinya atau riwayat yang tak pernah

lahir sekalipun di tanggal-tanggal genap;

seumpama telur menetaskan sebuah payung kecil

maka payung kecil itu akan lekas terbawa hari sabtu

sebelum semuanya menjadi merah. stop. dan rileks

dari rutinitas,

menikmati hujan yang mengeram doa orang-orang

penyayang kepala kotanya.


Hujan

ia tak bisa tampak nampak atau memecah ibarat purba

untuk sekali datang. di pundak orang-orang yang seringkali

dibisiknya bahwa sebenarnya perlahan-lahan waktu

akan takluk jikalau setiap pundak direbahkan pada

dada yang bisu dan buta untuk diperdengarkan

suatu saat menjelang rericik air mulai berderam

di kaki-kaki pemungut telinga.

hingga suatu ilmu pernah berpesan bahwa

jangan ia tiba sekali di musim yang sama

karena awan tak mungkin lupa pada tanah

dan ingatan tak mungkin sungsang begitu saja

dari akar-akar pohon yang tumbang

di kepala timpang tempat kota

menyimpan arti hilang kepada lubang

mata-mata lengang.



2010


ESAI PSIKOLOGI SASTRA I

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 5 : REINFORCEMENT [1] DALAM PUISI (SEBUAH PERCOBAAN TINJAUAN DALAM PERSPEKTIF BEHAVIORISME[2])


Oleh: Ganz (A. Ganjar S.)



Tentang Puisi-Berpuisi

Kata “puisi” berasal dari bahasa Yunani “poesis”, yang berarti membangun, membentuk, membuat, menciptakan. Sedangkan kata “poet” dalam tradisi Yunani Kuno berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, sekaligus filsuf, negarawan, guru, dan orang yang dapat menebak kebenaran tersembunyi. Dalam kenyataannya sekarang, puisi semakin jauh berkembang dengan segala bentuk kesubjektivan masing-masing penulis. Pun pada era digital culture ini, di dunia maya marak dengan berbagai jenis puisi dengan latar belakang penulis yang berbeda-beda. Pada kesempatan ini, puisi akan dilihat dengan teropong psikologi yang menggunakan lensa behaviorisme. Sebuah perspektif di mana dalam puisi mengandung banyak makna bagi perkembangan (ber)puisi, pembaca dan penulis puisi itu sendiri.


Peran Reinforcement dalam Kejeniusan Memainkan Gaya Puitik

Kejeniusan mengungkapkan gaya dalam berpuisi begitu identik dengan kelahiran sebuah karya yang bermutu. Dalam pemikirian Coleridge (ahli sastra), terdapat tiga hal penting yang dapat diasosiasikan dengan kejeniusan mengungkap gaya puitik. Inspirasi puitik, gaya puitik lemah gemulai dan kejeniusan natural merupakan tiga hal penting tersebut. Sementara itu, seorang yang menciptakan karya memerlukan reinforcement eksternal dan internal untuk mencapai kejeniusan masing-masing. Reinforcement eksternal dapat berupa apresiasi lebih terhadap karya, bagaimana stimulus bisa membangun motivasi pada diri masing-masing untuk memperoleh respon yang diharapkan oleh pembaca dan “puisi”. Sehingga, sebagai contoh dalam reinforcement eksternal muncul slogan “menulis untuk mencinta, mencinta untuk menulis” yang kemudian (slogan ini) dikemas di berbagai esai tentang sastra demi perkembangan dunia sastra itu sendiri. Sedangkan reinforcement internal dapat berupa pengorganisasian kata dalam puisi, bagaimana penataan semiotika atau heuristik dalam puisi tersebut. Tentu,reinforcement ini sangat dibutuhkan oleh setiap pencipta dengan harapan bahwa dirinya atau karyanya (puisi) semakin dipahami dan dimaknai oleh para pembaca.


Korelasi Positif Reinforcement internal - Performa Heuristik Puisi

Magrib

Di bawah alismu hujan berteduh.

Di merah matamu senja berlabuh.

2006

(sumber: buku “Kepada Cium”, halaman 21)

Bulan

Bulan yang kedinginan

berbisik padamu: “Bolehkah aku mandi sesaat saja

di hangat matamu?”

***

Malam sepenuhnya milikmu

ketika bulan tercebur

ke dingin matamu.

***

Bulan itu bulatan hatimu,

bertengger di dahan waktu.

2010


(sumber: joko pinurbo.blogspot.com yang diakses pada tanggal 17 Oktober 2010)


Dua puisi di atas adalah puisi-puisi karya Joko Pinurbo (Jokpin) yang ditulis pada tahun yang berbeda. Dalam waktu yang berbeda pun puisi tersebut masih memilikireinforcement yang cenderung pada kesamaan gaya diksi. Kata “matamu” tetap dipakai dalam dua puisi tersebut. Kata tersebut seperti memiliki reinforcementyang positif bagi kemunculan karya-karyanya, sehingga dapat dikatakan bahwasanya dalam puisinya seringkali kekuatan kata begitu menonjol dalam pemaknaan. Kata tersebut juga bisa dikatakan sebagai representasi stimulus yang mengikuti respon dan menambah kemungkinan respon tersebut kembali muncul sebagai fungsi dalam memperkuat puisi. Tidak hanya dalam dua puisi yang ditampilkan seperti di atas, namun penggunaan model ini sering dipakai oleh Jokpin acapkali dipergunakan dalam puisi Jokpin yang lainnya.

Puisi berjudul “Magrib” mungkin saja bukan puisi pertama Jokpin yang memilikireinforcement dalam pembacaan heuristik, mengingat pengorganisasian dalam publikasi karya. Demikian dengan halnya puisi berjudul “Bulan” yang merupakan hasil pengembangan reinforcement penyusunan diksi, sehingga didapatkan karya yang lebih adaptif dengan pembaca dan zeitgeist zaman (dapat berkaitan dengan hubungan intertekstual). Tentunya, ini juga tak lepas dari proses belajar dalam mengembangkan korelasivitas yang positif antara reinforcement internal dengan performa heuristik puisi. Pengaplikasian reinforcement dalam puisi bisa dilakukan dengan cara yang demikian, namun ada pula yang memiliki kekhasan berbeda karena setiap penulis yang “kuat” memiliki karakter yang berbeda. Dan karakter tersebutlah yang sebenarnya terbentuk dari proses pembelajaran reinforcementini. Heterogenitas reinforcement dalam puisi memiliki kecenderungan kedinamisan yang tinggi seperti misalnya puisi-puisi mantera milik Sutardji[3]. Jika melihat puisi-puisi milik Sutardji, reinforcement dalam behaviorisme akan lebih memandang pada topografi dan pembentukan kata. Namun, secara garis besar puisi-puisi siapapun memiliki interpretasi yang sama tentang bagaimana reinforcement bertindak sebagai stimulus untuk mendapatkan respon yang sama atau lebih. Dengan demikian, eksistensi penulis dan karya-karyanya menjadi bagian dari pembaca bahkan zaman.


Reinforcement : “Kepribadian Puisi”

Pada sisi yang lain, keberadaan reinforcement akan mempermudah para kritikus dan pembaca sendiri untuk menginterpretasikan kepribadian puisi. Setiap pembaca yang kritis pun memiliki kesubjektivitasan masing-masing mengenai setiap karya yang ia baca, yang kemudian akan berimbas pada perkembanganreinforcement eksternal yang diterima oleh penulis secara langsung maupun tak langsung. Hal inilah yang juga berpengaruh pada kekonsistenan dan komitmen yang dimiliki oleh penulis(penyair) muda. Di mana faktor yang sangat erat kaitannya dengan pembentukan kepribadian itu dari sudut pandang behaviorisme adalah struktur dan pola reinforcement. Kecenderungan seperti contoh puisi Jokpin yang dirasa memuntahkan image tentang puisi adalah sebuah upaya untuk mengeksistensikan kepribadian puisi yang ia miliki dari proses penguatan berulang. Terlebih dari itu, proses pembelajaran menjadi bagian penting untuk memperbaikki kepribadian yang dianggap tidak koheren dengan kepemilikan gaya puitik pada masing-masing penulis. Proses pembelajaran inilah, yang sangat membuka akan peran reinforcement sebagai bentuk pribadi puisi yang konsisten dan khas.



Semarang, 2010

(Penulis adalah seorang mahasiswa Psikologi Undip dan penyair muda)



Keterangan Footnote:

[1] Istilah dalam behaviorisme, yang berarti penguatan. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor stimulus-respon.

[2] Sebuah aliran psikologi yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner, kemudian resmi didirikan oleh J.B.Watson pada tahun 1913.

[3] Ulasan puisi-puisi Sutardji untuk sementara ini tidak dibahas dalam esai pendek ini.


Sumber Pustaka:

Endrasawara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress.

Djoko Pradopo, Rachmat. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hall, Calvin S., Lindsey, Gardner. 1993. Teori-Teori sifat dan Behavioristik. Yogyakarta: Kanisius.




(PROFIL) PENULIS BLOG


Ganz Pecandukata bernama asli A. Ganjar Sudibyo kelahiran Semarang 10 september 1989, seorang mahasiswa psikologi Undip Semarang yang aktif berpuisi maya-nyata , dua puisinya pernah menjuarai lomba dalam rangka sayembara puisi antologi Penghujung Tahun 2009, dua puisi lainnya pernah masuk dalam deretan finalis lomba cipta puisi indosat 2010 (salah satunya menjadi salah satu dari tiga puisi terbaik indosat) yang selanjutnya akan diterbitkan dalam buku “Antologi Puisi Indosat 2010”, pernah mendapat peringkat V lomba penulisan karya sastra puisi tingkat universitas (PEKSIMIDA) se-Jateng 2010, mengikuti lomba penulisan karya sastra puisi tingkat nasional PEKSIMINAS 2010 di Pontianak, puisinya pernah menjadi nominator lomba Puisi FTD Riau 2010. Puisi-puisi tersebar di berbagai situs sastra (seperti fordisastra.com, rumahdunia.com), media massa lokal (seperti di Banten, Palembang, Pontianak dan Semarang), buku antologi puisi “Beranda Senja”, “Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010”, "Antologi Puisi Kasih: Tanah, Air, Udara 2011" . Penulis sedang menyusun naskah puisinya untuk diterbitkan dalam bentuk e-book "Isyarat Jantung dan Mata", "Simtom-Simtom Sebelum Penyair" dan buku pertamanya “KATARSIS”.


2011

BEBERAPA SAAT SEBELUM ORANG-ORANG MENIUPKAN TEROMPET


1.

di panggung, ada yang tak ada sebelum waktu

sebelum tahun menggulung kalender

dari konser ke konser

ada sekumpulan penyanyi

berkata halo dan selamat tinggal


2.

ada yang berwajah baru

mata yang berpindah

setelah mulut berbisik


"kita mesti diperbaikki"


3.

dada yang koyak, kini segera dijahit

lalu ada namamu sungguh

kurasakan dengan telapak tangan kiriku


4.

setiap orang menulis tanggal lahir doa masing-masing

ada yang mencatat ingatan dan airmata nazar

berkantung nasihat sekeping uang;


"di luar sana, masih banyak orang berciuman

tanpa tahu bahwasanya perpisahan dan pertemuan

selalu datang lebih dulu dari waktu"


5.

sebab segala ada, sekarang sedang bertepuk tangan

berjabat-peluk

mengucap


"silakan...."


2010