PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

9.27.2012

RENUNGAN TENTANG PENYAIR

Sejumlah Percobaan Dengan Komposisi


ia curiga, jangan-jangan tuhan hanya menciptakan beberapa butir aksara; lalu dari sana dunia terkembang, seperti layar si malin kundang.
adakah yang lebih menakjubkan ketimbang sebuah kitab suci? di sana, ribuan penafsir berdesak-desak di ruang kecil yang sesak, hendak menyusun kembali dunia yang retak.
seorang tukang kayu tua, keriput meruyak di seluruh tubuh, menatah huruf dari musim ke musim; ia rindu hingga ngilu, isterinya telah meninggal tiga tahun lalu; “aku ingin memahat isteriku, dari tulang rusukku yang telah renta”.
seperti sebuah dongeng tangkuban perahu, seluruh dusun itu hanyalah kisah rekaan dalam sebuah tembang; seorang juru-kisah keliling dari desa ke desa; menyanyikan tembang, membawa kisah rekaan; lalu terciptalah sebuah dusun di pucuk bukit; saat tuhan melaknat dusun itu, ia tumpas si tukang kisah; dusun itu seketika punah.
saat pelancong datang melawat, ia menyaksikan bebatuan rebah pada punggung bukit, seperti rumah-rumah eskimo yang menggigil; “ah,” ia berguman, “andai seorang pemahat mampir ke bukit ini”.
ia membayangkan diri ada di puncak bukit; api menyala di suatu kejauhan, lalu ia mendengar suara itu, “lepaslah kasutmu, sebutlah namaku dalam setiap madah yang engkau gubah, seberangkan para pemahat ke negeri kanaan”; ia menggigil ketakutan.
ia ragu, apakah ia mampu menyeberangi jasadnya sendiri.
sepanjang hari ia membolak-balik kitab tua itu, tiada lelah, tiada resah; ia menunggu penuh debar, kapan ia sampai pada halaman terakhir kitab kejadian; ia tiada tahu, kitab itu tak memiliki halaman; ia hanya membayangkan lembar-lembar kertas dalam pikiran.
sepanjang hari ia duduk di pojok taman, menyaksikan waktu meleleh pelan-pelan, seperti dalam lukisan dali[1]; ia cemas, “akankah tubuh meleleh seperti waktu?”
ia semula mengira bisa menggembalakan kalimat seperti kawanan ternak; kini, aksara seperti banjir bandang yang susah dikendalikan; seluruh kota terlanda, dan ia kebingungan mencari tempat suaka; ia tak sabar menunggu, kapan kapal tua itu segera tiba.
suatu pagi, ia bangun terperanjat — musim semi telah tiba; sekujur bukit berubah warna; waktu menguap menjadi embun, menetes pada pepucuk bakung; ia segera berlari dan berlari, mencari perempuan yang ia pahat kemaren pagi; saat mendaki bukit, ia mengaduh?rasa nyeri menusuk-nusuk; ia merasa, ada luka pada tulang rusuk.
kisah-kisah besar telah hancur berantakan; kini, para penyair hanya menulis tentang rasa kangen, tembikar yang mudah retak, dan embun pagi.
setelah banjir reda, orang-orang bekerja keras kembali, mengeja aksara, menamai kembali benda-benda, menyusun kisah besar yang tak pernah bisa terlaksana.
saat sabtu tiba, dan tuhan sedang rehat sejenak, terbetik kabar tentang pembunuhan di sebuah kota; “terkutuklah engkau kabil, engkau akan sengsara, dilanda sesal yang kekal”.
saat kalimat telah tumbuh lebat, terhampar di seluruh bukit ararat, ia bekerja keras tiap hari, mengenali serat-serat daun, meneliti urat-urat pohon, menelisik tekstur bunga, kadang ia harus menyesap nektar, atau mengerat akar; ia ingin menulis ulasan tentang kitab kejadian.
ia melihat seluruh tamasya di bukit itu seperti tenun kata-kata; setiap pagi, ia tergoda untuk menganyam aksara, hendak mencipta kembali bebukit baru.
seharian ia duduk di pinggir danau, tersesat dalam labirin kalimat.
tuhan menatap kebun itu dengan cermin terang, tembus pandang.
walau kalimat melanda seluruh kota, tak seorang pun menulis gitanyali.
pagi yang kuning hinggap di bukit, girang-gemirang seperti burung gereja; ia lalu menyanyikan pujian bagi daun-daun ilalang[2]; saat matahari tegak lurus dengan cakrawala, tubuhnya luruh jadi debu, dihembus angin ke seluruh penjuru; saat esok pagi tiba, ia telah menjadi burung bagi perempuan yang kesepian di kastil tua.
saat melihat peta, nafsunya kembali membara, ingin mengarung laut, mencecap gairah yang belum tuntas terlaksana.
ia menyanyi, hingga sunyi, hingga sepi, hingga lampus menjadi lotus.
musim semi menjelang, dan ia terkembang memenuh ruang?ia tak cemas pada debu, ia tak susut pada waktu, ia melumut pada batu.
penyair hanya dapat mendendang tentang daun, bunga, dan cemara yang tak pernah luruh; ia tak bisa engkau minta menyusun kembali dunia.
ia asyik bermain-main dengan kalimat, seperti kanak-kanak yang lupa waktu; ia tabah memoles kata seperti para pengrajin tembikar; ia menderita karena membawa beban makna yang begitu sukar.
ia menjadi hijau pada daun, ia menjadi putih pada awan, ia menjadi hitam pada gelap, ia menjadi sunyi pada waktu, ia menjadi kicau pada burung, ia menjadi makna pada kalimat, ia menjadi geram pada kesumat, ia menjadi nafas pada gairah yang laknat.
begitu memulai kalimat pertama dalam kitab suci, ia tak bisa lagi berhenti; o, rasul dan nabi, kalian telah mengawali penderitaan ini.
ia mendukung kalimat ke puncak bukit, lalu rontok kembali — tetapi ia tak pernah mau berhenti; betapa mencemaskan nasib para penafsir kitab suci.
menara telah memanggilmu, istirahatlah sejenak, kawanku; rebahkan punggungmu pada angin; kendarailah waktu, dan terbanglah ke pucuk pohon cedar itu.
pelukis bermain dengan warna; penyair bercengkerma dengan kata; sementara anak-anak tak pernah berhenti takjub pada benda-benda.
setelah genap setahun berkelana, ia rindu pada debu.
atas perintah sulaiman, suatu malam ia menyelinap ke kota seba, hendak mencuri sumsum kata.
seorang bijak tua lewat dusun itu, dan ia bertanya, “siapakah ia yang selalu engkau sebut dalam syairmu?”
ia adalah burung yang selalu bangun pada semburat matahari pagi, berkicau pada pucuk kenari, terbang jauh ke utara, melintasi salju siberia, dan tak pernah kembali — ia adalah tamu terhormat pada perjamuan si attar.[3]


ulil abshar-abdalla
newton centre, 4/5/07

[1] Lukisan Salvador Dali, The Persistence of Memory.
[2] Judul kumpulan puisi Walt Whitman, Leaves of Grass.
[3] Fariduddin Attar, Musyawarah Para Burung.


sumber: http://ulil.net/2011/03/15/sejumlah-percobaan-dengan-komposisi/

9.24.2012

BAYANG - BAYANG


ada yang meminta kita untuk meletakkan bahu
padahal kita tak sedang lelah. sebuah lampu
menerangi tinggi tubuh kita; konon kita pernah
merasa kesepian bersama-sama, tapi sesuatu
telah menjadikan kita jalan raya di pusat kota
-- kitaku, seseorang telah menarik langkah kita
untuk kembali dan melupakan tujuan, seseorang
mengajak kita untuk senantiasa mencintai sejumlah
bangku kosong


2012

9.18.2012

MENGGAMBAR PUISI

“tidak ada yang berada di luar teks”
[derrida]


MENGGAMBAR PUISI
memperkenangkan amal bayu ramdhana

1.kata-kata hijau lampau. kau membaringkannya
tak sengaja, di dadaku yang tampak kiasan;
ini kemarau panjang, tapi tampak hujan, sebenarnya
dalam kata-kata, dan penglihatan telah disamarkan,
pembacaan menjadi sangat lugu
: membaca buku harian bergambarmu.
ini dada yang mengunyah perasaan-perasaan jatuh
dari jendela pagi hari,
ini isyarat dan bunyi gema panjang sekembalinya
dari jalan-jalan malam
: segala yang kau takzimkan.

kata-kata adalah penghujan yang nakal
adalah kemarau yang seksi, kataku. kenangkanlah:
sejumlah cerita fiksi memperhijaukan kita yang gelisah.
sebab itu percaya saja, kata-kata akan hijrah dan jelma
lewat pertunjukan tanpa prolog maupun narator;
ia pulang, lalu pergi. barangkali, ia juga
yang membuat rambut kita mesti digaruk
dengan jari-jari berkuku panjang.
sebab itu percaya saja, kata-kata akan membikin
batasnya sendiri-sendiri. menggambar hujan,
kemarau, pun menggambar kau, mengecilkan
tubuhmu sebelum dimampatkannya dalam bait

ini tubuhmu: pertanyaan kenapa kenangan
sedemikian mahal, kenapa percakapan
sedemikian hafal

2. kata-kata hijau lampau. aku menggambarnya
tersebab manusia dan sekitarnya. kau membaringkannya
sebagai gambaran seorang gadis tanpa busana,
kita rupanya sedang sama-sama menimbang seberapa berat,
bersepakat memperpasangkan dan mempersalinkan kenyataan,
merayakan ketelanjangan selapang diri masing-masing

sejauh kita merasa asing dan kata-kata menjadi bising,
ketahuilah, bahwa diri ini, perpanjangan dari sekian
diksi pertaruhan, dari sekian diksi peruntungan.
diri ini, kita, rebahkanlah, apabila suatu saat turun gerimis,
kata-kata akan lindap bersama cahaya melalui mata kita
yang khusyuk memandang

3. kata-kata hijau lampau, karena itulah kita menjadi
: masa lalu dalam gambar dengan garis tepi yang tipis


2012

9.17.2012

SAJAK DARI AMAL BAYU RAMDANA

PENGGOYANG LONCENG
untuk ganjar sudibyo

/1/
Pertama bermula adalah malam.
Diberkatilah, kau pendengar yang budiman.
Sebelum itu, membran di telinga dan seluk-seluk
jantungmu sudah kaupuasakan.
Tanpa cemar cerita dari lahat dan pusar kota: 
Pengabar yang itu-itu juga; mencoleng akhir berita,
nun menujumnya jadi sengketa — kau ingat,
yang sana itu memerlukan kata-kata
agar bisa bersiasat dalam satu upacara.
Apalah, kau memang tidak senang bertanya.
Yang sana itu boleh jadi butuh pengeras suara 
agar bisa turut serta dalam dunia yang digesa.
Tak lebih, kau hanya suka memaklumi kantukmu
sendiri, menyemai-nyemai bakal mimpi.

Karena kau suka waktu pulang, suka jika tidak ada
lagi yang menduga-duga-menjawab-menerjemahkan.


/2/
Betul, dia hanya suka membunyikannya sesekali,
tidak ingin mengenal sebentuk hirukpikuk
yang entah telah dinasibkan dalam arisan, layar tv,
lampu merah, jejalan ruang ganti — tapi tidak akan
digaduhkan nostalgianya sendiri sebab tahu betul
kepada apa alur jalannya. Ke pintu tidur? Jangan bertanya.
Mungkin sebab sunyi saja yang bakal menguduskannya.
Sungguh mungkin sebabnya dia karib dengan takzimnya
sendiri ketika loncengnya berayun pelan —
dan sama sekali tidak mau ingkar
menukar bunyi lonceng itu dengan bunyi peluit
pada sebuah dermaga dalam peta, atau bunyi
burung kukuk yang masih saja bersarang di jam dinding
sejak hari kelahirannya. Tidak terbang, tidak ke mana.

Dia hanya suka membunyikannya demi mengiringi
nyanyian yang masih hidup dekat pokok lehermu:
lagu yang tidak berhasrat memeluk lirik-lirik, 
lagu yang rindu menebus kembali bahagia asingmu
setelah kau terlempar dari rahim atau kepul asap cerutu.
Setelah namamu tidak mampu lagi bergoyang
memprotes datangnya perkenalan itu.


/3/
Kau adalah pendengar yang budiman.
Dan dia akan singgah mengiramakan malam-malam.










Bekasi, September 2012
Amal Bayu Ramdhana

PUISI SAYA DALAM BUKU PUISI BILINGUAL DI AMAZON

MEMBACA TELAPAK TANGANMU

“Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
Mungkin pula tak kekal.
Kita memang bersandar pada mungkin.
Kita bersandar pada angin.”
[GM]



MEMBACA TELAPAK TANGANMU

satu sisi, masa depan adalah lengkung-lengkung di garis telapak tanganmu;
sisi lain, adalah keyakinan atas diri yang tak ada sesuatupun,
sesuatupun yang secara rahasia diciptakan. kita semata-mata sama.
garis di nasib, nasib di garis. cuma keraguan, yang kerap kali
dipertautkan sebagai iman tanpa menimbangnya pada bagaimana
kau terlampau jatuh cinta padaku


2012