PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

4.09.2016

BAGAIMANAPUN WAKTU (NISCAYA) TETAP BEREDAR


Judul: Waktu
Penulis: Artvelo Sugiarto
Penerbit: Yabawande
Cetakan: I, 2016
Tebal: ix + 91 halaman
ISBN : 978-602-73063-5-6


Isu yang santer tentang adanya dugaan plagiarisme di salah satu puisi dalam buku ini sehingga berdampak pada ancaman penarikan, tentu menjadikan ada yang berbeda terhadap stereotip pembaca maupun calon pembaca buku ini. Terlepas dari isu plagiarisme sastra yang relatif ramai dalam viral di jejaring sosial, peredaran buku “Waktu” malah tetap menyala. Bahkan buku yang konon dicetak terbatas ini ludes di pasar yang dituju oleh sang penulis dan penerbit. 

Buku ini berisikan 78 puisi yang diberi kata pengantar oleh Heru Mugiarso. Buku pertama Artvelo ini memiliki desan ilustrasi kover yang cenderung menarik. Warna kover yang didominasi oleh hitam, seolah ingin menjadikan buku kumpulan puisi tersebut menjadi sesuatu yang menyaratkan teka-teki misteri. Selain itu, lukisan jam dinding di tengah yang proporsi ukurannya agak janggal pun mempunyai daya tarik, meski sayang, jenis huruf yang dipakai kurang memunyai chemistry satu sama lain dalam ruang itu. Baiklah, agaknya memang rerata penerbitan indie yang berada di wilayah Semarang masih perlu banyak belajar mengenai kemasan buku yang laik.

Buku kumpulan puisi pertama yang ditulis oleh Artvelo ini tentu memberikan iklim tersendiri dalam jagad sastra, terutama di kota tempat penulis tinggal. Puisi yang dimunculkan dalam buku, berkisar antara tahun 2012-2015. Dalam catatan biografi penulis yang relatif singkat, ditorehkan bahwa penulis memulai aktivitas menulisnya sejak tahun 1978. Jangka waktu yang rasanya cukup panjang untuk sampai membukukan puisi-puisinya yang terpilih. Namun, sepertinya agak disayangkan bilamana dalam buku ini tidak ditemukan puisi-puisi dengan tahun pembuatan 1978-2011, dengan alasan apabila ada tujuan dokumentasi-publikasi terhadap karya terdahulu.

Waktu memang menjadi materi yang sering diolah oleh para penulis. Dalam penulisan puisi, waktu menjadi semacam minimarket yang merumput sepanjang pinggir jalanan di Semarang. Semacam angkringan di Yogyakarta. Dalam persepsi penulis buku ini, waktu menjadi judul sekaligus puisi pembuka pada halaman 2. Begini penulis membahasakan waktu: “...Karena waktu begitu sempit menuju isya/Waktu tak mungkin dibalik/Meski begitu panjang menuju subuh....Dimana kaki terus melangkah/Mendekat pada garis waaktu” (hal.2). Penulis mengidentifikasikan waktu sebagai waktu yang sebenarnya. Sesuatu yang tidak bisa diulang, sesuatu yang bergerak lekas dan mendesak. Penulis tidak bermain banyak konotasi atau kegelapan dalam berbahasa. Berbeda dengan waktu yang hendak disampaikan pada halaman 53: "...uratnya tampak keras dan membatu/disimpannya dalam saku waktu..." (Dalam Pergulatan Batin). Di puisi tersebut, tampaknya ada upaya penulis untuk mengombang-ambingkan makna waktu. Tapi, tunggu sebentar. Pada halaman 35:"...namun selalu setia menunggu hingga waktumu..” (Kepada Diri), pada halaman 21: “...aku kian terkepung di lengkung waktu...” (Empat Puluh Lima Tahun Yang Lalu), pada halaman 40: “...ditusuki belati direbus dalam tungku waktu...” (Sajak Pagi buat Kekasih). Dari kelima contoh tersebut mana yang terkesan puitis? (Biar pembaca yang memilih).

Adapun proses penerbitan buku ini terkesan terburu-buru. Ini bisa menjadi suatu perihal yang vital dalam dunia perbukuan puisi. Puisi yang erat dengan diksi-diksi dan menjaga sedikit mungkin dari kesalahan tipo (baik ejaan maupun kaidah bahasa), pun logika-logika sederhana, dalam buku ini kerap kali dijumpai hal-hal yang sebaliknya. Terlepas dari licentia poetica yang kerap diagung-agungkan oleh penulis yang belum benar menguasai esensi dan teknik-teknik kepenulisan, tentu ini bisa menjadi pembelajaran bagi siapa saja yang hendak menerbitkan buku kumpulan puisi. Ya, siapa saja.

Namun waktu tetap beredar sebagaimana pagi-siang-malam-pagi lagi-siang lagi-malam lagi-dan seterusnya. Waktu sekaligus yang akan memperkarakan: buku (penulis) ini bisa bertahan lama atau tidak. Sebuah kensicayaan. Semoga penulis (k)ini tetap ‘bertumbuh’ secara jasmani dan rohani selayaknya “kail dan jala cukup menghidupimu/tongkat kayu dan batu jadi tanaman/di(-)ambil dari lagunya koes plus” (hal.66).


Diresensi oleh Ganjar Sudibyo
Yogyakarta, 2016