PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

7.01.2010

TENTANG POHON JAMBU DI TERAS RUMAH

:tertanda musim


(“aku akan tetap duduk-berada
di setiap siklus musim yang bertanah
pada akar akar tunggangmu”)


//musim kemarau//
1.
bulan bulan matahari tertanggal di kambium merah-cokelatmu;
ia akan selalu hijau walaupun daun daunmu terbakar, atau
menguning lalu berjatuhan kembali pada muasal yang menciptanya
2.
daun daun tak akan bisa jujur pada dahan dahannya
sebelum dahan dahan bersuara mengumandangkan
lagu lagu-air yang tak pernah mengecewakannya
3.
bila sebuah kemarau memuarakan bahasa yang sengat
pada sekujur tubuh-rimbunmu, maka dengan segenap
doa yang engkau pelihara berpuluh-tahun lamanya
setidaknya akar akarmu masih terjaga bersama
februari yang nisan di sisimu

//musim pancaroba//
sebenarnya pancaroba tak sudi menamakan dirinya
pada daftar daftar siklus musim yang pasti, tapi sesuatu
telah mencungkil angin muson yang garang
sesuatu itu melepasnya, menjelma
hingga akhirnya pancaroba mengetuk
daun daun keringmu

//musim penghujan//
1.
rasanya masih di musim kesekian yang sama. tapi,
engkau dengan berani memangkas batang batang setengah kering
untuk engkau tanggalkan pada punggung seorang penjual kayu bakar
supaya bisa sedikit memberi api-rindang pada nyala doanya
2.
“wah....ternyata, musim bukanlah penipu!”
suara itu melesat menuju sesuatu yang jatuh di hampir setiap malam
: engkau yang berbuah-tabah,
engkau yang tekun membaca kompas kejujuran musim
engkau yang menjadi tanah untuk setiap gugur putik bunga-jambu
3.
tersebab waktu yang tak bisa memutar balik
penghujan takkan berjanji melupakanmu, pohon jambuku
meski kini di namamu tinggal separuh batang cokelat dan akar akar tua
tinggal peribahasa penghujan yang terekam pada kobaran api tiga tahun lalu

sedang aku sudi menjadi basah bagi buah buahmu beserta akar akar tunggangmu
yang bebicara tentang banjir pencurian musim yang gagal kududukkan di tanah
redup sepuluh tahun kanak kanakku.



Semarang, 2010

TIGA PUISI UNTUK SAYA DARI TIGA PENYAIR

rupa-rupanya ada yang membuatkan puisi dan puisi tersebut didedikasikan untuk saya. hm,
mengesankan. berikut ini dua puisi yang terlahir dari permenungan tiga penyair:

PUISI I
Oleh Penyair Dimas Arika Mihardja

PECANDU KATA
: ganz

siapa melangkah tengah malam menyorotkan cahaya kata
bagi jiwa lata? sebuah tanya tak mesti berjawab, sebab perjalanan
menembus gelap menyisakan erang tertahan.

siapakah yang menawan kata di kedalaman penjara dada
lalu merajut huruf hidup dan huruf mati
yang berkelojotan di atas tikar sembahyang
sementara awan berkawan dengan hujan dan petir meledak
lalu meledek kesendirian kata?

aku mabuk, merasuk ke dalam bilik sunyi
berjalan sendiri meronce sore dan menjadikannya malam
aku tenggak lagi tuak sajak sehabis-habis gelegak :
beri aku sajak yang paling tuak!


bengkel puisi swadaya mandiri, jambi 17 juni 2010





PUISI II
Oleh Penyair Nanang Suryadi

CANDU KATA KATA

buat: ganz

adalah candu yang lebih candu: kata. yang berbahaya bagi para penguasa yang bebal
dan suka aniaya. adalah kata yang lebih candu dari candu yang menelusup ke dalam
jiwa jiwa yang merana dihina tiada habisnya. kata.

Juni 2010



PUISI III
Oleh Penyair Mutiah A. Rasta

BERJALAN DI KELOPAK MATA

-Ganz

(akan seperti apakah perut hidup yang berpuisi itu?
mungkin kataku
dan kau?)


kerikil yang menggugus di halaman telah lama menjadi dingin, saat bulan menutup
kornea malam dan membuka tubuhnya untuk dilapangkan bahwa malam adalah langit
paling ganas.

seketika orangorang dengan rangkaian bunga di telinganya mencoba terbang dengan
kaki, lalu seperti apakah mereka merajut bulu dengan jarum dari sebuah cerita ayam dan
elang.

di situlah bayangan dikukuhkan. dan ketika ia sampai pada puncak altar, seluruh tubuh
akhirnya setengah melingkar. dalam tengadah terbalik : ribuan mantra yang tersimpan di
bawah laci lidah dirapalkan

dengan sedikit kidung yang terasing, lalu hendak dipejamkan di mana mata. hendak
ditenggelamkan di mana kornea

alis yang tumbuh menanjak di setiap kening waktu: serupa kita yang hendak terbang.
mengendapkan beberapa langkah di jembatanmata. hingga menjadi dada langit yang
mengapungkan waktu. dan malam : berjalan di kelopak mata


palembang, 2009-2010