PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

5.26.2014

NITIPRAJA*





(...biji tumbuh daun berkembang)

tunggu kami patih, meski laut perasaanmu
tak kunjung mendaratkan perahu-perahu kami
yang tersesat; misalkan kebajikan-kebajikan kini
berhantaman dengan zaman yang pesat, sungguh
apa yang engkau muarakan kepada kami telah
kami rawat sampai hari itu tiba; bahkan entah
sampai laut tak lagi asin

nasihat yang terkasih, telah kami peram bahasa-bahasa
yang disembunyikan oleh para pendatang.  telah kami
simpan masak-masak pasemon yang engkau bagikan
untuk kami nyalakan nantinya; nanti ketika sebuah
generasi benar-benar menjadi oleng -rancu
oleh tata krama yang diseret-seret naga dan singa

sekali lagi tunggu kami, patih;
jangan engkau tergesa menulis banyak serat
sampai-sampai bangsa asing mendahului
anak-cucu kami untuk memperolehnya
...duh!

tunggulah patih, di dalam tubuh kami masih banyak
ceceran biji dan daun yang belum engkau
ruwat sebagai peringatan atas seluruh perasaanmu
kepada pendaran nasib kami seutuhnya  

(...berjalanlah seperti angsa)

seperti ikan lihai berkecipak bukan sebab badannya kecil
tapi sebab tajam tajinya; sesungguhnya kami tak hendak
berlindung hanya di bawah panutan batang-batang tunjung
telaga sari yang mentiyung, sebab lamban-lamban
tindak-tanduk kami menjelma angin ladang yang fasih
menciptakan bunyi mirip lesung... tunggg!

inilah pentas yang kami harapkan, lur;
babak demi babak layaknya kedipan mata
di depan garis hidup kami yang berjajar
mengiringi perjalanan: endap-endap
lakunya berbobot resiko tinggi.

tenang, tenang ... ini bukan drama
tentang manunggalnya manusia
dan selesainya langit tiruan lapis tujuh,
melainkan tentang kami
yang berkeris parung rancaban
yang bersabuk kain panjang tiga lapis
kami yang hendak berguru
bukan sekedar kepada belulang
keselamatan;

ingat lur, ingat apa wejangan empu
ingat apa wejangan patih

“kasora kang sinedya
kasora kang sinedya “


Pandean Lamper, 2014

*)Serat yang ditulis oleh Sultan Agung sebagai sastra piwulang

5.18.2014

LAILA ( IX )



ujung-ujung jariku kini gemetar
nanar mataku seperti ingin menghisap
pelan waktu yang terus menerus diulang;
tidak, tuhan bisa saja mengambil lagi

keraguan tak punya pintu
sebab itu kamu muntah dibuatnya
syahdan dadaku lelah menunggu
demikianlah bagi seorang seperti aku
menulis begini semacam mengasuh diri;
ya, tuhan bisa saja memberi lagi


2014


LAILA ( VIII )



mengenang kita;
tiba-tiba aku ingin menulisi dinding
ruang kerjaku tentang batin berisi
puji-pujian atas doa yang dipanjangkan
dengan sedikit mesra dan rasa sakit

pergulatan kini pada kenyataannya 
bukan bangunan jiwa yang mau runtuh
karena tafsir mimpi yang salah; ketahuilah
menulis laila untuk kesekian kali diperlukan 
sedikit cara menghentikan berkali-kali lupa

dan menyunting doa-doamu kini
jauh lebih menyembuhkan 
daripada menempelkan perca kata
di meja kerja dengan sedikit bodoh


2014

KEINDAHAN



Keindahan tidak selalu identik dengan hamparan sawah hijau, gunung, sungai, atau alam mahaluas pada sisi kilometer-kilometer kita. Aku ingin memberitahu kalian tentang sebuah laku perjalanan labil yang jauh nan singkat. Ketika sebuah perjalanan diciptakan banyak hal oleh alam di dalam dada dan kepala kita. Demikian keindahan bukan sekedar hal yang tampak sederhana untuk dipahami; keindahan adalah cara tak kasat mata yang diperas ketika dinding diri menahan benturan-benturan keras. Perasaan-perasaan yang kadang tajam dan tumpul. Pikiran-pikiran yang menggelinding dan menanjak. Ketenangan jiwa yang lurusnya tak terukur.

Kawan, titik laju ini ada sebagaimana aku menyerahkan diri demi menulis tentang kalian yang menetap lama lalu muncul tiba-tiba mengetuk pintu sementara aku tak mampu sekalipun membuka tirai jendela. Inilah, sebab menghidupi kata-kata adalah jalan silih.  Tuhan barangkali bersama para pejalan.



2014

5.12.2014

RANJANG GERIMIS BIRU



sebenarnya di balik selimut ungu kita sedang belajar
melupakan lanskap-lanskap kenangan dengan sedikit
nyala api mimpi. mimpi-mimpi lugu nan lucu. ya, pada
mulanya selimut memberi kita hangat dan gelap.
dalam gelap, hangat kata-kata yang dulu pernah jatuh
lesat pada koyak hati telah membikin perasaan-perasaan
kita jadi teduh dan jauh lebih dekat dengan kita;

sebuah ranjang mewah yang dibentuk beku waktu
telah menampung langit, lamunan beserta resah
puisi-puisiku kepadamu
(di seberang jendela:
ada yang berlalu tentang
mereka yang kita percayai telah menciptakan bau
humus selepas mendatangkan gerimis di antara
pendar cahaya matahari musim kemarau)

kita tahu kini sebenarnya
segala pelukan segala resah
segala rencana, segalanya kembali
menjadi alpa sebelum dada-dada
kamar hingga kaki-kaki ranjang
karam oleh titik demi titik
biru pilu yang dikandung
lautan masa panjang kita


2014


5.06.2014

BLUES TENTANG KEMATIAN BAPAK*




hei bapak yang mati, aku melayang pulang
hei orang miskin, kalian sendirian
hei papa tua, aku tahu ke mana aku pergi

bapak yang mati, jangan menangis lagi
ibu ada di sana, di bawah kolong
saudara yang mati, timbunlah pikiranmu

bibi renta yang mati, jangan sembunyikan belulangmu
paman renta yang mati, aku mendengar isakmu
o kakak perempuan yang mati, betapa syahdu aduhmu

o anak-anak yang mati, pergi bernafaslah
dada yang sesak akan meringankan kematianmu
luka pun lenyap, tinggal sisa tangis dihisap

kepandaian yang mati senimu telah tuntas
pecinta yang mati tubuhmu lekas hilang
bapak yang mati, aku sedang menuju rumah

guru yang mati firmanmu benar
pengajar yang mati, pun aku berterimakasih
kau telah menciptakan inspirasi menyanyikan blues ini

buddha yang mati, aku bangkit denganmu
dharma yang mati, pikiranmu pembaharu
shangha yang mati, kami akan bersegera melampaui

penderitaan adalah apa yang lahir
ketidaktahuan membikin aku pilu
kebenaran penuh tangis mencemooh pun aku tak mampu

bapak yang mati, ini perpisahan sekali lagi
kelahiran yang kau munculkan bukanlah hal buruk
hatiku masih tetap, sebab waktu yang akan berkabar


*) Terjemahan Uji Coba terhadap sebuah puisi karya Allens Ginsberg berjudul "Father Death Blues"

LAILA ( VII )



; layar dibuka
tokoh-tokoh keluar dari tubuhmu
adegan-adegan yang sama
penonton yang sama

dari tubuhmu
panggung menghapal sebuah drama
yang bergerak tak kenal melampaui
suara-suara aduh tubuhku
tanpa pernah ada yang tuntas merapal


2014

5.02.2014

LAILA ( VI )



ingatanku, laila
: surga sehimpun doa keputusasaan
yang bernyala dari cair lilin-lilin,
saripati kesetiaan serafim

dari langit kegelisahan, cahaya dijatuhkan
menerobos ritmis lengang jalan raya
yang kini aku

ya... malaikat kesunyian

kamu;
seperti halnya dingin yang telanjangnya
mematuk-matuk senyap mataku



2014

5.01.2014

LAILA ( V )

di meja makan itu kamu letakkan
: kenangan, mimpi-mimpi panjang
lalu tak jauh sebuah pisau di dapur
matanya kini membikin kamu takabur

duh, kita yang begitu lemah
menjadi irisan jiwa-jiwa; menjadi
peristiwa gagap yang ujungnya dipotong
tiba-tiba

sayangku yang lampau,
apa yang perlu kita mengerti sebenarnya
sebab jarak yang tajam dan mahamesra itu
telah menciptakan hubungan berjumpalitan
; gaung kita kembali dari tiada
dari tiada
....tiada


2014