PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

10.16.2014

PEMANDANGAN PAGI HARI DI KEPALA


kita dan sebuah perpustakaan kecil, rak-rak di kepala
-- di luar, laksana burung-burung keluar dari sarang
bahasa-bahasa bernas mencari pintu langit kota;
mazhab kini tak dimungkiri memaksa kita bergerak lekas
hanya bayang bayangan masa lalu tertinggal jelma
buku-buku ganjil beserta halaman-halaman yang lepas

kita ingat yang mengantar kenangan itu: angin:
muson timur mengirim kabar kemarau tak akan
sampai jauh, musim sekalipun tak akan mampu
membikin robek kertas-kertas letak pandangan kita
pernah rimis, miris bertemu dengan hal-hal
yang tak bisa kita sangkal

tepat suatu pagi ditarik oleh jari-jari waktu
bersama mimpi kerdil yang bangun dari celah pelukan
bahasa jendela yang pertama kali dibuka;
kita mulai mengerti,kita mulai menerjemahkan

di kepala, ruang kita simpan judul-judul pertemuan
sampai ujung jauh diri ini jauh
menuju kamu (sekumpulan titik cahaya terbit)
-- sayatan yang merayuku membaca ulang
dan ulang, potret kepedihan macam apatah
yang tak sempat tercatat?


2014

10.15.2014

ANTOLOGI SEBELUM MENEMU RUMAHMU


1.
jam begini aku masih hendak terus menemukan kamu;
entah aku beranjak dari alamat mana
jalan-jalan dan tikungan-tikungan yang
bergerak melintasi tubuhku, pikiranku
perasaanku atas kamu -- aku tak pernah
tak berdaya. segala pencarianku bukanlah
mudah berhenti ditentukan waktu, sebab jarak
menguatkan otot-ototku untuk berjalan
memandang hanya ke depan

2.
nama jalan tak pernah kuhapal
hanya nama tinggalmu kurapal;
perjalanan teramat panjang ini
adalah pangkal ketika diri
dibenturkan oleh bahasa
yang disampaikan rindu,
melubangi dadaku yang tajamnya
mematahkan ulangan-ulangan
ingatan

3.
menuju rumahmu
tak akan bisa ditebus
dengan doa yang biasa-biasa
airmata yang biasa-biasa
atau puasa.
sebuah usaha keras dilakukan
seperti menaklukkan kata-kata
sebelum dibentuk sajak
yang matang benar
sebuah silih mesti dirayakan
seperti seorang penyair tua yang memilih
sendiri, sembunyi dari keramaian abad

4.
aku percaya. sangat.
rumahmu melebihi apa yang pernah
kutemukan di dunia;
melebihi kepercayan-kepercayaan
aku akan masuk surga
jika aku rajin mengumpulkan pahala
-- ah! surga yang mana?
sebab mengucap sumpah adalah kamus bebal
dari orang abad yang tak berani menepati janji
dan demi hidup yang maha penyair,
izinkanlah segala kelelahan ini
jatuh mencium tanah rumahmu


2014

IKAN HIAS HARI RABU





rabu berkabung sebab ada yang jelma gelembung
katakanlah, ia menyejahterakan seluruh isi warga air
entah kolam entah akuarium. di dasarnya ikan hias
tampak bahagia, sebab gelembung itu mau dipermainkan
atau gelembung itu rela dihisap. siapa sangka
ikan hias bahagia. hari rabu seperti kamu
mencandai sesuatu yang sering melintas
tetapi tak tahu apa; ikan hias dalam kolam
dirimu dalam akuarium dirimu dalam kenangan
gelembungmu. hari rabu seperti kamu
tenggelam-terbalik menghirup udara warna-warni
kehilangan lain: ikan hias, gelembung
yang bergerak terombang-ambing
tanpa dingin arus waktu di kedalaman
batas air matamu


2014

10.13.2014

TERSEBAB TUAN PENDONGENG PUISI ( I )



“butuh 100 tahun
bagi seekor burung
sampai ke pantai bau nyale
...
barangkali ia menangis
dengan cara yang belum aku pahami[1]        
           
Ini bukan tentang sebuah nama yang berawal dalam sebuah buku bacaan sore[2] berisi 100 puisi Indonesia terbaik di tahun 2008. Namun karya cipta yang membikin mata saya memiliki keinginan untuk masuk kehidupan itu, menyelaminya dalam-dalam. Pada suatu kesempatan saya diizinkan untuk berkenalan dengan beliau melalui jejaring sosial. Sebentar kenal, beliau menanyakan alamat saya. Ingin berbagi buku, katanya. Saya bahagia sekali, tentu. Sebab akhir-akhir ini saya sedang ingin gemuk bacaan. Beberapa hari berlalu, dua bukunya sampai di alamat. Beliau mengirim dua buah buku yang berisi kumpulan puisinya “Dongeng Anjing Api” (2008) dan “Biografi Burung” (2013). Secara ringkas, riwayat buku “Dongeng Anjing Api” pernah mendapatkan penghargaan dari KLA pada tahun 2009.
Pada bagian dari kesempatan menulis atas bahan bacaan kali ini saya tidak akan menawarkan analisis yang mendalam. Saya hanya ingin berterima kasih atas buku-buku ini terlebih kepada penulisnya yang rela mengirimkan buku kepada seorang yang belum beliau kenal sepenuhnya. Demikian saya melihat nilai dalam kepribadian beliau yang menonjol, yaitu berbagi. Di antara berbagai macam kepribadian sastrawan yang saya rasa belum tentu mengenal sebentar kemudian membagikan karyanya (apalagi dalam bentuk buku), beliau melakukannya. Ya barangkali dugaan saya ini salah dan setiap sastrawan mempunyai cara sendiri-sendiri untuk menindaklanjuti rasa berbagi.
Saya semakin penasaran dengan beliau, maka saya mencari perihal yang berkaitan dengan beliau. Pada pencarian itulah saya menemukan wawancara ook nugroho dengan beliau[3]. Di sana, Saya mengamati proses penciptaan dan eksplorasi beliau dalam kepenulisan. Tentu ada hal-hal yang dapat saya pelajari beliau lewat wawancara tersebut.
Akhirnya saya hendak menikmati kedua buku ini untuk kesekian kali terlebih dulu (sebelum menelisik lebih dalam)--barangkali ada cara memantik "kesedihan" muncul ketika membaca puisi-puisi yang belum saya pahami. Dua buku kumpulan puisi yang sebagian besar diksinya menggunakan kosa kata makhluk hidup seperti binatang (burung, kupu-kupu, anjing) dan tetumbuhan. Mereka seolah menjelma dongeng-dongeng ketika saya beranjak dari masa kanak-kanak. Ya, semacam ada kehidupan yang kembali dihidupkan dalam kepala saya ketika proses membaca saya lakukan secara khusyuk.

Terima kasih atas perkenalanmu, Bli!




Semarang, 2014



[1] Penggalan dalam puisi yang berjudul “Burung Bau Nyale” (Sindu Putra, 2013)
[2] Dulu sekali, saya sering membaca buku-buku sastra di sore hari.
[3] http://ooknugroho.blogspot.com/2009/11/sindu-putra-raih-khatulistiwa-literary.html

10.09.2014

PUISI-PUISI JALALUDDIN RUMI



Jalaluddin Rumi, seorang mistikus sufi termasyhur yang lahir pada tahun 1204 Masehi. Ia menulis puisi sebagai sarana untuk mengekspresikan dan mengajarkan tentang pendar Cahaya Ilahi. Ia percaya bahwa manusia memiliki potensi bilamana manusia menyerahkan dirinya pada kekuatan cinta dan hidup dalam kondisi kebahagiaan yang tak terbatas. Puisi-puisinya mencerminkan kehendak universal untuk sesuatu yang lebih besar dari diri manusia sendiri; energi psikis dan spiritual yang memancarkan cinta dan membawa pada sifat sejati manusia.Ungkapan perasaan tentang gairah kerinduan untuk Sang Kekasih baginya adalah pintu menuju keabadian. (Abdulla, 2000)



Puisi-puisi yang saya terjemahkan ini merupakan puisi-puisi yang dimuat dalam antologi buku "Words of Paradise " (FRANCIS LINCOLN, 2000)  yang diinterpretasikan secara baru oleh Raficq Abdulla. Berikut sejumlah puisi yang saya terjemahkan secara bebas:



Musik membuka hati kita dan menjerat kuat-kuat
Lewat gema yang tumpah dari lengkung langit;
Dan iman jauh melampaui tusukan pemikiran semu
Membelokkan bahaya keramaian dengan cinta yang ditatih oleh para malaikat.

Anak-anak Adam dinyalakan dan dilekatkan dengan keras
Mendengar bersama mereka para malaikat bernyanyi dan tersenyum rintih.
Kita ingat mereka, bahkan samar-samar, seperti hasrat rindu
Detak jantung dari jiwa pengetahuan murni yang merdu.

Oh, musik santapan jiwa-jiwa para kekasih yang terpanggil.
Musik membangkitkan semangat dari selimut bumi ini.
Abu tumbuh lebih tebal dan merontokkan bulu mereka
Dengarlah dengan keheningan bahwasanya hanya jiwa yang mampu berdiam

Mathnavi IV, 733




Fajar – yang dikandung cahaya: bulan bunting
Meninggi melengkung ke aliran darah langit
Bertolak dari wajah malam yang memudar.
Mengambang di atas kedua mataku yang terangkat.
Ia menaburiku dengan warna perak klasik.
Lantas seperti seekor elang memburu mangsanya
Menukik ke bawah untuk mencengkeramku dengan cakar dan ketinggian.
Muncul kembali lengkungan sebuah tanda kebesaran nama Tuhan.
Tinggi ke dalam pecah langit.
Jiwaku terbang sekencang kegelisahan memandang kesia-siaan
Menyimpan mata mistik bulan yang penuh
Tubuh kerdilku dengan anugerah dingin cahaya perak
Menyempurnakan jiwa yang tak terbaca dari kejijikan; tumbuh
Dengan lembut jernih dengan sesak ketinggian.
Jernih umpama kemurahan hati air yang mengalir;
Dibasuh oleh api Sang Ada - yang terasa tak terkatakan -
Sampai lensa jiwa telanjangku
Membuka Kekosongan, yang melebur ketakpedulian

Divan 649



Seorang pengemis tersenyum padaku dan menawarkanku sedekah
Dalam sepanjang mimpi tadi malam, hatiku melepas gembira.
Keindahan dan karunia-Nya berpendar dari kejijikannya
Kehadiran membawaku serta oleh badai hingga aku terbangun saat subuh.
Kemiskinan-Nya adalah segala kekayaan, yang menyelimuti tubuhku dengan sutra.
Dalam mimpi itu aku dengar panggilan parau para kekasih,
Aku dengar jeritan-jeritan halus penderitaan yang bersukacita mengatakan:"Ambil ini,
Minum dan sempurnalah! " Aku melihat sebelum aku memakai sebuah cincin
Perhiasan dalam kemiskinan yang kemudian bersarang di telingaku.
Muasal akar dari jiwa yang bergelombang seratus getaran
Naik seolah aku dibawa dan diajak oleh ombak laut.
Kemudian surga mengerang dengan bahagia dan melahirkan seorang pengemis dari dalam diriku.

Deivan 2015



Kecantikanmu adalah ketelanjangan yang agung, melebur
Dari kulit halus yang tak bernoda beserta nyala perhiasan
Dan sentuhan manja sutra. Wajah lembutmu
Apakah semurni susu bulan purnama.
Aku memasukkan bagian tubuhku dengan satinmu;
Jiwa-jiwa tanpa dosa, tubuh tak bernoda kami
Adalah muda dengan musim semi yang tak bersalah
Seperti kita yang satu berpadu demi suatu perjalanan
Dari tempat melalui waktu menuju kekal.

Mathnavi VI, 4618



Kedua matamu mesti menuntaskan ujian Cinta mereka
Bagi engkau yang mengalahkan jalan kebenaran dengan sopan;
Luangkan waktumu tidak dengan wajah dingin di tempat-tempat mati
Atau nafas lainmu yang akan membekukan dada dan hati.
Dari sisa kerinduan yang melampaui bentuknya untuk pencarian
Lebih daripada pelipuran dalam penderitaan alami yang disebut Cinta.
Jika engkau dungu dan berat seperti padat tanah liat yang likat
Oleh gravitasi, engkau tidak akan pernah turun dari lingkar langit;
Datanglah sehalus seribu tarian partikel-partikel debu.
Sedemikian hanyut dan menemukan kakimu pada halus jalan sempit cahaya.
Pilihlah untuk beristirahat atau yang lain akan dihancurkan oleh epos
Milik penciptamu; kematian akan serta merta mematahkan dirimu yang fana
Seperti sebuah cangkang kosong tanpa sebutir mutiara. Ketika selembar daun
Menjadi layu, di suatu musim akar-akar baru sepatutnya menghijaukannya kembali;
Mengapa lantas bermain-main dengan cinta yang lemah tak berakar
Yang mencuri kedua matamu dari Yang Tak Tampak?

Divan 2865



Engkau yang tak dapat menjauhkan matahari
Tak lebih dari sebuah mawar cantik
Bertahan tanpa cairan cahaya.
Tanamilah ruang batinmu dengan benih
Di mana bulu-bulu api tampil begitu anggun.
Ada sesuatu yang lebih tinggi yang kita mengerti
Tapi engkau mengatakan tak lagi,
Bukan ini, bukan pula itu;
Aku tak mengerti.
Engkau yang lekat dalam kemiskinan.
Tapi dalam bayang-bayang lambang kemiskinanmu
Engkau senantiasa memandang dan mengatakan sesuatu
Kenyataan adalah di luar yang tak diketahui.

Mathnavi VI, 634



Aku dulu adalah setitik debu yang ditakar dalam molekul
Sekarang aku adalah sebuah puncak gunung tinggi, tertutup salju
Aku dulu lupa seperti biji-bijian kopi di sebuah pot yang kosong
Sekarang aku bergelombang ringan terkemuka orang banyak.

Engkau menghapus rasa laparku, mengemasi kemarahanku
Kekuatanmu menebalkan suaraku, memancarkan hatiku;
Sekarang aku hidup dengan biji kata-kata yang tertuang
Dari bibirku umpama lava cair berkilau dengan kebahagiaan tak terbatas.

Ruba’iyat 1966



Hari ini aku memandang jelas bahwasanya permata, Kekasihku, yang
Dengan sebuah langkah nabi menggenggam tali menuju surga
Seperti semangat Mustafa.
Betapa matahari mengerutkan kening keberaniannya.
Menghablur tanpa kendali
Dari hati yang terhalangi ketika mengintai kilatan wajahnya.
Pendaran-Nya mengubah air dan memudarkan tanah liat
Dari benda-benda menjelma seri keagungan para sahaya.
Aku memekik: "Di mana tangga
Dengan apa aku akan mendaki menuju surga? "
Dia berkata: "Kepalamu adalah anak tangga, tempatkanlah
Pada kegelisahan kakimu, langkah di atasnya dan engkau akan melangkah
Di atas kepala bintang-bintang. Menyelam ke langit
Berenang di udara, seperti ini
Ambillah hatimu dengan kepala dan datanglah!
Sekarang jalan menuju surga terbuka
Seperti lidah-lidah api di dirimu, engkau akan bangkit.
Bangkit menuju surga laksana suara-suara paling lembut
Bentuk bahasa takwa sepanjang shalat subuh."

Divan 19




Malam Lebaran, Pandean Lamper, 2014

GERIMIS TIBA DALAM SEBUAH KONSER SORE


dekatku, kamu tak habis menggerutu ketika aku
menjauhkan pandangan kelabu dari panggung tanpa massa,
partitur-partitur itu nampak hablur mengingatkanku atas lanskap
dirimu yang sama di belakang putaran waktu; diamlah, kataku
kita hanya tinggal diam biar sunyi panggung tetap mengirim gaung
ke getar telinga kita -- telinga yang kerap kita simpan rindu sebagai
bagian rencana kosong dunia masa depan

panggung itu: ramai suara kita yang ingin mencabik langit
supaya diturunkannya musim baru. konser biru yang kita rayakan
sampai tuntas lagu-lagu luka berkasih-kasihan
seromantis jam gerimis itu


2014

PEMANDANGAN PAGI HARI DI KEPALA

kita dan sebuah perpustakaan kecil, rak-rak di kepala
-- di luar, laksana burung-burung keluar dari sarang
bahasa-bahasa bernas mencari pintu langit kota;
mazhab kini tak dimungkiri memaksa kita bergerak lekas
hanya bayang bayangan masa lalu tertinggal jelma
buku-buku ganjil beserta halaman-halaman yang lepas

kita ingat yang mengantar kenangan itu: angin:
muson timur mengirim kabar kemarau tak akan
sampai jauh, musim sekalipun tak akan mampu
membikin robek kertas-kertas letak pandangan kita
pernah rimis, miris bertemu dengan hal-hal
yang tak bisa kita sangkal

tepat suatu pagi ditarik oleh jari-jari waktu
bersama mimpi kerdil yang bangun dari celah pelukan
bahasa jendela yang pertama kali dibuka;
kita mulai mengerti,kita mulai menerjemahkan

di kepala, ruang kita simpan judul-judul pertemuan
sampai ujung jauh diri ini jauh
menuju kamu (sekumpulan titik cahaya terbit)
-- sayatan yang merayuku membaca ulang
dan ulang, potret kepedihan macam apatah
yang tak sempat tercatat?


2014