PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

7.31.2011

SAJAK-SAJAK WALT WHITMAN*



Seorang Anak Takjub

DIAM dan takjub, bahkan ketika kecil,
Aku ingat aku mendengar pengkhotbah setiap Minggu yang meletakkan Tuhan dalam
kata-katanya,
Sebagai pengkhianatan atas beberapa persaingan atau pengaruh.



Tengah Malam yang Cerah

INI adalah jam-Mu wahai diri, perjalanan bebas menuju tanpa kata-kata,
Menjauh dari buku-buku, jauh dari seni, hari terhapuskan, pembelajaran dilakukan,
Engkau sepenuhnya muncul, diam, menatap, merenungkan tema yang
terbaik untuk engkau cintai.
Malam, tidur, dan bintang-bintang.




Sebuah Daun untuk Bergandengtangan

SEBUAH DAUN untuk bergandengtangan!
Kau orang tua dan muda!
Kau yang di Mississippi, dan seorang mekanik! Kau orang kasar!
Kau orang kembar! dan semua prosesi bergerak sepanjang jalan!
Aku berharap membenamkan diri di antara kalian hingga terbiasa bagi kalian untuk
berjalan bergandengtangan
!



* Walter "Walt" Whitman (31 Mei 1819 - 26 Maret 1892) adalah seorang penyair, esais, wartawan Amerika yang pernah bekerja sebagai guru dan pegawai pemerintah. Sajak-sajak ini diterjemahkan oleh Ganz Pecandukata, 2011.

Sumber: www.poemhunter.com/ebooks/redir.asp?ebook=2353...walt_whitman...

7.28.2011

SAJAK-SAJAK KATIA KAPOVICH*


HARI SAMPAH

Mereka harus berteriak satu sama lain
karena angin pagi setelah Natal.
Aku berharap bisa melukis wajah mereka tanpa menggunakan kata-kata:
satu tinggi dan reyot, pendek dan gemuk, sedang yang lainnya
mengenakan jaket oranye kotor, celana olahraga,
dan masker wol hitam pada mulut mereka-
adalah orang-orang hari sampah.
Mereka terjebak denganku untuk melakukan sejumlah akrobat.
Gelap-biru daur ulang sampah diangkat dengan tangan berurat satu
menemukan diri dalam pelukan lain,
yang bersenandung atas apa pun yang bersenandung
kepada sopir, dan dorongan nyala stopkontak
ke atas piramida tong sampah yang dikosongkan.
Aku baru saja menaruh beberapa puisi buruk di dalamnya
puisi dari musim dingin sebelumnya, dan sekarang mereka pergi,
seperti masa Sang Buddha. Terima kasih, Bung.


MALAM FLAMENCO

Tersebab musim semi mendatangi bulan yang terlambat,
Orang-orang beramai turun ke jalan-jalan,
termasuk aku dan seorang gadis cebol.
Sebuah band sedang bermain flamenco favorit,
sedang dia berdandan, seolah-olah demi sebuah kencan
ia telah berdiri ke atas panggung
di hadapan semua orang.

Dia mulai mengetuk-ngetukkan kakinya,
sepatu hak tingginya tak tertahankan
menangkap irama tetapi tidak pernah meninggalkan tempat
di antara lampu neon di Cambridge Trust Company
dan risik padang rumput Bunga-bunga Harvard.

tangan putih pendeknya
menekan ke pelukan dadanya
yang patah hati
dan memegangnya seperti semangkuk susu.

Dia menari dan menari,
bayangnya tumbuh lebih panjang dari tubuhnya,
seperti lampu-lampu jalan Square yang berdatangan,
menghapus jejak kaki dari debu
meninggalkan cangkir-cangkir kertas untuk memutihkan
senja biasa.


(Flamenco adalah sebuah genre musik dan tari yang berasal di wilayah Spanyol selatan Andalusia di akhir abad ke-18)



TERBAKAR

Ketika hari membersihkan sampah turun ke atas rongsokan,
sebuah Balai kota dan tuan rumah Jerman kami temukan
dalam kompartemen koper kecil
mereka berbagi dengan sebuah bola dari kaus kaki, kap robek,
kau menggigil dalam celana renangmu
pada pohon beku tempat orang-orang Jerman
mendorong kami untuk bergabung dengannya demi berenang.

Aku akan mengambil arlojiku dan menguburnya di kerikil
yang mungkin menggerus pasir kekosongan,
melambaikan tangan-tangannya, mememarkan sikunya,
namun kukuku adalah sebuah kaca pembesar.
Kau meminta orang-orang Jerman untuk meninggalkan kami sendirian,
meneguk dari botol, menikahi seseorang,
tetapi dalam mimpi aku tergoda lagi
telanjang di bawah matahari musim gugur.

Satu hal terakhir sebelum aku lupa
kulit berbintik-bintik, bibir biru, suara-konyol
Aku akan mengambil kaca pembesar
dan menunjukkan apa yang kumaksudkan.




*Katia Kapovich, seorang penyair yang membawakan sajak-sajaknya dalam bahasa Inggris dan Rusia. Dia adalah penulis Rusia yang tinggal di Cambridge di tahun 2000. Aajak-sajak ini diterjemahkan oleh Ganz Pecandukata, 2011

http://www.janushead.org/10-1/kapovich.pdf

7.27.2011

SAJAK-SAJAK PAUL CELAN



Sebuah
gemuruh:adalah
kebenarannya sendiri
yang berjalan di antara
laki-laki,
di tengah
badai metafora.



Di mana
?
Pada
malam seketika bukit batuan runtuh.

Dalam
puing-puing dan curam keresahan,
dalam kegaduhan paling pelan,
kebijaksanaan itu - adalah lubang bernama Ketiadaan.

Jarum-jarum air
menjahit bagian
bayangan - di jalan perjuangan
yang lebih dalam dan bawah,
yang bebas.



MEMECAH

Tanpa kesakitan, sebuah pohon-
kuburan pecah menjadi
ranting-ranting yang patah:

racun masa lampau
istana-istana, katedral-katedral masa lampau,
mengapung-
di arus dan jatuh

sebab pembakaran yang berulang
lepas
dari tanda baca kesela-
matan,
Kitab Suci,
melarikan diri ke bagian-bagian
tak terkirakan hingga
yang dinamai tak-
mampu mengucapkan
nama-nama.




(Paul Celan, seorang penyair dan penerjemah yang berasal dari Rumania berdarah Yahudi. Ia lama tinggal di Jerman di masa perang dunia II. Sajak-sajak ini diterjemahkan oleh Ganjar Sudibyo setelah sebelumnya dibahasa-inggriskan oleh John Felstiner, 2011)

sumber:http://www.janushead.org/10-1/celan.pdf

7.22.2011

SAJAK-SAJAK OUYANG YU



JANGAN BERKATA


Betapa sepinya dirimu
Ada begitu banyak pohon di sekitarmu
Berdiri dengan begitu terpisah
Bahwa mereka tidak pernah berbahasa satu sama lain dalam gelap

Ketika kau berjalan pulang larut malam
Seseorang mengangkat bara api dari panci api
Betapa kau memiliki perasaan
Bahwa itulah kehidupan

Sama halnya seperti kau masuk pintu
Lalu bayanganmu membuat suara
seketika kau melihat ke belakang dan melihat bahwa itu adalah anjing tanpa rumah
Seketika itulah kau berpikir, puisi ini dituliskan



MINGGU, 22 AGUSTUS 2004

Pukul 4.09, Minggu sore, 22 Agustus 2004
Saat itu di luar hujan sangat deras
Hujan terdengar di dalam rumah
Ouyang Yu sedang mengetik
Menulis puisi ini
Bel oven di dapur berbunyi
Suara sorak Olimpiade memenuhi ruang tamu
Dan Ouyang Yu telah sedang menerjemahkan di rumah sepanjang hari
Langit berubah abu-abu, berganti kuning
Lampu menyala di rumah

Ketika Ouyang Yu selesai menulis puisi
di pukul 4.12, Minggu sore, 22 Agustus 2004



MUSIM DINGIN

Sehari-hari dengan matahari aku terbang sendiri
Di ambang jendela ruangan ini

dia telah lama mati
Tapi aku masih hidup



LAMPU

Aku menyalakan semua lampu
Dalam ruangan yang tidak terlalu besar ini
Aku menyalakan semua lampu
Dua lampu di atas kepala tempat tidur
Satu lampu di kedua sisi cermin di dinding yang berlawanan
Satu lampu yang berdiri di sudut
Tabung ini seperti lampu berwarna susu
Dan pada sebuah lampu pijar di sisi tempat tidur
aku menyalakan mereka semua
Mereka tidak tahu mengapa aku
Menyalakan mereka semua
Sementara di ruang bintang-4,5 ini
Malam jatuh dengan cepat


(Ouyang Yu, seorang penyair Cina yang tinggal di Australia di abad 20.
Sajak ini diterjemahkan oleh Ganz Pecandukata, 2011)

sumber: http://www.janushead.org/11-1/Yu.pdf

SAJAK-SAJAK CRISTIAN ALIAGA


HASRAT TAK TERTAHANKAN

Setelah tangan telah siap mulai
gerakan itu
sesuatu memiliki kesadaran sekilas
dari penyakit seseorang tentang bagaimana melakukan.
Pakaian akan jatuh,
anggur akan tumpah dan
jantung akan berdarah selamanya.

Tapi sesuatu tidak dapat menghentikan gerakan itu.




BERMAIN DI PERDARAHAN

Kami bermain di perdarahan
namun kami menutupi
lubang itu

Aku telah melihat darahku
menari
dalam mesin transparan

Sesuatu telah hilang di dalamnya
dari hangat mereka
di tabung cairanku

Aku telah melihat lewat para pasien
warna
keputusasaan.



KEBAKARAN YANG DILEMPAR MALAM

Karena ia yang bernyanyi sementara
anak-anaknya membakar hidup-hidup,
karena ia yang tidak tahu, ia yang tidak
memperhatikan bau;

Karena ia yang menggunakan lidahnya untuk menyapu
para bos karpet,
karena ia yang tidak mampu, karena ia
tidak tahu apakah ada cara yang lebih baik;

Untuk ia yang membentang tanpa kata-kata
meminta apa yang tidak akan diberi oleh mereka,
karena ia yang tidak mengerti, karena ia
tidak ingin untuk tahu bahwa di sana tidak akan ada;

Untuk ia yang menyalakan api
malam itu melemparkannya keluar,
karena ia menghargai cahaya, karena ia
tidak lupa akan panas kehilangannya.

Untuk mereka aku menulis, mereka yang
tidak akan berhenti untuk membaca.


(Cristian Aliaga adalah seorang penyair Argentina Selatan di abad 20.
sajak ini diterjemahkan oleh Ganz Pecandukata setelah dibahasa inggriskan oleh Ben Bollig, 2011)

sumber: http://www.janushead.org/11-1/Aliaga.pdf

7.21.2011

[MASIH DALAM CORETAN KECIL PSIKOLOGI] LUBANG HOMEOSTASIS PUISI DALAM EKSPERIMENTASI DIALOG PENYAIRNYA*



Melaboratoriumkan Keberadaan

“Keberadaanmu adalah pilihan-pilihanmu!”

Secara tegas Sartre menyatakan betapa vokal ia dalam perutusan eksistensialis. Begitupun ia mengamini apa yang diyakini Nietzsche bahwa individualitas, keluhuran, dan martabat adalah aufgegeben (yaitu sesuatu yang diberikan kepada manusia sebagai tugas yang harus dijalankan). Dalam kehidupan proses kreatif mencipta dalam karya, secara tidak disadari terbangun sistem di dalam diri sang pencipta tersebut. Seyakin apa yang telah dipercayai olah Sartre maupun Nietzsche, Freud membungkus kebutuhan-kebutuhan manusia dalam mekanisme yang telah sedemikian rupa tertata. Selanjutnya akan bekerja sesuai fungsinya masing-masing. Hal ini berkorelasi dengan apa yang disebut dengan sistem homeostatik manusia. Sebuah sistem di mana terdapat kerangka psikologis yang meletakkan nilai-nilai kebutuhan dan dorongan dalam diri manusia. Kerangka ini adalah tuan yang baik bagi proses mempertahankan keadaan stabil atau keseimbangan hidup. Kemampuan untuk mempertahankan diri sendiri dalam ruang yang nyaman dapat menggambarkan diri seseorang dalam bermotif, dalam memetakan konsep kognitif seseorang. Kemampuan ini akan muncul bilamana seseorang mulai mampu berkaca terhadap keberadaannya (dalam konteks ini adalah sebuah karya).

Di sini tidak akan dibahas tentang bagaimana reaksi fisiologis muncul sebagai variabel yang diregulasi. Namun, sebenarnya ada yang lebih mendasar dari sekedar pembahasan reaksi tersebut (apabila dikaitkan dengan karya sastra berupa puisi). Keberadaan puisi-puisi yang ditelurkan oleh para penyairnya menawarkan interpretasi yang lebih dari hanya sekedar inter- atau antartekstual saja. Di dalamnya terdapat apa yang disebut Freud sebagai fenomena gunung es yang begitu luas, banyak yang tak terjamah dan penuh teka-teki. Fenomena ini menuntut keberanian untuk membuka rangsangan bagaimana si penyair merepresi seluruh kebutuhannya lalu mengemasnya diam-diam dalam puisi-puisi yang perlahan membeku, lantas menemu puncaknya masing-masing.

Ketika seorang penyair berulang kali menuliskan puisi, itu pun berarti bahwa ia mengalami puncak-puncak neurotik untuk menjadi individu yang ingin lepas dari manifestasi pengingkarannya. Namun, tidak semuanya bisa digeneralisasikan seperti ini. Meski demikian hal ini dapat menjadi tolok penilaian psikoanalisis bagaimana memandang sebuah proses psikologis melalui penciptaan sebuah karya.
Dalam buku puisi “Biar!”, Nanang Suryadi terlihat sedang memperlakukan eksperimentasi-eksperimentasi emosionalnya melalui citraan-citraan dengan tingkat diferensiasi yang renggang antara tiap tema. Atau, jangan-jangan Nanang sedang asyik dalam laboratorium dirinya, memakai jas-jas baru untuk mengamankan diri? Nah!
Berikut ini merupakan salah satu sajak yang telah dibekukan dalam laboratoriumnya dengan bahasa-bahasa temuannya:
Biar!
tak kau ingat lampu-lampu yang menyihir kita menjadi
orang yang mentertawakan dunia. tak kau ingat keringat
meleleh di langkah kaki, di punggung, kening, menantang
matahari! menunggingkan pantat ke muka-muka orang-
orang yang dipuja sebagai dewa!

o, engkau telah membunuh kenangan sedemikian cepat.
seperti kulindas kecoak dengan ujung sepatuku. perutnya
yang memburai, putih, mata yang keluar dari kepala, masih
bergerak-gerak. aku menjadi pembunuh. seperti dirimu.
demikian telengas. tanpa belas. kepada kenangan.

biar. jika kau tak mau temani. biar kurasakan nyeri sendiri.
di puncak sepiku sendiri!
(halaman 5)
Adapun Nanang menggambarkan komponen emosional yang dikerucutkannya ke dalam judul. Pada kalimat: “biar. jika kau tak mau temani. biar kurasakan nyeri sendiri.” Seolah ada mekanisme di mana si penyair ingin menyangkal perasaannya sendiri, mencoba untuk mendistorsikan apa yang disebut Rogers sebagai diri nyata. Semakin dekat diri nyata dengan diri ideal, maka pengaruh emosional yang dirasakan akan lebih bahagia. Namun, di sisi lain, si penyair ingin memfungsikan untuk menjadi sepenuhnya memberikan penghargaan positif dari keambivalensian antara kenyataan dan keidealan dalam dirinya. Dengan demikian, ia dapat mencukupi kebutuhan rasa amannya untuk menutupi tingkat keresahannya terhadap kenyataan yang dihadapi. Kalimat tersebut sekaligus menjadi klimaks dari sepanjang dialog antara dirinya dengan tubuh yang ia hadirkan melalui puisi.
Sementara itu di puisi di bawah ini, si penyair ingin mengungkapkan semacam imagery bahasa keterasingannya terhadap pengalaman inderanya:
Bahkan
Bahkan aku tak ingin menjadi huruf, karena huruf masih
Mengingatkanku pada puisi, bahkan...

Lalu ingin kututup buku catatanku, kerekat dengan isolatip,
Agar tak kukenang lagi, huruf-huruf itu yang merayu dengan
Matanya yang meredup sayu, bahkan...

Jangan sebut aku penyair, karena aku hanya debu, yang
Menghampiri telapak kakimu
(halaman 43)
Dalam puisinya, ia berusaha mengkonkretkan konflik dengan sesuatu yang tak terhindarkan. Sesuatu yang tak terhindarkan itu kemudian merasuk di dalam bawah sadar si penyair. Lantas, mencoba untuk dipertahankan dan diterima di dalam konsep dirinya. “Bahkan aku tak ingin menjadi huruf, karena huruf masih/Mengingatkanku pada puisi, bahkan...” Ada semacam rasa penolakan yang dikatarsiskan dalam kalimat tersebut, sehingga memunculkan permusuhan yang pelik di dalam penyangkalan perasaannya sendiri. “Lalu kututup buku catatanku...Agar tak kukenang lagi...” Pada bunyi puisi selanjutnya itu, ia sepertinya ingin menjauhi kegaduhannya dengan menampilkan diksi perlawanan atas kesadarannya bahwa sumber keresahannya adalah “buku catatannya”. Lalu, siapa dan apakah “buku catatannnya” itu? Citraan si penyair mengenai “buku catatan” tidak lain adalah pengalihan bahasa dari sumber kecemasan dalam pengalaman pribadinya--hubungan si penyair dengan kepenyairannya. Menurut Prof.Suminto dalam bukunya “Mengenal Puisi”, ia pernah menuliskan bahwa penggunaan kosakata aneka bahasa dalam puisi memang didasari oleh persepsi masing-masing penyair. Kata-kata tertentu dipilih dan dipakai oleh penyair karena kata-kata itu memang bersifat “siap pakai’, yang bagi penyair mungkin lebih kaya dan lebih bervariasi guna mengekspresikan berbagai jenis emosi, yang memang merupakan aspek yang sangat mengedepan pada bahasa puisi (hal.159).
Di lain tempat, si penyair memiliki tingkat kepekaan terhadap isyarat-isyarat yang tertangkap di lubang-lubang inderanya. Namun, untuk mengetahui tingkat kepekaan seperti itu tidak dapat disamakan dengan proses kreatif penyair lain. Setiap penyair memiliki trait-trait sendiri dalam mengasah kepekaanya. Nanang Suryadi di kumpulan puisinya kali ini seolah ingin mempertontonkan bagaimana ia mengolah laboratorium kepekaan puitiknya—laboratorium yang sekaligus diletupi oleh asap keberadaan dirinya sebagai seorang manusia. Namun sejauh mana ia berhasil dalam eksperimennya? Maka bertolak dari uraian Paz tentang puisi: sejauh kemampuan si penyair mentrasendensikan dirinya antara puisi dengan apa yang ia puisikan.

Menggali Lubang Diri demi Menutupinya, Menggali Sajak demi Memasukinya

Kutuk Puisi
Dapatkah ia lepas
Dari kutuk puisi

Ke mana ia
Akan berlari

Puisi terus memburu
Hingga ambang mati
(halaman 78)
Puisi tersebut seakan mengetengahkan kesadaran si penyair akan situasinya, situasi yang menjadi stimulus untuk melakukan dialog-dialog lain. Dialog kali ini, sepertinya penyair ingin menerjemahkan relasinya dengan puisi. Lalu, apakah si penyair sedemikian brutal hingga menyebut puisi itu berkutuk? “Puisi terus memburu/Hingga ambang mati”. Penggambaran si penyair mengenai konsep “kutuk” dalam puisi perlahan berhenti sampai di klimaks ini. Demikian si penyair memiliki “self concept” yang meyakini bahwa ada adegan kejar mengejar dalam kepenyairannya. Tidak ada yang salah dengan ini. Bahwasanya si penyair mengalami langkah perburuan antara diri dan realita adalah sebuah fragmen yang sah, sebab tahapan perkembangan dalam kepenyairan memiliki asosiasi dekat dengan bagaimana seorang penyair mempersepsikan objek maupun subjek dalam pola-pola kebahasaan. Dalam puisi tersebut ada kata-kata: “lepas”, “berlari”, “ke mana”, “memburu”, “hingga”, kemunculan kata-kata tersebut sebenarnya ditujukan untuk mengikuti alur tema. Terlebih dari itu, ibaratnya Nanang masih berlarian gonjang-ganjing dalam mencari jalan ke persinggahan ternyaman dengan jalan yang tak banyak kelokannya. Hala ini mendorong sisi emosionalitas kepenyairannya mudah pecah yang kemudian menyebabkan ia terus menggali kedalaman dirinya untuk menutupi lelubang proyeksi kebutuhannya sebagai langkah adjusment terhadap pencarian-pencarian self concept yang baru. Sementara itu, ia masih terperdaya bagaimana menutupi lubang-lubang lain berkaitan dengan interaksi kepribadian seorang Nanang dan lingkungannya. Terhadap lingkungan, ia tak sepenuhnya bisa menyalahkan. Lantas ia melakukan spekulasi-spekulasi intrapersonal di mana kepuisiannya itu tiba, seperti dalam potongan puisi berikut:
Di sebalik bunyi, suara bolak balik, mungkin gema yang
Patah. Seperti ingin disimpan rahasia dari lengking, tak
Tuntas. Ucapmu dari kedalaman jiwa, tak
....
(Adalah dirimu, Gema yang Patah; halaman 64)
Sebagian puisi-puisi Nanang juga ingin menunjukkan ikatan-ikatan emosionalnya dengan kehadiran orang-orang yang ia jumpai. Salah satunya demikian:

Tak Sampai Engkau
--:scb

telah sampaikah engkau pada titik di mana rindu tak ada di
mana puncak segala puncak tergapai. siapa paling besar di
antara paling besar. engakukah? mengekeh dalam luka tak
sampai rindumu. cuma gerutu konyol dan kelakar liar.
karena tak sampai pada rindu. tak sampai engkau.

aih, kutahu, demikian pedih hatimu, dan teriak: pukimak!
demikian kau?
(halaman 49)
Apakah Nanang ingin kembali meneriakkan kedekatannya dengan seseorang, mengangkatnya dalam puisi atau sekedar sebuah penggalian emosionalitas untuk memasukki ruang-ruang percakapan baru? Atkinson memaparkan beberapa komponen emosi antara lain, rangsangan otonomik, penilaian kognitif, ekspresi emosi dan reaksi emosi. Apabila dikorelasikan dengan puisi tersebut, rangsangan otonomik yang terjadi dapat diinterpretasikan seberapa kuat relasi emosional si penyair dengan seseorang berinisial sbc. Penilaian kognitif berkaitan dengan suatu analisis situasi si penyair yang menghasilakn suatu keyakinan emosional. Bahwa sbc adalah kawan terdekatnya saat itu, ini adalah keyakinan emosional yang sedang ia punyai saat itu. Ekspresi emosi adalah bagaimana subjektivismenya mengkomunikasikan kedekatannya itu dalam bahasa puitik. Sedangkan reaksi emosi adalah bunyi bahasa yang ia tuliskan. “...dan teriak: pukimak!/demikian kau?” Melalui pungtuasi dan diksi, di situ ada reaksi emosi yang dipertunjukkan sebagai buah peretemuannya dengan sbc. Demikian Nanang pun mempuisikan relasinya dengan orang-orang lain yang dianggap mempunyai hubungan personal. Penggalian emosionalitas dirinya akan hubungan interpersonal ini dapat dipahami sebagai tahapan prakognitifnya menuju eksperimentasi keberadaannya untuk menyusun keseimbangan-keseimbangan baru di dalam relasi dunia personal (keaku-an) dan lingkungannya (kekau-an). Hal ini tercermin bagaimana ia memperlakukan diri dengan puisi dalam bukunya itu. Keberadaannya sebagai manusia dan penyair yang kemudian memunculkan eksperimentasi dialog-dialog yang intens dalam puisi, membutuhkan penyadaran benar akan pentingnya mekanisme sistem homeostatik yang ia ciptakan sebelum terjebak di lubangnya sendiri. Jangan-jangan ia bukan Nanang yang sejatinya? Atau kesejatiannya itu sepanjang warna-warni pelangi? Maka, Nanang sepertinya perlu mengambil dan menyulut rokoknya sejenak, mengendapkan teh kepyur yang saya sajikan sebelum diteguk pelan-pelan untuk berelasi dengan ilustrasi Pascal tentang kesadaran manusia akan keberadaannya:
“Manusia hanyalah sepotong alang-alang, alang-alang yang paling lemah yang pernah hidup di semesta raya ini. Meski demikian, ia adalah alang-alang yang berpikir. Alam tidak perlu mempersenjatai diri untuk membinasakannya: sekepul asap, sedikit tetesan air, sudah cukup untuk membunuhnya. Akan tetapi, meski alam mampu menghancurkannya, manusia lebih agung daripada yang membunuhnya, karena ia mengetahui bahwa ia akan mati,.....padahal tentang hal itu, alam tidak pernah tahu sedikit pun.”

Semarang, 2011

*Ditulis sebagai catatan apresiasi atas terbitnya buku kumpulan puisi Nanang Suryadi: “Biar!” (IBC;2010) Oleh A.Ganjar Sudibyo (Ganz) seorang mahasiswa psikologi yang juga bertekun meniti puisi.

7.06.2011

KEPERGIAN BUAH BIRU SUMBI


dayang, selamatkanlah wajahku

bilamana aku akan pergi ke abadmu
seperti kepergian warna langit
menuju kulit paling legit

sebab aku dari pada buah birumu
yang tercipta melalui puisi sekarat
yang pergi. pergi ke abad jauh
melepas rambut uban
menanaknya di airmata ketuban


2011

7.01.2011

CIK-CIK PERIUK, KEPITING HIDUP


mari masak kepiting hidup

sebab bapa kita terlahir dari periuk
dan jantung kita tercubit
seperti ingin keluar dari jebak capit

mari masak kepiting hidup
dan membiarkannya membangun
periuk di ujung lambung
berbau tanah humus


2011

MENAHBIS LAGU KICIR


cepatlah pelan di jalanmu itu

dari jakarta yang macet
lelagu pucet dipercayai
melegakan pulsa di nomor
ponsel masing masing
-- telponlah nenek moyangmu
supaya kita tertahbis
sebagai manusia serapan leluhur
yang kembali dari lirik lagu!



2011