PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

1.24.2011

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 7

CORETAN KECIL PSIKOLOGI 7: MENELAAH SISI AKTUALISASI DIRI DI BALIK EKSPLORASI KATA DAN MAKNA DALAM BUKU PUISI “Selamat Datang Hujan” KARYA PENYAIR ULLYL CH DENGAN APLIKASI TEORINEEDS MASLOW


Oleh: Ganz (A. Ganjar Sudibyo)*



Sepintas ketika saya membaca puisi-puisi yang ada di halaman-halaman buku berjudul “Selamat Datang Hujan”, saya berpikir bahwa Ullyl Ch termasuk orang yang berani menerbitkan buku kumpulan puisi. Saya membaca banyak puisi yang secara tekstual belum begitu “dingin” untuk menjadi “gigil” di balik hujan. Entahlah, apa karena saya terlalu banyak membaca karya-karya penyair yang sudah memiliki jam terbang tinggi dalam dunia puisi, sehingga terkadang saya berpikir bahwa saya tidak perlu berpanjang lebar untuk membaca apalagi mengulas puisi-puisi dalam buku ini. Namun di sisi lain, saya merasa bahwa penyair yang masih saya anggap sederhana dan muda dalam berkarya seperti Ullyl Ch ini, perlu mendapat apresiasi yang lebih. Perilaku apresiatif lebih inilah yang dapat menjadi stimulus di benak si penyair untuk menilik puisinya lebih dalam dan konstruktif pada proses kreatif selanjutnya. Lalu, apresiasi seperti apakah? Ya, salah satunya adalah dengan mengangkat proses kreatif si penyair untuk dibawakan pada bentuk-bentuk ulasan seperti ini. Tentunya dalam ruang ini: ruang apresiasi, saya akan mengupas dari sisi psikologi sastra yang kali ini bertema psikologi kreativitas dalam menciptakan karya sastra berupa puisi. Pun, saya berharap bahwa saya dan pembaca di ruang ini mendapat sesuatu yang berharga untuk diambil sebagai bagian dari proses pembelajaran manusia yang sejatinya tak pernah berhenti belajar.


Tentang Psikologi Kreativitas Eksplorasi Kata-Makna dan Adrenalin si Penyair

Suwardi Endraswara dalam bukunya “Metodologi Penelitian Psikologi Sastra” mengeksplorasi penggolongan keadaan jiwa yang termanifestasikan dalam proses kreatif (proses daya cipta)dalam tiga konsep. Pertama, jiwa sedang trenyuh (iba), yaitu keadaan psikis sastrawan merasa kasihan terhadap sebuah fenomena. Letupan jiwa yang iba dapat terlihat pada salah satu bait puisi berikut:

pada hidup tak ada lagi harapan

bersandar di pengungsian

seraya menengadahkan tangan

tuan…beri kami bantuan


(Selamat Datang Hujan, hal.45)


Kedua, jiwa sastrawan sedang geram, artinya dalam keadaan marah atau tidak menentu. Suasana seperti ini memungkinkan luapan emosi marah, atau pun kekecewaan ke dalam puisi. Fenomena tersebut terjadi pada bait puisi ini yang mengekspresikan kekecewaan akan situasi negeri:

di negeri ini

tak ada lagi Bhineka Tunggal Ika

karena Tunggal Ika terpecah belah oleh budaya

di negeri ini

tak ada lagi Indonesia

karena Indonesia dimonopoli penguasa

negaraku…nerakaku….bunuhlah aku

(Di negeri ini, hal.10)


Ketiga, jiwa merasa kagum, yang mengandung arti adanya rasa heran, penuh tanda tanya, dan rasa keagungan. Selain itu, kekaguman juga dapat diimplementasikan dalam mengangkat harapan. Seperti yang hadir pada bait berikut, pengharapan ada di peletakkan kata “cinta”:

bila cinta itu sejuk

sejukkanlah dalam

hati yang gundah

hingga menjadi indah

seperti pelangi cintamu


(Yang sejati, hal.34)


Jika mengamati tentang jiwa yang diklasifikasikan dalam tiga golongan, maka di balik itu ada daya dorong yang memiliki peranan kuat. Di mana daya dorong ini menjadikan sebuah stimulus bagi si penyair untuk berekspresi. Daya dorong ini sering disebut inspirasi. Inspirasi sangat dibutuhkan dalam penciptaan karya. Groce dalam teorinya menegaskan bahwa intuisi estetis itu hadir dalam inspirasi yang diterima baik oleh pengarang maupun kritikus. Dengan demikian, faktor inspirasi perlu diasah oleh intuisi masing-masing penyair dalam mencipta karya. Permasalahannya adalah setiap penyair mempunyai perkembangan kognitif sendiri-sendiri, sehingga untuk disebut karya itu baik atau kurang dalam konteks psikologi sastra itu sangat relatif. Maka dalam membangun proses kreatif yang ingin berlangsung konstruktif bagi penyair, si penyair harus menciptakan adrenalin[1] dalam tubuhnya sendiri. Adrenalin ini berfungsi sebagai daya ledak yang besar bagi perkembangan teks dan ketajaman mengintuisi. Adrenalin ini dapat diciptakan atau terciptakan salah satunya melalui seringnya keikutsertaan penyair dalam perlombaan atau mempublikasikan di surat kabar. Pendek kata, adrenalin mesti dipelihara oleh setiap penyair yang ingin benar-benar penyair untuk mendorong adanya konsistensi dalam mengembangkan sisi kreativitas penciptaan karya melalui letupan-letupan jiwa di setiap kata dan makna yang dibangun si penyair.


Kebutuhan-kebutuhan yang Melekukkan Puisi-puisi “Selamat Datang Hujan”

Proses kreativitas yang dipandang mempunyai latar belakang psikologis di sini, dapat memberikan suatu analisis tentang gejala-gejala kejiwaan terhadap karya si penyair. Menurut Abraham Maslow (salah seorang tokoh psikologi aliran humanistik), kebutuhan tertinggi dalam piramida kebutuhan adalah aktualisasi diri. Aktualisasi diri ini merujuk pada dorongan-dorongan kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan-kebutuhan dasar manusia dalam piramida kebutuhan Maslow dibagi menjadi lima, secara berurutan dari bawah yaitu kebutuhan fisiologis, kasih sayang, rasa aman, harga diri (empat kebutuhan ini disebut sebagai basic needs) dan aktualisasi diri (kebutuhan tertinggi ini disebut sebagai meta needs).

Kebutuhan fisiologis tampak pada pelesapan belahan bait puisi yang berjudul “Uang” berikut ini:

...

semua tergila-gila padaku

ya, mungkin karena aku cantik

dan mempesona

karena aku selalu ada di sakumu


(Uang, hal.42)

Kebutuhan fisiologis yang ditujukan di sini adalah kebutuhan akan uang yang memiliki harga mati dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup menurut Maslow. Kalimat “karena aku selalu ada di sakumu” memiliki interpretasi tentang aku (direpresentasikan dengan kata “uang”) yang tak bisa dipisahkan dari kelekatan kebutuhan hidup (direpresentasikan dengan kata “saku”).

Selanjutnya, bait puisi di bawah ini mencerminkan sarat kebutuhan akan kasih sayang:

...

aku ingin menjadi cinta

ingin menjadi kasih

ingin menjadi segala-galanya

dalam hatimu


(Ingin, hal.50)

Kata-kata “aku ingin menjadi cinta”, “ingin menjadi kasih”, merupakan kata-kata yang dapat dimaksudkan sebagai penggambaran fenomena kebutuhan si penyair akan kasih sayang. Kasih sayang dari siapa dan berupa apa? Hanya si penyair dan pembaca yang dituju dapat memahaminya. Dengan sarat kebutuhan yang sama, namun kali ini si penyair berusaha untuk melesapkan atau menyembunyikan kebenaran perasaannya. Kata “ di hati”, menjadi juru kunci untuk menguak lesapan yang dimaksud. Pelesapan tersebut terdapat dalam puisi berikut:


bulan mati,

angin mati,

rasa mati,

bintang pun mati,


di hati


Kudus, 050309


(Sepi, hal.40)


Banyak puisi-puisi Ullyl yang mengandung sarat kebutuhan akan kasih sayang baik yang dilesapkan atau dibeberkan melalui kata-kata yang erat dengan realita pembaca. “Pada”, “Kuburan Puisi”,”Nyanyian Asa”, “Pintu”, hingga “Di balik senyummu” merupakan puisi-puisi dengan tingkat kebutuhan cinta yang lekat. Dan rata-rata puisi-puisi Ullyl merujuk pada kebutuhan tersebut.

Di lain kebutuhan, yakni kebutuhan akan rasa aman sekaligus harga diri (atau sebuah penerimaan dari lingkungan maupun diri si penyair) terlihat bergelantung di potongan bait puisi di bawah ini:

aku adalah tulang-belulang tak berdaya

aku adalah segenggam tanah liat yang diperkosa

aku adalah setitik embun bening

yang keluar dari lubang-lubang kenistaan

aku selalu dipenjara

dikurung

dicekik

....


(Aku, hal.26)

Kata-kata seperti “tak berdaya”, “tanah liat yang diperkosa”, memperkuat dugaan akan kebutuhan rasa penerimaan diri, pengesampingan harga diri. Di sisi lain kata “aku selalu dipenjara”, seolah mengungkapkan bahwa adanya kebutuhan untuk berada di tempat yang aman. Dengan kata lain dalam konteks ini,’tempat’ dapat disinonimkan dengan ‘rasa’.

...

perempuan selalu jadi gunjingan

perempuan lemah,

perempuan tak berdaya,

perempuan penuh dosa.

tapi ibu adalah perempuan


(Perempuan, hal.13)

Penggalan Puisi berjudul “Perempuan” di atas juga masih berkutat pada kebutuhan harga diri. Peletakkan kata “selalu jadi gunjingan”, “lemah”, “tak berdaya”, adalah isyarat bahwa puisi ini ingin membicarakan atau menegaskan kata “perempuan” yang dipandang sebagai ibu yang butuh untuk dihargai.

Dalam memahami aktualisasi diri di sini, saya tidak mengkotakkan bahwa kebutuhan beraktualisasi diri lepas dari kebutuhan-kebutuhan dasar sebelumnya. Kebutuhan aktualisasi diri itu selalu ada dalam diri penyair dalam rupa puisi. Puisi inilah yang kemudian memproyeksikan basic needs si penyair seperti yang telah saya uraikan di paragraf-paragraf sebelumnya.


Menyair: Proses Memahami Metapologi Diri

Menurut Maslow yang pernah meneliti penyair sekelas Walt Whitman, ia yakin bahwa jika para psikolog hanya mempelajari orang-orang yang lumpuh. Untuk mengembangkan suatu ilmu pengetahuan yang lebih lengkap dan luas tentang manusia maka para psikolog harus juga mempelajari orang-orang yang telah merealisasikan potensi-potensinya sampai sepenuh-penuhnya. Beranjak dari pernyataan Maslow tentang realisasi potensi sampai sepenuh-penuhnya, maka Ullyl dirasa perlu dan masih mempunyai banyak kesempatan dalam mengembangkan proses kreatifnya, memacu adrenalin menuju puisi-puisi yang secara teks dan kreativitas lebih dewasa seturut perkembangan diri serta pemahaman kebutuhan dirinya. Hal ini perlu dilakukan jika ingin lebih diterima di kalangan publik yang sekarang perlahan diinjeksi oleh kualitas puisi-puisi pendatang maupun sudah mapan (yang kini giat dibukukan). Dan yang lebih penting adalah bagaimana memahami sejauh mana kekurangan kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya dapat terpenuhi. Dengan memahami bagaimana cara memenuhi yang tepat bagi kebutuhan dirinya dan tidak mengesampingkan daya pikat pembaca, maka saya yakin lamat-lamat akan terbentuk puisi yang tak sekedar puisi. Aktualisasi diri yang tak sekedar beraktualisasi. Eksplorasi kata dan makna yang tak sekedar bereksplorasi. Oleh karena itu, ketelatenan dalam “menyair” sekaligus bisa dijadikan proses memahami sejauh mana diri membangun aktualisasi yang lebih “sehat” dengan syarat adanya pemenuhan basic needs. Jika pembelajaran ini bisa dikonstruksikan dalam diri si penyair, maka keterikatan metapologi diri dapat terlepas dengan sendirinya.



Salam.

Semarang, 2011


*Esai ini dibuat untuk keperluan bedah buku puisi karya Ullyl Ch.

**Penulis seorang penyair muda dan mahasiswa Psikologi Undip Semarang.



Footnote:

[1] Dalam konteks ini, dapat ditafsirkan sebagai rasa antusiasme