PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

6.17.2009

SECANGKIR TEH

Kuseduh kau erat-erat

Supaya arakan kabut pagi

Tak membuat puisiku kian beku

; peri yang sebentar kembali



2009

6.15.2009

DARI "DE ATJEHERS"* HINGGA PERUNDINGAN


Teungku yang mulia,

1#


Kudengar kau kewalahan

Bahkan kaummu tercecer

Mengenai perhelatan lampau. Antara

Tanahmu dan yang olehmu disebut golongan

Penyamun


Marchausse, marchausse...


Nila setitik rusaklah sebelangga

Demikian serambimu

Luluhlantah oleh taktik para tak beradab

Tersebut kaum penduduk tanah asing


Sesaat pula belati-belati sapurata kocarkacir lalu

Menjerit di pertiwimu melihat putra-putranya

Tersambar desing peluru. Kaummu sayang, kaummu

Malang. Terbahak mereka pada ragamu.

Kepada air menjadikannya

Susut. Kepada api menjadikannya

Asap. Habislah yang mulia.


2#


Kelopak matamu berkerlip masih.

Selepas subuh. Sedang

Nafas pendekmu tersendak-sendak

Sebab barak-barak tak sanggup menampung

Para kaummu. Penuhlah ia dengan raga-raga kaku.


Kelopak matamu berkerlip masih.

Zuhur memanggilmu. Dan bersegera

Kau mencuci jiwamu yang kusut.

Wudlu itu. Mengeringkan keringatmu

Sehabis menggali liang bagi insan-insan pertiwimu

Sambil berharap-dendam pada mereka

Mereka yang olehmu kafir


Kelopak matamu berkerlip masih

Senandung asar menarikmu

Kembali. Usai dentuman

Yang betapa deras. Yang betapa keras. Memaksa

Awan-awan cumulonimbus berarak-cucuran

Menghampiri hari yang hampir senja

Hampir mati

Jingga pun menangis karenanya, karenamu, karena mereka


Kelopak matamu berkerlip masih.

Tak lama magrib bergaung di antara cekaman pulaumu

Lentera-lentera tua kau nyalakan

Demikian apimu yang tak padam oleh mereka

Oleh segala yang kau sebut musnah


Kelopak matamu akan senantiasa berkerlip

Sesaat tambur isya mengantarmu pada

Serambi tempatmu berkeluh. Serambi tempatmu

Berharap. Kau tetap bersama peci hitam tua itu dan

Sarung yang kau lilitkan pada

Derita tubuhmu. Dan nada tak terlupa.


Bungong jeumpa-mu.



3#


Yang kau tunggu tibalah

Kau sengaja menggulung sajadahmu

Berai rambutmu ditepis angin yang biasa

Mengejar awan langit jingga itu. Tak lama


Mereka datang membawa serta-merta lipatan

Litani janji yang baru saja kau rundingkan. Tak lama.


Melabuh di serambimu.



2009





*) Inggris : The Acehnese, judul buku karangan Snouck Hurgronje(1857-1936) tentang sebuah research penjajahan.

6.08.2009

IN NOTE

2\

CAVATINA-

Pada mulanya di petikan itu. Yang membuatmu

Terhapus dari akor-akor mayor

“Merebahlah sejenak bersamaku...”,

Akor minor menarikmu keluar


Sesaat setelah kau bosan atas ritme-ritme mono

Kau letakkan sehelai senar

Yang tadi sempat putus karena kau

Kau terlalu cepat meredam

Allegro con spirito


Cavatina. Kau sebut itu

Bukan not-not penuh. Pun kau terbingkai

Lewat tab-tab yang tak panjang

Atau di fret 7 kau mengakhirinya


Cavatina. Sebutmu


MONALISA-

Lihat matamu berkumpul sesuatu yang tak asing

Bagiku itu emas.

Emas yang tak pernah tersentuh oleh siapapun. Siapapun.

Kubilang emas itu adalah dentingmu. Dentingmu


Monalisa. Monalisa

Begitu iramamu memetik tak henti

Dawai-dawai gitar klasik yang gemetar, karena

Kau terlalu cepat mengganti arah


Tak bosan-bosannya kau melukis, menyekap dirimu

Bersama notasi-notasi yang selalu merias dirinya

Sehingga kau tak lagi terjebak dalam kemolekan

Ketika seorang penganyam nada menjumputnya


Lantas, kau meminta jarum waktu melarikan diri

Dari kubangan angka-angka

Sehingga kau cepat masuk pada titian

Chorusmu


Chord-chord itu bersemayam

Pada ritme-ritme melodis

di bawah tepukan-tepukan perkusi


tak pelak, bila

Harus rela kau menyandang

Notasi tak ditinggal sepanjang zaman


CAVATINA-MONALISA

Tepat di bingkai suaramu

Menjadikan segalanya seperti kunci-kunci

Yang kau pasang demi menyerupa

Desir angin tatkala membawamu

Di bening getar tali-tali senar


Dan syair sederhana membentukmu

Menuju notasi tanpa kata

Seiring wujud kapal jemarimu kian tebal

Menandakan sejuta nada berjejal


Salutku padamu,

Kau takkan hanyutkan keduanya

di silauan purnama


Tapi menyimpannya,

Atau merangkumnya

Dalam secarik partitur

Dan semua yang hilang

Akan mengingat


Bahwa anak-anak dawai telah menyebutmu

Pemetik yang bahagia, walau

Tak sama

Seperti yang kau peram


Cavatinamu

Monalisamu


6.07.2009

IN NOTE

; ima

1\

MARCH OF THE PRIESTS FROM THE MAGIC FLUTE K 620, LARGETTO


Malam. Masih kelam. Di tepian nada terdengar

Sajak meniup flute pada akor intro. Adagio espressivo

Memantik gemulai gerik jemarimu. Perlahan

Stabil pada sangkar nadamu, dan tak pelak


Tarian tiupanmu membutakan titinada yang kau buat

Contrabass pun ikut memainkan dawainya. Mendengung

Di kejauhan terdengar sayup biola dan violin,

Pengisi birama supaya tak hanyut dalam rinai melodis


Atau,

Kadang sengaja melarikan pundi-pundi melodi, supaya

Harmoni tak lupa bila masih ada notasi grave tergeletak

Di garis batas wajahnya


Semakin dekat. Dekat.

Lalu flutemu menuju tepat pada interlude.Di mana

Terbaring tangganada diatonis di ranjangnya

Sejenak, lantaran nafasmu menghampiri largetto mengarakmu pada


Chorus...


MARCH OF THE PRIESTS, ALLEGRO MODERATO


Malam. Masih kelam. Di tepian nada muncul terdengar

Sajak pianissimo berlomba mengiring rintik-rintik

Air yang terdampar kepada embun

Yang tak sempat berbulir di pucuk

Dedaunan sabana dandelion-dandelion muda. Sedang


Andante mulai lenyap. Tersisih

Oleh andantino ditunggangi dewangga puisi

Yang dimabuk oleh madah cinta dengan notasi angka


Sementara, kau tak keluar-keluar dari jeruji paranadamu

Dari allegro moderato di balok yang kau injak-injak

Oleh jemari mungil


Kau tersangkut sendiri di antara beratnya

Tuts-tutsmu


MARCH OF THE PRIESTS, ALLEGRO CON FUOCO


Malam. Masih kelam. Di tepian terdengar nada tertinggal

Sajak yang berawal dari dedawaian biola, cello, contrabass.

Serta merta tepukan perkusi dan butir-butir

Marakas yang berdesak-desakan meminta keluar dari

Ruang sempitnya


Sekumpulan partitur-partitur tergantung kemudian

Dipasangnya kembali oleh akor-akor

Menjadikan kau semakin erat

Aerophonemu


Lantas berkutat tangganada diatonis

Hingga desing triangle

Meloncat-loncat di telingamu. Menyeru

Allegro con brio. Dan pada sekt interval


Gaungmu makin berjejalan

Seolah ingin memugar di ruas-ruas yang kau anggap

Sepi


Allegro con fuoco

Kau yang menjadikannya omega

6.04.2009

Apa yang kau sebut


#1#


kurang beberapa putaran lagi, berganti

semua yang kau sebut waktu

semua yang kau sebut genocide


haluan kirimu katamu keras

ternyata apa

tak sanggup menyentuh

apa yang kau pikir hampir runtuh


seolah bombardir adalah akhir, darimu

tembok-tembok berbenteng

menara-menara condong

bangunan-bangunan tua berarsitektur barok


berserak di terra

betapa eksotiknya puingmu!



#2#


kejatuhan yang sudah adalah sudah

kota abadi sepeninggal segalanya

yang kau sebut orkestra buta


bila gesekan dawai biola pun tak menjadi

yang kau sebut tempo, menjadikan adagio

lalu andante yang bersahuran tapi tetap sama,

perlahan dalam ketukan-ketukan timbal


harpa, lalu kau namakan lento

di mana benar-benar tak terdengar

dan largissimo

hingga tak lagi kau menyebut kotamu


apa yang kau sebut

2009