PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

8.05.2009

SAXOPHONEMU HILANG DI JAZZ


Musim engkau jadikan bilangan-bilangan kecil bagi huruf-huruf syairmu. Engkau mainkan bersama irama partitur-partitur itu. Engkau simpan dalam koper berbahankan kulit nada. Engkau bawa di kafe-kafe jazz tanpa nama. Engkau memperkenalkannya; “inilah hasil pecarianku selama ini, semua telah kutemu.” -Engkau lupa, ada yang hilang di genggamanmu-



2009

SAJAK SAJAK WANITA DAN KOMPOR


[1] – Selamat Malam …


Tadi malam kau berbisik-bisik kepada sebuah kompor. “dalam gigil perutku tak kunjung kenyang.” Sedang si kompor tua semakin letih menghangatkan dingin. Mata apinya semakin redup. Lantas kau membuang percuma. Mengambil setengah putung batang yang biasa kau simpan di daster lusuhmu. Dan kau sulut di atas redup api itu.


Seperti biasa pula di pekat asapmu depan si kompor yang terlalu banyak menyimpan kantuk. Kelopak matamu membasah. Membaca cergam sendu anak-anakmu. Usai sekolahnya tertindih oleh mesin-mesin pengeruk. Oleh orang-orang berseragamkan kacamata hitam. Oleh parade perkabungan papan tulis, penghapus juga kapur-kapur.


“Kapan Kami Bisa Membaca dan Menulis Lagi, Bu?” Lalu kau jadikan judul pada bait renungmu kali ini.

Dalam putaran detik, terpejam si kompor mengucap salam



[2] – Keluar dari Mimpi


Tangisan mungil menyusup di rongrongan azan subuh. Menjadi alarm yang biasa mengeluarkanmu dari mimpi. Mimpi di mana cergam sendu diterjemahkan sebagai sebuah adegan film bahagia. Di mana kau, lelaki cecungukmu dan kelima anakmu bersama menyusuri kotakota tempat surgadurga bersemayam. Ya, dengan balon udara yang kau cipta. Berbarakan perkabunganmu. Dan bergelembungkan renungan-renunganmu bersama kompor.


Lalu kau redam tangisan itu. Dengan sebuah kempongan tanpa air, timangan di ayunan kecil berbahan kain dan sepenggal lagu ninabobo.


Dengan langkah buru kau tiba di tempat biasa kau menyedu. (kau lupa kompormu belum bisa keluar dari mimpinya)



[3] – Kemerduan Hari Ini Bukan Esok


Pagi itu. Usai festival raga-raga jatuh. Seorang petugas BLT terpaksa tiba dengan sebuah amplop dan potongannya. Alangkah berbinar hatimu. Kau bayar dengan sebuah kerut senyum meski dalam rasa ingin kau hujam matanya dengan pisau karatmu.


Sesegera kau bangunkan kompor itu oleh seguyur minyak. Minyak serobotan dari kereta antrean. Lalu nyala setelah tersemat. Melejit merah. Membiru lalu. Mendidihkan segala yang kau tuang.


(melodi para koki pun melenting dalam larik siul)


Hari ini. Enam penghuni rumah bambu telah bersantap bersama. (meski kenyangmu tak) Dalam alam sadar filosofimu masih terbujur di bongkah kepalamu. Lantas, kau hujankan pada tungku kompor. Hari ini



[4] - “Sesekali Inginku Bubuhkan Kata TAMAT pada Semua”


Mau kau jadikan apa aku ini? Sumbuku direbut oleh tragisnya leher yang tersangkut berat di simpulku. Dari lelakimu. Pejantan malasmu. Tertawa sajalah airmatamu.


Memang nasibmu. Nasibnya. Nasib kita. Bila aku mati di kesenjaan hari-harimu. Lantaran kuyupmu kembali lagi. Oleh matamu. Juga anak-anakmu. Oleh rembulan samar tanda basah kelopak matamu melihat anak-anakmu berperut kerontang.


“Susahku tak meringan, walau kuk yang kupanggul telah kuserahkan…” keluhmu pada kompor yang tak berapi lagi



[5] – Kesaksian di Sebuah Bab


Pada bab kelimamu kompor bersaksi;


Kau tahu jenuhmu membangun hunian labalaba di kekosongan lubanglubang sumbuku. Merenta. Di belantara kegusaran semadi kita. Di temaram kedahagaan lelap anak-anakmu.


Kau tahu kitabkitab malam kau rambatkan di kontemplasi pepohonan bodhi. Di mana kemiskinan menemakan diri tentang setiap fragmen renung kita. Di mana kau daraskan darahdarahmata. Ke atasku. Mengalir lalu. Mengarat bersama persendianku.


Kau tahu segala renungmu adalah isyarat kepunahan minyak, air, listrik, sembako. Juga macam subsidi. Bak garis sabit bulan muda mengiris langit pucat kau sebut mereka. Hanyut meluruh di rawa renungmu.


Kau tahu di sebuah cangkir retak kau tuang mereka. Merekat pada dingin endapan kopi encermu. Kau aduk lantas kau teguk. Katamu supaya lidah sampai tak mampu bicara apa itu kata. Hati tak mampu membaca apa itu rasa. Otak tak mampu menafsir apa itu pikiran.


Kau tahu niscaya ornamen-ornamen jenuhnya kitabkitab malam dalam renungmu tak melampaui padang permadani tempat kita meletakkan warnawarna doa



[6]–Firman Kom-por dan Wa-ni-ta (Kerudung); Bukan Lagi Sebuah Aku Kamu


Aku berfirman:


bukan lagi kom-por kamu. Padammu menyemayamkan pilu matamata haru. Bilamana ragamu habis dirayap kekarat dan dilumut muaian. Habis tak bersisik. Bilamana juduljudul pada babmu digelincirkan sebuah nama baru. Tabung hijau mungil menawan.


Bukanlah lagi kom-por kamu. Gemerontang tabung itu membising di pekuburan namamu. Seraya menyeru, “Kamu bukanlah kom-por, namamu. Nafas lendir minyakmu tak mampu bertahan di antara balada konversi gas.”


Kamu berfirman:


bukan lagi wa-ni-ta (kerudung) aku. Kerudung kusandarkan. Pada bahu yang tak sanggup memanggul. Tertujuku; mejameja tujuan bolabola billiar eliptikal. Tongkattongkat penyodok yang bermalam di ranjang mataku. Menggelindingkan bolabola mata tempat api duka tersulut.


Bukanlah lagi wa-ni-ta (kerudung) aku. Malam renung kuusaikan. Kudirikan paviliun dengan tamantaman bunga. Tempat kurentangkan sayapsayap molek. Kupanjangkan antena bersinyalkan hidung belang. Terbang melalu hinggap ke mana. Asal madu kudapat. Untuk sekedar menunda insomnia anakanakku. Seraya menyeru, “Aku bukanlah wa-ni-ta (kerudung), namaku. Kerudung telah mendingin di kehanyutan kepakku.”


Demikianlah firmanmu akan aku, firmanku akan kamu



[7] – Sandi Sandi di Prasasti Kita; Kau beserta Wanita Itu


Betapa pilu bila kita dirindu. Betapa berang bila kita dikenang. Lensa mata pun lelah mendidih. Namun di sana. Kita mencetak reliefrelief serupa prasasti. Di sana. Kita sepuhkan sandi sandi renung. Di sana. Ke atas muka batuan judul kita


Aksara gemerontang kerontang

Aksara cucuran gelasgelas dahaga

Aksara rerintik piringpiring lapar

Aksara hujan sekolah gusuran

Aksara kecipak darah tumpah

Aksara parasparas pasi

Aksara mazmur requiem

Aksara kontemplasi subsidi

Aksara cibiran zikir rezeki

Aksara litani fatamorgana

Aksara notnot sungkawa


Betapa pilu bila kita dirindu. Betapa berang bila kita dikenang. Di sana. Ke atas muka batuan judul kita



[8] – Kita Jelmaan Kalian


Di ruang kotak beratap pasi kau berlutut usai meringkas sandisandimu;


Kita telah memicingkan mata bersama. Merengek di hadapan ibu rembulan sabit. Bahkan memudarkan satu sama lain. Namun bekas tetaplah mengembun di setiap pagi. Tempat kita mendengar kalimat tanya yang sama. Makan apa kami hari ini? Menjadi desir angin di setiap malam. Tempat kita memanjatkan puja-pujian, pusaran doadoa tobat, dentingandentingan mohon. Tempat kita berpura tanpa rungu pada cerita kelu berdiskon sampai 99% dan mahalnya keserian tatapan wajahwajah. Kita adalah kalian.


Kita telah bersetubuh di tempat pasangan airmata kita berdansa. Melahirkan bayibayi miskin berbusung. Tumbuh menjadi kanakkanak gelandang. Menyamar sebagai biduan jalanan tanpa nama. Melalang buana. Setapak demi setapak. Menuju trotoar sunyi, teras toko, jembatan penyeberangan, pinggiran sungai, seberang rel atau ruang berpohon. Kita adalah kalian.


Di ruang kotak beratap pasi kau berlutut mengutuki kompor juga dirimu usai meringkas sandisandimu; kita jelmaan kalian. Kalian para pengidap pukau kemiskinan



[9] – Selebrasi dalam Epilog


Ada benar. Bila seragam aduh kau himpitkan pada roda putar. Bila selubuk duka kau sangkarkan pada rembulan samar. Supaya tak cepat ia keluar.


Ada benar. Bila segala macam tangis kau pilin menjadi sumbusumbu, bagi kompor yang lama kau tanggalkan. Bila tabung baru menawan itu kau gadaikan bersama kartu tanda kemiskinanmu.


Ada benar. Bila tetap kau cetak hurufhuruf renung di atas diskusi kompor . Di mana aneka sujudmu membait di syairsyair doa, itu. Bila tetap kau cibirkan ayatayat pengusir belatung yang memiskinkan kesalehanmu.


Ada benar. Bila di sini. Di pertiwi ini. Kau masih saja tak berbeda dengan kompor dan tak lain denganmulah ia. Masih saja menjadi sayapsayap kecil. Bukan malaikat bukan bidadari malam. Hanya sayapsayap kecil di sarang kemarau.


Ada benar. Bila serangkai paragraf identitasmu menjadi selebrasi hukum rimba. Bila kau dan kompor sesaat berpisah kesah. Dan kalian isyaratkan pesan pada sekejap tatapan, “pergilah kita diutus…”



2009