PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

5.19.2012

APRESIASI DARI PAK SOFYAN ADRIMEN

MEMBACA SEBUAH PENCARIAN (sebagai penikmat puisi)



KETIKA PERTAMA SEORANGPUN BELUM MAMPU MENGARTIKANNYA
oleh A Ganjar Sudibyo


Puisi, aku sangat menggandrungi keunikan puisi ini, sebagai salah satu bentuk karya sastra dalam tulisan seperti yang lainnya, cerpen, novel, roman dst. Bagiku puisi ini mampu memanifestasikan beragam realitas dari beragam narasi seberapapun panjangnya dan ia meremasnya menjadi sari-sari pati yang pada mulanya adalah perasan yang penuh ambiguitas, oleh karena daya perasnya yang sangat kuat itu. Bahkan dari narasi-narasi yamg masih bersifat imajinatif sekalipun.
Ambiguitas sebuah puisi inilah yang senantiasa memukauku, untuk berlarut-larut di dalamnya. Multi tafsir yang mengalir yang menenggelamkan pada nilai-nilai dan pemaknaan yang di hulukan sang penyair dari dilema maupun problematik kehidupan, kemausiaan, religi dll.
Berpijak dari hal di atas, aku menikmati permainan indah yang di sajikan rangkaian kata-kata dalam puisi ‘KETIKA PERTAMA SEORANGPUN BELUM MAMPU MENGARTIKANNYA’ karya A Ganjar Sudibyo, yang dulu di facebook di kenal dengan nama Ganz Pencandukata, setidaknya itu nama yang di pakai ketika pertama kali aku mengenalnya di fb. Atau dengan berseloroh temannya sering juga menyebutnya sekarang, GPCT.
Sepintas aku melihat judul ini sebagai sebuah pintu yang unik, pada umumnya sama dengan pintu-pintu yang lainnya yang menawarkan kita untuk masuk dengan daya tarik yang melambai indah dan menarik, aku katakan indah dan menarik karena ia sanggup membuatku untuk menoleh untuk kedua bahkan ketiga kalinya, bagiku itulah keindahan yang sebenarnya itu, yang sanggup membuatku untuk menoleh dan mencermatinya, apa yang membuatnya indah itu?.
Mungkin yang membedakannya dengan pintu pada umumya, sebagaimana aku menyebutnya sebagi sebuah pintu yang unik adalah, aku melihatnya sebagai pintu yang berdaun kembar, secara intuisi aku melihat judul itu sebagai dua buah kalimat yang dipadukan atau dibenturkan., ‘ketika pertama’ dan ‘seorangpun belum mampu mengartikannya’ meskipun jumlah kata dalam kedua kalimat itu tak seimbang, namun kesimbangannya terjadi pada ambiguitas tafsir yang masing-masing dibawa kedua kalimat itu.
Aku membayangkan diriku sebagai seorang tokoh koboi yang lengkap dengan segala aksesorisnya dan senjata tergantung di pinggang, setelah menambatkan kudanya di depan sebuah bar, seperti dalam film-film western itu, lalu ia melangkah mendorong kedua daun pintu bar itu dengan kedua tangannya dan kedua daun pintu itu tesibak dengan keagungan yang anggun, indah.
Sebelum melangkah masuk, aku disambut dengan sesuatu yang tidak lazim tapi juga tidak asing, sebuah pertanyaan yang aku yakin orang akan memilih untuk tidak mempertanyakannya sekarang ini, tapi ia menjadi menarik perhatian karena dituliskan sang penyair dengan khusus dengan tulisan yang miring, dalam kurung dan masih juga di beri tanda petik, ia sangat menekankan untuk membaca pertanyaan ini dulu sebelum masuk ke tubuh puisi ini, walaupun sepertinya terasa ia tak menginginkan jawabannya, sangat sederhana,

(“kenapa burung-burung
 tak takut ketinggian, bu?”)

Menurutku penyair ini baik hati, dengan judul dan bait penyambutan itu ia tak lansung mendorong kita ke lubuk yang sudah dibangunnya  untuk kita renangi dengan kegamangan akan ketidak pahaman akan puisi ini nantinya. Ia memberikan bekal sarana untuk menelusuri ruang-ruang yang telah di sediakan dalam puisi ini. Dengan pertanyaan yang sederhana itu dan sepatah kata setelah  koma, bu, kita akan dibawa ke kebelum tahuan atau banyak hal-hal yang kelihatan sederhana di sekitar kita tapi kita menyepelekannya sebagai sebuah nilai dalam hidup ini. Seperti kita masih kecil dulu yang dengan cerewet menghujani sang ibu dengan pertanyaan yang menurut kedewasaan sang ibu itu adalah hal yang jarang atau tak pernah terpikirkan, karena ya seperti itulah adanya sedari semula. ‘langit itu,’ katanya, membuka tubuh puisi ini, ‘langit yang lagi-lagi seperti sebuah jendela’. Ambiguitas dari kedua kalimat di awal tubuh puisi ini mencengangkanku, kedua kalimat itu bisa bermetafor ke multi pemaknaan, tapi dengan bait penyambutan tadi kita menjadi tak asing dengan yang diharapkan atau yang ingin disampaikan penyairnya, Sebuah harapan, harapan yang dituduhkan berasal dari langit itu, yang juga seperti sangat menjanjikan sesuatu yang tinggi itu.dan perjalanan pencarian itupun dimulai.

Sebuah pencarian, yang dikenakkan penyair dengan ‘seekor burung muda yang belajar mengenakan sayapnya’, ‘ bu, aku mau belajar terbang, seperti apa rasanya di ketinggian awan itu ya…bu’ katanya.


langit itu, langit yang lagi-lagi seperti sebuah jendela
yang dibuka pagi-pagi sekali. kau, kau layaknya sudah lama
sekali menjemur mimpi tentang seekor burung muda
yang belajar mengenakan sayapnya. lalu sebuah mesin cuci
mencoba berulang-ulang mengeringkannya, karena hari ini
warna langit bergerak cepat. orang-orang tampak sibuk
membenarkan letak tas di punggungnya. tapi, kau masih
saja percaya, aku akan datang untuk menyelamatkan
mimpi itu, bukan sebagai mesin cuci, sebagai orang-orang,
atau sebagai langit yang terlalu mustahil untuk digerakkan.


langit itu, lagi-lagi menciptakan kita dan segala perjumpaan
yang katamu adalah puisi-puisi setengah jadi. dan sebenarnya
kita belum mampu menjaga utuh seluruh peristiwa yang seringkali
membikin degup jantung kita tak karuan. burung itu, katamu
adalah kekhawatiran yang tumbuh pertama kali pada jarak-jarak
pada ukuran cinta dan seberapa sering kita menandai ketakaburan
sebagai kemungkinan-kemungkinan yang hablur. oh! aku tak lagi
mengerti bagaimana kita lantas menyebut langit ini atau burung itu,
waktu selalu saja larut dan kita membiarkannya dingin


Pencarian  sebagai sebuah nilai dalam kehidupan ini bukanlah suatu  hal yang baru, ia sama purbanya dengan peradaban ini. Tapi kata itu sebagai sebuah nilai menjadi terbaharui oleh dikenakkannya ke dalam kalimat seekor burung muda...itu, tak  hanya sampai di situ, penyair meletakkannya di hadapan kita, saat ini, bagaimana gamangnya pencarian jati itu di tengah peradaban yang serba modern dan instan ini dengan gelombang globasisasi yang menghantam kita, dengan kata yang dengan berani ia susupkan ke dalam puisi ini, sebuah mesin cuci, sebagai penanda dari jamannya.
Jaman di mana hal-hal yang normative itu bukan lagi sebagai lambang dari kemajuan peradaban secara keseluruhan tapi kini menjadi kemungkinan-kemungkinan yang harus di eksplorasi demi modernitas kebutuhan ragawi.
Ketika kita kehilangan batas-batas yang harus ditempuh dan yang tidak , maka kita berada dalam kegamangan itu, dan penyair ini menangkapnya dengan arif. Bagaimana masyarakat kita tidak mampunya sekarang ini mengartikan pencapaian dari pencarian jati itu(langit itu), atau burung-burung muda yang dengan kegamangannya demikian banyak dan terus belajar terbang ke awan itu, sedangkan mereka tak ada tempat lagi untuk bertanya, apakah ketinggian itu masih punya sebuah arti atau tidak dalam hidup ini?, yang pantas untuk diperjuangkan?.


ibu, ibu, ibu...bagaimana cara yang tepat untuk mengartikan
ketinggian itu, karena semua tempat tak lagi banyak menjelaskan
batas. maka pertama-tama, berjanjilah...lepaskanlah segalanya itu
ke dalam aku,
aku


Bagiku puisi yang berhasil itu ialah, puisi yang berhasil dengan penawarannya, entah itu ide, nilai atau kemungkinan-kemungkinan, yang ia berhenti pada penawaran maknanya itu dengan koma dan titik-titik yang akan membuat pembaca melanjutkannya., entah itu secara realitas, emosional atau imajinatif.
Penyair ini membuatku berimajinasi sebagai tokoh kpboi dari jaman dulu itu, dan ketika di dalam bar itu, aku menemukan demikian kekinian yang dengan segala problematik dan dilema yang di usungnya dalam puisi ini sebagai bagian dari pencarian harkat dari yang jati itu dengan sebuah pertanyaan yang tersirat padaku, seberapakah yang masih tersisa dalam diri kita?, yang bisa kita wariskan pada burung-burung muda itu?.
Ketika masuk tadi aku adalah seorang tokoh koboi yang gagah, aku rasa sudah cukup aku menikmati apa yang disajikan penyair ini. Aku lalu berjalan keluar, sebelum sampai ke pintu yang unik tadi itu, aku melewati sebuah cermin di dinding sebelah kiri, ketika masuk tadi aku tak melihat cermin ini, ah…biarlah, pikirku. Sebentar aku ingin mematut penampilan sebelum keluar, aku menghampiri cermin itu dan menelisik bayanganku di dalamnya,  Sepertinya bukan aku yang berada dalam cermin itu, kubuka topiku untuk lebih memastikan bayangan di dalam cermin, tapi yang berdiri di sana adalah seorang koboi kecil, koboi kecil seperti dalam film koboi cengeng yang ditokohkan oleh Adi bing Slamet dulu itu…lalu aku melihat keluar jendela, langit itu, lagi-lagi langit itu…


KETIKA PERTAMA SEORANGPUN BELUM MAMPU MENGARTIKANNYA
Oleh A Ganjar Sudibyo

  (“kenapa burung-burung tak takut ketinggian, bu?”)

langit itu, langit yang lagi-lagi seperti sebuah jendela
yang dibuka pagi-pagi sekali. kau, kau layaknya sudah lama
sekali menjemur mimpi tentang seekor burung muda
yang belajar mengenakan sayapnya. lalu sebuah mesin cuci
mencoba berulang-ulang mengeringkannya, karena hari ini
warna langit bergerak cepat. orang-orang tampak sibuk
membenarkan letak tas di punggungnya. tapi, kau masih
saja percaya, aku akan datang untuk menyelamatkan
mimpi itu, bukan sebagai mesin cuci, sebagai orang-orang,
atau sebagai langit yang terlalu mustahil untuk digerakkan.

langit itu, lagi-lagi menciptakan kita dan segala perjumpaan
yang katamu adalah puisi-puisi setengah jadi. dan sebenarnya
kita belum mampu menjaga utuh seluruh peristiwa yang seringkali
membikin degup jantung kita tak karuan. burung itu, katamu
adalah kekhawatiran yang tumbuh pertama kali pada jarak-jarak
pada ukuran cinta dan seberapa sering kita menandai ketakaburan
sebagai kemungkinan-kemungkinan yang hablur. oh! aku tak lagi
mengerti bagaimana kita lantas menyebut langit ini atau burung itu,
waktu selalu saja larut dan kita membiarkannya dingin

ibu, ibu, ibu...bagaimana cara yang tepat untuk mengartikan
ketinggian itu, karena semua tempat tak lagi banyak menjelaskan
batas. maka pertama-tama, berjanjilah...lepaskanlah segalanya itu
ke dalam aku,
aku


2012




Semarang, 18 Mei 012

PULANGLAH SAJAK-SAJAK



bagaimana lagi aku meminta kalian yang telah lama
khusyuk mencari jalan demi jalan dengan kaki timpang
dan bahu kanan yang memanggul kesedihan-kesedihan
tentang sesal serta gagal. memang salah jika kalian
bukan produk dari kecamuk diri yang selalu berkemas
untuk menunaikan kesetengah-matian setiap peristiwa
di berat waktu di mata tipis kalian. khusyuk itu:
kalian yang senantiasa berpegang di pundak yang lain;
khusyuk itu yang menamakan perjumpaan adalah
ingatan bebal yang tak ingin beku atau diremas-remas
dengan kerapatan dan kekuatan tangan

bagaimana lagi aku mengembalikan kalian menempuh
tujuan ke rumah yang dulu di mana kejujuran tak cepat
lelah atau pasrah mengatasi jalan yang salah. ya, mungkin
kalian tak perlu kembali membawa resah diri beserta
rasa bersalah; daripadaku jalan-jalan itu terhapus sendiri
oleh setiap ngiris yang menciptakan satu pintu dan
sejumlah petunjuk arah

--pulanglah sajak-sajak, bulu-bulu rinduKu ini hampir sesak
karena kertak!


2012