PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

5.23.2012

BAGIMU, SEJUMLAH EPISODE KAMPUNG LIR-ILIR



("Lir-ilir, lir-ilir tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon - cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro..."*)

1. kekasih, di kampung yang konon masih ada sawah, langit
tercipta bersama badan yang berlamur-lumpur; lalu berutas-utas
cahaya memandikan seluruh perstiwa. pepohon kersen itu, sebutku:
seperti mempercintakan gelantung buah-buah merah kecil
beserta perasaan-perasaan santun tentang jejak jalan naga
dan kelindan sarang semut-semut angkrang merah.
pepohon kersen itu, sebutku: seperti mengeringkan
lumpur yang tebal dan banal dari sisi badan yang sintal
dengan isyarat resap akar-akarnya. di kampung itu,
pepohon kersen ini selayaknya kain berwarna papan catur
yang khusyuk memeluk serangkaian sembahyang anak cucu
--sebuah pawai kebajikan yang ditanah-langitkan dalam nyaring
bayang kekononan

2. sesampai bahasa bersitumpah jadi sepah yang rapal
perjalanan ini, kekasih, perjalanan panjang yang aduhai
mengusik: o... ke mana mesti kutanggalkan suara-suara langit
yang pertama kali semenjana biru. demikianlah,
demikianlah, negeri ini menyusun langit demi langit
menciptakan orang-orang bukan hanya dari satu warna;
sebab di atas sana tak semata-mata langit atau angin kencang
yang mengoyak-koyak awan, melainkan semacam pengetahuan
abadi tentang bagaimana memahami hilir ketinggian, bagaimana
menerjemahkan kerendahan sebagai rumput terhijau sebagai
tujuan yang tak pernah tuntas bergerak untuk diupacarakan

sesampai bahasa bersitumpah, segalanya mengeras seperti
batu-batu menhir; pun ingatan-ingatan senantiasa meremas
dongengnya sendiri, mengeram setiap kabar menjadi lelagu
yang saling menyanyikan mimpi, mimpi yang dilepaskan setiap ibu
ketika meninabobokan anaknya atau ketika mengucapkan pepatah
sebelum menempuh sejumlah tanah rantau;
mimpi-mimpi itu ialah sebermulanya bahasa
pertautan antara  doa, kenyataan, dan aku

3. mataku, mata ikan muara yang ditangkap
oleh kisah-kisah fiksi tentang zaman raja dan rakyatnya,
mataku ikan muara yang kehausan berenang
pada sungai-sungai keruh di mana hujan tak luluh-luluhnya
melarut-hanyutkan keruh itu. mataku, ikan muara yang dipancing
ramalan-ramalan kepala adat, dimantrai menghadap pohon kersen
dan ruh para pertapa. menjadi sebentuk pohon. pohon hijau,
pohon yang sering ingin ditanam sebagai perlambang bangsa
sebagai harapan-harapan yang bersetimpuh   

kekasih,

pahamilah. kini mataku, mata kampung digital yang menampung abad
abad, yang bercahaya benderang sebenderang layar-layar
monitor, sebab orang-orang. orang-orang masih memiliki bahasa
dari kisah-kisah yang lapang: semesta beserta perasaan-perasaan
perihal cinta yang bukan aku, melainkan satu. satu

("...Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jrumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak hiyo"**)


2012


KETERANGAN:
*(dalam bahasa Indonesia) Bangunlah, bangunlah, tanamannya telah bersemi
Bagaikan warna hijau yang menyejukkan, bagaikan sepasang pengantin baru
Anak gembala, anak gembala, tolong panjatkan pohon belimbing itu
Biarpun licin, tetaplah memanjatnya, untuk mencuci kain dodotmu. (Dodot adalah sejenis kain kebesaran orang Jawa yang hanya digunakan pada upacara-upacara / saat-saat penting)
**(dalam bahasa Indonesia) Kain dodotmu, kain dodotmu, telah rusak dan robek.
Jahitlah, tisiklah untuk menghadap (Tuhanmu) nanti sore
Selagi rembulan masih purnama, selagi tempat masih luas dan lapang
 Ya, bersoraklah, berteriaklah iya




5.19.2012

APRESIASI DARI PAK SOFYAN ADRIMEN

MEMBACA SEBUAH PENCARIAN (sebagai penikmat puisi)



KETIKA PERTAMA SEORANGPUN BELUM MAMPU MENGARTIKANNYA
oleh A Ganjar Sudibyo


Puisi, aku sangat menggandrungi keunikan puisi ini, sebagai salah satu bentuk karya sastra dalam tulisan seperti yang lainnya, cerpen, novel, roman dst. Bagiku puisi ini mampu memanifestasikan beragam realitas dari beragam narasi seberapapun panjangnya dan ia meremasnya menjadi sari-sari pati yang pada mulanya adalah perasan yang penuh ambiguitas, oleh karena daya perasnya yang sangat kuat itu. Bahkan dari narasi-narasi yamg masih bersifat imajinatif sekalipun.
Ambiguitas sebuah puisi inilah yang senantiasa memukauku, untuk berlarut-larut di dalamnya. Multi tafsir yang mengalir yang menenggelamkan pada nilai-nilai dan pemaknaan yang di hulukan sang penyair dari dilema maupun problematik kehidupan, kemausiaan, religi dll.
Berpijak dari hal di atas, aku menikmati permainan indah yang di sajikan rangkaian kata-kata dalam puisi ‘KETIKA PERTAMA SEORANGPUN BELUM MAMPU MENGARTIKANNYA’ karya A Ganjar Sudibyo, yang dulu di facebook di kenal dengan nama Ganz Pencandukata, setidaknya itu nama yang di pakai ketika pertama kali aku mengenalnya di fb. Atau dengan berseloroh temannya sering juga menyebutnya sekarang, GPCT.
Sepintas aku melihat judul ini sebagai sebuah pintu yang unik, pada umumnya sama dengan pintu-pintu yang lainnya yang menawarkan kita untuk masuk dengan daya tarik yang melambai indah dan menarik, aku katakan indah dan menarik karena ia sanggup membuatku untuk menoleh untuk kedua bahkan ketiga kalinya, bagiku itulah keindahan yang sebenarnya itu, yang sanggup membuatku untuk menoleh dan mencermatinya, apa yang membuatnya indah itu?.
Mungkin yang membedakannya dengan pintu pada umumya, sebagaimana aku menyebutnya sebagi sebuah pintu yang unik adalah, aku melihatnya sebagai pintu yang berdaun kembar, secara intuisi aku melihat judul itu sebagai dua buah kalimat yang dipadukan atau dibenturkan., ‘ketika pertama’ dan ‘seorangpun belum mampu mengartikannya’ meskipun jumlah kata dalam kedua kalimat itu tak seimbang, namun kesimbangannya terjadi pada ambiguitas tafsir yang masing-masing dibawa kedua kalimat itu.
Aku membayangkan diriku sebagai seorang tokoh koboi yang lengkap dengan segala aksesorisnya dan senjata tergantung di pinggang, setelah menambatkan kudanya di depan sebuah bar, seperti dalam film-film western itu, lalu ia melangkah mendorong kedua daun pintu bar itu dengan kedua tangannya dan kedua daun pintu itu tesibak dengan keagungan yang anggun, indah.
Sebelum melangkah masuk, aku disambut dengan sesuatu yang tidak lazim tapi juga tidak asing, sebuah pertanyaan yang aku yakin orang akan memilih untuk tidak mempertanyakannya sekarang ini, tapi ia menjadi menarik perhatian karena dituliskan sang penyair dengan khusus dengan tulisan yang miring, dalam kurung dan masih juga di beri tanda petik, ia sangat menekankan untuk membaca pertanyaan ini dulu sebelum masuk ke tubuh puisi ini, walaupun sepertinya terasa ia tak menginginkan jawabannya, sangat sederhana,

(“kenapa burung-burung
 tak takut ketinggian, bu?”)

Menurutku penyair ini baik hati, dengan judul dan bait penyambutan itu ia tak lansung mendorong kita ke lubuk yang sudah dibangunnya  untuk kita renangi dengan kegamangan akan ketidak pahaman akan puisi ini nantinya. Ia memberikan bekal sarana untuk menelusuri ruang-ruang yang telah di sediakan dalam puisi ini. Dengan pertanyaan yang sederhana itu dan sepatah kata setelah  koma, bu, kita akan dibawa ke kebelum tahuan atau banyak hal-hal yang kelihatan sederhana di sekitar kita tapi kita menyepelekannya sebagai sebuah nilai dalam hidup ini. Seperti kita masih kecil dulu yang dengan cerewet menghujani sang ibu dengan pertanyaan yang menurut kedewasaan sang ibu itu adalah hal yang jarang atau tak pernah terpikirkan, karena ya seperti itulah adanya sedari semula. ‘langit itu,’ katanya, membuka tubuh puisi ini, ‘langit yang lagi-lagi seperti sebuah jendela’. Ambiguitas dari kedua kalimat di awal tubuh puisi ini mencengangkanku, kedua kalimat itu bisa bermetafor ke multi pemaknaan, tapi dengan bait penyambutan tadi kita menjadi tak asing dengan yang diharapkan atau yang ingin disampaikan penyairnya, Sebuah harapan, harapan yang dituduhkan berasal dari langit itu, yang juga seperti sangat menjanjikan sesuatu yang tinggi itu.dan perjalanan pencarian itupun dimulai.

Sebuah pencarian, yang dikenakkan penyair dengan ‘seekor burung muda yang belajar mengenakan sayapnya’, ‘ bu, aku mau belajar terbang, seperti apa rasanya di ketinggian awan itu ya…bu’ katanya.


langit itu, langit yang lagi-lagi seperti sebuah jendela
yang dibuka pagi-pagi sekali. kau, kau layaknya sudah lama
sekali menjemur mimpi tentang seekor burung muda
yang belajar mengenakan sayapnya. lalu sebuah mesin cuci
mencoba berulang-ulang mengeringkannya, karena hari ini
warna langit bergerak cepat. orang-orang tampak sibuk
membenarkan letak tas di punggungnya. tapi, kau masih
saja percaya, aku akan datang untuk menyelamatkan
mimpi itu, bukan sebagai mesin cuci, sebagai orang-orang,
atau sebagai langit yang terlalu mustahil untuk digerakkan.


langit itu, lagi-lagi menciptakan kita dan segala perjumpaan
yang katamu adalah puisi-puisi setengah jadi. dan sebenarnya
kita belum mampu menjaga utuh seluruh peristiwa yang seringkali
membikin degup jantung kita tak karuan. burung itu, katamu
adalah kekhawatiran yang tumbuh pertama kali pada jarak-jarak
pada ukuran cinta dan seberapa sering kita menandai ketakaburan
sebagai kemungkinan-kemungkinan yang hablur. oh! aku tak lagi
mengerti bagaimana kita lantas menyebut langit ini atau burung itu,
waktu selalu saja larut dan kita membiarkannya dingin


Pencarian  sebagai sebuah nilai dalam kehidupan ini bukanlah suatu  hal yang baru, ia sama purbanya dengan peradaban ini. Tapi kata itu sebagai sebuah nilai menjadi terbaharui oleh dikenakkannya ke dalam kalimat seekor burung muda...itu, tak  hanya sampai di situ, penyair meletakkannya di hadapan kita, saat ini, bagaimana gamangnya pencarian jati itu di tengah peradaban yang serba modern dan instan ini dengan gelombang globasisasi yang menghantam kita, dengan kata yang dengan berani ia susupkan ke dalam puisi ini, sebuah mesin cuci, sebagai penanda dari jamannya.
Jaman di mana hal-hal yang normative itu bukan lagi sebagai lambang dari kemajuan peradaban secara keseluruhan tapi kini menjadi kemungkinan-kemungkinan yang harus di eksplorasi demi modernitas kebutuhan ragawi.
Ketika kita kehilangan batas-batas yang harus ditempuh dan yang tidak , maka kita berada dalam kegamangan itu, dan penyair ini menangkapnya dengan arif. Bagaimana masyarakat kita tidak mampunya sekarang ini mengartikan pencapaian dari pencarian jati itu(langit itu), atau burung-burung muda yang dengan kegamangannya demikian banyak dan terus belajar terbang ke awan itu, sedangkan mereka tak ada tempat lagi untuk bertanya, apakah ketinggian itu masih punya sebuah arti atau tidak dalam hidup ini?, yang pantas untuk diperjuangkan?.


ibu, ibu, ibu...bagaimana cara yang tepat untuk mengartikan
ketinggian itu, karena semua tempat tak lagi banyak menjelaskan
batas. maka pertama-tama, berjanjilah...lepaskanlah segalanya itu
ke dalam aku,
aku


Bagiku puisi yang berhasil itu ialah, puisi yang berhasil dengan penawarannya, entah itu ide, nilai atau kemungkinan-kemungkinan, yang ia berhenti pada penawaran maknanya itu dengan koma dan titik-titik yang akan membuat pembaca melanjutkannya., entah itu secara realitas, emosional atau imajinatif.
Penyair ini membuatku berimajinasi sebagai tokoh kpboi dari jaman dulu itu, dan ketika di dalam bar itu, aku menemukan demikian kekinian yang dengan segala problematik dan dilema yang di usungnya dalam puisi ini sebagai bagian dari pencarian harkat dari yang jati itu dengan sebuah pertanyaan yang tersirat padaku, seberapakah yang masih tersisa dalam diri kita?, yang bisa kita wariskan pada burung-burung muda itu?.
Ketika masuk tadi aku adalah seorang tokoh koboi yang gagah, aku rasa sudah cukup aku menikmati apa yang disajikan penyair ini. Aku lalu berjalan keluar, sebelum sampai ke pintu yang unik tadi itu, aku melewati sebuah cermin di dinding sebelah kiri, ketika masuk tadi aku tak melihat cermin ini, ah…biarlah, pikirku. Sebentar aku ingin mematut penampilan sebelum keluar, aku menghampiri cermin itu dan menelisik bayanganku di dalamnya,  Sepertinya bukan aku yang berada dalam cermin itu, kubuka topiku untuk lebih memastikan bayangan di dalam cermin, tapi yang berdiri di sana adalah seorang koboi kecil, koboi kecil seperti dalam film koboi cengeng yang ditokohkan oleh Adi bing Slamet dulu itu…lalu aku melihat keluar jendela, langit itu, lagi-lagi langit itu…


KETIKA PERTAMA SEORANGPUN BELUM MAMPU MENGARTIKANNYA
Oleh A Ganjar Sudibyo

  (“kenapa burung-burung tak takut ketinggian, bu?”)

langit itu, langit yang lagi-lagi seperti sebuah jendela
yang dibuka pagi-pagi sekali. kau, kau layaknya sudah lama
sekali menjemur mimpi tentang seekor burung muda
yang belajar mengenakan sayapnya. lalu sebuah mesin cuci
mencoba berulang-ulang mengeringkannya, karena hari ini
warna langit bergerak cepat. orang-orang tampak sibuk
membenarkan letak tas di punggungnya. tapi, kau masih
saja percaya, aku akan datang untuk menyelamatkan
mimpi itu, bukan sebagai mesin cuci, sebagai orang-orang,
atau sebagai langit yang terlalu mustahil untuk digerakkan.

langit itu, lagi-lagi menciptakan kita dan segala perjumpaan
yang katamu adalah puisi-puisi setengah jadi. dan sebenarnya
kita belum mampu menjaga utuh seluruh peristiwa yang seringkali
membikin degup jantung kita tak karuan. burung itu, katamu
adalah kekhawatiran yang tumbuh pertama kali pada jarak-jarak
pada ukuran cinta dan seberapa sering kita menandai ketakaburan
sebagai kemungkinan-kemungkinan yang hablur. oh! aku tak lagi
mengerti bagaimana kita lantas menyebut langit ini atau burung itu,
waktu selalu saja larut dan kita membiarkannya dingin

ibu, ibu, ibu...bagaimana cara yang tepat untuk mengartikan
ketinggian itu, karena semua tempat tak lagi banyak menjelaskan
batas. maka pertama-tama, berjanjilah...lepaskanlah segalanya itu
ke dalam aku,
aku


2012




Semarang, 18 Mei 012

PULANGLAH SAJAK-SAJAK



bagaimana lagi aku meminta kalian yang telah lama
khusyuk mencari jalan demi jalan dengan kaki timpang
dan bahu kanan yang memanggul kesedihan-kesedihan
tentang sesal serta gagal. memang salah jika kalian
bukan produk dari kecamuk diri yang selalu berkemas
untuk menunaikan kesetengah-matian setiap peristiwa
di berat waktu di mata tipis kalian. khusyuk itu:
kalian yang senantiasa berpegang di pundak yang lain;
khusyuk itu yang menamakan perjumpaan adalah
ingatan bebal yang tak ingin beku atau diremas-remas
dengan kerapatan dan kekuatan tangan

bagaimana lagi aku mengembalikan kalian menempuh
tujuan ke rumah yang dulu di mana kejujuran tak cepat
lelah atau pasrah mengatasi jalan yang salah. ya, mungkin
kalian tak perlu kembali membawa resah diri beserta
rasa bersalah; daripadaku jalan-jalan itu terhapus sendiri
oleh setiap ngiris yang menciptakan satu pintu dan
sejumlah petunjuk arah

--pulanglah sajak-sajak, bulu-bulu rinduKu ini hampir sesak
karena kertak!


2012

5.16.2012

KETIKA PERTAMA SEORANGPUN BELUM MAMPU MENGARTIKANNYA



(“kenapa burung-burung tak takut ketinggian, bu?”)


langit itu, langit yang lagi-lagi seperti sebuah jendela
yang dibuka pagi-pagi sekali. kau, kau layaknya sudah lama
sekali menjemur mimpi tentang seekor burung muda
yang belajar mengenakan sayapnya. lalu sebuah mesin cuci
mencoba berulang-ulang mengeringkannya, karena hari ini
warna langit bergerak cepat. orang-orang tampak sibuk
membenarkan letak tas di punggungnya. tapi, kau masih
saja percaya, aku akan datang untuk menyelamatkan
mimpi itu, bukan sebagai mesin cuci, sebagai orang-orang,
atau sebagai langit yang terlalu mustahil untuk digerakkan.


langit itu, lagi-lagi menciptakan kita dan segala perjumpaan
yang katamu adalah puisi-puisi setengah jadi. dan sebenarnya
kita belum mampu menjaga utuh seluruh peristiwa yang seringkali
membikin degup jantung kita tak karuan. burung itu, katamu
adalah kekhawatiran yang tumbuh pertama kali pada jarak-jarak
pada ukuran cinta dan seberapa sering kita menandai ketakaburan
sebagai kemungkinan-kemungkinan yang hablur. oh! aku tak lagi
mengerti bagaimana kita lantas menyebut langit ini atau burung itu,
waktu selalu saja larut dan kita membiarkannya dingin


ibu, ibu, ibu...bagaimana cara yang tepat untuk mengartikan
ketinggian itu, karena semua tempat tak lagi banyak menjelaskan
batas. maka pertama-tama, berjanjilah...lepaskanlah segalanya itu
ke dalam aku,
aku



2012

5.14.2012

SEBUAH PETANG YANG BERANGKAT DARI “EX NIHILO”



sepuluh kali ia kemasi tablet penenang, tapi kenapa
ia masih tak bisa jauh-jauh dari kepala yang menciptakan
berjumlah-jumlah khawatir pada dadanya. maka ia kemasi
dadanya sebentuk puluhan kali tablet penenang, maka ia
kemasi kepalanya sebentuk jalinan khawatir yang pernah
ringsek di ujung getar jari-jarinya. beberapa kali kemudian
ia simpan segala kemasan, ia pasang degup demi degup
di ucapnya; benarkah ini, atau justru mengemas itu serupa
dengan mengupas?

maka lekas ia meninggalkan degup selanjutnya sebelum sebuah
petang lebih dahulu berangkat untuk mengamini tak ada tenang
yang datang dari belakang


2012

5.03.2012

HUJAN DAN MUASAL PERCINTAAN



kekasih, pk 09.00 malam jalanan kampung bau hujan
pun bau arus air deras di kali. aku keluar rumah
malam itu, membawa sekepal kata-kata yang kucuri
dari kamus romeo. tapi, bagaimana aku bisa menerjemahkan ini
karena menujumu saja, aku pernah tak bosan-bosan
mengobati demam percintaan dan menulis catatan pertemuan
dengan ujung rambut juliet yang basah

kekasih, hujan yang sebentar lepas memang seringkali
membuat kita benar-benar tak pernah merasa naif
membuat kita bebas menempuh kata-kata
sebelum bersepakat menamai semua ini


2012

MENGGUBAH CUACA: COCO CHANNEL NO.5



katakanlah, bagaimana caranya kita menggubah cuaca kota malam ini
selain dengan merubah posisi bercinta dan cara bercumbu;
karena kerap saja kita tertipu dunia yang terlalu biar
--sebagai tempat, cuaca meletakkan mata kepada mata
bibir kepada bibir, kata kepada cara


serindu-rindunya kamu, aku tetap melihatmu sebagai
anggrek ungu perdu. bunga yang pernah kita tengarai
adalah bahan utama untuk membikin cinta ini menjalin
tetap pada pelukan lapang-panjang. aku tetap mengenalmu
sebagai wanita dengan likat parfum, dan bau itu
terangkum tetap sebagai warna ungu yang sama ketika
kita, ketika kita mengulang-ulang perasaan dan mencoba
menumbuhkan sepasang sayap demi sepasang lagi,
sepasang kamu demi sepasang aku. demi mengikat
sebuah cuaca yang dulu kita rancang, tapi terbang entah.
dan kini lewat jalan lain, kamu mendebarkan aku
pada sebuah dunia: cuaca dengan warna parfum seribu satu tahun


2012