PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

9.01.2010

CARRIKFERGUS*

oleh Jurjani Saja Cukup pada 23 Juli 2010 jam 22:00
(cerpen dari note facebook)

Kini aku melihat prempuan paling hebat di dunia. Perempuan yang begitu perkasa, perempuan tangguh, perempuan yang rela berkorban tanpa rasa pamrih dalam dirinya, karena menurutnya memberi adalah sebuah kewajiban, dan mererima adalah hak yang dianugrahkan, ketika mendapat sedikit dari jerih payah dari apa yang ia usahakan, maka itu adalah anugrah yang tak boleh dikufuri. Ah sugguh bederhana sekali pendirian itu. Bersahaja.

Dulu, ya dulu aku melihat ‘bara’ dalam matanya, bara semangat yang tak pernah padam. Aku tahu, paling tidak, aku kecil selalu terbangunkan di pertiga malam yang selalu dijaganya sejak lama, dan dia tak pernah tidur lagi setelah melakukan rutinitas itu, karena setelah subuh dan setelah melantunkan ayat-ayat suci, dia selalu sibuk menyiapkan sarapan keluarga, dan sungguh, dia tak pernah memanjakan matanya untuk tidur berleha-leha atau sekedar duduk manis di depan teve hitam putih di waktu dhuha, tidak, baginya, waktu dhuha adalah waktu untuk berangkat kerja, menenggelamkan diri dalam keagungan kerja, karena kemulyaan yang dia yakini adalah ada pada kerja keras, dan sekali lagi mata itu tak pernah terlihat sayu, oh tidak, dari dulu mata itu memang sudah sedikit sayu; sangat manis, dia tidak pernah membuka matanya dengan sangat lebar untuk menakuti anak-anaknya. lembut sekali.
Dan mata itu yang selalu membuatnya terlihat ramah dan selalu berseri. Dia selalu tersenyum untukku juga kepada orang yang dia temui. Dulu juga, aku kecil adalah anak yang nakal, sering buat ulah, tapi dia tidak pernah memarahiku di depan umum, dia selalu menjadi orang yang pertama merasa bersalah ketika aku tak sengaja menyenggol gelas di rumah tetangga, dia selalu tersenyum padaku. Ah sungguh, senyum dan mata ayu itu tak pernah lelah memancar an tak akan pernah aku lupa, terpatri erat dalam lubuk hatiku.

Bekerja di ladang dengan matahari membakar kulit, tidak kemudian ia kehilangan senyumnya dan mengutuki nasib. Hidup di perantauan memang keras, kerasa sekali, begitulah yang aku lihat pola kerja Ibu dan Bapakku, tak ada keluh kesah dan gelisah dalam menjalani hidup ini. Kau tahu kawan, tak ada adagium-adagium besar yang terpatri dan membentuk menara keyakinan mereka, sungguh aku tak pernah mendengar istilah ‘takdir terbaik manusia adalah tak pernah di lahirkan’ (mengesali takdir), yang ku tahu adalah hidup bagi mereka adalah sebuah garis ketetapan takdir dan dunia adalah kehidupan yang sangat sementara, dan salah satu garis takdir itu bernama transmigrasi. Transmigrasi merubah segalanya dalam kehidupan keluargaku dua puluh tahun silam.

Ya, tepatnya dua puluh tahun silam, bapakku melakukan transmigrasi ke Sumatra. Dulu kebijakan ini sangat popular, dan itulah yang aku baca di bangku sekolah, untuk melakukan pemerataan penduduk, maka pulau-pulau ynag sudah padat harus melakukan transmigrasi. Dan pulau Jawa adalah pulau yang sangat padat penduduknya, maka para penduduk di pulau Jawa terus didorong secara moril untuk ‘melihat dan menyapa’ kehidupan yang lebih baik di tanah baru.

Bapak menerima tawaran sebongkah mimpi itu. Bapak juga tak pernah menyerah, ibu sangat mendukungnya, bahkan teramat, dia menjadi penerang dan pendorong suami. Ibu tak pernah memberika sinyal keraguan kepada bapak ketika di tanya dan diminta pendapat, dia memberikan pendapat lalu menyerahkan semuanya kembali, dan mendukung segala keputusan. Dan akhirnya kami, oh aku tidak termasuk karena kau masih snagt kecil waktu itu, tepatnya ibu dan bapakku membuka lahan di Sumatra dengan satu mimpi: better life .

Kami hidup damai, kami menaklukan cobaan demi cobaan dengan sabar dan tawakkal. Ini adalah buah yang kami semai dari kerja keras selama belasan tahun, kami bisa hidup dari perkebunan kelapa sawit yang disediakan pemerintah sebagai konpensasi atas kesediaan kami membuka lahan di Sumatra ini. Dan kami hidup bahagia, bahagia sekali kawan, bahkan aku tak bisa lagi melukiskan kebahagian ini dengan kata-kata lain lagi. Ah tidak, tidak, sekali lagi tidak, aku tak bisa mengenangnya lebih jauh, karena kini keadaannya sudah berubah. Ya keadaannya sudah benar-benar berubah, entahlah berapa derajat perubahan ini kawan. Perih sekali, kenangan itu menusuk nusuk fikiran dan hatiku.
****

“Ibu kecil adalah anak seorang petani yang sangat sederhana” Beliau memulai ceritanya malam itu.
Aku hanya tersenyum, kini, seolah Ibu sedang berbincang dengan seorang sahabat, dan aku berharap bahwa aku adalah anak dan sahabat yang baik.

“Dulu ibu sangat pendiam, mungkin karena memang tak ada yang mesti bicarakan bicarakan, Ibu tak pernah neko-neko minta ini dan itu, apalagi minta dibeliin boneka, ah, Ibu tak pernah tertarik denagn boneka entah apapun namanya, entah itu barby atau yang sejenisnya, karena Ibu sudah cukup bahagia bermain dengan teman dan bermain dengan apa yang tersedia di alam” beliau kembali menghela nafas panjang.

Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Getir.

“Ibu tak pernah punya mimpi besar” Ia menatap langit-langit ruangan itu.

“Bahkan teramat sederhana, bahkan Ibu tak pernah berfikir ada dunia yang jauh lebih indah dan lebih maju, ya Ibu tak tak pernah punya mimpi untuk bersekolah tinggi-tinggi, seperti kamu Nak di Jakarta”
Aku makin khusus duduk di sampingnya, tentu menghadap tubuhnya.

“Ya, Ibu remaja adalah seorang rumahan, tak ada kegiatan yang menyibukan selain membantu Nenek di rumah sampai…” dia menahan nafasnya mencoba mengingat segalanya.

“Sampai Bapakmu datang mewarnai lembaran hidup yang harus terus berjalan”.

Aku hanya tersenyum, sambil mendekap tangannya erat.

“Bapakmu adalah orang yang sangat santun, dia datang kepada ibu dengan sangat unik, unik sekali, nada bicaranya sopan, dan kami saling mengenal walau tidak begitu baik, maklum, begitulah kalau beda kmapung; jarang bertemu. Yang lebih unik adalah dia datang pada keluarga Ibu setelah hanya satu bulan berkenalan, dan keluarga balik bertanya kepada Ibu, apakah Ibu bersedia menjadi istrinya, aku hanya tersenyum dan mengangguk, tak ada persyaratan apapun, karena Ibu tahu dia paham segalanya untuk membina rumah tangga, membangun istana kecil yang bernama ‘keluarga’, dan tidak lama kemudian kami menikah dan tidak beberapa lama melahirkanmu”

Aku tersipu dan aku melihat wajah Ibu berseri sambil menatapku lebih dalam; Tenggelam dalam senyumku: senyum kebanggaannya.

Sungguh potongan cerita ini adalah gambaran harapan. Kawan, jika engkau tengah bercerita entah kepada siapapun, terlebih kepada sobatmu sendiri, maka sesungguhnya engkau tengah menitifkan sejarah dan mimpimu di sana. Orang akan mengenangmu dengan apa yang engkau lakukan dan engkau ceritakan. Jadi berceritalah, maka ceritamu akan mengubah kehidupan orang lain di sekitarmu. Ceritamu akan jadi inspirasi orang lain untuk menjalani hidup ini lebih baik. Dan seperti biasa, aku selalu menemani Ibuku di setiap malam, ba’da magrib dan mendengar segala celotehannya, sejarah hidupnya, sejarah kebanggaannya, cita dan mimpinya yang amat sederhana; mempunyai anak yang soleh dan solehah.
Dan setelah mengakhiri ceriitanya, dia lalu tidur dalama genggaman tanganku yang belum sempat terlepas, dan aku selalu melepasnya perlahan setelah dia tertidur pulas.

Aku keluar dari ruangan yang sempit di rumah sakit itu.

Kau tahu kawan, aku sesungguhnya menangis, batinku terharu mendengar segala ceritanya, cerita itu sungguh menyiksaku, oh tidak, bukan menyiksa, tapi aku hanya tidak tahan bagaimana ia merangkai kebahagiaan dalam kondisi seperti ini. Kondisi yang amat rapuh, bahkan teramat rentan untuk tenggelam dalam kegembiraan, sedang kondisi tubuhnya akan membuang segala harapan dan kebahgiaan itu datang kembali.

Tidak, aku tak pernah membayangkan ini akan terjadi.

Ibuku terkena kanker payudara, dan memang kanker ini pernah dideritanya bertahun-tahun silam, tapi tidak separah ini, entahlah, kini ia jatuh lebih parah, dan aku tidak tahu apa yang membuatnya lumpuh setengah badan ke bawah. Dan kini ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain melakukan terapi sebulan dua kali, dan kini ia terbujur lemas di salah satu ruangan rumah sakit ini. Kini, aku tak lagi melihat tubuh perkasa itu, juga mata dan senyum manis itu, walau senyumnya masih tersungging beberapa saat dan hilang kembali berganti erangan kesakitan.

Lama aku termenung,

Aku tenggelam dalam kebingunganku sendiri, apa yang harus aku lakukan.

Aku mengutuki diriku sendiri, aku tak akan pernah lagi menyesali segala Sesuatu yang sudah terjadi, karena menyesal dan mengutuki nasib adalah bentuk lain dari ‘kekufuran’ atas nikmat yang diberikan Tuhan.

Angin malam itu berhembus, menelisik lalu masuk ke celah pori-pori badanku, dingin.

Ini tentang sukur, ya ini tentang sebuah tanggapan lain dari hidup ini. Aku sudah mngorbankan segalanya. Aku korbankan cita-citaku yang ingin bekerja di media. Aku juga meninggalkan anak-anak TPA yang aku urus, sungguh ini pilihan yang sulit, dan sungguh aku tak tega melihat air mata berjatuhan dari pengurus yayasan dan anak-anak mungil itu “Maafkan Kaka, andai pilihannya tidak sesulit ini, maka aku akan memilih untuk mengajar terus di bercanda bersama di sana, dan satu hal yang tak akan aku lupa, tak ada yang pergi dari hati” batinku berbisik lirih.

Tiga bulan, setelah dokter memponis dia lumpuh, aku tak lagi memikirkan tenagaku untuk bolak-balik Palembang-Jakarta dan Jakarta-Palembang untuk menyelesaikan study-ku. Terlebih aku tak peduli untuk ketidakhadiranmu ibu di ‘pesta kecil’ wisudaku, karena semua itu aku persembahkan buatmu ibu. Meskli engkau tak ada di foto itu, tapi toga itu milikmu Ibu. Kenangan ini benar-benar menyayat memoriku.

Di depan kantin ini aku selalu menenggelamkan diri.

Di depan kantin ini aku selalu merenungi cobaan ini, sungguh teringiang di fikiranku, dialog keluarga kemaren setelah makan malam itu “Sudahlah A, di sini banyak saudara, pergilah ke jakarta, kau memang tidak akan terbiasa hidup si sini, kota telah membentukmu menjadi lelaki yang tabah dan kuat, dan aku juga tahu kau sangat ulat dan rajin, dan aku sangat bangga melihatmu tumbuh selama ini, ibu tidak apa-apa, dan semua akan baik-baik saja” Ibu berkata dengan lembut, lembut sekali.

Tidak, semuanya tidak baik-baik saja. Bagaimana mungkin semuanya baik-baik saja, jika ibu masih berbaring dan masih berjalan memakai roda. Tidak, dialah separuh hidupku.

Sungguh aku tak berani menjawab walau hanya menggelengkan kepala tanda ketidak setujuan, aku sungguh sangat takut melukai hati dan perasaannya. Biarlah, aku sudah melupakan mimpi itu, aku seudah melupan mimpi alam kota yang bising, dengan segala kemegahan yang menjanjikan hidup lebih berkilau.

Kini gilranku menjagamu, setelah adik perempuanku dan suaminya yang tabah telah memulai hidup baru di lampung, karena merekalah yang selalu menjagamu selama dua bulan pertama setelah kau jatuh sakit dan mulai berjalan dengan roda.. Biarlah mereka yang selama ini menjagamu mencari kehidupan yang lebih baik, menjalani takdir-Nya: berbakti kepada suami, dan kini aku telah ada di sampingmu ibu.

Satu lagi, aku jadi tak terlalu peduli tentang wanita yang aku impikan yang sering aku ceritaklan kepadamu ibu. Dulu aku bermimpi tentang wanita yang berkerudung lebar, selalu memakai rok tentunya, memakai shoking yang selalu menutupi kakinya, selalu menjaga pandangannya dan mendapatkan tarbiyah paling tidak dari liqo yang selalu diadakan di kampus, tapi, kini aku menyerahakn segalanya kepada Tuhan yang maha tahu apa yang terbaik buat hambanya.

Demi mata ayu itu, demi bara semangat yang masih memancar dalam jiwanya, dan demi senyum yang selalu tersungging di wajahnya. Aku memutuskan untuk tinggal di sampingmu selamanya Ibu, sampai kau pulih seperti sediakala. Sungguh tak ada satu halpun yang aku korbankan, cita-cita itu, ah, apalah artinya tanpamu Ibu, karena engkaulah ‘tempat mimpi pengaharpan itu’ atau orang biasa melambangkannya dengan “carrikfergus”.

Ibu di carrikfergus**

melaluimu,
aku mengingat masa kanak-kanak; ibu merendanya
membuatkan susu yang masih murah waktu itu
menyalami mimpi supaya tak ada sesuatu yang menerkam
bahkan menggigit lagu-lagu pengantar tidur
atau memadamkan doa-lugu di bawah bantal

carrikfergus, pada seberang kaca-kaca jendela
aku meletakkan gambar ibuku sedang menatang sore
dan menyimpan matahari di sakunya
hingga sampai suatu ketika
aku bisa membacanya bersama ingatan
untuk dilelapkan kepada kanak-kanak usia
yang hampir saja habis oleh mimpi-mimpi mahal
tanpa arah tanpa sorga

o, carrikfergus!
sampai ke mana aku
melaluimu

ibu?


2010



(untuk seorang teman dan cerpen ini terinspirasi dari kisahnya juga puisi A. Ganjar Sudibyo)
* potongan judul puisi A Ganjar Sudibyo
** puisi lengkap A Ganjar Sudibyo

TUHAN, KE MANA PONSELMU SEMALAM


?


2010