PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

9.29.2015

FABEL ITALO CALVINO: "THE BLACK SHEEP"




Konon ada sebuah negara di mana semua warganya adalah pencuri.

Pada malam hari semua orang akan meninggalkan rumahnya masing-masing dengan kunci pencuri khusus yang dibuat untuk membuka pintu rumah dan sebuah lentera remang lalu pergi untuk merampok rumah tetangganya. Mereka akan kembali pada waktu fajar, membawa barang curian, lalu mendapati rumah mereka sendiri yang telah dirampok.

Demikian semua orang hidup bahagia bersama, tidak ada yang merasa kehilangan, karena masing-masing mencuri dari yang lain, dan yang lainnya dari yang lain lagi, dan seterusnya dan seterusnya sampai kamu mendapati orang terakhir yang mencuri dari orang pertama. Perdagangan dalam negeri itu mau tidak mau terjerumus dalam lingkaran kecurangan antara kedua belah pihak, pembeli dan penjual. Pemerintah hanyalah sebuah organisasi kriminal yang mencuri pendapatan dari rakyatnya, dan rakyat cuma mereka yang hanya terdorong dalam usaha penipuan terhadap pemerintah mereka sendiri. Dengan demikian kehidupan berlangsung lancar, tidak ada seorangpun yang kaya dan seorang yang miskin.

Pada suatu hari, sebagaimana kita tidak tahu, ada kejadian ketika ada seorang jujur yang datang untuk tinggal di sebuah tempat. Pada malam hari, ia malah tidak ikut pergi keluar dengan membawa karung dan lentera, ia memilih tinggal di rumah untuk merokok dan membaca novel.

Kemudian seorang pencuri datang, melihat lampu menyala dan ia pun tidak jadi memasuki rumah itu.

Persitiwa tersebut berlangsung selama beberapa waktu: lalu orang-orang yang mencuri itu disuruh untuk menjelaskan kepadanya, bilamana ia hanya ingin tinggal tanpa melakukan apa-apa, maka tidak ada alasan untuk menghentikan orang-orang dalam melakukan pekerjaan mencuri. Setiap malam ia menghabiskan waktu di rumah yang berarti bahwa sebuah keluarga tidak akan memiliki apa-apa untuk makan pada hari berikutnya.

Seorang yang jujur itu hampir tidak dapat mengerti alasan tersebut. Ia memutuskan untuk pergi keluar pada malam hari dan datang kembali keesokan harinya seperti yang mereka lakukan, tapi ia tidak mencuri. Ia adalah seorang yang jujur, ia tidak dapat melakukan apa yang seperti orang-orang lakukan. Lalu ia pergi sejauh mungkin menuju sebuah jembatan dan memandangi arus air di bawahnya. Ketika ia sampai di rumah, ia mendapati barang-barang di rumahnya telah dirampok.

Dalam waktu kurang dari seminggu seorang yang jujur itu menyadari bahwa dirinya sudah tidak memiliki uang. Tidak ada yang bisa digunakan untuk makan dan tidak ada barang-barang berharga di rumahnya. Tapi keadaan ini tidak begitu bermasalah, ia sadar hal ini disebabkan oleh kesalahannya sendiri; tidak, masalahnya adalah bahwa perilakunya mengacaukan sesuatu yang lain. Tersebab ia membiarkan orang lain mencuri segala yang ia miliki tanpa ikut mencuri apa pun dari siapa pun; sehingga selalu ada seseorang yang sampai di rumah pada saat fajar, menemukan rumah mereka yang tak tersentuh: rumah yang seharusnya dirampok. Dalam setiap peristiwa setelah beberapa waktu orang-orang yang tidak dirampok tersebut menyadari bahwa diri mereka lebih kaya dari yang lain dan tidak berhasrat untuk mencuri lagi. Dalam rangka menciptakan keadaan yang malah memburuk, orang-orang yang datang untuk mencuri di rumah seorang yang jujur itu akan mendapati rumahnya selalu kosong; sehingga mereka menjadi miskin.

Sementara itu, orang-orang yang telah menjadi kaya ikut dalam kebiasaan seorang yang jujur itu. Mereka pergi ke jembatan pada malam hari untuk menikmati arus air di bawahnya. Peristiwa ini membawa kekhawatiran karena ini berarti banyak orang lain yang menjadi kaya dan banyak pula orang lain yang menjadi miskin.

Kini, orang-orang kaya memandang bahwa jika mereka pergi ke jembatan setiap malam mereka akan segera menjadi miskin. lantas mereka berpikir: “Mari kita membayar beberapa orang miskin untuk pergi dan merampok. Ini demi kepentingan kita.” Selanjutnya mereka membuat kontrak, gaji tetap, persentase pembagian: tentu saja mereka masih menjadi pencuri, dan mereka masih mencoba untuk menipu satu sama lain. Namun, betapa kecenderungan yang terjadi karenanya, orang kaya semakin kaya dan lebih kaya dan yang miskin semakin melarat dan melarat.

Beberapa orang kaya menjadi sedemikian kayanya sehingga mereka tidak perlu mencuri atau menyuruh orang lain untuk mencuri supaya mereka tetap kaya. Tetapi jika saja mereka berhenti mencuri maka mereka akan menjadi miskin karena orang-orang miskin pasti mencuri dari mereka. Oleh karena itu, mereka dibayar dengan upah yang terendah dari penghasilan orang-orang yang miskin demi mempertahankan barang-barang berhaga mereka. Bertahan dari orang-orang miskin lainnya. Alih-alih, sehingga perlu mendirikan lembaga kepolisian dan bangunan penjara.

Kejadian tersebut berselang hanya beberapa tahun setelah munculnya seorang yang jujur, orang-orang tidak lagi berbicara tentang merampok dan menjadi korban perampokan, namun memunculkan polemik kalangan orang kaya dan orang miskin; walaupun mereka semua masih menjadi pencuri.

Akhirnya, satu-satunya orang yang jujur itu telah menjadi pendahulu. Ia meninggal dalam masa yang tidak lama, meninggal karena kelaparan.



*Black Sheep adalah idiom dalam Bahasa Inggris yang mempunyai makna tentang anggota kelompok yang dipandang sebagai pembawa aib, sehingga sering kali dikucilkan.

**Dialihbahasakan oleh Ganjar Sudibyo setelah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Tim Parks. Sumber cerita: Number in the Dark and Other Stories by Italo Calvino. Vintage Books, New York. Sumber gambar: www.experienceproject.com


2015

9.28.2015

FABEL AESOP #7: SERIGALA BERBUSANA DOMBA




PADA SUATU MASA, seekor serigala memutuskan untuk menyamarkan penampilannya demi kemudahan dalam mencari makanan. Mengenakan kulit domba, ia merumput dengan kawanan domba, berusaha menipu gembala dengan busana yang dipakainya. Pada sore hari ia terkunci oleh gembala di kandang domba; gerbang ditutup, dan seluruh akses masuk telah disusun seaman mungkin. Tapi gembala itu kembali ke kandang domba pada malam hari untuk mendapatkan daging sebagai persediaan makanan di hari berikutnya. Naas, ia keliru. Gembala itu terjebak dengan seekor serigala bukan seekor domba, dan kemudian membunuh gembala itu seketika.  Celaka yang mencari. Celaka pula yang menemukan.



*Dialihbahasakan oleh Ganjar Sudibyo setelah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh George Fyler Townsend. Sumber cerita: The Pennsylvania State University (for the source electronic book file version). ISBN 978-1-4340-0146-7. Sumber gambar: screenshoot youtube.com



MITOS AESOP BESERTA FABEL-FABELNYA




ALKISAH, saya sedang hendak berusaha mempunyai pikiran seperti anak-anak pada masanya. Pikiran yang selalu diawali dengan rasa ingin tahu. Saya kemudian teringat seorang tokoh psikoanalisis sosial, Erik Erikson pernah bertutur dalam bukunya "Childhood and Society", tentang ketidakmauannya untuk berhenti berpikir seperti anak-anak. Sebagian penulis pun pernah bilang demikian. Berpikir seperti anak-anak berbeda dengan berperilaku seperti anak-anak. Berpikir seperti anak-anak dimaksudkan bahwa ada sisi-sisi yang dapat diambil dari perangainya.  Selain keluguan, kejujuran, wajah-wajah yang nampak selalu menggemaskan, ada satu hal yang tak kalah pening, yaitu sisi keingintahuannya menghadapi realita. Keingintahuan bukanlah segalanya untuk mencapai segalanya, tapi keingintahuan adalah pemantik yang mujarab. Dalam komparasi yang pasaran, keingintahuan lebih baik daripada sok tahu. Nah, saya sudah lama hendak membangkitkan gairah keingintahuan itu dalam kepala saya. Setelah beberapa waktu, saya disadarkan dengan sebuah lintasan pikiran: membaca buku cerita anak. Saya berputar-putar mencari buku itu di dalam internet. Hingga kemudian saya memperoleh beberapa ebook berbahasa Yunani, eh maaf, berbahasa Inggris. Ada nama-nama pengarang seperti Hans C Andersen, Grimm bersaudara, Joseph Jacobs, Ignacz Kunos, Robert Luis Stevenson, dan masih banyak yang lainnya. Tapi saya menemukan seorang pengarang cerita anak yang namanya hampir sama seperti tokoh dalam kartun One Piece: Aesop (eh Usop maksud saya).

Waktu itu saya putuskan untuk pergi ke rumah kawan yang akan belajar bahasa asing di pulau seberang. Dia mencetak banyak ebook dalam bentuk fotokopian atau stensilan. Di situ saya menemukan beberapa pengarang cerita anak. Kemudian kawan saya itu menyodorkan satu buku kumpulan cerita anak hasil unduhan di situs sebuah perguruan tinggi di Amerika. Singkat cerita, Aesop menjadi nama pengarang yang hendak saya telusuri kitab cerita anak yang telah ditulisnya. Selang beberapa waktu, saya mendapatkan ebook classics yang berisi kumpulan berbagai cerita anak milik Aesop. Saya langsung membuang waktu yang tersedia untuk membacanya. Dan, mencoba mengalihbahasakannya ke dalam Bahasa Indonesia. Tak lama, saya menerjemahkan 7 judul cerita anak karya Aesop.

Aesop menurut berbagai sumber pustaka, konon lahir di Asia kemudian menjadi budak di Yunani. Ada yang mengatakan 550 Sebelum Masehi. Yang lain mengatakan 650 Sebelum Masehi. Tapi saya tidak ingin dibikin bingung oleh almanak kelahirannya. Aesop berwajah degil, dan adalah seorang budak. Ya, budak. Budak yang cerdas dalam menangkap suatu perisitiwa yang kemudian dibahasakan melalui cerita-cerita. Ketekunannya, kejeliannya, ketajamannya dalam melihat sesuatu, terutama tingkah polah manusia menjadi modal ketika menuliskan ke dalam bentuk asosiasi manusia dengan binatang. Maka, tak jarang cerita-ceritanya mengandung amanah moral yang luar biasa kuat dan melampaui zaman. Beberapa sumber pustaka bahkan menyebutkan bahwa kisah-kisah cerita anak yang ditulis Aesop telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Arab dan juga Bahasa Indonesia. Ya meskipun sudah ada banyak kisah Aesop yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, saya pribadi malah merasa ingin-tahu bagaimana proses penerjemahan kisah-kisah cerita anak yang ditulis oleh Aesop. Toh, ini baru kali pertama saya menerjemahkan cerita anak. 7 judul cerita anak karya Aesop yang coba saya terjemahkan bukan serta merta saya ingin memunculkan tendensi sesuatu bahwa cerita ini lebih penting dari cerita-cerita lainnya. Tidak. Saya hanya ingin menerjemahkan saja, maksud saya mengalihbahasakan.

Saya punya kepercayaan bahwasanya Aesop pernah lahir, hidup, dan menulis kisah-kisah anak itu. Meskipun beberapa sumber pustaka juga menyebutkan bahwa Aesop hanyalah pengganti nama anonim. Dia tidak pernah lahir, hidup, dan menulis. Dia hanya mitos. Mitos yang kemudian digunakan untuk menutupi mitos-mitos kecil di dalam judul-judul cerita anak. Terlepas dari risalah fabel-fabel yang tentu sarat dengan fantasi dan imaji, dengan membaca fabel-fabel tersebut saya menjadi semakin yakin saya bisa mencapai kebangkitan atas pikiran anak-anak lagi. Merasakan bahwa binatang bisa berbicara, bertingkah, berperasaan, berbahasa dengan karakter manusia. Merasakan bahwa tumbuhan dan benda-benda bisa bergerak dan tertawa, mengajarkan perilaku-perilaku tercela atau sebaliknya, berbisik di telinga anak-anak posmo bahwa suatu waktu mereka pernah Ada!


2015
Sumber gambar: www.jssgallery.com

FABEL AESOP #6: PENCURI DAN IBUNYA




SEORANG ANAK LAKI-LAKI suatu ketika mencuri sebuah buku pelajaran milik salah seorang teman sekolahnya lalu membawa buku itu pulang untuk ditunjukkan kepada ibunya. Ibunya tidak pernah kemudian memukulinya, tetapi malah mengajurkan anaknya untuk mencuri. Di kemudian hari, anak laki-laki itu mencuri sebuah jubah dan membawa jubah itu kepada ibunya, namun ibunya malah memuji apa yang diperbuat anak laki-lakinya.

Anak laki-laki itu menjadi pemuda dan kemudian beranjak dewasa, ia bertambah banyak mencuri barang-barang dengan nilai yang lebih besar. Pada akhirnya ia tertangkap ketika perbuatannya yang kelewat tercela diketahui orang-orang. Setelah tangannya diikat di belakangnya, ia diantar menuju tempat eksekusi umum. Sang ibu mengikutinya dalam kerumunan dan dengan jantung berdebar keras dadanya larut dalam penyesalan. Di sela waktu anak laki-laki itu berkata, "Saya ingin mengucapkan sesuatu di telinga ibu saya." Ibunya datang mendekatinya dan ia dengan cepat meraih telinganya dengan giginya lalu menggigitnya. Sang ibu mencelanya sebagai anak yang kurang waras, sebab itu anaknya membalas, "Ah! Jika ibu memukuliku ketika aku pertama kali mencuri sebuah buku pelajaran yang kutunjukkan kepada ibu, aku tidak seharusnya berada di sini. Perbuatan ini membawaku pada kematian yang penuh aib."




*Dialihbahasakan oleh Ganjar Sudibyo setelah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh George Fyler Townsend. Sumber cerita: The Pennsylvania State University (for the source electronic book file version). ISBN 978-1-4340-0146-7. Sumber gambar: propelsteps.wordpress.com




FABEL AESOP #5: DUA TRAVELER DAN SEEKOR BERUANG




DIKISAHKAN dalam suatu cerita, ada dua orang lelaki bepergian bersama-sama. Di tengah perjalanan tiba-tiba mereka bertemu dengan seekor beruang. Lalu seorang dari antara mereka naik dengan tergesa menuju pohon dan berusaha menyembunyikan diri di antara dahan-dahannya. Seorang yang lain, memandang bahwa ia mesti akan diserang oleh beruang itu. Tahu demikian, ia kemudian menjatuhkan diri di permukaan tanah. Ketika beruang datang, beruang itu mencium seorang lelaki itu dengan moncong hidungnya, dan membau seluruh tubuhnya, ia hanya menahan napas, dan sebisa mungkin berpura-pura berlagak seperti orang mati. Waktu berselang, beruang itu pun bergegas meninggalkannya, sebab beruang tidak akan menyentuh mayat. Ketika beruang itu pergi cukup jauh, seorang lelaki yang lain turun dari pohon. Dengan bercanda ia bertanya kepada temannya tentang apa yang beruang itu telah bisikkan di telinganya. "Dia memberiku nasihat begini," jawab temannya. "Jangan pernah melakukan perjalanan dengan seorang kawan yang meninggalkanmu ketika berada dekat dalam marabahaya." Demikian kemalangan menguji ketulusan hati dari seorang kawan itu.



*Dialihbahasakan oleh Ganjar Sudibyo setelah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh George Fyler Townsend. Sumber cerita: The Pennsylvania State University (for the source electronic book file version). ISBN 978-1-4340-0146-7. Sumber gambar: watchongadget.net





FABEL AESOP #4: ANJING DAN BAYANGAN



SEEKOR ANJING melintasi sebuah jembatan di atas arus sungai deras dengan sepotong daging segar di dalam mulutnya. Ia kemudian menengok ke bawah, melihat bayangannya sendiri di permukaan air sungai tersebut. Ia berusaha mengambil sepotong daging Anjing lain itu yang ukurannya dua kali lipat dari daging yang dibawanya. Lalu ia segera membuang potongan daging yang di dalam mulutnya, dan dengan hantaman keras menyerang Anjing di dalam sungai itu untuk memperoleh potongan daging yang lebih besar dari potongan dagingnya. Demikian ia malah terjerumus kehilangan kedua potongan daging tersebut: karena ia yang menggenggam potongan daging di dalam air adalah sebuah bayangan; dan bayangan itu miliknya sendiri, dan tentu karena deras arus sungai, ia terseret entah ke mana.



*Dialihbahasakan oleh Ganjar Sudibyo setelah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh George Fyler Townsend. Sumber cerita: The Pennsylvania State University (for the source electronic book file version). ISBN 978-1-4340-0146-7. Sumber gambar: www.tx.english-ch.com



FABEL AESOP #3: SANG KEMATIAN DAN SEORANG LELAKI TUA




SEORANG LELAKI TUA dipekerjakan untuk memotong kayu di dalam hutan. Ketika ia menjalankan pekerjaannya memanggul kayu bakar ke kota untuk dijual hari itu juga, ia menjadi sangat letih dengan perjalanan panjang yang ia tempuh. Oleh karena itu, ia duduk di pinggir jalan, lalu meletakkan bebannya. Ia memohon kepada "Sang Kematian" supaya lekas datang. "Sang Kematian" segera muncul sebagai pemenuhan jawaban atas panggilan dan meminta penjelasan kepadanya alasan kenapa ia memanggilnya. Seorang lelaki tua itu terburu menjawab, "Kayu-kayu bakar itu, angkatlah beban itu, Engkau barangkali dapat meletakkan kembali pada kedua bahuku ini."



*Dialihbahasakan oleh Ganjar Sudibyo setelah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh George Fyler Townsend. Sumber cerita: The Pennsylvania State University (for the source electronic book file version). ISBN 978-1-4340-0146-7. Sumber gambar: evanira.deviantart.com



FABEL AESOP #2: GEMBALA DAN DOMBA-DOMBA



SEORANG GEMBALA mengarahkan domba-dombanya menuju sebuah hutan kayu, ia menjumpai sebuah Pohon Ek dengan ukuran yang tidak biasa, yang lebat dengan biji-bijnya, lalu ia menghamparkan jubahnya di bawah cabang-cabang pohon itu, ia memanjat pohon itu dan menggoncangkan dahan-dahan yang menumbuhkan banyak biji. Domba-dombanya memakan biji-biji yang berjatuhan dengan berebut yang kemudian tidak sengaja mengoyak jubah gembala itu hingga koyak. Ketika sang gembala turun dan melihat apa yang diperbuat domba-dombanya, ia pun berucap, "O Hai makhluk-makhluk yang paling tidak tahu berterima kasih! Kalian menyediakan wol demi dijadikan pakaian bagi seluruh manusia, tetapi kalian menghancurkan pakaian seseorang yang memberi kalian makan."



*Dialihbahasakan oleh Ganjar Sudibyo setelah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh George Fyler Townsend. Sumber cerita: The Pennsylvania State University (for the source electronic book file version). ISBN 978-1-4340-0146-7. Sumber gambar: www.mainlesson.com




FABEL AESOP #1: SEEKOR SINGA DAN SEEKOR TIKUS




SEEKOR SINGA tiba-tiba bangun dari tidurnya tersebab seekor tikus sedang berlari cepat di atas wajahnya. Bangun dengan rasa marah, ia lekas menangkapnya dan hendak membunuh tikus itu. Seketika itu pula, si tikus dengan muka melas memohon kepada singa itu, mengatakan: "Jika engkau bersedia menyelamatkan hidupku, aku pasti akan membalas kebaikanmu". Singa itu menertawakannya dan membiarkan tikus itu pergi. Tak lama berselang setelah kejadian pembebasan si tikus, Singa tersebut tertangkap oleh beberapa pemburu, ia diikat dengan tali di atas tanah. Si tikus mengenal suara auman singa itu, lalu ia datang menggerogoti tali dengan giginya, lalu melepaskannya dari ikatan itu, lantas berseru, "Engkau pernah menyepelekan janjiku yang semestinya bisa membantumu, mengharap kembali untuk menerima setiap pembalasan dariku atas kebaikan hatimu. Sekarang engkau tahu, bahwa meskipun aku seekor tikus bisa saja aku menipu pada seekor singa, sepertimu. "



*Dialihbahasakan oleh Ganjar Sudibyo setelah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh George Fyler Townsend. Sumber cerita: The Pennsylvania State University (for the source electronic book file version). ISBN 978-1-4340-0146-7. Sumber gambar: www.blandspace.com


9.27.2015

PEREMPUAN KANAAN YANG PERCAYA

: kamala

ia mencintai seluruh ketelanjangannya;
wajah yang diciptakan karena hasrat,
polesan make up di pipi, di bibir, di alis,
di dahi, di rambut, di jari-jari, di dada,
di pergelangan tangan, di tato-tatonya
merah pada mulutnya, cokelat pada kulitnya
ia paham, apa yang lelaki butuhkan.
lalu hanya seorang datang, menjadikannya
bunga; jenis yang seperti pernah diberikan
kepada buddha di kedalaman hutan itu.

ia mencintai seluruh ketelanjangannya;
seperti menanggalkan semua pakaian
kepada lelaki samana, yang hanya
membawa sebait puisi dalam sebuah
latihan bercinta. dengan suara-suara
yang bercahaya ia masuk ke serpihan
mata lelaki itu. ia membenamkan
jantungnya ke dasar bahasa
yang ia pun masih meraba
cinta tercipta atas apa

ia mencintai seluruh pertemuannya;
sekalipun pertemuan adalah perpisahan itu
sendiri. mengekalkan dalam api ingatannya
menaburkan sedikit demam pada perjalanan
di sekian waktu. menorehkan warna-warna gigil
di telapak kaki kepedihan seorang musafir.

ia mencintai seluruh pertemuannya;
bayang-bayang yang kemudian terbang
di kepak burung-burung sungai, jatuh ke
dahan-dahan, kembali ke tanah,
dicicipi seorang pengkotbah sebelum
ruhnya benar-benar pergi dibawa angin.
ia, telah melihat dan percaya bahwasanya
kedamaian tak jauh dari rasa sakit


2015

9.21.2015

MELEPAS SAMANA


bagaimana ia belajar keras menjadi batu, meminjam rasa beku
meminjam rasa diam walau berwaktu-waktu kian ditirus
arus sungai. menjadi kerikil lalu damparan pasir
di tepian, menjadi debu, menjadi udara
lalu tebaran sebelum
lesap

ia belajar mengenakan biru
seolah meminjam pantulan danau
dari sepertiga langit yang tersisa,
sebab awan-awan membentuk haluan
yang sedemikian panjang
seperti pemukiman metropolitan;
menjadi warna yang tak manusiapun
mampu mengubahnya dalam bahasa,
hanya warna

ia merasa seperti bangkai lembu
sehabis diburu pemangsa
hingga tampak rangka
sepeninggal burung bangkai,
ia mati. ia hidup sebagai yang lain
lalu menjadi siklus

putaran itu membawa hujan
sebagai air yang tercipta
selalu kangen pada rekat tanah.
ia sebagai putaran itu menyuara
dalam bisik:

govinda, beranjaklah 
ini sudah selesai


2015



9.16.2015

GELOMBANG PERTANYAAN DALAM SPIRITUALITAS PERAHU


“Kita merasa sangat tidak nyaman dalam dunia yang telah terinterpretasi ini”.
(Rilke dalam Duino Elegy)


Mula-mula saya memperoleh buku ini, saya berpikir, seorang Rabu menulis tentang perahu? Adapun dugaan-dugaan interteks saya begini: apakah Rabu adalah seorang yang familiar dengan kehidupan sungai? Rabu Pagisyahbana alias Lukman Asri Alisyahbana adalah pria kelahiran Purwokerto yang kini memilih tinggal di Kota Pelajar. Dalam buku “Perahu Napas” terdapat puisi-puisinya di rentang tahun 2011-2014, yang mana cetakan buku pertama ini tercatat pada Bulan Mei 2015. Pertanyaan teknis yang muncul kemudian adalah bagaimana pemilahan teks puisi yang dilakukan Rabu? Dan, seberapa pentingkah penyair ini memandang waktu sebagai tanda proses menulis puisinya?

Oke, berlanjut pada pemilihan judul dalam buku yang mana terdapat kata “perahu” dan “napas”. Perahu (kata benda) seperti pada definisi mulanya adalah kendaraan air yang dibuat sederhana daripada kapal. Sedangkan pada kata “napas” (kata benda) yaitu proses  udara yang dihisap melalui hidung atau mulut dan dikeluarkan kembali dari paru-paru. Adapun kedua kata tersebut, “perahu” dan “napas” merupakan sama-sama kata benda. Dugaan pertama saya, penyair berupaya memberikan pengertian yang berbeda antara perahu dan napas namun mempunyai saling keterkaitan, seperti misalnya kata meja kursi. Dugaan kedua saya, perahu napas adalah perahu yang bernapas. Bernapas melalui apa, sebab perahu adalah benda mati? -- dengan kata lain penyair sedang berupaya membikin frase konotatif.

“Di Tepi Dermaga Kertas” merupakan sajian puisi pertama di buku ini. Dalam bait pertama penyair memberikan sentuhan suasana yang tidak jauh dari judul buku, berikut penggalannya:

“kau lingkari angka-angka di almanakku
saat sebagian bertelungkup di luar sana
kau malah terbangun dan berjaga, melipat
kertas-kertas putih menjadi perahu

seakan malam baginya adalah samudra
sedang mimpi seolah pulau tak berpenghuni
...”

Namun, tema besar apakah yang sedang hendak diarungi oleh penyair, yang ingin disajikan kepada para pembaca? Memandang sisi struktural yang ditunjukkan dalam puisi pertama, penyair hendak mengangkat definisi keterangan waktu dan tempat. Di puisi pertama secara utuh, menceritakan tentang malam dan dari pulau yang tak berpenghuni menjadi berpenghuni. Perahu memberikan semacam solusi yang menjadikan pulau tersebut berpenghuni: “kau bujuk angin bawa perahu/sehingga pulau pun jadi berpenghuni”. Ada imaji yang dimunculkan pada sosok “perahu”. “Perahu” menjadi semacam perantara untuk menjadikan yang kosong menjadi isi. Di sini ada semacam logika bahasa yang sedang dimainkan oleh penyair tentang pulau dan mimpi, yang barangkali sebenarnya soal “mimpi” yang menjadi hal penting untuk dimasuki oleh siapapun. Pertanyaan selanjutnya mimpi semacam apa sehingga siapapun itu bisa menjadi penghuni? Apakah mimpi yang dimaksud adalah sebentuk wadah pelarian dari realitas, malam itu sendiri (karena biasanya kata “malam” bergandengan dengan “mimpi”). Puisi ini menawarkan tentang imaji lain tentang perahu.

Mari tengok sajak lain yang berbincang soal perahu. Pada halaman 52, puisi yang berjudul “Di Sepertiga Malam” berikut:

“bulan putih di pangkuan musim
dingin kemarau hampir berakhir
saat angin menjelma perahu di ketinggian
dalam lubuk kau menjelma bintang layang-layang
dan kita berlayar ke selatan

berpeluk ombak
menempuh ujung gelap
di bawah jemari waktu
yang bangkit memainkan benang
berdua kita berenang di sepertiga malam
menyelami laguna bawah sadar
menjelma sunyi di kedalaman”

“Perahu” lagi-lagi menjadi perantara untuk menuju ke “selatan”. Lantas ada apa dengan selatan sehingga memerlukan perahu dan lewat jalur air untuk menuju ke sana? Apakah selatan adalah suatu tempat yang memberikan romantisme kebahagiaan sepasang manusia? Apakah penyair ingin memberi tanda bahasa yang lain tentang selatan? Terlepas itu, nuansa “perahu” seolah tidak terasa kental di sini, melainkan hablur, terutama ketika penyair mencoba menyajikan bahasa dalam bait kedua. Dua Bait seolah menjadi kurang sinambung. Demikian kedudukan perahu seolah menjadi hanya sebagai semacam pelengkap dalam teks puisi tersebut.

Selanjutnya keberadaan imaji perahu dapat ditemui dalam puisi “Perahu Napas” pada halaman 54:

“lelaki duduk memangku laut tiada
selain menyeberangi nasib di kejauhan
bersama angin. angin utara yang berhasil turun
membawa perasan jantung perempuan bukit
menuju arah pantai

sendiri ia berbisik
merangkum masalalu
melipat bangku kosong dan cerita hantu
sementara waktu perlahan karam
merapikan angan-angan

bersamanya perahu napas berlayar
melampaui tubuh dan pikiran
batas diam antara lubuk dan jantung laut
yang pecah membawa ia pulang
ke tugur masadepan”

Kata “perahu” yang digandengkan dengan kata “napas” ini menjadi semakin jelas bahwasanya perahu yang dimaksud adalah kata benda yang dihidupkan menjadi subjek. Pada bait yang terakhir tampak jelas penyair hendak menunjukkan bahwa perahu merupakan kendaraan hidup menuju masa depan. Pertanyaan yang lagi-lagi menggoda saya adalah kenapa penyair hendak memakai "perahu" sebagai kendaraan yang dihidupkan itu? Ya barangkali penyair ingin mengangkat spiritualitas tentang perahu. Spiritualitas yang merupakan kehidupan ruh, sesuatu yang berpikir, kata Descartes. Yakni yang meragukan, menegaskan, menolak, mengetahui sedikit hal, tidak mengetahui banyak hal, yang berkemauan, berhasrat juga berimajinasi, dan merasa. Di dalamnya ada semangat. Perahu dalam buku puisi ini menjadi simbol yang membawa spritualitas tertentu.

"Perahu" dalam buku puisi ini tidak hanya dimunculkan dalam ketiga puisi yang saya perlihatkan. Adapun penyair melesapkan subjek: perahu ke dalam bentuk-bentuk lain, selain memberi alternatif penamaan dengan kata "kapal" (hal.21 & 27). Tema-tema yang coba ditawarkan oleh penyair dalam buku ini yang saya tangkap adalah wujud pelipuran diri atas gejala keputusasaan terhadap ingatan, kenangan, kisah historis, masa lalu, masa depan, roman-roman kesunyian, dan terhadap ketidaknyamanan masa kini. Keputusasaan itu memunculkan subjek-subjek sebagai asosiasinya untuk memandang dari sisi lain, sebagaimana Sartre melalui tokohnya Orestes yang berkata kepada Zeus: kehidupan manusia dimulai pada sisi lain keputusasaan. Dalam konteks ini, gejala keputusasaan atas bentangan diri imaji yang dihadapi penyair; "dan ini nasibku biar saja, biar aku pilih jejak sendiri" (Pada Rautan Pensil, hal.36)  

Dalam catatannya di antologi "Manusia Utama", Arif Budiman mengungkapkan agaknya memang terlalu berbau heroik untuk penyair masa kini di negeri kita. Dibutuhkan perumusan yang lebih halus untuk tidak terlalu heroik, tetapi juga tidak terlalu bermartabat untuk membujuk penyair kembali menjadi saksi zamannya. Untuk ini diperlukan kepekaan sejarah yang tinggi yang menyebabkan suatu karya puisi bukan sekedar endapan pengalaman sejenak, atau bahkan seumur penyairnya, tetapi sepanjang umur tradisinya, bangsanya. Seperti yang dinyatakan kritikus pada Robert Lowell dan T.S. Elliot. Satu keterlibatan sejarah, satu pergumulan, yang bukan sekadar mampu menjadikan sejarah sebagai sumber ilham bagi sajak-sajaknya, tetapi sekaligus mampu mempengaruhi sejarah itu sendiri. 

Demikian perahu napas menjadi sebentuk hero lain yang adalah saksi peristiwa si penyair menyelami dirinya dan realitas yang diramaikan sebagian orang. Yehuda Amichai mengabarkan bahwa memang harus selalu ada yang bersedia untuk menyatakannya lagi, menyatakannya berulang-ulang, bahwa kedua kutub itu memang ada dan sama sahnya, seperti pemain bola di lapangan.

Alih-alih si penyair menyunting spiritualitas perahu pada inti kemudi seperti celupan untingan puisi berjudul "Waktu" (hal.47):
"di luar sana manusia
saling sibuk menerjemahkan waktu
hanya saja aku masih penasaran dengan batu
..."


Semarang, 2015
*Ditulis oleh Ganjar Sudibyo untuk kepentingan perayaan NgoPi komunitas LACIKATA yang ke-19.

9.14.2015

ULAR EDOM


mengitari tanah untuk sebuah perintah
suatu bangsa dalam karut marut, dari amsal
yang dibahasakan musim di padang gurun;
di sebuah masa ular-ular beludak muncul
sebagai golongan terpuji: menjulingkan mata
kesetiaan suatu bangsa, mendatangkan angin kencang
yang membawa bau-bau kehilangan kembali tebar
turun dari gunung hor. suatu bangsa yang tak pernah
merasa kenyang, melihat sebagian dari mereka
menganga dipagut ular-ular itu.

sebatang tongkat tegap mengikat dirinya sendiri
suatu bangsa mengarahkan padangannya pada mata
seekor ular tedung yang melilit jadi ketinggian
sebatang tongkat. langit kelabu. mereka yang berbelok
dan keluar dari jalan kepatuhan. terkubur pasir.
diracun ular-ular beludak. lalu seekor ular tedung
yang membunuh kematian itu sendiri, tak berasal
dari golongan manapun. ia membuka mata
setiap orang yang hendak lari dari luka
yang cucur di lengan seorang nabi


2015

9.10.2015

ADAWIYAH


darimana kecantikanmu berasal, puan
dari tangis yang disediakan cahaya rembulan 
atau kegembiraan yang ditawarkan suatu pagi?

sebab itu satu-satunya cintamu
telungkup di atas kemanusiaan
bukan neraka
bukan surga;

sebab itu,
bayang-bayang rupawan semesta berhasil
memantul ke arah pandanganmu


2015

9.09.2015

DI LINGKAR AMBARAWA


menghadapkan gairah ke selatan, kita seolah menjelma
pertanyaan-pertanyaan yang tak perlu dijawab
sebab tanda tanya itu telah lenyap disengat udara
di sini, perihal lanskap membuat kita jadi pandai
bernafas.

perjalanan kecil berlalu seperti mengaso di siang hari
hijaulah cemasku birulah ke dalam dada
sebelum rindu lebur ke kelok matahari


2015

SUNGAI JILID KE-12



terima kasih,
kita pernah bahagia pada perahu kecil yang sesekali kita tumpangi;
bahagia seperti menyusuri arus-arus kecil ingatan; menyerahkan
perasaan yang tumbuh tak tentu di suatu langit kelabu jingga,
supaya kemudian dibawa terbang bangau-bangau putih
ke sarang mereka, nun di sana, di pepohonan tenggara

kita pernah bahagia ketika kita berusaha sesekali menceburkan diri
mencucukkan jari-jari di arus-arus lain yang digoncangkan perahu
merasakan hawa dinginnya, masuk menghisap demam segala rindu
tapi kita tahu, batasan yang membikin kita mengambang ada dan percaya
kepada kegenapan runtutan peristiwa.

arus-arus menuntun tumbuhan hijau bertunas di permukaan air
ke arah matahari. angin ladang menginginkan mukim pada sebuah
rekaman kameramu. karamba-karamba mencuri cara bercinta
ikan-ikan air tawar. potongan-potongan gambar itu telah sekali lagi
menguatkan kita: udara singkat ini, menyimpan kekuatan sampan
yang mendorong usia perahu menuju kelebat peninggalan waktu


2015 

9.07.2015

NOTIFIKASI PEJALAN



memikirkanmu terlalu dalam di antara keramaian
rasanya aku ingin dibawa pada tikungan-tikungan
tanpa tanda-tanda serupa anak panah dalam lingkaran,
yang mungkin belum sungguh aku mengerti
bahasa siapa bahasa macam apa;

pada sebuah bundaran yang kita pun tahu, tempat itu
tempat orang-orang meletakkan rasa gusar untuk sementara
memeram penghiburan memotong rasa sunyi melupakan
alamat pulang. kita jadi lumrah meniadakan segala pendar
perasaan yang dipantulkan mata orang-orang.

baiklah kita seperti para pejalan, mengungsikan ingatan
menuju nama-nama tempat dan apapun yang berlalu,
memikirkanmu di antara berjejal kabar:
kerumitan yang kita pun tak bisa menolaknya,
Ping!!!


2015




9.04.2015

REPERTOAR OBROLAN 24 JAM


Malam hari di suatu Kota, seorang kawan mengajak saya berkunjung ke kediaman Pak Iman. Ke rumah kecilnya yang bermukim di antara orang-orang kos. Dekat pusat kota.Obrolan telah berlangsung ketika saya dan seorang kawan baru saja datang. Pak Iman memang sudah berumur, tapi semangatnya untuk menularkan ilmu yang ia miliki tidaklah putus. Beliau semakin dikenal sebagai seorang budayawan, sastrawan, penyair, penulis cerita anak (kalau yang satu ini saya baru tahu setelah berkunjung malam itu). Pak Iman biasa menyambut para tamu di teras kosnya. Duduk ngopi, udud bersama.

Saya tidak baru pertama kali datang ke kediaman Pak Iman. Ini kali kedua, hanya saja malam ini lebih ramai dengan orang-orang yang ingin bersua. Saya dan seorang kawan yang saya ajak kemudian turut duduk bersama di teras itu. Dan saya pun mencoba mulai mencatat dalam otak, ucapan-ucapan yang disampaikan oleh beliau.

Waktu itu pembicaraan Pak Iman seputar makna konotasi dan denotasi. Tema yang pernah diangkat di sebuah forum di PKKH UGM. Adapun konotasi semakin bertebaran di bahasa manusia sehari-hari kini, khususnya Indonesia. Kosa kata yang kerap kali dipakai dalam bahasa prokem sehari-hari setelah ditelisik lebih lanjut ternyata bukan merupakan makna yang sebenarnya (dalam arti denotasi) melainkan konotasi (makna kias). Fenomena seperti yang kemudian membuat orang-orang bahasa mesti memperhatikan lebih dalam bukan sekedar membuat revisi kamus bahasa. Tidak hanya berhenti pada bahasa sehari-hari lewat komunikasi verbal, adanya iklan di baliho yang sekarang semakin marak, juga menjadi bahan perhatian. Demikian perihal bahasa konotasi menjadi masalah yang krusial manusia sekarang. Kata semakin jauh dari makna yang sebenarnya, kata semakin kental dengan kiasannya. Seperti misalnya berdandan. Makna berdandan menjadi semakin menjauh dari makna sebenarnya, berdandan menjadi semakin bias karena perilaku orang-orang dalam berdandan yang menjurus ke idealisme boneka maniken. Orientasi-orientasi yang demikian menjadi makna semula menjauh dari kata itu sendiri. Persoalan seputar memaknai kata menjadi semakin rumit karena hampir sebagian orang berkomunikasi dengan demikian. Ya, seperti lingkaran setan. Ini baru contoh kosa kata pertama, belum yang lain. Seperti misalnya bertemu. Pertemuan menjadi makna denotasi bilamana ada tatap muka, bukan lewat perangkat media. Memang di satu sisi, saya menyetujui apa yang dikatakan beliau, namun di satu sisi bisa juga menjadi koreksi bahwasanya di pelajaran bahasa Indonesia terdapat peliyorasi dan ameliorasi. Penyempitan dan perluasan makna (dalam konteks tertentu). Kedua istilah tersebut yang kemudian bisa menjadi batas konotasi dan denotasi yang dibicarakan.

Tidak hanya melulu berbicara soal konotasi dan denotasi, pun tidak disebut Pak Iman jika tidak ada pepatah yang dilumerkan dalam obrolan. Beliau sempat mengisahkan tentang adegan ramayana. Kira-kira begini jika saya kisahkan ulang: Ketika Anoman menjaga Rahwana yang sedang dihukum. Anoman berucap kepada Rahwana, tidurlah rahwana kau tidak akan bisa lepas dari hukuman abadi ini. Selang kemudian Rahwana berucap, Anoman, Anoman, tidurlah, kau tidak akan memiliki keturunan karena kau hanya seorang diri, tapi dunia akan dipenuhi oleh rahwana-rahwana lain. Demikian kisah itu dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan dunia sekarang. Tema tersebut kemudian mengarahkan pembicaraan menuju zaman kalathida. Beliau kemudian menceritakan tulisannya yang pernah dimuat di Suara Merdeka, terkhusus, beliau merujuk kepada warga Semarang. Tulisan tersebut menyoal rasa malu yang kini semakin tipis di dalam diri manusia. Rasa malu yang dimaksud adalah malu terhadap perilaku yang buruk. Beliau mengungkapkan bahwa lemahnya rasa malu tersebut mulai dicontohkan oleh para aparatur negara. Perilaku yang buruk itu pun kemudian dianggap biasa dan dibiarkan terus menerus muncul. Ini semua menjadi pertanyaan, kemudian kita mesti bagaimana?

Ada perihal-perihal yang kemudian diceritakan oleh Pak Iman. Beliau orangnya gampang bercerita panjang-lebar. Sampai suatu ketika saya bersama beliau hampir 12 jam. Namun, di kesempatan yang agaknya merdeka ini saya ingin mencoba 'membaca' apa yang diucapkan beliau ketika membalas sms teman Beliau. Begini kira-kira: "Belajarlah dari tumbuhan yang tabah dan tetap tumbuh ketika dipangkas, belajarlah kejujuran dari hewan, dan kecerdasan dari manusia."

Sampai jumpa di lain kesempatan, Romo.
"Ngelmu iku kelakone kanthi laku"


Yogyakarta, 2015