1.13.2012

MEMORABILIA SEPENINGGAL KILOMETER PERJALANAN



"Warga Lamongan tidak suka hidup kepura-puraan,

akan tetapi menyukai hidup yang lugas, apa adanya dan tanpa pamrih."
[Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang]



/i/
lamongan, katamu, lamongan


kita sampai melintas ke atas jembatan ini:
lampu-lampu putih bundar menyisihkan cerita
kesepian tukang becak di bawahnya,
sepanjang jalan yang bukan keasingan
bukan sesuatu atau nama yang tak pernah
diperdengarkan. mungkin saja ini tepian
yang sama getarannya dengan langit sempit
di sebelah sana.


kita sejumlah bayangan pada sisa perbatasan kota
--peralihan menuju tempat yang tak ingin disembunyikan:
sehabis malam lalu, seorang penyair muda belajar
berdang-dut sendirian dengan cong yang di pojok bus
mencuri seribu cahaya lesap ke dalam paru-parunya
lantas dihembuskannya ke celah rapat kaca jendela, menahan
sebuah ruang bau pekat penuh jaket dan syal-syal tebal
dengan matanya yang berat ditimpa karat bening embun
dari hujan yang tumbuh buluh melalui alis matanya,
embun-embun serentak menciptakan seribu cahaya
jadi sebentuk susunan warna picasso tentang sebuah kota.
kota yang menelanjangi ruas-ruas pesisir


lamongan, katamu, lamongan



/ii/
pagi itu, sebuah, dua buah, tiga buah, beberapa
buah perahu mengapung tanpa hasrat atau kecerewetan.
ah, mungkin saja muka air ini diselubungi basah syahwat


mereka adalah perahu-perahu yang siuman
siuman dari lanskap kamp kamp penampung sampah plastik
putih, hitam, hijau, bunyinya. siuman dari seribu lebih cahaya
kembang api tahun baru!



/iii/
70 km menuju surabaya, bus ini tak henti
memenstruasikan bau orang-orang begadang
di atas trotoar yang mempertautkan antara
perhentian dan potongan-potongan jam
di pergelangan tangan mereka.


mungkin di paciran, tempat orang-orang
meyakini setiap jumat adalah tanggal merah,
masjid-masjid di setiap sudutnya dan tak banyak
orang mengabaikan jumlah azan yang mengepul
di riuh kota. di luar, kita tetap saja menghirup
desis ombak sekitar 30 meter dari ayunan
wbl. tak ada kepiting dan lumba-lumba di sini.
tak ada. bahkan sempat-sempat kau mencarinya
di gua insectarium, istana boneka, rumah sakit hantu,
atau tagada yang tersembunyikan pada peta.


70 km dari surabaya, langit gerimis memercikkan
kepalsuan seperti arena tembak ikan. demikian isyarat ini
apa adanya, seperti harga segelas pop mie hangat
yang dimanipulasi



/iv/
onta-onta kandang seketika mengembalikan kita
ke deretan kursi bus paling belakang
dengan punuk terlebar. seketika
mengakumulasi perjalanan hanya
menemui perahu-perahu yang berulang
bersitatap pada tinggi interval gelombang
sebagai jalan abadi.


sebentar lagi, kita meninggalkan perbatasan ini,
katamu, sebentar lagi


perahu-perahu itu masih ada, beserta barisan
sampah tas plastik warna-warni. kita seakan tertahan
melihat betapa asin tekstur sebuah sungai
yang membentuk delta pada rekat batu-batu kapur
dan perahu-perahu menahan angin yang mengantarkan
sampah-sampah itu pergi ke arah lebih jauh, atau bahkan
menyulapnya jadi ubur-ubur jemur


magrib semakin rimis, perahu-perahu memutihkan dirinya
tanpa mengenal siapa saja warga di dalamnya,
kembali ke dalam embun pada hitam kaca jendela
lalu turun ke lorong-lorong
menjadi kita


kuning ingatan



2012

2 komentar:

silakan rawat benih ini