PERCAKAPAN ANTARA LAWRENCE DENGAN AMICHAI [1]

Terjemahan atas Pembacaan Wawancara antara Lawrence Joseph dengan Yehuda Amichai (bagian 1)

NASIHAT-NASIHAT BEN ONKRI

Bagian Satu: 15 Nukilan “A Way of Being Free” (Phoenix House, 1997)

SESEORANG TELAH MENGACAK-ACAK MAWAR-MAWAR INI

Terjemahan atas pembacaan cerpen Gabriel Garcia Marquez

CETAK ULANG: "PADA SUATU MATA KITA MENULIS CAHAYA"

Cetak ulang buku Sepilihan Sajak oleh penerbit Garudhawaca

WAWANCARA ORTOLANO DENGAN COELHO

Terjemahan atas pembacaan wawancara antara Glauco Ortolano dengan Paolo Coelho

2.02.2010

BERITA TV: PENCURI SERAGAM SEKOLAH


ibu kami sungguh perkasa dan perhatian kepada kami. kami yang kian bertumbuh besar, benarbenar bahagia melihat ibu kami menyediakan sedikit sarapan untuk setiap pagi pada wajah kami sebelum berjalan ke sekolah. bilamana di bawah gerimis kian lebat, kami jadikan daundaun talas di sisa lahan gusuran sebagai payung kami untuk meneduhkan tubuhtubuh mimpi kami hingga menuju kelas.


ibu kami sungguh perkasa dan perhatian kepada kami. sepulang dari berbasahbasah yang lekat di tubuh kami. ibu membereskan dan mencuci semuanya, termasuk pakaian yang kami kenakan di kedua mata kami saat menonton ibu kami sedang nongol di tv, jadi artis sebentar supaya kami tahu harga seragam kami. supaya kami bisa seperti temanteman sekolah yang memakai seragam yang pantas walau tak berkelas. supaya kami belajar tentang harga kerinduan kepada ibu kami yang diamdiam mencuri demi kami.


2010

ULASAN SYAIFUL ALIM PADA NOTE FACEBOOK

DUA PUISI DUA PISAU DUA RISAU ( Ganz Pecandukata dan Asep Rayhanusheva )


BELATI PUISIKU UNTUK PISAU PUISIMU
Ganz Pecandukata

: syaiful alim


1.

Seberapa belati puisiku,
sebanyak mata memandang-hanyutkanmu?

mengasahmu lewat abjadabjad simbolik
lalu menikam dalamdalam:
siapasiapa,
apaapa,
kapankapan,
kenapakenapa,
bagaimanabagaimana,
dan kata tanya yang tak terdaftar

-diamdiam jadi mangsa, kau-
menyamadengankannya
seperti hunus yang kau simpan.

2.

Seberapa pisau puisimu,
sebanyak katupan kelopak mata di setiap 4,6 detik?

-kukira kau tak hanya berdiam melebihi mangsa
yang kau tikam sendiri di depan matamu-


2010


AKU INGIN MENGEJA PISAUMU
Asep Rayhanusheva

untuk ;syaiful alim


sepuluh hari lalu.....
aku menemukan pedang kata mengeja tuhan
di ladang hijau tepi sungai atbarah*
alif ba sampai kun fayakun
seminggu yang lalu...
aku nemukan pedang kata menganyam bintang di mimbar langit
seloroh senyum di latar pagi mengambil sekeping pecahan menancap dimata matahari
ku harap tidak terluka karna pisaumu
kemaren....
aku menemukan pedang kata tersenyum sunyi di samping pelangi buram warna
pisaunya hampir jatuh.....
tapi tuhan masih merindukan puisi paling pisau dan pistol peluru berkali kaliber
hari ini...
aku menemukan pedang kata santai senandung di aum aum hehe
menenteng tiga puisi titipan tuhan
kini...
pedang sudah siap
pisau terselip
pistol melingkar
tapi ada yang kau lupa kidung cinta pohon kurma sudah kau bawa??
lalu kau mau kemana????
''menemui JURNAL dan bayangan pisauku.....'' mantaaaap.....


*sungai di sudan...
2701 10


pembacaan syaiful alim atas dua puisi persembahan ini:


memasuki pintu dan inti rumah kata persembahan di atas, saya mencoba membaca dengan teropong tanya. Sebuah teropong yang mencermati bidang, juga bayang-bayang di sebalik pepohonan rindang:

(1) Siapa yang berbicara; aku liris, engkau liris, dia liris, atau subjek liris.
(2) Kepada siapa berbicara; kepada sesama manusia, alam, Tuhan atau dirinya sendiri.
(3) Apa yang dibicarakan; dirinya sendiri, orang lain, masyarakat, alam atau apapun.
(4) Bagaimana ia berbicara; semangat, sedih, datar, menanjak, melandai, marah atau gembira.


Mari kita praktekkan teropong tanya itu dalam memahami dua puisi Penyair Ganz dan Asep:
Pertanyaan siapa yang berbicara dan kepada siapa ia berbicara, dalam puisi di atas cukup jelas, yaitu seorang Penyair bernama Ganz Pecandukata dan Asep Rayahanusheva, mereka berdua berbicara kepada anak manusia yang berproses menjadi penyair amatir, syaiful alim. Lalu, apa yang dibicarakannya dan bagaimana ia berbicara. Inilah yang menjadi godaan dan tantangan berenang menyelam di gelombang pasang surut puisi. Hanya manusia pemberani yang dibutuhkan. Bukan manusia penakut atau peragu. Takut akan ombak yang kalut. Ragu akan ikan yang hendak ditelan dalam mulut.

Kedua puisi penyair di atas teramat unik dan asyik. Penyair Ganz menggelar puisinya dengan selidik tanya dan Penyair Asep menyodorkan hakekat waktu. Kedua cara berpuisi ini sungguh menyentuh dan bisa membuat airmata luruh.

“Seberapa belati puisiku,
sebanyak mata memandang-hanyutkanmu?”

……………………

“sepuluh hari lalu.....
aku menemukan pedang kata mengeja tuhan
di ladang hijau tepi sungai atbarah*
alif ba sampai kun fayakun”

Betapa kedua larik pembuka puisi di atas begitu cadas, juga kapas. Penyair Ganz bermain belati. Penyair Asep bermain pedang.

“Seberapa belati puisiku,”

Dari larik cantik ini saya kira Ganz sudah layak menjadi penyair. Dimana dia sudah menunjukkan betapa penggalian kata sudah dilakukannya. Kita pasti bisa merasakan beda di antara dua larik berikut ini:

1. “seberapa belati puisiku”
2. “seberapa tajam puisiku”

Bagiku, larik kedua itu bukan larik puisi. Berbeda dengan larik pertama yang didedahkan oleh Penyair Ganz. Pada larik pertama, kita temukan betapa bercahaya dan bergetarnya kata-kata disanding belati. Tajam, yang melekat di tubuh belati telah dicuri oleh jemari Ganz, lalu diletakkan perlahan-lahan di cawan imaji. Inilah kerja menyair sesungguhnya.

Apa yang dilakukan penyair Ganz dipertajam oleh penyair Asep. Penyair Asep menyeret hakekat waktu ke dalam bangunan puisinya. Waktu yang terus melaju tanpa mau tahu. Fase-fase waktu yang memiliki misteri, elegi, tragedi dan suka cita sendiri.

“sepuluh hari lalu.....”

Sepuluh hari lalu adalah penanda waktu. Sang penyair hendak melaporkan hal ikhwal yang melingkupi di waktu yang ditandai itu. Layaknya tanda dan pertanda, pasti ada sesuatu yang berharga. Ada apa di waktu itu?

“aku menemukan pedang kata mengeja tuhan
di ladang hijau tepi sungai atbarah*
alif ba sampai kun fayakun”

Saya sembahyang syukur menemui kata-kata yang subur punya penyair Asep ini. Saya nyaris tersungkur ke sungai airmata membaca kata-kata manis yang mengiris ini. Pedang dan bayang-bayang tuhan berkelebat di remang-remang hati.

Pedang yang mati itu kini hidup di jemari Penyair Asep. Bisa jadi ‘pedang’ itu adalah seorang manusia bernama syaful alim. Syaiful yang rapuh itu diberi ruh oleh penyair Asep menjadi pedang. Kini pedang itu berlenggak lenggok dengan kemolekannya. Ia merangkak. Ia bergerak menuju tuhan. Tuhan yang menjelma huruf hidup dan mati di alam semesta diejanya dengan mata memuja. Huruf hidup dan mati itu mengalir di hilir mudik aliran sungai yang hijau, atbarah.

“aku menemukan pedang kata mengeja tuhan
di ladang hijau tepi sungai atbarah*”

Lalu saya diam batu. Mencoba mendekati cahaya dari lantai huruf yang sudah membentuk kilau. Alif ba dan kun fayakun.

Alif ba adalah sebuah proses menjadi. Kata dan manusia senantiasa mengalami ini. Dan tuhan sebagai pihak ‘penjadi’ akan memberi nilai atau arti dari setiap proses menjadi itu.

“waidza arodza syaian, anyaquula lahu kunfayakun” firman tuhan ini tepat dengan niat atau kehendak penyair Asep itu.

Dan jika dia menghendaki sesuatu, cuma mengucap jadi maka jadilah.

Iya. Cukuplah pembacaan sederhana saya atas dua puisi persembahan ini. Mohon maaf terlalu sederhana esai kaji puisi ini, maklum saya menulisnya dikejar-kejar waktu, saya nulis di “Warnet”.



Syaiful alim
Gembel bahasa


Khartoum, Sudan, 27 Januari 2010.

KOMENTAR-KOMENTAR YANG MUNCUL:

Lena Len KeREN banget.....!!!
Thanks yaa.....ku tunggu puisi pisau. puisi pedang, puisi belati.. apapun puisinya akan ku tunggu.....
27 Januari jam 19:22

'Athan Wira Bangsa' Pembacaan yang tajam dari sang pisau, keren mas.
27 Januari jam 19:25 melalui Facebook Seluler

Syaiful Alim he he ternyata saya baru menelaah larik pembuka saja, belum ke tubuh puisi...

nanti jika ada waktu dan dolar di saku saya ke warnet lagi, hiks...
27 Januari jam 19:43

Rangga Umara pembedahan ini dahsyat! salaut aku, mas syaiful.
27 Januari jam 19:44 melalui Facebook Seluler

Agung Ardianto Tolong tusukkan pisau itu di perutku. Biar membuncah berserakan semua baris kata yang terpendam.
27 Januari jam 19:51 melalui Facebook Seluler

Lia Salsabila Puisi dan esainya dahsyat
Juraku tuk kalian bertiga

Terimakash syaif dah tag lia
27 Januari jam 20:11 melalui Facebook Seluler

Bidadara Cinta Tajam sekali analisa ini, setajam pisau bedah yg digunakan.. Hmm selamat untuk semuanya dan salutku untuk semuanya
27 Januari jam 20:19

Evi Ghozaly "Dan jika dia menghendaki sesuatu, cuma mengucap jadi maka jadilah"..........Pun,untuk membuat adik kecilku "keluar" dari pagar tinggi itu!
27 Januari jam 20:55

Ganz Pecandukata makasih bung syaiful...mari kita maju bersama dalam berpuisi.
Salam.
27 Januari jam 21:08 melalui Facebook Seluler ·

Lina Kelana subhanallah, org2 hebat, tlsn2 hbt, makna2 hbt, ijinkan q turut serta dlm ketakjuban ini sahabt, ^_^
m2p...
27 Januari jam 21:26 melalui Facebook Seluler

Lina Kelana subhanallah, org2 hebat, tlsn2 hbt, makna2 hbt, ijinkan q turut serta dlm ketakjuban ini sahabt, ^_^
m2p...
27 Januari jam 21:27 melalui Facebook Seluler

Rini Widya Sumardi pisau yang mencipta puisi, pula pisau yang membedah puisi. keren sekali tulisanmu mas, juga puisinya aduhai tajam..
27 Januari jam 21:29 melalui Facebook Seluler

Adhy Rical dua tinggi mendaki puncak bahasa. tapi dua masih kurang. siapa lagi nyusul? hehe
sejak awal sudah kubilang, jsh pelanpelan dan tidak diamdiam akan memuncak. ia tak hinggap ke langit tapi melesat terus bersama penyairnya.

kita tidak sedang di dunia dongeng. ini pasti.
terima kasih penyairku. dua sahabat pun begitu.... Lihat Selengkapnya
27 Januari jam 21:34

Agung Ardianto Cara anda membedah sangat rapih meski diburu panah waktu. Hebat.
27 Januari jam 21:35 melalui Facebook Seluler

Sulaiman Sitanggang saya kok seperti yakin ya, semakin sahabatku syaiful terburu waktu, semakin tajam pedang kata nya... hehe. duh, waktu apa sih waktu.. hehe. asik aja ma waktu. ful, jemarimu itu terbuat dari apa sih... kok nancep semua kata-kata yg mengalir dari sana. salute ku untukmu kawan.
27 Januari jam 21:49

Arther Panther Olii seni mengapresiasi suatu karya (dalam hal ini puisi) sangat ragam tergantung tingkat pemahaman seseorang penikmat/pecandu puisi itu sendiri. nah, menilik apresiasi yang dilakukan kawan syaiful terhadap karya dua teman kita ganz dan asep tentunya kita akan sama-sama mahfum bahwa seorang syaiful alim ini seorang apresiator berkelas atas. sip..salut !
27 Januari jam 21:55

Asep Rayhanusheva trimakasih sobat kau layak dapat bintang......bintang yg kelak menuntun perjalanan sastra untuk guru hudan nuhun motivasinya yg telah membakar hati yg kedinginan
27 Januari jam 22:48 melalui Facebook Seluler

Jurnal Sastratuhan Hudan ini gejala menarik hehe kalau frase pisau itu kuat dia akan membentuk syaifulian hehe seperti telah kulihat terbentuk pula rinianisme di ranah fb ini. benar lo seolah main main ucapanku ini. teliti aja hehe
28 Januari jam 1:26

Jurnal Sastratuhan Hudan saut menyebutku dengan identitas hudanisme - atau mungkin hudanian hehe. kalau ardy ical ardinian hehe asep asepian mari kita buat aliran panjang tanpa ah napa guna tem tem berantem hehe lawan kita sejarah kok. yuk kompak: yuk. asek asek hehe
28 Januari jam 1:28

Jurnal Sastratuhan Hudan nah kalau ganz apa ya? repot juga itu: coba kita tekuk lidah kita: gangland bosian hehe hidup sastra maya fab.
28 Januari jam 1:29

Jurnal Sastratuhan Hudan fab kata lain dari fabio hehe ditakuti orang (baca: disegani) seperti bintang film itali yang cantik itu: fabo testi.
28 Januari jam 1:30

Fran Hy jempolku buat mas syaif. pun juga buat dua kawanku. salut!
aih ada guru, hehe ganzmania aja guru hehe
28 Januari jam 3:06

Pecinta Hening Sangat menarik untuk disimak
28 Januari jam 4:27 melalui Facebook Seluler

Nuthayla Anwar menyimak dengan seksama, percaturan pisau, belati dan pedang
28 Januari jam 7:34

Windy Aurora Shaza pedang, pisau dan belati... samasama tajamnya.
wah, asyik juga julukan2 itu Guru. syaifulian, rinianisme, hudanian, asepian, dan ganzanian, hehehe

Salut untuk Bang Syaiful. juga kedua kawan yang akan jadi titisannya.^^
28 Januari jam 8:04

Anita Rachmad oooh....gembel lagi.........
he..he..he........daku turut menyimak dan menyimpan pul.....sungguh....
kau berbakat menggantikan posisi maman s mahayana dan hudan hidayat di dunia persilatan sastra ! kwkwkwkwkwkw....
28 Januari jam 10:49

Ratna Munawarah dua puisi teman teman kita menjadi lebih cemerlang karena kau warnai dengan terang...Dik Mas...terima kasih.. kau memang sangat pisau
28 Januari jam 11:20

Faradina Izdhihary hm... aku membaca puisinya dengan senang, dan saat diuraikan hatiku tambah suka.... dua puisi yang sama2 cemerlang
28 Januari jam 11:43

Samsudin Adlawi identikan saya kira tidak selalu pada kata lekat tertentu yang jadi trademark, tapi juga penuangan ide dan pengolahan bahasa menjadi puisi. bgm mas huhi hehe... bgm mas syaiful huhuhu...
28 Januari jam 12:30

Frans. Nadeak Ini yang saya baca dan nikmati dengan cita rasa tinggi hari ini...
28 Januari jam 16:39

Rini Garini Darsodo Tadi siang saya sudah memberi komentar di sini, tapi gak masuk ya? Ahhh...emang koneksi speedyku sedang eror!
Pokoknya saya sudah menyimak beberapa kali, dan ini sangat tajam...setajam SILET! Ayo Syai teruskan ketajamanmu....
28 Januari jam 19:02

Kajitow Elkayeni Masalah kita tidak jauh berbeda, di sini pcq g konek, hiks. Tp ttp maju hehe semangat semangat ayo ayo salam yo hehe
28 Januari jam 19:48 melalui Facebook Seluler

Noval Jubbek brrrrrrrrr
Min pukul 7:50